Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Arab di zaman Jahiliyyah hidup di padang pasir badwi tanpa kerajaan dan tanpa undang-undang. Mereka terbagi kepada beberapa suku kaum yang terbagi kepada beberapa kelompok-kelompok keluarga dan keturunan. Setiap suku kaum merupakan satu kesatuan yang kuat dan dialah yang menjadi panglima di dalam peperangan, dialah yamg mewakili sukunya saling bantu membantu. Setiap ketua suku kaum mempunyai kuasa tertinggi. Dalam urusan dengan suku-suku lain, dan dialah yang menjadi hakim bagi menyelesaikan pertikaian yang berlaku dikalangan anak buahnya. Di dalam mengadili sesuatu perkara dan menjatuhkan hukuman, ketua suku kaum itu senantiasa mengikut adat kebiasaan dan tradisi. Malahan ia memperoleh kekuatannya dari suku kaumnya sendiri. Jika seorang anggota sukunya menentang hukumannya, ia tidak dapat mengenakan sebarang hukuman keatas penentang itu. Tetapi penentang tersebut akan menghadapi kemarahan dan cemohan anggota-anggota suku yang lain sehingga mungkin menyebabkannya meninggalkan sukunya dan menggabungkan diri dengan golongan penderhaka yang menentang sistem suku itu. Jika berlaku pertikaian diantara dua suku kaum, dan kedua-duanya bersetuju supaya diadili, maka kedua belah pihak akan mendapatkan seorang yang terkemuka dan di segani yang diketahui berfikiran waras dan berpanjangan jauh seperti Aktham bin Saifi dan ‘Amir bin Az-Zharb . Menurut sejarah, Akhtam bin Saifi adalah seorang hakim berbangsa arab di zamannya. Sementara Amir Az- Zharb pula merupakan salah seorang pendita Arab yang pandangan serta keputusannya tetap dihormati dan diterima baik oleh orang-orang Arab. Di Makkah yang merupakan sebuah negeri yang senantiasa di ziarahi oleh orang luar karena di Makkah terdapat ka’abah rumah suci yang dibina nabi Ibrahim A.S. penduduk Quraisy telah membuat suatu perjanjian yang dinamakan “Hilful Fudhul” , kaum Quraisy telah sepakat berjanji tidak akan membenarkan orang dagang atau kerabat, samada hamba sahaya atau bukan, dan mereka akan tetap menyebelahi orang yang dianayai sehingga orang itu memperolehi semula haknya selagi mana mereka berada di tanah suci itu. Penduduk Makkah merasakan perlu melakukan itu karena penziarah yang datang membelanjakan uang serta kemewahannya yang menyebabkan Makkah menjadi makmur dan mewah. Orang yang berperan dalam menjatuhkan hukuman dizaman pra-Arab itu adalah Abu Bakar as-Sidiq, dia menguruskan hal yang berkait dengan pengadilan seperti menentukan bayaran sanksi dan ganti rugi. 1 Didalam Islam jabatan hakim merupakan kedudukan yang berada dibawah khalifah. Ia suatu lembaga yang tersedia untuk tujuan menyelesaikan gugatan serta memutuskan perselisihan dan pertikaian. Bagaimanapun, ia tetap berjalan sepanjang rel hukum syar’iyyah yang telah ditetapkan didalam al-Quran dan as- Sunnah. Oleh karena itu, jabatan hakim merupakan bagian tugas khalifah, dan secara umum berada di wilayahnya. 