2.2.2.3 Kesantunan Berbahasa
Dalam berkomunikasi, akan lebih mudah dan nyaman untuk diterima apabila penutur menggunakan kaidah berbahasa yang baik dan benar. Ada yang
mengatakan bahwa bahasa merupakan cerminan pribadi dari seseorang. Oleh karena itu, seandainya penutur menggunakan bahasa yang sopan dan santun saat
berkomunikasi, tidak peduli pada usia di bawah atau di atasnya, maka akan tercipta komunikasi yang baik dan mudah untuk diterima tanpa menimbulkan
kekacauan. Yule 2006:104 menjelaskan bahwa sudah lazimnya apabila kita
memperlakukan kesopanan sebagai suatu konsep yang tegas, seperti gagasan atau etiket yang terdapat dalam budaya. Kesopanan dalam suatu komunikasi
didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan agar lebih enak untuk diterima.
Fraser 1990 menunjukkan adanya empat macam pandangan terkait kesantunan berbahasa mayarakat dalam kehidupan sehari-hari. Pertama,
pandangan kesantunan yang berkaitan dengan norma-norma sosial the social- norm view
. Kedua, pandangan kesantunan sebagai maksim percakapan conversational maxim
dan sebagai sebuah upaya penyelamatan muka face- saving
. Ketiga, kesantunan berbahasa sebagai tindakan untuk memenuhi persyaratan agar terpenuhinya sebuah fakta kontrak percakapan conversation
contract . Keempat, kesantunan berbahasa dipandang sebagai sebuah indeks sosial
social indexing .
Rustono 1997:71 mengemukakan teori kesantunan yang lebih difokuskan pada prinsip kesantunan politeness principle, yakni yang mencakup sejumlah
bidal atau pepatah yang berisi nasehat yang harus dipatuhi oleh penutur agar tuturan lebih santun. Bidal-bidal tersebut adalah: biaya cost dan keuntungan
benefit , celaan atau penjelekan dispraise dan pujian praise, kesetujuan
agreement , serta kesimpatian dan keantipatian simpathyantipathy.
Agar pesan dari penutur dapat sampai dengan baik kepada mitra tutur, maka diperlukan prinsip-prinsip kerjasama. Grice 1975 mengelompokkan
prinsip-prinsip kerjasama dalam empat maksim, yakni: maksim kuantitas the maxim of quantity
, maksim kualitas the maxim of quantity, maksim relevansi the maxim of relevance
, dan maksim pelaksanaan the maxim of manner. Konsep lain mengenai prinsip kesantunan juga dicetuskan oleh Leech 1983 yang
mengelompokkannya ke dalam enam maksim, yakni: maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim penghargaan, maksim kesederhanaa, maksim
pemufakatan, dan maksim simpati Rahardi, 2005:59-60. Sementara itu, Brown dan Levinson 1978 mengemukakan mengenai
kesantunan berbahasa yang menyangkut lima strategi, yakni: 1 melakukan tindak tutur secara apa adanya, tanpa basa-basi, dengan mematuhi prinsip
kerjasama Grice; 2 melakukan tindak tutur dengan kesantunan positif; 3 melakukan tindak tutur dengan kesantunan negatif; 4 melakukan tindak tutur
secara off record; dan 5 tidak melakukan tindak tutur atau diam saja Rustono, 1999:69-70.
2.2.2.4 Ketidaksantunan Berbahasa