125
Berdasarkan hal tersebut, dan berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh Terdakwa dan kuasa hukumnya khususnya para saksi dapat dilihat bahwa PT CPI telah melaksanakan program
bioremediasi. Hakim dalam pertimbangan tidak memperhatikan hal tersebut, padahal bukti-bukti yang
diajukan oleh JPU ternyata juga tidak memberatkan terdakwa.
F. Penyelesaian Kasus Berdasarkan Production Sharing Contract
Menurut Contoh Production Sharing Contract antara Pertamina dan Para Kontraktor Asing ialah memuat klausul “ Consultation and arbitration”. Konsultasi dan arbitrase inilah
kesepakatan para pihak bila terjadi perselisihan dalam kontrak. Production Sharing Contract
yang telah menjadi kesepakatan para pihak akan memakai prinsip Konsultasi dan Arbitrase dalam penyelesaiannya. Inilah yang menjadi pilihan utama.
Namun melihat kepada kasus ini, salah satu pihak yaitu pemerintah sendiri SKK Migas tidak banyak berbuat ketika pihak lain dalam kontrak tersebut yaitu kontraktornya dibawa ke Hukum
Pidana. SKK Migas yang dalam hukum pertambangan memiliki fungsi yakni mengawasai pertambangan yang dilakukan oleh kontraktor sebab pertambangan merupakan salah satu
industri besar di negara ini untuk menyumbang perekonomian negara. SKK migas sebagai pihak yang sudah memahami kontrak tersebut tidak ada salahnya
mengambil peran yang besar untuk menyelesaikan kasus ini yang dipegang oleh kejagung. Hal ini berdasarkan bahwa program bioremediasi yang telah disetujui oleh Kementerian Lingkungan
Hidup dan sudah mulai dikerjakan sejak tahun 2003 adalah persetujuan juga dari SKK Migas. Seperti dibahas pada sebelumnya bahwa Cost Recovery yang akan dibayarkan oleh SKK Migas
Universitas Sumatera Utara
126
kepada PT CPI juga memuat pembayaran atas bioremediasi. SKK Migas juga berperan untuk mengawasi bioremediasi ini sehingga dapat dimungkinkan bahwa keterangan dan bukti dari
SKK Migas dapat menjadi dasar yang cukup kuat menyanggah dakwaan kejagung. Keterangan dari SKK Migas harus dijunjung tinggi terlebih SKK Migas sebagai pihak yang berkontrak
dengan PT CPI, bukan Kejagung. Mengenai Proyek bioremediasi yang dikerjakan oleh PT Chevron dinilai benar dilakukan berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup , SKK Migas serta berbagai lembaga atau instansi bahkan masyarakat yang ada disekitarnya. Permasalahan yang
timbul dari dugaan bioremediasi fiktif dianggap sebagai tindakan yang kurang tepat dan tidak berdasarkan hukum yang berlaku, semata-mata untuk kepentingan pihak tertentu saja.
Beberapa hal yang Pemahaman yang lebih mendalam mengenai kontrak production sharing dan Cost Recovery. Hal ini untuk melihat biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh PT CPI dalam
kontrak bersama PT SJ dan PT GPI. sebab dalam kontrak production sharing telah diatur secara jelas mengenai pembagian hasil produksi minyak dan gas bumi antara Kontraktor PT CPI
dengan negara melalui SKK Migas. Cost Recovery ialah Pergantian biaya operasi mulai dari eksplorasi hingga ditemukannya minyak. Jika minyak tidak ditemukan, maka tidak ada Cost
Recovery. Ketika minyak sudah dapat maka dibagi 15 untuk Kontraktor dan 88 untuk
pemerintah. Dari hasil minyak bumi yang didapat Kontraktor, pemerintah memberikan royalti dan kontraktor membayar pajak sesuai dengan produksi minyak tersebut.
Dari kasus ini kita melihat, unsur utamanya ialah perbuatan korupsi karena menggunakan uang negara untuk kegiatan bioremediasi sekitar US6,9 juta. Unsur utama yang diperkatikan
ialah penelitian bioremediasi yag dilakukan oleh PT CPI. Penelitian ini dilakukan di daerah
Universitas Sumatera Utara
127
Minas, Siak. Penelitian ini Sebaiknya dilakukan oleh Kementrian lingkungan hidup beserta para pakar bioremediasi dari berbagai universitas. Unsur Kerugian negara dapat diteliti dari
pembuktian oleh Badan Pemeriksa Keuangan, SKK Migas, PT CPI serta PT Sumigita Jaya dan PT Green Planet Indonesia. Berdasarkan pembuktian ini maka dapat dibuktikan adanya tindak
pidana korupsi atau tidak. Penyelesaian kasus ini dapat diselesaikan dengan menjauhkan dari setiap kepentingan beberapa pihak termasuk oleh kejagung.
Langkah-langkah penyelesaian yang dapat diambil ialah dengan diskusi bersama antara pihak yang berkontrak untuk menyelesaikan kasus ini. Selanjutnya, bila salah satu pihak tidak
melakukan hasil kesepakatan maka ditempuh penyelesaian secara administratif atau teguran tertulis, kemudian secara perdata yaitu ganti rugi. Tetap mengutamakan penyelesaian secara
adminstratif dan perdata, Hukum Pidana adalah ultimatum remedium.
Universitas Sumatera Utara
128
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN