negara yang meluncurkan benda yang menyebabkan kerusakan tersebut “bertanggung jawab secara gabungan dan bersama-sama” kepada negara ketiga
yang menjadi korban dalam kasus kerusakan tersebut. Pertanggungjawaban tersebut bersifat absolut atau mutlak.
Kerusakan atau kerugian akan ditanggung secara bersama ataupun sendiri- sendiri. Besarnya ganti rugi bagi masing-masing negara peluncur yang terlibat
ditetapkan berdasarkan persetujuan sendiri atau di perhitungkan atas dasar besarnya unsur kesalahan dari masing-masing negara peluncur.
Pembagian tersebut harus dilaksanakan tanpa mengurangi hak negara ketiga untuk mendapatkan seluruh ganti rugi yang harus dibayar. Negara-negara
ataupun pihak ketiga yang menjadi korban kerusakan tersebut memiliki hak untuk menuntut kompensasi dari negara yang meluncurkan.
D. Pembebasan dari tanggung jawab Exoneration From Liability
Menurut Pasal VI 1 dari Liability Convention 1972 :
57
1 Subject to the provisions of paragraph 2 of this Article, exoneration from
absolute liability shall be granted to the extent that a launching State establishes the damage has results either wholly all partially from gross negligence or from
an act or commission done with intent to cause damage on the part of a claimant State or of natural or juridical persons it represents.
2 No exoneration whatever, shall be granted in cases where the damage has
resulted from activities conducted by a launching State which are not in conformity with international law including, in particular, the Charter of the
57
Ibid, Hal. 127
United Nations and The Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial
Bodies. Pertama yang perlu dicatat dari pasal VI ini adalah pembebasan dari
“pertanggungjawaban secara mutlak”. Pasal VI telah mengubah aturan “pertanggungjawaban secara mutlak” yang dibebankan kepada negara peluncur
menjadi suatu pembebasan dari tanggung jawab secara mutlak. Pembebasan tanggung jawab secara mutlak ini harus diberikan sejauh
negara peluncur menyatakan bahwa kerusakan tersebut secara keseluruhan atau sebagian disebabkan oleh kelalaian berat atau kejahatan atau pelanggaran yang
dilakukan dengan maksud menyebabkan kerugian pada pihak penuntut atau terhadap orang-orang, alam dan badan hukum atau negara yang mewakilinya.
G. Prinsip-Prinsip Yang Terkandung Dalam Space
Liability Convention 1972 Prinsip-prinsip yang dimaksud di sini adalah prinsip-prinsip yang
terkandung di dalam Liability Convention 1972, yang merupakan isi dari konvensi tersebut. Secara garis besar prinsip-prinsip tersebut adalah
58
1. Negara peluncur atau negara yang ikut bersama-sama meluncurkan atau
negara yang memberi fasilitas peluncuran atau Organisasi Internasional yang ikut serta dalam peluncuran benda-benda ruang angkasa, harus bertanggungjawab
secara internasional atas kerusakan dan atau kerugian yang diderita oleh negara lain baik terhadap harta benda dan manusia, badan hukum maupun terhadap
:
58
Juajir Sumardi, Loc.Cit., Hal. 39.
masalah kerugian yang derita oleh suatu pesawat udara dalam penerbangan sebagai akibat dari pelaksanaan keantariksaan dari negara peluncur. Prinsip
tanggung jawab ini terdapat dalam artikel I, II, IV dan artikel V. 2.
Yang dimaksud dengan “Benda-benda angkasa” atau Space Object adalah juga termasuk segala peralatan dan atau bagian dari benda angkasa yang
diluncurkan ke ruang angkasa artike I, dan yang dimaksudkan dengan “Damage” atau kerusakan adalah termasuk f jiwa manusia.
3. Kerusakan yang terjadi itu harus di pertanggungjawabkan secara internasional
oleh negara peluncur, dimana kerusakan-kerusakan tersebut dapat terjadi di permukaan bumi, misalnya terhadap alam lingkungan, harta benda, individu,
badan hukum dan sumber-sumber atau pusat-pusat vital, juga terhadap pesawat ruang angkasa dan pesawat udara milik negara lain yang sedang mengadakan
penerbangan. Prinsip ini terkandung didalam artikel III, IV, dan XXI. 4.
Tanggungjawab yang harus dipikul oleh negara peluncur adalah tanggungjawab berdasarkan kesalahan artikel II, III, IV, dan VI.
5. Bahwa tanggung jawab akibat jatuhnya benda-benda ruang angkasa atau
kerusakan yang terjadi sebagai akibat kegiatan ruang angkasa dapat dipikul oleh lebih dari satu negara secara bersama-sama dalam suatu peluncuran benda-benda
ruang angkasa artikel V. 6.
