Pengangkatan Hakim Kedudukan Hakim Dalam Hukum Ketatanegaraan Islam

2. Pengangkatan Hakim

Pengangkatan Hakim adalah menjadi keharusan bahwa setiap masyarakat memerlukan penguasa yang menerbitkan pergaulan diantara mereka mengatur urusan-urusan mereka, dan memelihara kemaslahatan-kemaslahatan mereka, padahal penguasa umum pemerintahan tidak mungkin mampu menangani sendiri seluruh urusan masyarakat, maka sudah pasti diperlukan pembantu-pembantu yang akan melaksanakan berbagai urusan manusia, dan melaksanakan bidangnya sendiri-sendiri, yang diantaranya yaitu bidang qadha’ peradilan. Maka sudah tentu diperlukan pejabat menanganinya dan diperlukan juga pengangkatannya, karena itu mengangkat Hakim itu wajib, dan tidak dibedakan antara pemberian wewenang kepada Hakim oleh pihak penguasa, atau dengan jalan pelimpahan wewenang kepada pembantu-pembantu pemerintah untuk tugas-tugas khusus di bidang peradilan, dan atas dasar ini, maka sebenarnya seorang hakim menyandarkan putusan hukumnya atas pengangkatannya dari pihak penguasa. 17 Para Hakim di zaman Nabi SAW dan Khulafa’ Rasyidun diangkat oleh khalifah atau oleh pejabat daerah atas pelimpahan wewenang dari khalifah dan masing-masing hakim berdiri sendiri tidak ada hubungan administratif antara satu hakim dengan hakim yang lain. Sehingga tidak ada kekuasaan seorang hakim atas hakim yang lain, dan tidak ada keistimewaan seorang hakim melebihi yang lain dihadapan khalifah, baik hakim daerah maupun hakim berkedudukan di ibu kota negara. Keadaan ini berterusan sampai masa pemerintahan Bani 16 Subhi Saleh, Politik Dan Pentadbiran Didalam Islam, Kuala Lumpur: Percetakan Sentosa SDN BHD, 1984 h.89. 17 Muhammad Salam Madkur, Peradilan Dalam Islam, Jakarta: Darul Falah, 2000 h.60 Umayyah, hanya pada masa khalifah Bani Abbas dan khusunya pemerintahan Harun ar-Rasyid, telah terdapat satu jabatan peradilan baru yaitu Qadhi Qudhat 18 , yang diangkat oleh khalifah dan kepadanya diserahi urusan peradilan, dan diberi hak mengangkat pejabat-pejabat peradilan bagi yang di pandang mampu, baik yang jauh dari pusat pemerintahan maupun yang dekat. Dan satu pendapat mengatakan bahwa, Qadhi qudhat tidak boleh mengangkat ayahnya sendiri atau anaknya, dan ada yang berpendapat bahwa boleh apabila ayah atau anak yang diangkat memenuhi syarat-syaratnya, karena hal wewenang mengangkat itu tidak pernah ada pengecualiannya umum. Dan Qadhi Qudhat juga diberi hak memecat bawahannya, demikian juga kepada setiap Hakim diberi hak mengundurkan dirinya dari jabatan yang dipangkunya apabila hal itu dipandang membawa maslahat. 19

3. Pemecatan Hakim