Munculnya Semangat Keterbukaan di Masyarakat

26 1972012. Mereka mendesak agar DPRD Solo menyampaikan aspirasi kepada DPR RI tentang penetapan RUU KKR. 30 Pada tanggal 20 Nopember 2012, bertempat di aula Monumens Pers Surakarta Sekretariat Bersama ’65 SekBer’65 bekerjasama dengan Pemkot Suarakarta dan Kemenkominfo menggelar acara diskusi bersama dengan tema “Menyimak Suara di Balik Prahara” Diskusi Bersama demi Masa Depan Bangsa yang Lebih Baik. Diskusi ini bertolak dari buku yang disusun oleh Romo Baskara T. Wardaya SJ dkk yang berjudul “Suara di Balik Prahara: Berbagai Narasi tentang Tragedi ’65. Acara diskusi dihadiri sekitar 220 orang dari berbagai kota di Jawa Tengah terdiri dari korban’65, tokoh masyarakat dan tokoh agama di Surakarta, budayawan, kaum muda, ormas kepemudaan dan civitas akademis, tenaga pendidik, PKL, kelompok lintas agama serta praktisi hukum. Sedangkan narasumber yang hadir adalah Dr. Yosef Djakababa CSEASICenter for Southeast Asian Studies-Indonesia, Jakarta, Dr. Baskara T. Wardaya SJ Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta dan Ashoka Siahaan Budayawan. Diskusi yang cukup dinamis ini dipandu oleh Jlitheng Suparman Seniman Suarakarta yang juga seorang dalang wayang kampung sebelah. Pada tanggal 13 Desember 2012 pukul 09.00-14.00 wib, bertempat di Pendopo Rumah Dinas Wakil Walikota Surakarta, acara ini dipandu oleh Majelis Warga MW yang berjumlah 5 orang terdiri dari : M.Z. Tammaka direktur Pondok Pesantren Baitul Musthofa Mojosongo, Imam Aziz wakil PB NU, Abdullah Faishol Dosen IAIN Surakarta, tokoh lintas agama, Vera Kartika Giantari Pengacara dan Freelancer Gender dan HAM dan Nani Nurrachman Staf Pengajar Kepala Bagian Psikologi Sosial Fakultas Psikologi UNIKA Atmajaya Jakarta. Pada kesempatan tersebut Majelis Warga memberi waktu 30 menit untuk setiap testifier dalam memberi kesaksiannya. Kesaksian pertama diawali oleh kesaksian Ibu Budiarti ibu Fatah dari kasus’98 yang menyampaikan tentang penculikan dan pembunuhan Gilang, anaknya. Kesaksian kedua oleh Ibu Kastinah korban’65 yang pernah dipenjara di beberapa tahanan di Purwokerto, Semarang, Bukit Duri dan Plantungan, total lamanya penahanan ada 14 tahun. Kesaksian ketiga adalah Bapak Sugeng Yulianto atau pak Yuli korban Talangsari yang mendapat vonis seumur hidup, namun setelah Reformasi dibebaskan dan telah menjalani hukuman selama 10 tahun. Kesaksian keempat Bapak Djasmono korban’65 ditahan di Gresik, Surabaya dan Pulau Buru selama 13 tahun. Kesaksian kelima adalah bapak Sanusi korban’65 ditahan di kamp. Kota dan Pulau Nusakambangan selama 8 tahun. Dan kesaksian keenam atau terakhir yaitu Bapak Sudiharjo, ditahan di kamp. Kota Solo selama 7 tahun. 31 Diskusi-diskusi yang dilakukan oleh para survivor dengan orang- orang yang peduli kepada mereka dan kemanusiaan sejarawan, akademisi, 30 http:www.solopos.com20120719korban-tragedi-1965-temui-dprd-203041 diakses tanggal 2 Juni 20123 31 idem 27 politisi dan lain-lain menunjukkan bahwa masyarakat semakin terbuka menyikapi peristiwa Tragedi kemanusian yang terjadi di sepanjang tahun 1965 sampai 1966 tersebut. Meskipun tidak jarang mendapat penolakan dari kelompok-kelompok tertentu yang menentang forum-forum dan diskusi semacam ini, namun pada kenyataannya duskusi-diskusi tersebut berhasil digelar dan peserta diskusi mendapat persfektif lain tentang Taragedi 1965 adalah satu hal yang baik untuk pencerahan sejarah bangsa Indonesia. b Diterbitkannya memoir para survivor Angin reformasi memberikan kesempatan kepada para survivor untuk memberikan narasi lain mengenai Tragedi 1965. Mereka yang disalahkan, mereka yang selama ini dibungkam kemudian mendapatkan kesempatan untuk memberikan penjelasan tentang apa yang terjadi diseputar tragedi tersebut. Buku- buku dari para survivor yang selama ini dilarang terbit, kemudian dapat kita baca sebagai pembanding narasi yang disuguhkan secara “resmi” oleh pemerintah Orde Baru. Memoir para survivor yang dapat kita baca antara lain yang ditulis oleh Perhimpunan Purnawirawan AURI 32 yang berjudul “Menyingkap Kabut Halim 1965”, buku tulisan Kolonel Abadul Latief yang diambil dari pledoi sidangnya yang berjudul “Pledoi Kol. A. Latief : Soeharto Terlibat G30S, serta artikel Prof Dr Arief Budianto yang berjudul “Meluruskan Sejarah Penyiksaan Pahlawan Revolusi”, 33 kesemuanya membalikkan narasi tentang peristiwa tanggal 1 Oktober dan tragedi kemanusiaan yang mengikutinya yang dinarasikan di masa Orde Baru. Dikutip oleh James Luhulima, dalam bukunya, para purnawirawan AURI menulis : 32 Markas AURI Angkatan Udara Republik Indonesia dituduh sebagai markas G30S lihat Luhulima James Op. Cit, hal. 33 33 Dimuat di majalah DR Nomor 07XXX3 Oktober 1998 28 Selama 33 tahun sejak peristiwa G30SPKI, opini publik yang terbentuk oleh pernyataan elit pimpinan militer dan pemerintahan Orde Baru, telah menyudutkan AURI. Pernyataan mereka bagaikan memvonis, seakan-akan Pangkalan Angkatan Udara PAU Halim Perdanakusuma menjadi markas pusat G30SPKI dan seolah-olah AURI terlibat. Juga diuraikan Berdiam diri pada posisi tersudut, tanpa keberanian, itulah kondisi AURI selama ini, seakan-akan menghadapi kabut tebal yang menutup angkasa. 34 Dalam bukunya ini, para purnawirawan AURI tidak menyangkal adanya anggota mereka yang terlibat dalam peristiwa penjemputan paksa para Jendral, namun mereka ingin menggarisbawahi bahwa AURI secara institusi tidak terlibat. Dalam buku ini, para purnawirawan menjelaskan alasan-alasan mengapa ketua PKI DN Aidit bisa berada di lingkungan PAU Halim Perdana Kusuma, serta indikasi-indikasi bahwa AURI secara institusi tidak terlibat. Sebab, karena keberadaan DN Aidit di PAU Halimperdanakusuma lah AURI secara institusi di persalahkan dan PAU Halimperdanakusuma dianggap sebagai markas pusat G30S. Menurut Pledoi Kolonel Abdul Latief, dalam bukunya mengungkapkan kepada masyarakat luas bahwa Panglima Kostrad Mayjen Soeharto telah diberi tahu bahwa para Jendral akan dijemput paksa, beberapa jam sebelum aksi penjemputan itu dilaksanakan. 35 Diungkapkan pula bahwa ia dua kali bertemu dengan Soeharto sebelum pelaksanaan penjemputan paksa, yang pertama terjadi pada tanggal 28 September 1965 dirumah Mayjen Soeharto, membicarakan tentang informasi adanya Dewan Jendral yang akan mengkudeta presiden Sukarno 34 James Luhulima menulis narasi dari para purnawirawan AURI yang menolak pernyataan bahwa Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma sebagai markas PKI 35 Luhulima James, Op.cit, hal. 44 29 dan Soeharto menurut Latief sudah mendengar informasi tersebut dari anak buahnya. Pertemuan kedua di RSPAD Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat, jam 22.00 WIB tanggal 30 September 1965, beberapa jam sebelum penjemputan paksa itu dilakukan. Kolonel Abdul Latief menuturkan bahwa ia memberi tahu Soeharto yang sedang menunggu anaknya yang sedang di rumah sakit karena tersiram sop panas itu bahwa ia dan teman-temannya akan menjemput paksa para Jendral beberapa jam lagi. Soeharto, kata Latief, tidak memberikan komentar apa-apa, ia hanya mengagangguk-angguk. Oleh Latief, hal itu diartikan sebagai sebuah dukungan. 36 Pernyataan kolonel Abdul Latief ini memberi narasi baru terhadap peran Soeharto dalam peristiwa dinihari 1 Oktober 1965 yang menyebabkan 7 Jendral meregang nyawa tersebut, kenyataan bahwa Soeharto tidak melakukan apa-apa padahal dia tahu bahwa akan terjadi penjemputan paksa memberikan persfektif lain dalam melihat peristiwa dini hari tersebut. Apalagi melihat Soeharto yang tidak melaporkan kepada atasannya MenPangad Letjen Ahmad Yani yang namanya termasuk dalam daftar jendral yang akan dijemput. 37 Tidak lama setelah Orde Baru runtuh mei 1998, di bulan Oktober 1998 Prof Dr. Arief Budianto menulis sebuah artikel yang berjudul Meluruskan Sejarah Penyiksaan Pahlawan Revolusi. Atikel ini juga memberi persfektif lain dalam melihat narasi Tragedi kemanusiaan tahun 1965 tersebut dimasa Orde Baru tidak lagi berkuasa. Dalam Artikelnya ini, Prof Dr Arief Budianto mengungkapkan, sempat ada kekhawatiran di antara tim dokter yang mengotopsi 7 Pahlawan 36 Ibid, hal. 48 37 Idem 30 Revolusi sewaktu akan menyelesaikan laporan visum et repertum sesuai dengan kenyataan yang ditemui, sebab diluar santer diberitakan bahwa para jendral mengalami penyiksaan biadab. “Kami sampai waswas karena setelah selesai memeriksa, kami tidak menemukan penis yang dipotong,” selanjutnya ia menyatakan “kami memeriksa penis-penis korban dengan teliti. Jangankan terpotong, bahkan luka iris saja tidak ada”. 38 Narasi ini penting karena kemarahan masyarakat kepada PKI dan simpatisannya tersulut karena adanya desas desus yang menyatakan adanya penyiksaan yang luar bisa terhadap para jendral sebelum mereka dibunuh. Dalam buku “Aku Eks Tapol” Hersri Setiawan, muncul ula narasi lain mengenai tragedi 1965, ia menceritakan kisah perjalanan hidupnya yang juga menjadi mantan tahan politik yang mencoba hidup kembali di masyarakat yang memberinya cap “bengis” karena ke-PKI-an nya. 39 Narasi lain yang ia sampaikan adalah bagaimana seorang mantan napi politik begitu sulit diterima di masyarakat karena sistem yang dibuat memang memangkas hak para eks tapol untuk berkarya dan bekerja. Eks tapol tidak boleh menjadi PNS hingga dicabut oleh Gus Dur, di KTP nya diberi tanda e-t yang berarti eks tapol dan berarti “sampah masyarakat” yang harus dijauhi. Pada pasca Orde Baru inilah dimensi-dimensi yang tidak akan terlihat pada narasi-narasi yang disampaikan oleh rezim Orde Baru. c Diproduksinya film-film di sekitar topik Tragedi 1965 Pasca Orde baru runtuh, film-film seputaran Tragedi 1965 banyak bermunculan. Dengan semangat menggebu, modal pas-pasan, dan bantuan minim 38 Ibid, hal. 13 39 Hersri Setiawan, Aku Eks Tapol, Yogyakarta, Galangpress, 2003, hal. ix 31 dari penderma, para sineas film indie mendirikan jaringan. Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan pimpinan Putu Oka Sukanta, penyair, mantan pegiat Lekra, dan korban politik 1965, menjadi salah satu produser paling rajin. Film mereka antara lain berjudul Menyemai Terang dalam Kelam 2006, Perempuan yang Tertuduh 2007, Tumbuh dalam Badai 2007, Seni Ditating Jaman 2008, Tjidurian 19 2009, dan Plantungan: Potret Derita dan Kekuatan Perempuan 2011. 40 Film bertema 1965 juga diproduksi organisasi non-pemerintah dalam bidang hak asasi manusia: Bunga-tembok 2003, Kawan Tiba Senja: Bali seputar 1965 2004, Kado untuk Ibu 2004, Putih Abu-abu: Masa lalu Perempuan 2006, dan Sinengker: Sesuatu yang Dirahasiakan 2007. Karya-karya di atas menekankan advokasi gugatan keadilan. 41 Semua karya itu menarasikan Tragedi 1965 dan memberikan suara serta simpati bagi para korban yang selama ini dibungkam. Film dokumenter karya sineas asing dengan tema serupa: The Shadow Play 2001, Terlena: Breaking of a Nation 2004, 40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy 2009, dan The Act of Killing Jagal 2012. 42 Kesemua film ini pun menarasikan Tragedi 1965 dengan sudut pandang yang berbeda dengan yang disuguhkan pada saat Orde Baru sedang berkuasa. Sebagai contoh, jika kita metonton film 40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy 43 kita akan diperlihatkan pola pembantaian massal yang bermula dari ujung barat pulau jawa semakin ke timur sampai akhirnya di Bali yang kesemuanya memiliki pola yang 40 Baca Majalah Tempo Edisi 1-7 Oktober 2012, hal. 121 41 Idem 42 Idem 43 Sebuah film dokumenter bertema Tragedi 1965 yang diproduseri oleh Robert Lemelson, baca wikipedia, http:en.wikipedia.orgwiki40_Years_of_Silence:_An_Indonesian_Tragedy 32 sama, yakni didahului oleh kedatangan pasukan angkatan darat. Hal-hal semacam inilah yang tidak diperlihatkan kepada kita pada narasi yang disampaikan oleh penguasa Orde Baru dimasa lalu. d Permintaan maaf Gus Dur Sewaktu menjabat sebagai presiden RI, Ketua Umum PBNU KH Abdurahman Wahid Gus Dur, dalam sebuah dialog interaktif Secangkir kopi yang disiarkan TVRI tanggal 14 Maret 2000, menyatakan permintaan maafnya kepada mereka yang menjadi korban mengingat banyak di antaranya yang tidak bersalah dalam Tragedi 1965. Gus Dur mengakui, banyak warga NU terlibat dalam pembantaian terhadap mereka yang dituduh terlibat PKI itu. 44 Dalam pernyataan Gus Dur itu menurut Kompas 153-2000 disebutkannya bahwa sejak dulu, ketika masih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdatul Ulama NU, dirinya sudah meminta maaf terhadap para korban G30S. Pemerintah menyambut baik jika masyarakat ingin membuka kembali kasus G30S dan kasus pelanggaran hak asasi manusia HAM lainnya. Dari dulu pun, saya sudah minta maaf. Bukan sekarang saja, tanyakan pada teman-teman di lembaga swadaya masyarakat LSM. Saya sudah meminta maaf atas segala pembunuhan yang terjadi terhadap orang-orang yang dikatakan sebagai komunis. Menurut Gus Dur, belum tentu orang-orang yang dituduh komunis semuanya bersalah sehingga akhirnya dihukum mati. Buktikan dong secara pengadilan, nggak begitu saja terjadi. Dan, maaf ya, hal semacam itu terjadi, 44 http:www.republika.co.idberitaeventjalan-bareng-abah-alwi121001mb7j2z-kenangan- peristiwa-g30s-di-mata-abah-alwidiakses tanggal 31 Mei 2013 33 justru banyak pembunuhan dilakukan oleh anggota NU.” Gus Dur mengatakan, kalau masalah G30SPKI dibuka kembali, akan baik sekali bagi perdebatan bangsa Indonesia. “Karena banyak orang menganggap orang PKI bersalah. Ada juga yang menganggap tidak bersalah. Nah, karena itu kita tentukan saja nanti melalui pengadilan yang mana yang benar”, paparnya. 45 Pernyataan Gus Dur ini memberikan pemahaman lain mengenai Tragedi 1965, bahwa peristiwa tersebut tidak hanya tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, namun lebih luas lagi melihat sisi di mana ada kelompok yang dipersalahkan, dalam hal ini PKI, di lain pihak, ada juga kelompok yang merasa benar dan melakukan “pembasmian” terhadap anggota PKI dan simpatisannya, meskipun banyak di antara mereka yang tidak bersalah, bahkan tidak tahu- menahu tentang Gerakan September 30. Saat menjabat Presiden, Gus Dur melontarkan gagasan pencabutan Ketetapan MPRS No XXV1966. Pencabutan Ketetapan MPRS No XXV1966 menyangkut tiga hal, yaitu 1 mengakhiri diskriminasi terhadap keluarga korban yang diduga sebagai anggota atau terkait PKI dan organisasi onderbouw, 2 pelarangan ajaran komunis, dan 3 pelarangan terhadap PKI. 46 e Laporan dan Rekomendasi Komnas HAM tahun 2012 Komnas HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada tahun 2012 mengeluarkan rekomendasi menyangkut Tragedi 1965. Laporan hasil Penyelidikan pro justisia oleh Komnas HAM atas rangkaian massal kekerasan 45 http:sastra-pembebasan.10929.n7.nabble.comsastra-pembebasan-Fw-GELORA45-ISNU- Sejarah-G30S-PKI-Dijungkirbalikkan-td55666.htmldiakses tanggal 31 Mei 2013 46 http:regional.kompas.comread2012092503504362Seribu.Hari.Gus.Durdiakses tanggal 31 Mei 2013 34 pada masa awal berkuasanya pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto, 1965- 1967 hingga tahun 1970an. Dalam laporannya, Komnas HAM menyatakan telah ditemukan adanya indikasi atas dugaan pelanggaran HAM yang berat, berupa pembunuhan, penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, kerja paksa, pemerkosaan, pemenjaraan tanpa proses hukum dan berbagai tindakan lainnya. 47 Laporan penyelidikan KOMNAS HAM ini telah membukakan pintu bagi berbagai tindakan Negara untuk melakukan pengungkapan kebenaran, memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi korban serta membawa perubahan dalam pelurusan sejarah melalui pengakuan atas berbagai praktek kekerasan dimasa lalu, terutama dimasa rezim politik Orde Baru.Sampai saat ini, korban dari berbagai peristiwa yang berbeda secara umum masih terus mengalami diskriminasi hukum maupun stigma sosial. Hal ini menunjukan bahwa sampai detik-detik akhir dikeluarkannya laporan ini, para korban masih terus mengalami dampak yang berlanjut akibat peristiwa yang terjadi di masa lalu tersebut. Adapun isi dari rekomendasi komnas HAM antara lain: 1. Presiden bersama DPR segera mengeluarkan Keppres pembentukan Pengadilan Adhoc sehingga Kejaksaan Agung tanpa penundaan dapat melakukan penyidikan atas laporan penyelidikan awal KOMNAS HAM 2. Jaksa Agung harus segera menindaklanjuti hasil penyelidikan dengan langkah-langkah penyidikan yang patut, baik memanggil para saksi, maupun tersangka yang masih hidup 3. DPR melakukan pengawasan yang efektif kepada Jaksa Agung dan Pemerintah untuk memastikan dijalankannya rekomendasi dari laporan Komnas HAM 4. Presiden, berdasarkan temuan dalam laporan ini, segera mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menyusun kebijakan pemulihan bagi korban yang bersifat segera, baik terkait dengan reparasi, rehabilitasi dan penghentian diskriminasi terhadap korban 47 http:www.kontras.orgindex.php?hal=siaran_persid=1556 diakses tanggal 31 Mei 2013 35 5. Komnas HAM untuk menyerahkan juga laporan tersebut secara langsung kepada Presiden dan DPR, mengingat sifat dan karakter khusus dari perisitiwa yang dicakup dalam penyelidikan 1965-1967. 6. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK memaksimalkan dukungan pemulihan korban dengan mengacu pada Laporan hasil penyelidikan Komnas HAM. 48 Dengan kata lain, Komnas HAM dan juga yang lainya penulis, sejarawan, dan juga saksi “pelaku” melihat adanyapembohongan publik yang luar biasa tentang tragedi 1965 oleh rezim Orde Baru.Pembohongan dilakukan diantaranya melalui ruang pendidikan untuk anak-anak, dan kepada masyarakat Indonesia secara umum Tragedi 1965 “karangan” Orde Baru disampaikan lewat P4, film dan lain-lain.sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, harus ditindak lanjuti oleh Kejaksaan Agung ke tingkat Penyidikan. Rekomendasi lainnya yang dibuat oleh Komnas HAM adalah mekanisme non yudisial seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Hal ini selaras dengan putusan MK atas pengujian UU KKR, di mana MK memandatkan pemerintah untuk mengambil kebijakan dalam penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu.

B. Munculnya Kembali Semangat Orde Baru

Orde Baru sudah runtuh di Mei 1998, namun sisa-sisa semangatnya seolah masih tetap ada hingga sekarang. Dimasa reformasi seperti ini seharusnya arus informasi dibuka selebar-lebarnya, dalam konteks ini adalah informasi tentang Tragedi 1965. Reformasi belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh dunia “sejarah”, masih banyak pihak-pihak tertentu yang berusaha menutup-nutupi apa 48 Idem 36 yang sesungguhnya terjadi diseputaran Tragedi 1965, mulai dari apa yang terjadi pra-penjemputan paksa para jendral, hingga pembantaian massal anggota dan simpatisan PKI. Sesungguhnya, para survivor tidak menuntut banyak kepada negara atas apa yang terjadi kepada mereka, seperti yang dikatakan oleh beberapa survivor ketika penulis berbincang dengan para survivor dikala mereka melakukan pertemuan dan sharing pengalaman. Permintaan mereka hanya untuk membersihkan nama baik mereka dan negara diminta untuk meminta maaf atas kesalahan yang negara lakukan di masa lalu. Sekaligus menulis ulang sejarah bangsa yang menurut mereka banyak dibelokkan. Penulisan tentang narasi-narasi seputar tragedi 1965 masih harus terus kita dorong untuk memperkaya wawasan kita dan memperkaya perspektif kita. “...Sebagai sebuah peristiwa masa lalu, Tragedi 1965 boleh saja sudah selesai, tetapi dampak dan pola-polanya tetap berpengaruh pada kita hingga hari ini, baik pada tataran sosial maupun pada tataran individual...” 49 Narasi tentang Tragedi 1965 yang disuguhkan Orde Baru yang semula “meredup” perlahan muncul kembali. Kurikulum 2004 yang semula dipakai untuk mengganti kurikulum 1994 dibatalkan. Peredaran buku sejarah yang tidak lagi mencantumkan PKI pada G30S dinilai tidak jujur pada pengungkapan sejarah. Berdasarkan peraturan menteri pendidikan nasional republik indonesia nomor 7 tahun 2005 tentang penghentian ujicoba ”kurikulum 2004” untuk mata pelajaran sejarah dan larangan penggunaan buku teks mata pelajaran sejarah yang disusun 49 Baskara T. Wardaya, Op.Cit. hal. 370-371 37 berdasarkan standar kompetensi ”kurikulum 2004”. Peraturan pemerintah itu berbunyi : a. bahwa dalam rangka kejujuran pengungkapan fakta sejarah, kurikulum dan penulisan buku teks pelajaran sejarah perlu diselaraskan sesuai dengan fakta sejarah; b. bahwa forum rapat Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat tanggal 23 Juni 2005 telah memutuskan agar Pemerintah melarang penggunaan standar kompetensi dan buku teks mata pelajaran sejarah yang mengacu pada ”Kurikulum 2004” yang kurang selaras dengan fakta sejarah; c. bahwa sehubungan dengan pertimbangan huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional tentang Penghentian Ujicoba ”Kurikulum 2004” untuk Mata Pelajaran Sejarah dan Larangan Penggunaan Buku Teks Mata Pelajaran Sejarah yang Disusun Berdasarkan Standar Kompetensi ”Kurikulum 2004”. 50 Berdasarkan peraturan menteri ini maka, penarikan buku-buku sejarah yang mengikuti kurikulum 2004 ditarik dari peredaran. Tanggal 21 Mei 2007 Tempo menulis: Kejaksaan Agung menyatakan, penarikan buku sejarah kurikulum 2004 yang tidak mencantumkan kata PKI akan selesai tahun ini 51 , antara news.com menulis : Pihak Kejaksaan Negeri Banda Aceh terus melakukan operasi ke sejumlah toko dan sekolah untuk menarik kembali sejumlah judul buku tekspelajaran sejarah yang dinilai menyimpang dari kebenaran peristiwa sejarah di Indonesia. Setiap rezim otoritertotaliter senantiasa memandang memori sebagai ancaman serius. Sebab, memori yang diartikulasikan secara publik bisa embuat segala bentuk mkekerasan politik yang dilakukan rezim itu menjadi tampak telanjang. Itulah sebabnya rezim yang demikian senantiasa berusaha membungkam atau memutar balikkan memori tentang kejahatan atas 50 Peraturan Menteri Pendidikan ditetapkan tanggal 1 Juli 2005 51 http:www.tempo.coreadnews20070521055100323Penarikan-Buku-Sejarah-Kurikulum- 2004-Selesai-Tahun-Ini. diakses tanggal 2 Juni 2013 38 kemanusiaan. Dengan teknik pengendalian ingatan semacam ini, penguasa melakukan normalisasi kebohongan, yang dilakukan sedemikian rupa sehingga kebohongan itu diterima sebagai “kebenaran”. 52 52 Budiawan, Sejarah dan Emansipasi Politik, Jakarta, Kompas, 2004 via I Ngurah Suryawan, Jiwa Yang Patah, Manokwari, Pusbadaya Universitas Negeri Papua, 2012, hal. 52 39

BAB IV PENUTUP

KESIMPULAN Dalam penelitian mengenai “Narasi Tragedi Kemanusiaan 1965 Pada Masa Orde Baru dan Pasca Orde Baru” dibahas dua permasalahan, yaitu; 1 Bagaimana tragedi kemanusiaan 1965 dinarasikan pada masa Orde Baru, dan 2 Bagaimana tragedi kemanusiaan 1965 dinarasikan pasca Orde Baru. Dari uraian BAB II dan BAB III, maka dibuat kesimpulan sebagai berikut. Narasi-narasi tentang tragedi 1965 yang berkembang pada masa pemerintahan Orde Baru adalah, PKI dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas terjadinya tragedy kemanusiaan di tahun 1965 hingga 1966. Narasi tentang tragedi tersebut ada yang bersifat umum dan berkembang di masyarakat, yang penyebarannya dari mulut ke mulut, ada juga yang dinarasikan melalui buku-buku pelajaran di sekolah-sekolah. Selain kedua cara tersebut, narasi lain tentang tragedi 1965 disampaikan melalui film “Pengkhianatan G30SPKI” yang isinya menunjukkan betapa mengerikannya peristiwa penjemputan paksa para jendral sampai penyiksaan yang dilakukan oleh PKI. Hal lain yang dilakukan pemerintah dalam penyampaian narasi tentang tragedi 1965 adalah lewat indoktrinasi penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P4. Narasi yang beredar umum di masyarakat tidak dapat kita pisahkan dengan informasi yang beredar lewat surat kabar koran dan radio pada saat itu. Berdasarkan informasi yang diterima lewat media massa tersebut, maka