Bahwa tuntutan dari negara yang dirugikan dapat dilakukan terhadap negara peluncuran dengan suatu pembayaran ganti rugi melalui saluran diplomatik
karena tidak adanya hubungan diplomatik antara negara peluncur dengan nagara yang menderita kerugian maka negara yang dirugikan dapat minta bantuan kepada
negara lain yang memiliki hubungan diplomatik dengan negara peluncur atau dapat pula dengan melalui Sekretaris Perserikatan Bangsa-bangsa artikel VIII dan
artikel IX. 7.
Bahwa uang pembayaran kompensasi atau ganti rugi mata uang yang harus dipakai adalah mata uang dari negara penggugat shall be paid in the currency
of the Claimant State, kecuali jika kompensasi akan dilakukan dalam bentuk lain sesuai dengan persetujuan kedua belah pihak, artikel XIII.
8. Bahwa penuntutan pembayaran kompensasi atau ganti rugi dapat dilakukan
melalui Komisi Penuntut yang dibentuk berdasarkan persetujuan antara pihak penuntut dan pihak yang dituntut, artikel XVI, XVII, XVIII, XIX dan artikel
XX. H.
Penerapan Prinsip-Prinsip Penyelamatan Bagi Kegiatan Di Ruang Angkasa Dalam Rescue Agreement 1968
Rescue Agreement 1968 merupakan penjabaran lebih lanjut dari artikel V Space Treaty 1967 mengandung prinsip-prinsip penyelamatan secara konkret
sehingga nampak adanya kepentingan bagi perlindungan para awak pesawat ruang angkasa dan juga kepentingan negara yang meluncurkan benda-benda angkasa
tersebut. Prinsip-prinsip penyelamatan tersebut adalah
59
1. Setiap negara peserta perjanjian yang menerima informasi atau menemukan
personil kendaraan ruang angkasa dalam keadaan menderita karena akibat kecelakaan atau mengalami keadaan yang berbahaya dan atau keadaan darurat
atau mendarat tanpa sengaja di bawah jurisdiksi suatu negara maka segera : :
59
Ibid Hal. 2-3
a. memberitahukan negara peluncur, atau jika tidak mengetahui identitasnya,
segera mengumumkan kepada masyarakat bangsa-bangsa dengan mempergunakan alat komunikasi yang ada;
b. memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal PBB agar secepatnya
menyebarkan informasi kepada negara-negara dengan menggunakan alat komunikasi yang ada.
Ketentuan atau prinsip kewajiban untuk menginformasikan keadaan sebagai akibat dari kecelakaan benda-benda yang diluncurkan ke ruang angkasa
tersebut tercantum di dalam artikel I dari Rescue Agreement 1968. 2.
Jika awak pesawat ruang angkasa menderita kecelakaan, berbahaya, dan dalam keadaan darurat mendarat tanpa sengaja di wilayah yurisdiksi negara peserta
perjanjian, negara peserta perjanjian segera mengambil langkah-langkah pertolongan untuk menyelamatkannya dan menyumbangkan bantuan yang
dibutuhkan kepada mereka. Di samping itu, juga harus memberitahukan kepada negara peluncur dan sekretariat Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk
mengambil tindak lanjut. Jika negara pleuncur menginginkan bantuan pertolongan untuk mendapatkan penyelamatan secepatnya atau menghendaki
bantuan tenaga pencarian dan operasi penyelamatan, negara peluncur akan bekerja sama dengan negara peserta perjanjian dalam pencarian dan operasi
penyelamatan tersebut. Operasi-operasi tersebut akan menjadi petunjuk dan kontrol bagi negara peserta perjanjian, untuk mengadakan tindakan secepatnya
dan meneruskan perundingan dengan negara peluncur. Ketentuan mengenai
penyelamatan dan pencarian ini tercantum di dalam artikel II dari Rescue Agreement 1968.
3. Jika telah menerima informasi atau mengetahui awak pesawat angkasa turun ke
laut bebas atau di tempat yang bukan merupakan wilayah yurisdiksi dari suatu negara, maka negara peserta perjanjian akan mengambil tindakan, jika perlu,
memberi bantuan yang sungguh-sungguh di dalam melakukan pencarian dan operasi penyelamatan kepada awak angkasa yang mengalami hal seperti ini
untuk mendapatkan jaminan keselamatan secepatanya, selanjutnya negara yang mendapatkan informasi atau mengetahui tentang hal tersebut akan
memberitahukan kepada negara pleuncur dan Sekretariat Jenderal PBB untuk mengambil tindakan lebih lanjut.
4. Jika awak ruang angkasa menderita kecelakaan, berbahaya, keadaan darurat,
atau mendarat tanpa sengaja di bawah yurisdiksi dari suatu negara, maka negara peserta perjanjian akan mengamankan dan mengembalikan secepatnya
kepada perwakilan negara peluncur. 5.
Setiap negara peserta perjanjian yang menerima informasi atau menemukan benda ruang angkasa atau bagian dari benda ruang angkasa yang jatuh ke Bumi
di bawah wilayah yurisdiksi atau wilayah teritorial dari suatu negara maka negara tersebut harus memberitahukan kepada negara peluncur atau kepada
Sekretaris Jenderal PBB. 6.
Setiap negara peserta perjanjian mempunyai yurisdiksi di wilayah dimana benda ruang angkasa atau bagian dari benda ruang angkasa yang telah
diketahuinya, atas permintaan dari negara peluncur dan atau perwakilan dari
negara peluncur harus memberi data-data yang lengkap mengenai benda ruang angkasa yang jatuh tersebut sebelum benda tersebut dikembalikan oleh negara
dimana benda tersebut jatuh kepada negara peluncur. 7.
Atas permintaan negara peluncur, benda-benda yang diluncurkan ke ruang angkasa atau bagian-bagian daripadanya yang ditemukan melewati perbatasan
wilayah negara peluncur maka benda tersebut harus diamankan atau dikembalikan kepada perwakilan negara peluncur, dalam hal ini negara
peluncur tetap harus memberi data-data yang lengkap mengenai benda ruang angkasa tersebut.
8. Setiap negara peserta perjanjian mempunyai alasan untuk mempercayai benda
angkasa atau mengetahui bagian dari komponen-komponen benda ruang angkasa tersebut telah berada di bawah yurisdiksi suatu negara atau diperoleh
dari tempat lain yang penuh risiko atau mungkin mengganggu lingkunganalam disekitarnya, maka negara peluncur segera mengambil tindakan di bawah
petunjuk dan pengawasan negara peserta perjanjian untuk menghindari bahaya yang merugikan. Dalam hal ini negara peluncur berkewajiban mengeluarkan
biaya untuk memperoleh dan pengambilan kembali benda-benda angkasa yang jatuh di wilayah yurisdiksi negara lain tersebut.
9. Jika prinsip-prinsip penyelamatan mengenai kegiatan di ruang angkasa yang
terkandung di dalam Rescue Agreement 1968 tersebut dikaji maka dua hal yang perlu dikemukakan sebagai suatu inti dari isi perjanjian tersebut yaitu
60
60
Ibid, Hal. 2-3
:
1 Perjanjian tersebut menekankan keharusan untuk bekerja sama di antara
negara-negara peserta perjanjian dalam rangka penyelamatan dan atau pertolongan yang harus diberikan kepada awak suatu pesawat ruang
angkasa atau benda angkasa beserta komponennya yang diketahui telah mengalami kecelakaan yang dapat menimbulkan berbagai kerugian.
2
Di samping itu, perjanjian tersebut membebankan surat kewajiban kepada negara peserta perjanjian dalam rangka upaya penyelamatan sebagai
berikut
:
a. memberi bantuan di bidang operasi penyelamatan apabila awak pesawat
ruang angkasa tersebut telah mendarat di wilayah yang bukan menjadi yurisdiksi dari suatu negara mana pun, misalnya di laut bebas.
b. Mengembalikan awak pesawat ruang angkasa dengan selamat dengan
segera kepada perwakilan negara peluncur.
c.
Memberitahukan dan mengamankan atau mengembalikan benda-benda yang ditemukan tersebut
.
Dengan adanya kewajiban untuk bekerja sama bagi negara-negara peserta perjanjian dalam rangka memberikan tindakan penyelamatan kepada peristiwa
kecelakaan yang dialami oleh pesawat ruang angkasa beserta awaknya, maka rescue agreement 1968 adalah suatu ketentuan hukum internasional yang amat
penting. Betapa tidak, dengan adanya kerja sama tersebut maka penanggulangan akibat jatuhnya atau kecelakaan terhadap benda-benda angkasa dapat
meringankan bagi negara-negara yang sedang berkembang di mana belum mempunyai kemampuan teknologi yang tinggi.
` Di samping itu, akibat kecelakaan seperti jatuhnya benda-benda yang
diluncurkan ke ruang angkasa itu dapat menimbulkan bahaya yang fatal terhadap lokasi dimana benda tersebut jatuh maka hal ini semakin berasda pentingnya kerja
sama antara negara dalam upaya penanggulangan tersebut. Sebagai contoh misalnya, jatuhnya satelit Cosmos 954 milik Uni Soviet di mana satelit tersebut
telah ditempatkan di orbitnya pada tanggal 18 September 1977 yang peluncurannya telah dilaporkan kepada Sekretaris Jenderal PBB yang dimuat
dalam dokumen PBB No. AAC.105INF.368 tertanggal 22 November 1977. Menurut Nota Kedutaan Besar Uni Soviet di Ottawa tertanggal 21 Maret 1978,
satelit tersebut membawa sumber tenaga nuklir berupa Uranium dengan Isotop 235. Pada tanggal 24 Januari 1978 tepatnya sekitar jam 11.53 waktu Greenwhich
telah memasuki atmosfer Bumi dan jatuh di sebelah utara kepulauan Queen Charlotte, pesisir barat pantai Kanada. Dari operasi yang telah dilakukan oleh
pemerintah Kanada dalam dua tahap, telah menghasilkan suatu kesimpulan bahwa akibat tersebut telah menimbulkan radiasi nuklir yang telah dilaporkan kepada
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam dokumen AAC.105214 dan 214Corr.1 tertanggal 8 Pebruari 1978, selanjutnya dokumen AAC.105217
tertanggal 6 Maret 1978 dan dokumen AAC.105236 tertanggal 22 Desember 1978.
