21
BAB III NARASI TRAGEDI 1965 PASCA ORDE BARU
Perubahan cara pandang tentang Tragedi kemanusiaan 1965 terjadi setelah munculnya tulisan-tulisan mengenai peristiwa tersebut terutama pasca runtuhnya
pemerintahan Orde Baru di tahun 1998. Buku-buku yang bersifat kritis akademis banyak diterbitkan, forum-forum publik tentang Tragedi 1965 pun banyak
diselenggarakan. Angin reformasi juga membuat para survivor bisa memberikan narasi Tragedi 1965 menurut versinya, apa yang mereka lihat dan apa yang
mereka ketahui tentang Tragedi tersebut, yang kebanyakan berbeda dengan narasi yang disampaikan pemerintah Orde Baru.
Pasca Orde Baru runtuh, penarasian Tragedi 1965 ataupun penggalan- penggalan peristiwa seputar Tragedi 1965 banyak divisualisasikan pula lewat
film. Beberapa film yang cukup dikenal antara lain: film Shadow Play, film 40 Years of Silence dan film The Act of Killing Jagal. Meski bangsa Indonesia
masih terpecah dalam dua pendapat antara percaya atau tidak kepada anggapan bahwa PKI lah yang paling bertanggung jawab atas Tragedi kemanusiaan tersebut
namun munculnya film-film diatas dan beberapa film lain berjasa memberikan narasi-narasi lain dengan sudut pandang lain mengenai tragedi kemanusiaan yang
selama masa Orde Baru ditabukan oleh negara. Meskipun pasca runtuhnya Orde Baru, masyarakat Indonesia relatif lebih
terbuka terhadap narasi lain mengenai Tragedi 1965, namun penolakan terhadap narasi-narasi baru mengenai tragedi tersebut banyak mengalami kendala dan
tantangan, semangat Orde Baru yang semula mulai ditinggalkan pasca runtuh
22
perlahan mulai muncul lagi, buku-buku pelajaran sejarah untuk anak sekolah yang memberikan pemahaman lain tentang Tragedi 1965 ditarik dari peredaran untuk
kemudian “diperbaiki” sesuai dengan narasi pada masa Orde Baru.
A. Munculnya Semangat Keterbukaan di Masyarakat
Pasca Orde Baru, banyak buku-buku yang membahas tentang Tragedi 1965 yang diterbitkan. Sejarawan dan akademisi banyak menulis buku tentang tragedi
tersebut. Romo Baskara T Wardaya, Eros Djarot, Asvi Warman, dan Hersri Setiawan adalah beberapa akademisi yang banyak menulis tentang topik tersebut.
Seperti yang dikatakan oleh Romo Baskara T. Wardaya dalam bukunya Suara di Balik Prahara, beliau mengatakan “diharapkan kita bisa melihat secara
lebih utuh sejarah seputar Tragedi Kemanusiaan 1965, serta bagaimana selama ini sejarah tentang tragedi itu dinarasikan dan dipahami oleh masyarakat pada
umumnya”.
23
Masih menurut Romo Baskara T. Wardaya narasi yang selama 32 tahun ini beredar di masyarakat adalah narasi yang diproduksi oleh pemerintah
guna menunjang kepentingan-kepentingan sendiri.
24
Pasca Orde Baru runtuh, sejarawan terutama ingin mengajak melihat tragedi kemanusiaan 1965 dari berbagai sudut, seperti disebutkan diatas, sejarah
ditulis guna menunjang kepentingan-kepentingan tertentu, jika kita tarik ke tragedi 1965 maka sejarah dibuat demi “pembenaran” atas pembantaian yang
terjadi pada masa-masa tersebut. Sejarawan mengajak masyarakat Indonesia melihat hal-hal kecil maupun peristiwa-peristiwa kecil yang terkadang luput dari
23
Baskara T. Wardaya, Suara di Balik Prahara :Berbagi Narasi Tentang Tragedi 1965, Yogyakarta, Galangpress, 2011, hal. 29
24
idem
23
perhatian namun memberi dampak besar bagi perjalanan sebuah bangsa, seperti penyebutan “lubang buaya” pada kalimat “PKI memasukkan jenazah para jendral
ke sumur lubang buaya” adalah kalimat yang jika tidak paham dengan konteksnya maka yang ditangkap oleh masyarakat awam, terutama di luar jakarta secara
harafiah akan menangkap kebengisan PKI dengan memasukkan mayat para jendral ke lubang buaya, padahal Lubang Buaya itu sendiri adalah nama
tempatdaerahkampung di Jakarta yang kebetulan bernama Desa Lubang Buaya. Hal lain yang dapat kita lihat dan perlu dikritisi dan jarang diperhatikan
menurut Romo Baskara T. Wardaya adalah sebenarnya tragedi 1965 terdiri dari dua peristiwa yang tak dapat dipisahkan namun dapat dibedakan. Peristiwa
pertama adalah peristiwa penculikan dan pembunuhan yang terjadi pada tanggal 1 Oktober 1965 dini hari di Jakarta. Peristiwa kedua adalah peristiwa pembantaian
massal yang dimulai dari Jawa Tengah pada pekan ketiga bulan Oktober 1965, yang berlanjut pada bulan November 1965 di Jawa Timur dan pada bulan
Desember 1965 di Bali.
25
Kedua peristiwa diatas jarang ditampilkan dalam satu frame agar kita lebih jujur melihat perjalanan bangsa kita. Narasi-narasi yang ditawarkan oleh rezim
Orde Baru berhenti pada PKI dalang peristiwa penjemputan paksa para jendral dan membunuhnya dengan kejam, maka layak ditumpas, tidak pernah
menyinggung bagaimana penumpasan PKI juga merupakan tindakan yang lebih
25
Ibid hal.33
24
brutal dari kekejaman PKI yang digambarkan lewat film penghianatan G30SPKI yang kebenarannya pun masih diragukan.
26
Majalah Tempo edisi 1-7 Oktober 2012 dengan berani memberikan laporan tentang “sesuatu” yang jarang diketahui tentang tragedi 1965, yakni pengakuan
para algojo yang membunuh simpatisan PKI diseputaran tahun 1965 hingga 1966. Banyak yang memprotes isi majalah ini, karena dianggap mendeskreditkan kiai-
kiai dan santri yang ikut serta membantai anggota PKI.
27
Majalah Tempo ini juga memperlihatkan peran ABRI dalam mengorganisir massa guna membasmi PKI.
28
Laporan khusus Tempo ini juga memberikan narasi lain mengenai apa yang sesungguhnya terjadi di seputaran tragedi kemanusiaan di tahun 1965 tersebut.
Selain buku-buku yang terbit, beberapa hal yang lebih leluasa dilakukan pasca Orde Baru runtuh yang dinilai sebagai kemajuan dalam memandang tragedi
1965 antara lain :
a Diselenggarakannya forum-forum publik tentang Tragedi 1965
Selain buku-buku tentang Tragedi kemanusiaan 1965 relatif lebih mudah terbit jika dibanding dengan dikala Orde Baru sedang berkuasa, forum-forum
publik yang membahas tentang Tragedi kemanusiaan tersebut juga relatif lebih mudah dilaksanakan. Beberapa forum tempat survivor Tragedi 1965 dibentuk, ada
yang menamakan dirinya YPKP Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan
26
Simak pernyataan pemain film Jagal yang menyatakan bahwa sesungguhnya kita pembasmi PKI lebih kejam dari mereka PKI.
27
Baca Tempo edisi 1-7 Oktober 2012 halaman 74 salah satu pelaku pembantaian terhadap anggota PKI
28
Hampir disemua judul laporan khusus Tempo peran ABRI begitu terlihat dalam memobilisasi massa, dari menyediakan truk untuk mengangkut massa yang akan membasmi PKI, memberikan
daftar nama yang harus dibunuh, menyiapkan senjata untuk membunuh, hingga memberikan pelatihan membunuh.
25
19651966, LPKP Lembaga Penelitian Korban Peristiwa 1965, LPRKROB Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Korban Rejim Orde Baru, PAKORBA
Paguyuban Korban Orde Baru, Sekber ’65 SEKRETARIAT BERSAMA KORBAN 1965 dan sebagainya. Forum-forum tersebut mewadahi para survivor
dan sering melakukan diskusi-diskusi publik membicarakan tentang Tragedi 1965. Salah satu forum, yakni sekber ’65 pernah beberapa kali melakukan
kegiatan diskusi tentang Tragedi 1965 ini, diantaranya pada tanggal 2 Juli 2012, dari pukul 09.00-13.00 WIB SekBer’ 65 mengadakan Diskusidengan dua
peneliti sejarah dari School of Historical Studies, The University of Melbourne Australia yaitu Kathrin Mc Gregor dan Vanessa Hearman, membahas mengenai
perkembangan RUU KKR Rancangan Undang Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan pernyataan tentang wacana permohonan maaf presiden terhadap
para korban HAM berat.
29
Tanggal 19 Juli 2012 jam 09.00-11.30 Sekertariat Bersama ’65 Sekber’65 melakukan audiensi dengan DPRD Solo, membahas
tentang penyelesaian dan penuntasan tragedi 19651966 yang diamanatkan dalam TAP MPR NO. V Tahun 2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan
Nasional. Pada 15 September 2010 penulis, Romo Bakskara T Wardaya dan beberapa teman mahasiswa dari Yogyakarta ikut serta dalam diskusi para survivor
untuk melihat langsung dinamika para mereka dalam memperjuangkan hak haknya yang sudah puluhan tahun hilang. Diskusi ini juga dimuat oleh Solo Pos :
Puluhan korban Tragedi 1965 yang tergabung dalam Sekber ’65 menemui jajaran DPRD Kota Solo di Gedung DPRD Solo, Kamis
29
Dimuat disitus sekber ’65 http:sekber65.blogspot.com