Munculnya Semangat Keterbukaan di Masyarakat
26
1972012. Mereka mendesak agar DPRD Solo menyampaikan aspirasi kepada DPR RI tentang penetapan RUU KKR.
30
Pada tanggal 20 Nopember 2012, bertempat di aula Monumens Pers Surakarta Sekretariat Bersama ’65 SekBer’65 bekerjasama dengan
Pemkot Suarakarta dan Kemenkominfo menggelar acara diskusi bersama dengan tema “Menyimak Suara di Balik Prahara” Diskusi Bersama demi
Masa Depan Bangsa yang Lebih Baik. Diskusi ini bertolak dari buku yang disusun oleh Romo Baskara T. Wardaya SJ dkk yang berjudul “Suara di
Balik Prahara: Berbagai Narasi tentang Tragedi ’65. Acara diskusi dihadiri sekitar 220 orang dari berbagai kota di Jawa Tengah terdiri dari
korban’65, tokoh masyarakat dan tokoh agama di Surakarta, budayawan, kaum muda, ormas kepemudaan dan civitas akademis, tenaga pendidik,
PKL, kelompok lintas agama serta praktisi hukum. Sedangkan narasumber yang hadir adalah Dr. Yosef Djakababa CSEASICenter for Southeast
Asian Studies-Indonesia, Jakarta, Dr. Baskara T. Wardaya SJ Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan Ashoka Siahaan Budayawan. Diskusi
yang cukup dinamis ini dipandu oleh Jlitheng Suparman Seniman Suarakarta yang juga seorang dalang wayang kampung sebelah.
Pada tanggal 13 Desember 2012 pukul 09.00-14.00 wib, bertempat di Pendopo Rumah Dinas Wakil Walikota Surakarta, acara ini dipandu oleh
Majelis Warga MW yang berjumlah 5 orang terdiri dari : M.Z. Tammaka direktur Pondok Pesantren Baitul Musthofa Mojosongo, Imam Aziz wakil
PB NU, Abdullah Faishol Dosen IAIN Surakarta, tokoh lintas agama, Vera Kartika Giantari Pengacara dan Freelancer Gender dan HAM dan
Nani Nurrachman Staf Pengajar Kepala Bagian Psikologi Sosial Fakultas Psikologi UNIKA Atmajaya Jakarta. Pada kesempatan tersebut Majelis
Warga memberi waktu 30 menit untuk setiap testifier dalam memberi kesaksiannya. Kesaksian pertama diawali oleh kesaksian Ibu Budiarti ibu
Fatah dari kasus’98 yang menyampaikan tentang penculikan dan pembunuhan Gilang, anaknya. Kesaksian kedua oleh Ibu Kastinah
korban’65 yang pernah dipenjara di beberapa tahanan di Purwokerto, Semarang, Bukit Duri dan Plantungan, total lamanya penahanan ada 14
tahun. Kesaksian ketiga adalah Bapak Sugeng Yulianto atau pak Yuli korban Talangsari yang mendapat vonis seumur hidup, namun setelah
Reformasi dibebaskan dan telah menjalani hukuman selama 10 tahun. Kesaksian keempat Bapak Djasmono korban’65 ditahan di Gresik, Surabaya
dan Pulau Buru selama 13 tahun. Kesaksian kelima adalah bapak Sanusi korban’65 ditahan di kamp. Kota dan Pulau Nusakambangan selama 8
tahun. Dan kesaksian keenam atau terakhir yaitu Bapak Sudiharjo, ditahan di kamp. Kota Solo selama 7 tahun.
31
Diskusi-diskusi yang dilakukan oleh para survivor dengan orang- orang yang peduli kepada mereka dan kemanusiaan sejarawan, akademisi,
30
http:www.solopos.com20120719korban-tragedi-1965-temui-dprd-203041 diakses tanggal 2
Juni 20123
31
idem
27
politisi dan lain-lain menunjukkan bahwa masyarakat semakin terbuka menyikapi peristiwa Tragedi kemanusian yang terjadi di sepanjang tahun
1965 sampai 1966 tersebut. Meskipun tidak jarang mendapat penolakan dari kelompok-kelompok tertentu yang menentang forum-forum dan diskusi
semacam ini, namun pada kenyataannya duskusi-diskusi tersebut berhasil digelar dan peserta diskusi mendapat persfektif lain tentang Taragedi 1965
adalah satu hal yang baik untuk pencerahan sejarah bangsa Indonesia.
b Diterbitkannya memoir para survivor
Angin reformasi memberikan kesempatan kepada para survivor untuk memberikan narasi lain mengenai Tragedi 1965. Mereka yang disalahkan, mereka
yang selama ini dibungkam kemudian mendapatkan kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang apa yang terjadi diseputar tragedi tersebut. Buku-
buku dari para survivor yang selama ini dilarang terbit, kemudian dapat kita baca sebagai pembanding narasi yang disuguhkan secara “resmi” oleh pemerintah Orde
Baru. Memoir para survivor yang dapat kita baca antara lain yang ditulis oleh Perhimpunan Purnawirawan AURI
32
yang berjudul “Menyingkap Kabut Halim 1965”, buku tulisan Kolonel Abadul Latief yang diambil dari pledoi sidangnya
yang berjudul “Pledoi Kol. A. Latief : Soeharto Terlibat G30S, serta artikel Prof Dr Arief Budianto yang berjudul “Meluruskan Sejarah Penyiksaan Pahlawan
Revolusi”,
33
kesemuanya membalikkan narasi tentang peristiwa tanggal 1 Oktober dan tragedi kemanusiaan yang mengikutinya yang dinarasikan di masa Orde Baru.
Dikutip oleh James Luhulima, dalam bukunya, para purnawirawan AURI menulis :
32
Markas AURI Angkatan Udara Republik Indonesia dituduh sebagai markas G30S lihat Luhulima James Op. Cit, hal. 33
33
Dimuat di majalah DR Nomor 07XXX3 Oktober 1998
28
Selama 33 tahun sejak peristiwa G30SPKI, opini publik yang terbentuk oleh pernyataan elit pimpinan militer dan pemerintahan Orde
Baru, telah menyudutkan AURI. Pernyataan mereka bagaikan memvonis, seakan-akan Pangkalan Angkatan Udara PAU Halim Perdanakusuma
menjadi markas pusat G30SPKI dan seolah-olah AURI terlibat.
Juga diuraikan Berdiam diri pada posisi tersudut, tanpa keberanian, itulah kondisi
AURI selama ini, seakan-akan menghadapi kabut tebal yang menutup angkasa.
34
Dalam bukunya ini, para purnawirawan AURI tidak menyangkal adanya anggota mereka yang terlibat dalam peristiwa penjemputan paksa para Jendral,
namun mereka ingin menggarisbawahi bahwa AURI secara institusi tidak terlibat. Dalam buku ini, para purnawirawan menjelaskan alasan-alasan mengapa ketua
PKI DN Aidit bisa berada di lingkungan PAU Halim Perdana Kusuma, serta indikasi-indikasi bahwa AURI secara institusi tidak terlibat. Sebab, karena
keberadaan DN Aidit di PAU Halimperdanakusuma lah AURI secara institusi di persalahkan dan PAU Halimperdanakusuma dianggap sebagai markas pusat
G30S. Menurut Pledoi Kolonel Abdul Latief, dalam bukunya mengungkapkan
kepada masyarakat luas bahwa Panglima Kostrad Mayjen Soeharto telah diberi tahu bahwa para Jendral akan dijemput paksa, beberapa jam sebelum aksi
penjemputan itu dilaksanakan.
35
Diungkapkan pula bahwa ia dua kali bertemu dengan Soeharto sebelum pelaksanaan penjemputan paksa, yang pertama terjadi
pada tanggal 28 September 1965 dirumah Mayjen Soeharto, membicarakan tentang informasi adanya Dewan Jendral yang akan mengkudeta presiden Sukarno
34
James Luhulima menulis narasi dari para purnawirawan AURI yang menolak pernyataan bahwa Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma sebagai markas PKI
35
Luhulima James, Op.cit, hal. 44
29
dan Soeharto menurut Latief sudah mendengar informasi tersebut dari anak buahnya. Pertemuan kedua di RSPAD Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, jam
22.00 WIB tanggal 30 September 1965, beberapa jam sebelum penjemputan paksa itu dilakukan. Kolonel Abdul Latief menuturkan bahwa ia memberi tahu Soeharto
yang sedang menunggu anaknya yang sedang di rumah sakit karena tersiram sop panas itu bahwa ia dan teman-temannya akan menjemput paksa para Jendral
beberapa jam lagi. Soeharto, kata Latief, tidak memberikan komentar apa-apa, ia hanya mengagangguk-angguk. Oleh Latief, hal itu diartikan sebagai sebuah
dukungan.