Operasi penanggulangan terhadap kecelakaan satelit Cosmos 954 milik Uni Soviet yang jatuh di wilayah Kanada tersebut telah mengundang pihak
Amerika Serikat untuk turut memberikan bantuannya. Di samping itu, Uni Soviet sendiri selaku negara peluncur turut pula dalam operasi tersebut dengan
menurunkan tim ahlinya guna menyelidiki akibat-akibat yang telah terjadi. Keterlibatan Amerika Serikat tersebut adalah suatu bukti adanya tanggung jawab
dan kewajiban dari peserta perjanjian yang tercantum dalam Rescue Agreement di mana Amerika Serikat termasuk salah satu negara yang telah menjadi peserta
dalam Rescue Agreement 1968 tersebut. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang hingga saat ini belum
menjadi peserta dalam perjanjian ini. Oleh karena itu, kemungkinan untuk memanfaatkan isi Rescue Agreement 1968 tersebut masih dipertanyakan. Apalagi
kini Indonesia telah menjadi salah satu negara yang telah menjadi pemanfaat sumber daya ruang angkasa yakni dengan pengoperasian satelit Palapa sejak
tahun 1976 dan juga jika terlaksana penerbangan astronot Indonesia pertama dalam misi US Space Shuttle nantinya. Keseluruhan aktivitas keruangangkasaan
Indonesia yang nampak maju tersebut patutlah dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk segera turut serta dalam perjanjian tentang penyelamatan bagi
kegiatan di ruang angkasa tersebut.
I. Tanggung Jawab Negara Berdasarkan Space Liability
Convention 1972 A.
Pihak-pihak yang bertanggung jawab
Di dalam artikel II dari Liability Convention 1972 dinyatakan bahwa :
61
61
Ibid, Hal. 41
A Launching State shall be absolutely liable to pay compensation for damage caused by its Space Object on the surface of the Earth or to
Aircraft in flight. Dengan melihat ketentuan yang ditegaskan dalam artikel II di atas maka
dapat diketahui tentang pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh benda-benda angkasa dimana yang bertanggung jawab adalah
Negara Peluncur Launching State. Sedangkan yang dimaksud dengan negara peluncur selanjutnya dijelaskan
di dalam artikel I ayat c yaitu : The term Launching State means :
1. a state which launches or procures the launching of space object negara
yang meluncurkan atau pengadaan peluncuran benda antariksa. 2.
a state from whose territory of facility a space is launched negara yang wilayahnya atau memberikan fasilitas dari mana objek ruang angkasa
tersebut diluncurkan. Jadi berdasarkan artikel I ayat c negara peluncur bukan hanya negara
yang meluncurkan benda-benda angkasa itu saja akan tetapi juga dapat dikategorikan sebagai negara peluncur, yaitu negara yang mendapatkan
kesempatan ikut meluncurkan objek ruang angkasa, negara yang wilayahnya atau memberikan fasilitas dari mana objek ruang angkasa tersebut diluncurkan, turut
bertanggung jawab atas kerugian disebabkan oleh peluncuran itu.
Maka dengan demikian, suatu negara dapat memenuhi syarat sebagai negara peluncur apabila
62
1. negara itu meluncurkan benda ruang angkasa dari wilayah-wilayahnya
dengan menggunakan sarananya sendiri; atau :
2. negara itu meluncurkan benda ruang angkasa dari wilayah negara lain,
berdasarkan perjanjian dengannya, dengan menggunakan sarananya sendiri atau sarana setempat; atau
3. mengadakan peluncuran benda ruang angkasa negara lain atau badan
nonpemerintah lainnya; atau 4.
menyediakan sarana peluncuran untuk digunakan oleh negara lain di dalam wilayah negara lain itu.
Di samping itu, manakala terdapat dua atau lebih negara yang terlibat di dalam upaya peluncuran benda-benda ruang angkasa, maka dalam hal
ini mereka akan menentukan siapa yang akan menjadi negara pendaftarnya State of Registry.
B. Hal-hal yang Dipertanggungjawabkan