Selain itu, remaja resilien menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan atau kapasitas untuk menghadapi, mencegah, meminimalkan
dan bahkan menghilangkan dampak-dampak yang merugikan dari kondisi yang tidak menyenangkan Desmita, 2015. Bila
remaja korban perceraian mampu resilien, mereka juga dapat mengatasi risiko dan kesulitan tanpa
memperoleh dampak negatif yang jelas dari perceraian Smith Carlson, 1997. Hal ini karena resiliensi mengacu pada kompetensi yang
dimungkinkan muncul dibawah tekanan yang berkepanjangan, seperti peristiwa perceraian orangtua Desmita, 2005. Dengan kata lain, remaja
korban perceraian memiliki karateristik individu yang dapat “bangkit kembali” setelah kesulitan dan mencapai atau bahkan melampaui tingkat
fungsi sebelumnya Hawley De Haan, 1996, dalam Greeff Merwe, 2004.
Pada dasarnya, remaja memiliki kapasitas untuk resilien, yaitu dapat menghadapi kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan dalam
hidupnya. Resiliensi dianggap sebagai kekuatan dasar yang menjadi fondasi
dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologikal seseorang. Tanpa adanya resiliensi, tidak akan ada
keberanian, ketekunan, tidak ada rasionalitas dan tidak ada pengetahuan yang dalam. Sejumlah riset meyakinkan, bahwa gaya berpikir seseorang
sangat ditentukan oleh resiliensinya, serta resiliensi juga menentukan keberhasilan seseorang dalam hidupnya Desmita, 2005.
Penelitian Rodgers dan Rose 2002, menguji faktor-faktor dalam keluarga maupun di luar keluarga yang dapat berkontribusi terhadap
resiliensi pada remaja yang mengalami perubahan situasi di dalam kehidupan keluarga
. Penelitian tersebut juga menyarankan akan lebih
bermanfaat jika penelitian selanjutnya menggunakan perspektif resiliensi terhadap remaja dari keluarga bercerai atau menikah lagi untuk
memperoleh faktor pembentuk resiliensi yang lebih bervariasi. Penelitian Luthar 1991 bertujuan untuk menguji variabel yang
dapat mendukung resiliensi, yang memungkinkan anak tetap mampu
bertahan meskipun mengalami pengalaman hidup yang penuh tekanan dengan menggunakan metode kuantitatif. Penelitian tersebut menggunakan
self-ratings yang memungkinkan terjadinya bias dalam memberikan peringkat karena terpengaruh baik buruknya pengalaman yang dinilai.
Respon yang didapatkan juga terbatas dalam penelitian tersebut. Berdasarkan tinjauan kepustakaan, peneliti akan meneliti resiliensi
menggunakan metode penelitian kualitatif wawancara dengan informan remaja untuk melengkapi kekurangan penelitian sebelumnya.
B. PERTANYAAN PENELITIAN
Pernyataan utama dalam penelitian ini, yaitu: Bagaimana resiliensi remaja yang mengalami perceraian orangtua ?
C. TUJUAN PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang resiliensi remaja yang orangtuanya bercerai.
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini memiliki beberapa manfaat, yaitu:
1. Manfaat Teoritis.
Dalam bidang psikologi perkembangan dan klinis, penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan tentang resiliensi remaja
yang mengalami perceraian orangtua.
2. Manfaat Praktis:
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadikan remaja mampu dan berhasil beradaptasi dengan pengalaman perceraian
orangtuanya. b. Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran pada praktisi
untuk mengembangkan intervensi atau program bagi klien remaja yang mengalami perceraian orangtua.
8
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. RESILIENSI
Resiliensi dapat tercermin dalam cara individu atau keluarga bereaksi terhadap masa sulit atau penuh tekanan. Resiliensi mengacu
dalam karakteristik individu yang dapat “bangkit kembali” setelah mengalami kesulitan atau situasi traumatis dan mencapai atau bahkan
melampaui tingkat fungsi sebelumnya, sementara yang lain merasa sedang diterpa dan tidak memiliki kekuatan untuk melawan. Hawley De Haan,
1996; Rutter, 1987 ,
dalam Greeff Merwe, 2004; Chen George, 2005; Leimon McMahon, 2009. Selain itu, resiliensi merupakan sebuah
proses yang terkait dengan kapasitas untuk mencapai keberhasilan adaptasi setelah mengalami kesulitan, seperti perceraian meskipun menantang atau
mengancam perkembangan psikologis Masten, Best dan Garmezy, 1991, dalam Chen George, 2005; Werner Smith, 1993, dalam Greeff
Merwe, 2004. Menurut Werner dan Smith 1992, dalam Wenar Kerig, 2000, resiliensi adalah keseimbangan antara faktor risiko dan faktor
protektif. Adapun sumber pembentukan resiliensi ialah faktor protektif
penahan yang berkontribusi pada resiliensi dalam membantu individu mengatasi tantangan hidup secara lebih efektif. Baumgardner dan
Crothers 2009 membagi tiga kategori faktor protektif. Pertama, faktor protektif pada remaja, seperti kemampuan intelektual dan pemecahan
masalah yang baik, temperamen dan kepribadian yang easy going dapat beradaptasi dengan perubahan, gambaran diri yang positif dan efektivitas
pribadi, keoptimisan, kemampuan untuk meregulasi, mengontrol emosi dan dorongan, bakat individu yang dihargai oleh individu dan oleh
budayanya, serta rasa humor yang sehat. Kedua, faktor protektif dalam keluarga, antara lain hubungan yang dekat dengan orangtua atau
caregivers, pola asuh yang hangat dan suportif yang menyediakan harapan dan aturan yang jelas, keluarga yang positif secara emosional dengan
konflik yang sedikit antara orangtua, serta lingkungan rumah yang terstruktur dan terorganisir, orangtua yang terlibat dalam pendidikan
anaknya, serta orangtua yang memiliki sumber finansial yang adekuat. Ketiga, faktor dalam komunitas termasuk sekolah yang baik, terlibat
dalam organisasi sosial dengan sekolah dan komunitas, hidup dalam lingkungan yang terlibat dengan orang-orang yang peduli menangani
masalah dan mempromosikan semangat komunitas serta hidup dalam lingkungan yang aman dan ketersediaan yang mudah dari kondisi darurat
yang berkompeten dan responsif, kesehatan masyarakat serta pelayanan sosial.
Menurut Masten, Cutuli, Herbers dan Reed 2009 dalam Snyder, Lopez Pedrotti, 2011, faktor protektif untuk pembentukan resiliensi.
Pertama, faktor protektif pada remaja, seperti keterampilan memecahkan masalah, keterampilan meregulasi diri untuk mengontrol perhatian, hasrat,
dan dorongan diri serta temperamen easy going pada masa kecil, pribadi
yang mudah beradaptasi pada tahap perkembangan selanjutnya dan gambaran diri yang positif, self-efficacy, keyakinan serta merasa berarti
dalam hidup, harapan positif dalam hidup, bakat yang dihargai diri sendiri maupun masyarakat dan diri yang menarik bagi orang lain. Kedua, faktor
protektif dalam keluarga dan hubungan yang dekat, termasuk hubungan cinta yang positif, hubungan yang dekat dengan individu dewasa yang
kompeten, prososial dan suportif. Selain itu, pola pengasuhan autoritatif hangat, terstruktur pengawasan dan harapan yang tinggi, suasana
keluarga yang positif dengan konflik yang rendah antara orangtua, lingkungan rumah yang terorganisir, pendidikan sekunder yang dimiliki
oleh orangtua, orangtua dengan anak yang memiliki faktor protektif dalam
dirinya, orangtua yang terlibat dalam pendidikan anak, sosioekonomi yang adekuat, terhubung dengan teman sebaya yang prososial, serta relasi
romantis dengan pasangan yang prososial dan memiliki penyesuaian yang baik.
Ketiga, faktor protektif dalam komunitas dan hubungan dengan organisasi, seperti sekolah yang efektif, terikat dengan organisasi prososial
sekolah, klub, pramuka, tetangga dengan “efikasi kolektif” yang tinggi, akses keamanan yang tinggi,
pelayanan dalam keadaan darurat yang baik, dan ketersediaan layanan kesehatan yang baik.
Faktor protektif dibagi menjadi tiga dikarenakan atribut remaja, iklim maupun sumbernya berada di dalam keluarga dan sistem pendukung
yang ada di lingkungan yang lebih luas Smith Carlson, 1997. Hanson et al. 1998, dalam Greeff Merwe, 2004 juga mengidentifikasi tiga