1 Ahmad Shalaby, Sejarah Perundangan Islam, Singapura: Pustaka PTE LTD 1986, h.1 Meskipun pelaksanaan jabatan hakim merupakan tugas khalifah, namun mereka mempercayakan kepada orang lain karena kesibukan urusan-urusan pemerintahan, tugas tersebut tidak akan dilakukan sendirian , sedang tugas hakim begitu pentingnya. Para khalifah berusaha mencari kemudahan dalam proses pengadilan di antara manusia, dan oleh itu mereka mewakilkan diri untuk perlaksanaan jabatan hakim demi meringankan beban mereka. Namun mereka hanya mempercayakan jabatan hakim itu hanya kepada orang yang termasuk solidaritas mereka, mereka tidak mempercayakan kepada orang yang sudah diluar keluarga solidaritas mereka. Menurut buku al-Muqaddimah karangan Ibn Khaldun, tugas hakim pada masa khalifah terbatas hanya menyelesaikan gugatan antara penggugat. Lalu secara bertahap masalah lain ditimpakan dan dilimpahkan kepadanya lebih banyak, sesuai dengan kesibukan khalifah dan raja-raja. Akhirnya jabatan hakim mencakup disamping menyelesaikan gugatan pemenuhan sebagian hak-hak umum bagi kaum muslimin,juga mengurusi harta benda orang gila. Anak yatim, orang pailit dan tidak mampu yang berada dibawah pengawasan para wali, mengurusi surat wasiat, mengawinkan perempuan yang tidak mempunyai wali, mengurusi jalan serta bangunan, menguji barang bukti, pengacara dan mengganti tugas pengadilan, berusaha menyempurnakan pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan tahan uji atau tidaknya mereka. Semua ini menjadi bagian dari kedudukan dan tugas seorang hakim. 2 2 Mujar ibn Syarif DKK, Fiqh Siyasah Doktrin Dan Pemikiran Politik Islam,PT gelora Aksara Pratama 2008. h 315 Menurut buku Ensiklopedia Islam, dalam sejarah Islam, nabi SAW bertindak sebagai hakim dalam menyelesaikan perkara, beliau juga pernah melantik beberapa hakim dalam daripada kalangan sahabat, antaranya Ali bin abi Talib dan Muaz bin Jabal, begitu juga halnya pada zaman Khulafa’ Rasyidun. Jika dalam suatu masyarakat tidak terdapat imam atau kepala negara, maka pelantikan hakim dilakukan oleh Ahl Hall wa al –Aqd. Dalam konteks negara Malaysia, badan kehakiman merupakan salah satu badan penting yang mengasingkan wewenang eksekutif dan legislatif. Bagi negara bagian di Malaysia, kedudukan hakim Mahkamah Syari’ah berada dibawah Jabatan Kehakiman Syari’ah bagian masing-masing. 3 Dan kedudukan hakim Mahkamah Sivil berada dibawah lembaga kehakiman negara. Dari penjelasan di atas, terlihat bahwa hakim dalam Mahkamah Syariah dan Sivil mempunyai perbedaan. Apakah kedudukan hakim mempunyai persamaan atau perbedaan antara dua badan peradilan? dan apakah sistem perundangan tersebut mempunyai persamaan atau perbedaan dengan sistem perundangan Islam?. Oleh karenanya hal ini sangat menarik untuk diteliti, sehingga penulis menjadikan penelitian skripsi dengan judul: “SYARAT-SYARAT KELAYAKAN HAKIM MAHKAMAH SYARIAH DAN MAHKAMAH SIVIL DALAM SISTEM PERADILAN TERENGGANU MALAYSIA”. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 3 Mahamad Arifin, Pentadbiran Undang-Undang Islam di Malaysia,jilid 12 ,Dawama Sdn.Bhd, 2007, h 120. Sejauh mengenai syarat-syarat kelayakan hakim Mahkamah Syaria’h dan Sivil dalam sistem perundangan Terengganu, dapat diidentifikasikan sejumlah masalah yang harus di teliti, antara lain, yaitu: 1. Bagaimanakah kedudukan hakim menurut hukum Islam? 2. Apakah syarat-syarat kelayakan hakim Mahkamah Syari’ah dan Hakim Mahkamah Sivil Terengganu? 3. Apakah perbedaan atau persamaan kelayakan hakim dalam sistem perundangan Terengganu dan perundangan Islam ? Dengan mengacu kepada identifikasi masalah diatas, penelitian ini menjadikan masalah yang terakhir sebagai fokus masalahnya, yakni apakah perbedaan atau persamaan kelayakan hakim dalam sistem perundangan Terengganu dan perundangan Islam ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian