5
Selain penting, studi mengenai  tragedi  kemanusiaan di tahun 1965 ini  juga menarik,  karena  terdapat  perbedaan-perbedaan  narasi  mengenai  beberapa
peristiwa  yang  terjadi  di  dalamnya.  Ambillah  contoh  narasi  tentang  penyiksaan para jendral yang dilakukan oleh PKI. Menurut versi resmi, namun juga  menurut
banyak  buku  yang  terbit  pasca  Orde  Baru,  terjadi  penyiksan  atas  para  jendral sebelum  dibunuh,  dan  hal  itu  dilakukan  oleh  para  anggota  PKI,  termasuk
kelompok organisasi perempuannya. Berkat narasi-narasi seperti itu PKI  tampak begitu  keji,  sehingga
“layak”  dibalas  secara  keji  pula.  Akumulasi  dari  narasi- narasi  yang  diterima  masyarakat  selanjutnya    membentuk  opini  publik  tentang
siapa  yang  salah  siapa  yang  benar,  narasi-narasi  yang  beredar  pula  lah  yang memberi “pembenaran” atas pembantaian yang dilakukan.
Narasi seputar tragedi kemanusiaan di tahun 1965 tidak hanya disampaikan melalui  cerita  dari  mulut  kemulut,  melainkan  juga  melalui  koran,  majalah  serta
film.  Sangat  menarik  apabila  kita  melihat  peran  koran  dalam  menggiring  opini publik  pasca  peristiwa  penjemputan  paksa  para  jendral  ini.  Fungsinya  sebagai
sumber  informasi  menjadi  krusial  karena  pada  saat  itu  masyarakat  kebingungan dengan apa yang sebenarnya terjadi pada dini hari 1 Oktober 1965 itu dan sumber
yang  paling  cepat  dan  mudah  untuk  mendapatkan  informasi  tentang  peristiwa tersebut adalah koran. Pada tanggal 2 Oktober 1965 koran-koran nasional dilarang
te rbit  kecuali  koran  milik  angkatan  darat  yaitu  “Berita  Yudha”  dan  “  Harian
Angkatan Bersenjata” dan hanya ada 1 koran di luar koran angkatan darat yang boleh  terbit  yaitu  koran  “Harian  Rakyat”  yang  notabene  berafiliasi  dengan  PKI
yang menarik adalah kenapa hanya tiga koran ini yang boleh terbit? Sama halnya
6
dengan  koran,  majalah    ataupun  film  yang  muncul  dimasa  Orde  Baru  memiliki peran  sangat  krusial  dalam  membentuk  opini  di  masyarakat.  Bagaimana
dilustrasikan  di  dalam  film  mengenai  peran  masing-masing  pihak  yang  terkait dengan  peristiwa  tersebut.  Lebih  menarik  lagi  adalah  jika  kita  sedikit
membandingkan  dengan  narasi-narasi  yang  ada  pada  saat  ini,  pasca  rezim  Orde Baru  runtuh,  saat  di  mana  arus  informasi  relatif  lebih  beragam  dan  informasi
mengenai  peristiwa  jauh  lebih  terbuka.  Jika  kita  telaah  informasi  dari  kedua  era tersebut Orde Baru dan masa setelah Orde Baru runtuh terdapat perbedaan narasi
di  dalamnya,  inilah  kenapa  penulis  memandang  bahwa  studi  ini  menarik  dan penting  untuk  dikaji,  dengan  harapan  me
mberi  sedikit  “terang”  di  “gelap”  nya peristiwa 1 Oktober 1965 dan tragedi kemanusian yang mengikutinya.
Membahas dan membandingkan narasi-narasi yang ada tentang tragedi 1965 baik itu yang berasal dari masa Orde Baru maupun yang berasal dari masa pasca
Orde  Baru  akan  memberikan  sebuah  perspektif  baru  yang  diharapkan  akan  bisa membantu  menjadikan  bangsa  ini  lebih  bijak  dan  terbuka  serta  berani  dan  jujur
dalam  mempelajari  sejarah  bangsanya.  sebagaimana  disinggung  di  atas,  narasi- narasi  atas  apa  yang  terjadi  pada  tanggal  1  Oktober  1965  telah  menjadi  trigger
atau pemicu bagi terjadinya peristiwa berdarah dalam bentuk pembantaian ratusan ribu  manusia  Indonesia  oleh  orang  Indonesia  sendiri.  Inilah  salah  satu  alasan
mengapa  penulis  merasa  bahwa  narasi-narasi  tentang  tragedi  kemanusiaan  1965 sangat  perlu  dibahas.  Di  dalam  setiap  narasi  biasanya  terdapat  unsur
“pembenaran” atau  “kebenaran” tertentu yang perlu diurai dan dibahas.
7
Indonesia  adalah  bangsa  yang  besar,  baik  dari  segi  luas  wilayah,  dari  segi jumlah penduduk, maupun dari segi budayanya. oleh karena itu sudah selayaknya
bangsa  Indonesia  menghargai  sejarahnya  sendiri.  Tahun  1965  adalah  tahun  di mana  Indonesia  mengalami  tragedi  kemanusian  dengan  segala  dampaknya.
Sayangnya tragedi kemanusiaan ini masih “gelap”, belum secara jelas dinarasikan apa sebenarnya yang terjadi, yang kita tahu hanyalah bahwa waktu itu ada banyak
orang  yang  menjadi  korban,  baik  itu  kehilangan  nyawa,  dipenjara  maupun mendapatkan cap bersalah.
Lewat  tulisan  ini  penulis  berharap  bahwa    pembaca  akan  dapat  melihat bagaimana narasi-narasi seputar peristiwa pembunuhan ditanggal 1 Oktober 1965
dan  pembunuhan  massal  yang  mengikutinya  disampaikan  secara  berbeda  pada masa pemerintahan Orde Baru dan setelahnya. Narasi-narasi yang berkembang di
masyarakat  kemudian  akan  menjadi  wacana  publik  yang  berlanjut  menjadi  opini publik  dan  kemudian  menjurus  kepada  “penghakiman”  publik  terhadap  sebuah
peristiwa dan mereka yang terlibat di dalamnya. Dalam konteks narasi Orde Baru tentang  tragedi  kemanusiaan  tahun  1965  opini  publik  yang  dilahirkan  telah
menyebabkan  dipersalahkannya  PKI  dan  dianggap  layaknya  tindakan  untuk ”membasmi”-nya.  Sementara  itu  para  pelaku  dibenarkan  sepenuhnya,  dan  atas
dasar  pembenaran  itu  mereka  lantas  menguasai  Indonesia  selama  lebih  dari  30 tahun.  Kalau  kita  tidak  hati-hati,  hal  seperti  itu  bisa  terjadi  lagi  di  Indonesia  ini.
Oleh  karena  itu  kita  perlu  belajar  dari  masa  lalu  kita,  agar  hal  seperti  itu  tidak terulang.
8
B. Permasalahan
Latar belakang masalah di atas menunjukkan adanya perbedaan narasi yang beredar di masyarakat seputar peristiwa 1 Oktober 1965 dan tragedi kemanusiaan
yang  mengikutinya  pada  tahun  1965  sampai  Rezim  Orde  Baru  runtuh  dengan narasi-narasi yang ada pasca Orde Baru tidak lagi berkuasa. Perbedaan-perbedaan
narasi  yang ada di masa Orde Baru dengan di masa setelahnya, setelah rezim itu runtuh mendorong penelitian perlu untuk dilaksanakan.
Permasalaan  pertama  yang  akan  dibahas  adalah  narasi-narasi  tentang Tragedi  1965    yang  ada  pada  masa  Orde  Baru  yang  nanti  di  dalamnya  akan
dibahas narasi-narasi umum di masyarakat, narasi- narasi yang “ditawarkan” lewat
buku-buku  ajar,  narasi  lewat  film  dan  diimplementasikan  lewat  indoktrinasi melalui program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila P4.
Permasalahan  kedua  yang  ingin  diteliti  adalah  narasi  Tragedi  1965  pada masa  pasca  Orde  Baru  runtuh.  Narasi-narasi  tersebut  dapat  dilihat  dari
diterbitkannya  buku-buku  yang  bersifat  kritis  akademik,  diselenggarakannya forum-forum publik tentang Tragedi 1965, diterbitkannya memoar para survivor,
diproduksinya  film-film  di  sekitar  topik  Tragedi  1965  tentu  saja  dengan  sudut pandang  berbeda  dengan  sudut  pandang  yang  ditawarkan  di  masa  Orde  Baru,
permintaan  maaf  Gus  Dur  kepada  korban  Tragedi  kemanusiaan  1965,  dan  lewat laporan dan rekomendasi Komnas HAM tahun 2012 soal Tragedi 1965, di bagian
ini  pula  akan  dibahas  bagaimana  semangat  Orde  Baru  yang  semula  “meredup” sedikit  demi  sedikit  muncul  lagi  lewat  buku-buku  ajar  dan  juga  pelarangan-
9
pelarangan  diputarnya  film-film  tentang  Tragedi  1965  yang  tidak  sesuai  dengan versi resmi pemerintah.
Berdasarkan  latar  belakang  tersebut,  adapun  rumusan  masalah  dalam penulisan ini, adalah:
1.  Bagaimana tragedi kemanusiaan 1965 dinarasikan pada masa Orde Baru? 2.  Bagaimana tragedi kemanusiaan 1965 dinarasikan pasca Orde Baru?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini adalah : a.
Mendeskripsikan narasi-narasi tentang Tragedi 1965 pada masa Orde Baru. b.
Mendeskripsikan  narasi-narasi  tentang  Tragedi  1965  pada  masa  pasca  Orde Baru.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat Penulisan ini adalah : a.
Bagi Universitas Sanata Dharma Selain untuk melaksanakan salah satu Tri Dharma perguruan tinggi khususnya
bidang penelitian yaitu ilmu pengetahuan sosial, makalah ini diharapkan dapat memberikan  kekayaan  khasanah  yang  berguna  bagi  pembaca  dan  pemerhati
sejarah di lingkungan Universitas Sanata Dharma. b.
Bagi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan
mengenai sejarah para tokoh bangsa dan peranannya, lebih khususnya tentang narasi-narasi  yang  ada  tentang  tragedi  kemanusiaan  tahun  1965  dan
10
diharapkan  dapat  dijadikan  sebagai  bahan  pelengkap  dalam  pembelajaran sejarah.
c. Bagi Pembaca
Makalah  ini  diharapkan  mampu  menarik  minat  pembaca  untuk  mempelajari tentang  sejarah  Indonesia  kontemporer,  khususnya  mengenai  Tragedi
Kemanusiaan di tahun 1965.
11
BAB II NARASI TRAGEDI 1965 PADA MASA ORDE BARU
Alur  narasi  tentang  tragedi  1965  pada  masa  Orde  Baru  dimonopoli  oleh pemerintah pada saat itu. Segala informasi tentang tragedi tersebut dikontrol oleh
pemerintah.  Mulai  dari  kronologi  peristiwa  penjemputan  paksa  para  jendral sampai  siapa  yang  kemudian  dianggap  bertanggung  jawab,  dalam  hal  ini  adalah
PKI.  Dalam  otobiografinya,  ketika  melihat  Danyon  454  dan  530  tidak  berada  di tempat karena alasan ingin mengamankan presiden yang dikatakan akan dikudeta
oleh Dewan Jendral Soeharto mengatakan: “Itu  semua  tidak  betul,  “sambut  saya  sambil  menatap  kedua  kapten
itu.  “kamu  tahu,  Presiden  Sukarno  saat  ini  tidak  ada  di  Istana.  Coba  kamu cek sendiri ke Istana kalau tidak percaya. Lagi pula Dewan Jendral itu tidak
ada,  yang  ada  adalah  Wanjakti,  dan  tidak  mungkin  ada  rencana  kup.  Saya sendiri  menjadi  anggota  Wanjakti  itu.  Saya  mengetahui  betul,  gerakan
Untung ini pasti didalangi oleh PKI.
7
Dari  petikan  ucapan  Soeharto  di  atas  telah  men-judge PKI  sebagai penanggung  jawab  peristiwa  penjemputan  dan  pembunuhan  7  jendral  pada  dini
hari  tanggal  1  Oktober  1965.  Narasi  tentang  tragedi  1965  ini ada  yang  bersifat umum dan berkembang di masyarakat, yang penyebarannya dari mulut ke mulut,
ada juga yang dinarasikan melalui buku-buku pelajaran di sekolah-sekolah. Selain kedua  cara  tersebut,  narasi  lain  tentang  tragedi  1965  disampaikan  melalui  film
“Pengkhianatan  G30SPKI”  yang  isinya  menunjukkan  betapa  mengerikannya peristiwa penjemputan paksa para jendral sampai penyiksaan yang dilakukan oleh
PKI.  Hal  lain  yang  dilakukan  pemerintah  dalam  penyampaian  narasi  tentang
7
Otobiografi Soeharto, Soeharto : Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, hal. 120
12
tragedi  1965  adalah  lewat  indoktrinasi  penataran  Pedoman  Penghayatan  dan Pengamalan Pancasila P4.
A. Narasi Umum Di Masyarakat
Narasi yang beredar umum di masyarakat tidak dapat kita pisahkan dengan informasi yang beredar lewat surat kabar koran dan radio pada saat itu. Mayjen
Soeharto,  dalam  kedudukannya  sebagai  Panglima  Kostrad, secara  sepihak mengumumkan  keadaan  darurat.  Ia  menelepon  MenPangal  Laksdya  Laut  RE
Martadinata,  MenPangak  Inspektur  Jendral  Polisi  Sutjipto  Judodihardjo,  dan MenPangau Laksdya Udara Omar Dani, yang diterima oleh Panglima Koops AU
Komodor Udara  Leo Wattimena, untuk  memberi tahu  bahwa ia  untuk sementara mengambil  alih  kepemimpinan  Angkatan  Darat
8
.  Setelah  merebut  kembali  RRI pada  tanggal  1  Oktober  1965  sekitar  pukul  18.00,  Mayjen  Soeharto  membuat
ketentuan bahwa setiap berita atau pengumuman apa pun yang akan disiarkan RRI harus melalui dan seizin dirinya
9
. Pada tanggal 4 Oktober 1965, pagi hari, dengan bantuan pasukan Pengintai
Amfibi  Taifib  KKO,  penggalian  sumur  untuk  mengeluarkan  jenazah  enam jendral dan seorang perwira Angkatan Darat itu dilanjutkan, setelah sempat digali
saat  malamnya.  Penggalian  itu  berlangsung  di bawah  pengawasan  Panglima Kostrad Mayjen Seoharto, dan diliput secara luas oleh media massa.
8
Luhulima, James , hal. 107
9
Ibid. hal. 106