1.7 Mata Pencaharian
Mata pencaharian utama masyarakat adalah bertani dengan menanam padi di musim penghujan. Baik yang mengolah tanah pertaniannya milik sendiri, atau
mengusahakan tanah milik orang lain dengan sistem bagi hasil. Setiap bulan September-Desember petani turun kesawah dan mengelola sawahnya.
Jika cukup baik dengan curah hujan cukup, maka para petani lebih mudah dalam mengelola sawahnya. Pengerjaan sawah, dari mulai mengolah tanah sampai
dengan menanam memakan waktu 2-3 bulan, sedangkan waktu untuk mendapatkan hasil panen 5-6 bulan dari waktu tanam.
Jika selesai panen disawah mereka melanjutkan pekerjaannya dengan menanam tanaman muda atau palawija, seperti cabai, kacang tanah, kacang
panjang, kacang merah, kacang kedelai, jagung, dan lain sebagainya. Masa penanaman palawija dilakukan pada awal musim kemarau, sehingga petani harus
bekerja keras mencari air guna menanam tanaman itu. Penyiraman dilakukan 2 kali, yaitu pagi dan sore. Cara penyiramannya juga sangat sederhana seperti
menggunakan alat ember dan gayung. Tanaman palawija yang mereka tanam dan telah menghasilkan, mereka kembali lagi menanam palawija yang disesuaikan
dengan tanaman padi berikutnya. Hasil yang diperoleh oleh petani sebahagian dikonsumsi sendiri dan sebahagiannya lagi dijual untuk keperluan lainnya antara
lain menyekolahkan anak-anaknya dan bersosialisasi dengan keluarga, kerabat ataupun jiran tetangga.
Selain bertani mereka juga mempunyai keahlian lain, seperti membuat kramikgrabah, kerajinan tangan dan manik-manik berupa dompet, tempat sirih,
menenun kain khas Sipirok, membuat tikar dari rotan dan pandan serta ulos.
Universitas Sumatera Utara
1.8 Budaya Masyarakat Angkola
Kebudayaan Masyarakat Angkola dalam banyak hal mempunyai persamaan dengan kebudayaan masyarakat Mandailing. Adat-istiadat kedua
masyarakat tersebut tidak banyak berbeda. Demikian juga bahasanya. Masyarakat
Angkola merupakan masyarakat agraris yang hidupnya banyak tergantung kepada pertanian, sawah dan perkebunan yang ditanami dengan karet, kopi, kulit manis,
dan lain-lain. Masyarakat Angkola pada umumnya bertempat tinggal beberapa
desa. Umumnya desa-desa tersebut terletak tidak jauh dari lahan persawahan dan
perkebunan milik penduduk. Desa tempat tinggal dinamakan huta. 1.9 Adat Masyarakat Angkola
Acara perkawinan etnis Angkola, sistem kekerabatan yang terbentuk dalam struktur Dalihan Na Tolu sangat penting kedudukannya dan berperan
dalam upacara mangupa. Ketiga unsur fungsional dari sistem sosial Dalihan Na Tolu itu masing-
masing disebut mora, kahanggi, dan anak boru. Mora merupakan anggota kerabat yang berstatus sebagai pemberi anak dara dalam perkawinan. Kahanggi adalah
anggota kerabat satu marga. Anak boru adalah anggota kerabat yang berstatus sebagai penerima anak dara dalam perkawinan. Antara para kerabat yang berstatus
sebagai mora dan berstatus sebagai anak boru terdapat hubungan perkawinan. Diantara sesama kerabat yang berstatus sebagai kahanggi terdapat hubungan
konsaguinial atau hubungan darah.
Universitas Sumatera Utara
Prinsipnya, adat yang merupakan kaidah atau norma-norma, menata dan memolakan perilaku orang-orang Angkola dalam hidup bermasyarakat.
Sistem sosial Dalihan Na Tolu yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Angkola, merupakan suatu mekanisme tradisional yang berfungsi untuk
menjalankan adat sebagai suatu kekuatan penggerak perilaku hidup bermasyarakat. Kekuatan penggerak dalam mekanisme adat yang berupa sistem
sosial Dalihan Na Tolu itu, adalah tiga komponen fungsionalnya yang terdiri dari mora, kahanggi, dan anak boru yang masing-masing anggota kerabat yang satu
sama lainnya terikat oleh hubungan perkawinan atau hubungan darah. Ketiga komponen fungsional dari sistem sosial itu, dikonsepsikan oleh masyarakat
Angkola-Hutapadang Sipirok sebagai suatu Dlihan tungku penumpu yang terdiri dari tolu tiga unsur fungsional, yakni mora, kahanggi dan anak boru.
1.10 Sistem Kekerabatan