36
Pernyataan kolonel Abdul Latief ini memberi narasi baru terhadap peran Soeharto dalam peristiwa dinihari 1 Oktober 1965 yang menyebabkan 7 Jendral
meregang nyawa tersebut, kenyataan bahwa Soeharto tidak melakukan apa-apa padahal dia tahu bahwa akan terjadi penjemputan paksa memberikan persfektif
lain dalam melihat peristiwa dini hari tersebut. Apalagi melihat Soeharto yang tidak melaporkan kepada atasannya MenPangad Letjen Ahmad Yani yang
namanya termasuk dalam daftar jendral yang akan dijemput.
37
Tidak lama setelah Orde Baru runtuh mei 1998, di bulan Oktober 1998 Prof Dr. Arief Budianto menulis sebuah artikel yang berjudul Meluruskan Sejarah
Penyiksaan Pahlawan Revolusi. Atikel ini juga memberi persfektif lain dalam melihat narasi Tragedi kemanusiaan tahun 1965 tersebut dimasa Orde Baru tidak
lagi berkuasa. Dalam Artikelnya ini, Prof Dr Arief Budianto mengungkapkan, sempat ada kekhawatiran di antara tim dokter yang mengotopsi 7 Pahlawan
36
Ibid, hal. 48
37
Idem
30
Revolusi sewaktu akan menyelesaikan laporan visum et repertum sesuai dengan kenyataan yang ditemui, sebab diluar santer diberitakan bahwa para jendral
mengalami penyiksaan biadab. “Kami sampai waswas karena setelah selesai memeriksa, kami tidak menemukan penis yang dipotong,” selanjutnya ia
menyatakan “kami memeriksa penis-penis korban dengan teliti. Jangankan terpotong, bahkan luka iris saja tidak ada”.
38
Narasi ini penting karena kemarahan masyarakat kepada PKI dan simpatisannya tersulut karena adanya desas desus
yang menyatakan adanya penyiksaan yang luar bisa terhadap para jendral sebelum mereka dibunuh.
Dalam buku “Aku Eks Tapol” Hersri Setiawan, muncul ula narasi lain mengenai tragedi 1965, ia menceritakan kisah perjalanan hidupnya yang juga
menjadi mantan tahan politik yang mencoba hidup kembali di masyarakat yang memberinya cap “bengis” karena ke-PKI-an nya.
39
Narasi lain yang ia sampaikan adalah bagaimana seorang mantan napi politik begitu sulit diterima di masyarakat
karena sistem yang dibuat memang memangkas hak para eks tapol untuk berkarya dan bekerja. Eks tapol tidak boleh menjadi PNS hingga dicabut oleh Gus Dur, di
KTP nya diberi tanda e-t yang berarti eks tapol dan berarti “sampah masyarakat” yang harus dijauhi. Pada pasca Orde Baru inilah dimensi-dimensi yang tidak akan
terlihat pada narasi-narasi yang disampaikan oleh rezim Orde Baru.
c Diproduksinya film-film di sekitar topik Tragedi 1965
Pasca Orde baru runtuh, film-film seputaran Tragedi 1965 banyak bermunculan. Dengan semangat menggebu, modal pas-pasan, dan bantuan minim
38
Ibid, hal. 13
39
Hersri Setiawan, Aku Eks Tapol, Yogyakarta, Galangpress, 2003, hal. ix
31
dari penderma, para sineas film indie mendirikan jaringan. Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan pimpinan Putu Oka Sukanta, penyair, mantan pegiat Lekra, dan
korban politik 1965, menjadi salah satu produser paling rajin. Film mereka antara lain berjudul Menyemai Terang dalam Kelam 2006, Perempuan yang Tertuduh
2007, Tumbuh dalam Badai 2007, Seni Ditating Jaman 2008, Tjidurian 19 2009, dan Plantungan: Potret Derita dan Kekuatan Perempuan 2011.
40
Film bertema 1965 juga diproduksi organisasi non-pemerintah dalam bidang hak asasi manusia: Bunga-tembok 2003, Kawan Tiba Senja: Bali seputar
1965 2004, Kado untuk Ibu 2004, Putih Abu-abu: Masa lalu Perempuan 2006, dan Sinengker: Sesuatu yang Dirahasiakan 2007. Karya-karya di atas
menekankan advokasi gugatan keadilan.
41
Semua karya itu menarasikan Tragedi 1965 dan memberikan suara serta simpati bagi para korban yang selama ini
dibungkam. Film dokumenter karya sineas asing dengan tema serupa: The Shadow Play
2001, Terlena: Breaking of a Nation 2004, 40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy 2009, dan The Act of Killing Jagal 2012.
42
Kesemua film ini pun menarasikan Tragedi 1965 dengan sudut pandang yang berbeda dengan yang
disuguhkan pada saat Orde Baru sedang berkuasa. Sebagai contoh, jika kita metonton film 40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy
43
kita akan diperlihatkan pola pembantaian massal yang bermula dari ujung barat pulau jawa
semakin ke timur sampai akhirnya di Bali yang kesemuanya memiliki pola yang
40
Baca Majalah Tempo Edisi 1-7 Oktober 2012, hal. 121
41
Idem
42
Idem
43
Sebuah film dokumenter bertema Tragedi 1965 yang diproduseri oleh Robert Lemelson, baca wikipedia,
http:en.wikipedia.orgwiki40_Years_of_Silence:_An_Indonesian_Tragedy
32
sama, yakni didahului oleh kedatangan pasukan angkatan darat. Hal-hal semacam inilah yang tidak diperlihatkan kepada kita pada narasi yang disampaikan oleh
penguasa Orde Baru dimasa lalu.
d Permintaan maaf Gus Dur
Sewaktu menjabat sebagai presiden RI, Ketua Umum PBNU KH Abdurahman Wahid Gus Dur, dalam sebuah dialog interaktif Secangkir kopi
yang disiarkan TVRI tanggal 14 Maret 2000, menyatakan permintaan maafnya kepada mereka yang menjadi korban mengingat banyak di antaranya yang tidak
bersalah dalam Tragedi 1965. Gus Dur mengakui, banyak warga NU terlibat dalam pembantaian terhadap mereka yang dituduh terlibat PKI itu.
44
Dalam pernyataan Gus Dur itu menurut Kompas 153-2000 disebutkannya bahwa sejak dulu, ketika masih menjadi Ketua Umum Pengurus
Besar Nahdatul Ulama NU, dirinya sudah meminta maaf terhadap para korban G30S. Pemerintah menyambut baik jika masyarakat ingin membuka kembali
kasus G30S dan kasus pelanggaran hak asasi manusia HAM lainnya. Dari dulu pun, saya sudah minta maaf. Bukan sekarang saja, tanyakan pada teman-teman di
lembaga swadaya masyarakat LSM. Saya sudah meminta maaf atas segala pembunuhan yang terjadi terhadap orang-orang yang dikatakan sebagai komunis.
Menurut Gus Dur, belum tentu orang-orang yang dituduh komunis semuanya bersalah sehingga akhirnya dihukum mati. Buktikan dong secara
pengadilan, nggak begitu saja terjadi. Dan, maaf ya, hal semacam itu terjadi,
44
http:www.republika.co.idberitaeventjalan-bareng-abah-alwi121001mb7j2z-kenangan- peristiwa-g30s-di-mata-abah-alwidiakses tanggal 31 Mei 2013
33
justru banyak pembunuhan dilakukan oleh anggota NU.” Gus Dur mengatakan, kalau masalah G30SPKI dibuka kembali, akan baik sekali bagi perdebatan
bangsa Indonesia. “Karena banyak orang menganggap orang PKI bersalah. Ada juga yang menganggap tidak bersalah. Nah, karena itu kita tentukan saja nanti
melalui pengadilan yang mana yang benar”, paparnya.
45
Pernyataan Gus Dur ini memberikan pemahaman lain mengenai Tragedi 1965, bahwa peristiwa tersebut tidak hanya tentang siapa yang benar dan siapa
yang salah, namun lebih luas lagi melihat sisi di mana ada kelompok yang dipersalahkan, dalam hal ini PKI, di lain pihak, ada juga kelompok yang merasa
benar dan melakukan “pembasmian” terhadap anggota PKI dan simpatisannya, meskipun banyak di antara mereka yang tidak bersalah, bahkan tidak tahu-
menahu tentang Gerakan September 30. Saat menjabat Presiden, Gus Dur melontarkan gagasan pencabutan
Ketetapan MPRS No XXV1966. Pencabutan Ketetapan MPRS No XXV1966 menyangkut tiga hal, yaitu 1 mengakhiri diskriminasi terhadap keluarga korban
yang diduga sebagai anggota atau terkait PKI dan organisasi onderbouw, 2 pelarangan ajaran komunis, dan 3 pelarangan terhadap PKI.
46
e Laporan dan Rekomendasi Komnas HAM tahun 2012
Komnas HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada tahun 2012 mengeluarkan rekomendasi menyangkut Tragedi 1965. Laporan hasil
Penyelidikan pro justisia oleh Komnas HAM atas rangkaian massal kekerasan
45
http:sastra-pembebasan.10929.n7.nabble.comsastra-pembebasan-Fw-GELORA45-ISNU- Sejarah-G30S-PKI-Dijungkirbalikkan-td55666.htmldiakses tanggal 31 Mei 2013
46
http:regional.kompas.comread2012092503504362Seribu.Hari.Gus.Durdiakses tanggal 31 Mei 2013
34
pada masa awal berkuasanya pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto, 1965- 1967 hingga tahun 1970an. Dalam laporannya, Komnas HAM menyatakan telah
ditemukan adanya indikasi atas dugaan pelanggaran HAM yang berat, berupa pembunuhan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, kerja paksa,
pemerkosaan, pemenjaraan tanpa proses hukum dan berbagai tindakan lainnya.
47
Laporan penyelidikan KOMNAS HAM ini telah membukakan pintu bagi berbagai tindakan Negara untuk melakukan pengungkapan kebenaran,
memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi korban serta membawa perubahan dalam pelurusan sejarah melalui pengakuan atas berbagai praktek
kekerasan dimasa lalu, terutama dimasa rezim politik Orde Baru.Sampai saat ini, korban dari berbagai peristiwa yang berbeda secara umum masih terus mengalami
diskriminasi hukum maupun stigma sosial. Hal ini menunjukan bahwa sampai detik-detik akhir dikeluarkannya laporan ini, para korban masih terus mengalami
dampak yang berlanjut akibat peristiwa yang terjadi di masa lalu tersebut. Adapun isi dari rekomendasi komnas HAM antara lain:
1. Presiden bersama DPR segera mengeluarkan Keppres pembentukan Pengadilan Adhoc sehingga Kejaksaan Agung tanpa penundaan dapat
melakukan penyidikan atas laporan penyelidikan awal KOMNAS HAM 2. Jaksa Agung harus segera menindaklanjuti hasil penyelidikan dengan
langkah-langkah penyidikan yang patut, baik memanggil para saksi, maupun tersangka yang masih hidup
3. DPR melakukan pengawasan yang efektif kepada Jaksa Agung dan Pemerintah untuk memastikan dijalankannya rekomendasi dari laporan
Komnas HAM 4. Presiden, berdasarkan temuan dalam laporan ini, segera mengambil
langkah-langkah yang perlu untuk menyusun kebijakan pemulihan bagi korban yang bersifat segera, baik terkait dengan reparasi, rehabilitasi
dan penghentian diskriminasi terhadap korban
47
http:www.kontras.orgindex.php?hal=siaran_persid=1556 diakses tanggal 31 Mei 2013
35
5. Komnas HAM untuk menyerahkan juga laporan tersebut secara langsung kepada Presiden dan DPR, mengingat sifat dan karakter
khusus dari perisitiwa yang dicakup dalam penyelidikan 1965-1967. 6. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK memaksimalkan
dukungan pemulihan korban dengan mengacu pada Laporan hasil penyelidikan Komnas HAM.
48
Dengan kata lain, Komnas HAM dan juga yang lainya penulis, sejarawan, dan juga saksi “pelaku” melihat adanyapembohongan publik yang luar biasa
tentang tragedi 1965 oleh rezim Orde Baru.Pembohongan dilakukan diantaranya melalui ruang pendidikan untuk anak-anak, dan kepada masyarakat Indonesia
secara umum Tragedi 1965 “karangan” Orde Baru disampaikan lewat P4, film dan lain-lain.sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM, harus ditindak lanjuti oleh Kejaksaan Agung ke tingkat Penyidikan. Rekomendasi lainnya yang dibuat oleh Komnas HAM adalah
mekanisme non yudisial seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Hal ini selaras dengan putusan MK atas pengujian UU KKR, di mana MK memandatkan
pemerintah untuk mengambil kebijakan dalam penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu.