commit to user 49
Pada musim kemarau, petani tidak menanami lahan sawahnya bero karena tidak tersedia cukup air sehingga sumber pendapatan diperoleh dari luar
usahatani. Jenis pekerjaan di luar usahatani yang dikerjakan petani pada masa bero adalah buruh bangunan dan berdagang jamu di luar kota. Di samping itu,
terdapat pula sumber pendapatan lain yang berasal dari warung serba ada, merantau, dan pemberian dari anak. Petani mengambil keputusan untuk bekerja
di luar usahatani karena mereka tidak dapat mencukupi kebutuhannya hanya dengan mengandalkan pendapatan dari usahatani saja. Oleh karena itu, mereka
terus berupaya meningkatkan pendapatannya. Pendapatan rumah tangga merupakan salah satu faktor penentu kualitas
dan kuantitas konsumsi pangan. Rumah tangga dengan pendapatan yang tinggi cenderung mengutamakan kualitas daripada kuantitas makanan. Sebaliknya,
apabila pendapatan rumah tangga rendah, maka pemenuhan konsumsi pangan lebih mengutamakan kuantitas pangan yang cukup dan mengenyangkan, tanpa
memperhatikan zat gizi yang terkandung di dalamnya.
B. Ketersediaan Pangan Pokok Rumah Tangga
Ketersediaan pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan, yang mengacu pada pangan yang tersedia dalam jumlah yang cukup dan dapat
memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga. Ketersediaan pangan yang yang dianalisis dalam penelitian ini adalah ketersediaan pangan pokok berupa
beras. Beras dipilih sebagai indikator ketersediaan dan karena sampai saat ini, berasnasi masih menjadi makanan pokok yang dikonsumsi sebagian besar
masyarakat Indonesia pada umumnya dan penduduk Kecamatan Bulu khususnya. Selain memiliki kandungan energi yang cukup besar, beras
merupakan sumber protein yang baik, sehingga beras juga merupakan makanan sumber protein bagi rumah tangga. Dengan demikian, beras dianggap cukup
peka dalam menggambarkan ketersediaan pangan suatu wilayah. Ketersediaan pangan pokok rumah tangga merupakan sejumlah beras
yang tersedia dan siap dikonsumsi oleh keluarga sebagai makanan pokok. Salah satu syarat terwujudnya ketahanan pangan rumah tangga adalah tersedianya
pangan dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga. Ketersediaan pangan pokok dalam rumah tangga dihitung denggan
commit to user 50
menambahkan semua input sumber beras yang berasal dari produksi usahatani selama dua musim tanam, pembelian beras dengan harga normal, dan
dari pembelian raskin bagi penerima raskin, kemudian hasilnya dikurangi dengan pengeluaran output seperti penjualan hasil usahatani selama dua
musim tanam, zakat fitrah bagi yang beragama Islam, dan diberikan pada pihak lain anak, saudara, dan hajatan tetangga. Besarnya proporsi input
pangan pokok dari berbagai sumber dan output untuk berbagai keperluan petani dapat dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Rata-rata Ketersediaan Pangan Pokok Pada Rumah Tangga Petani di Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo
Keterangan Beras
Energi Grkaphari
KwRTth Kkalkaphari
INPUT 1. Produksi Usahatani
a. MT I b. MT II
940,20 781,67
13,73 11,41
3.384,71 2.814,05
53,41 44,40
2. Pembelian harga normal 34,40
0,50 123,83
1,95 3. Pembelian harga raskin
4,17 0,06
15,00 0,24
Jumlah input 1.760,44
25,70 6.337,59
100,00 OUTPUT
1. Penjualan a. MT I
b. MT II 714,17
654,82 10,43
9,56 2.571,03
2.357,34 50,61
46,40 2. Zakat fitrah
5,21 0,08
18,75 0,37
3. Diberikan pada pihak lain 37,04
0,54 133,34
2,62 Jumlah output
1.411,24 20,61
5.080,46 100,00
Ketersediaan 349,20
5,09 1.257,13
Sumber : Diadopsi dan diolah dari Lampiran 2-3 Berdasarkan Tabel 19 diketahui bahwa sumber input pangan pokok
berasal dari produksi usahatani, pembelian dengan harga normal, dan pembelian dengan harga raskin. Besarnya input pangan pokok yang berasal dari
produksi padi pada musim tanam I sebesar 940,20 gramkaphari dan menyumbang energi sebesar 3.384,71 kkalkaphari atau 53,41 dari total
input pangan pokok. Sedangkan dari musim tanam II, jumlah beras yang dihasilkan lebih kecil dari musim tanam I, yaitu 781,67 gramkaphari dan
menyumbang energi sebesar 2.814,05 kkalkaphari atau 44,40 dari total input pangan pokok. Hasil panen pada musim tanam II lebih rendah karena
terjadi serangan hama berupa keong saat musim tanam II ini, sehingga sebagian sawah rusak dan tidak dapat menghasilkan padi. Dengan rata-rata anggota
rumah tangga sebanyak 4 orang, maka produksi usahatani yang dihasilkan pada
commit to user 51
musim tanam I dan II masing-masing setara dengan 13,73 kwrumah tanggatahun dan 11,41 kwrumah tanggatahun.
Input pangan pokok yang berasal dari produksi usahatani selama musim tanam I dan II ini merupakan sumber beras terbesar yang diperoleh rumah
tangga petani, yaitu sebesar 97,81 dari total input pangan pokok. Meskipun kondisi lahan yang diusahakan petani berupa sawah tadah hujan, tetapi hasil
produksinya masih mendominasi proporsi input pangan pokok dalam rumah tangga petani. Lahan sawah tadah hujan adalah sawah yang menggantungkan
pengairannya pada curahan air hujan saja. Dalam penelitian ini, seluruh responden mengerjakan sawah tadah hujan, dimana dalam satu tahun hanya
bisa diusahakan selama dua musim tanam saja. Apabila kebutuhan air tercukupi serta tidak terserang hama dan
penyakit, rata-rata produksi padi sawah tadah hujan di Desa Tiyaran sebagai sampel lokasi penelitian dapat mencapai 4,28 ton GKGha. Angka ini masih
lebih rendah apabila dibandingkan dengan produktivitas padi secara keseluruhan di Kecamatan Bulu, yaitu sebesar 6,66 ton GKGha. Hal ini
disebabkan karena Desa Tiyaran hanya memiliki sawah dengan jenis irigasi ½ teknis dan tadah hujan. Meskipun Desa Tiyaran berbatasan langsung dengan
Kabupaten Wonogiri dan dekat dengan saluran irigasi induk Colo Barat yang berasal dari Waduk Gajah Mungkur, tetapi tidak dapat dibangun saluran irigasi
teknis di wilayah ini. Alasannya adalah karena letak Desa Tiyaran lebih tinggi dibandingkan dengan saluran irigasi. Akibatnya, 95 hektar sawah di Desa
Tiyaran hanya dapat mengandalkan pengairan dari air hujan saja, sedangkan 34 hektar sawah menggunakan irigasi ½ teknis dengan sistem pompa diesel.
Pemerintah telah berupaya untuk membantu petani sawah tadah hujan di wilayah Kecamatan Bulu ini dengan membangun sumur irigasi di lahan
sawah dan memberikan 4 unit pompa diesel. Petani membayar biaya operasional sebesar Rp 400.000,00 per musim tanam apabila menggunakan
pompa diesel ini. Tetapi tidak semua lahan dapat diairi dari sumur karena sumur tidak dibangun di semua lahan petani. Di beberapa petak lahan,
meskipun sumur sudah digali, tetapi tidak mengeluarkan mata air. Oleh karena itu, petani tetap menggantungkan pengairan sawahnya dari air hujan. Selama
commit to user 52
musim kemarau, sawah tidak ditanami atau bero. Alasannya adalah karena meskipun ditanami palawija, keuntungan yang didapat tidak sebanding dengan
biaya dan tenaga yang dikeluarkan. Petani lebih memilih untuk bekerja di sektor lain seperti berdagang dan menjadi buruh bangunan atau merantau ke
kota selama musim bero. Sumber lain dalam memenuhi kebutuhan pangan pokok adalah dengan
pembelian. Input pangan pokok yang berasal dari pembelian yaitu sebesar 34,40 gramkaphari dan menyumbang energi sebesar 123,83 kkalkaphari atau
1,95 dari total input pangan pokok. Dengan rata-rata anggota rumah tangga sebanyak 4 orang, maka dalam satu tahun, input pangan pokok yang diperoleh
dari pembelian setara dengan 0,50 kwrumah tanggatahun. Frekuensi pembelian beras yang dilakukan oleh rumah tangga petani
tidak menentu. Persediaan beras dari musim tanam I pada umumnya dapat digunakan untuk konsumsi hingga panen pada musim tanam II, sehingga tidak
perlu melakukan pembelian beras. Akan tetapi, jeda waktu antara musim tanam II dengan musim tanam berikutnya cukup panjang yaitu selama musim
kemarau atau sekitar 6 hingga 7 bulan, sehingga petani tidak memperoleh beras dari produksi usahatani karena sawah tidak ditanami bero. Pada jeda waktu
ini, biasanya rumah tangga melakukan pembelian beras untuk mencukupi kebutuhan konsumsi. Pembelian tidak dilakukan secara kontinyu, tetapi
berdasarkan kebutuhan masing-masing rumah tangga. Rumah tangga petani sebenarnya menghindari pembelian beras karena
mereka adalah produsen beras, sehingga selalu berusaha untuk mencukupi kebutuhan beras dengan hasil produksi sendiri dan meminimalisasi pembelian
beras. Berdasarkan hal ini, petani seharusnya menyimpan lebih banyak beras dari musim tanam II untuk persediaan selama sawah tidak ditanami dan tidak
menghasilkan beras. Akan tetapi, hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase hasil panen dalam bentuk beras yang tidak dijual atau dibawa pulang
sebagai persediaan dari musim tanam I sebesar 22,04 . Angka ini lebih tinggi dari persentase hasil panen yang menjadi persediaan di rumah dari musim
tanam II, yaitu 16,23
.
Petani tidak menyimpan lebih banyak beras dari musim tanam II untuk persediaan karena pada musim tanam II, harga jual
commit to user 53
gabah kering giling GKG meningkat sehingga petani terdorong untuk menjual hasil panennya dan memperoleh pendapatan berupa uang.
Selain kedua sumber di atas, pangan pokok juga diperoleh dari pembelian beras miskin raskin dengan harga khusus sesuai yang telah
ditetapkan pemerintah, yaitu Rp 1.600,00 per kilogram. Pada penelitian ini, rumah tangga sampel yang menerima raskin sebanyak 3 rumah tangga atau 10
saja. Oleh karena itu, pembelian raskin di Kecamatan Bulu memberikan kontribusi yang sangat kecil bagi ketersediaan pangan pokok rumah tangga
petani. Input pangan pokok yang diperoleh dari pembelian berupa beras miskin
raskin sebesar 4,17 gramkaphari dan menyumbang energi sebesar 15 kkalkaphari atau 0,24 dari total input pangan pokok. Dengan rata-rata
anggota rumah tangga sebanyak 4 orang, maka dalam satu tahun, input pangan pokok yang diperoleh dari pembelian raskin setara dengan 0,06 kwrumah
tanggatahun. Sistem pembagian raskin di Kecamatan Bulu ini dilakukan secara
bergiliran dengan jumlah yang diterima tiap rumah tangga miskin adalah 15 kg. Kendala dalam pembagian raskin ini adalah seringkali raskin terlambat
didistribusikan dampai ke tingkat desa-desa, sehingga akan menghambat pula proses pembagiannya sampai ke rumah tangga.
Pangan pokok yang diperoleh oleh rumah tangga petani tidak hanya dimanfaatkan untuk konsumsi saja, tetapi juga untuk dijual, zakat fitrah, dan
diberikan kepada pihak lain. Persentase terbesar dari berbagai alokasi tersebut adalah dijual karena hasil penjualan digunakan sebagai sumber pendapatan
untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga dan untuk membiayai usahatani pada musim tanam selanjutnya.
Output pangan pokok dari usahatani pada musim tanam I yang dijual sebesar 714,17 gramkaphari yang setara dengan energi sebesar 2.571,03
kkalkaphari atau 50,61 dari total output beras. Sedangkan pada musim tanam II, jumlah pangan pokok yang dijual adalah 654,82 gramkaphari yang
setara dengan energi sebesar 2.357,34 kkalkaphari atau 46,40 dari total output beras. Dengan rata-rata anggota rumah tangga sebanyak 4 orang, maka
jumlah pangan pokok yang dijual pada musim taman I dan II masing-masing
commit to user 54
setara dengan 10,43 kwrumah tanggatahun dan 9,56 kwrumah tanggatahun. Output pangan pokok dari produksi usahatani selama musim tanam I dan II ini
merupakan output beras terbesar yang dikeluarkan rumah tangga petani, yaitu sebesar 97,01 dari total output pangan pokok.
Petani menjual hasil usahataninya dalam bentuk gabah kering giling GKG. Petani di Kecamatan Bulu memiliki kebiasaan untuk panen sendiri,
kemudian melakukan pengelolaan pasca panen berupa pengeringan gabah hingga siap digiling menjadi beras dengan cara dijemur di bawah sinar
matahari langsung. Adapun nilai konversi GKG ke beras adalah 62,74 . Artinya, dari setiap 100 kuintal GKG dapat diperoleh 62,74 kuintal beras.
Selain dijual, rumah tangga petani juga menggunakan beras untuk zakat fitrah dan diberikan kepada pihak lain. Pangan pokok yang digunakan untuk
zakat fitrah sebesar 2,5 kgkaptahun Anggota rumah tangga yang memberikan zakat fitrah adalah orang tua dan anak-anak yang masih tinggal dalam satu
rumah serta belum berpenghasilan sendiri. Besarnya pangan pokok yang digunakan untuk zakat fitrah adalah 5,21 gramkaphari yang setara dengan
energi sebesar 18,75 kkalkaphari atau 0,37 dari total output pangan pokok. Persentase pangan pokok untuk zakat fitrah hanya sedikit karena dikeluarkan
dalam jumlah yang kecil dan hanya satu kali dalam satu tahun. Output pangan pokok juga diberikan pada pihak lain, yaitu anak,
saudara, dan hajatan tetangga. Besarnya pangan pokok yang diberikan pada pihak lain adalah 37,04 gramkaphari yang setara dengan energi sebesar
133,34 kkalkaphari atau 2,62 dari total output pangan pokok. Beberapa rumah tangga yang memiliki anak yang tinggal di kota lain seringkali
menyisihkan sebagian beras dari hasil panen untuk diberikan pada anaknya. Meskipun jumlahnya hanya sedikit, tetapi petani yang berperan sebagai orang
tua ingin membagikan hasil panen kepada anaknya sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang yang tidak bisa diwujudkan dalam bentuk uang.
Di samping itu, pangan pokok juga diberikan pada saudara atau tetangga
yang sedang
memiliki hajatan.
Meskipun kebiasaan
memberikanmenyumbangkan beras saat hajatan sudah mulai ditinggalkan, tetapi ada beberapa rumah tangga responden yang masih menggunakan sistem
commit to user 55
ini. Hal ini dilakukan terutama apabila orang yang mengadakan hajatan adalah saudara atau tetangga dekat. Jumlah beras yang diberikan kepada saudara atau
tetangga besarnya berbeda-beda, tergantung persediaan beras yang dimiliki dan tingkat kedekatan hubungan antara responden dengan pihak yang akan diberi
beras. Kisaran beras yang diberikan pada setiap hajatan sekitar 10 kg hingga 25 kg.
Rata-rata ketersediaan beras pada rumah tangga petani di Kecamatan Bulu adalah 349,20 gramkaphari atau setara dengan energi sebesar 1.257,13
kkalkaphari. Ketersediaan pangan pokok ini masih tergolong rendah, karena nilainya kurang dari 1400 kkalkaphari. Hal ini disebabkan oleh berbagai
faktor seperti faktor ekonomi, sifat lahan budidaya padi, dan kebiasaan dalam menyimpan beras dalam rumah tangga. Ketersediaan pangan pokok rumah
tangga akan bervariasi sesuai dengan besar input dan output pangan pokok dari masing-masing rumah tangga. Sebaran ketersediaan beras pada rumah tangga
petani sampel secara rinci disajikan dalam Tabel 20. Tabel 20. Sebaran Ketersediaan Pangan Pokok Rumah Tangga Responden di
Kecamatan Bulu Kabupaten Sukoharjo
No. Kategori ketersediaan pangan pokok
Jumlah 1.
Tinggi 2
6,67 2.
Sedang 6
20,00 3.
Rendah 22
73,33 Jumlah
30 100,00
Sumber : Diolah dari Lampiran 4 Kategori ketersediaan pangan pokok dibagi dalam tiga kelas, yaitu
rendah ketersediaan pangan pokok 1400 kkalkaphari, sedang ketersediaan pangan pokok berada pada kisaran 1400-1600 kkalkaphari, dan tinggi
ketersediaan pangan pokok 1600 kkalkaphari. Berdasarkan Tabel 20 diketahui bahwa sebanyak 73,33 rumah tangga responden memiliki
ketersediaan pangan pokok yang rendah dan hanya 6,67 rumah tangga saja yang ketersediaan pangan pokoknya tinggi.
Ketersediaan pangan pokok pada rumah tangga petani ini salah satunya dipengaruhi oleh hasil produksi usahatani. Rumah tangga responden
merupakan rumah tangga pertanian yang tidak memperoleh pendapatan secara kontinyu dari usahatani yang dijalaninya. Hal ini disebabkan sektor pertanian
commit to user 56
terutama usahatani padi bergantung pada beberapa faktor yang tidak dapat dikendalikan oleh petani, seperti musim, pengairan, hama dan penyakit, serta
harga. Apalagi lahan pertanian yang diusahakan oleh petani di Kecamatan Bulu adalah lahan sawah tadah hujan. Hal ini semakin meningkatkan ketergantungan
petani kepada alam. Sawah tadah hujan di Kecamatan Bulu sepenuhnya mengandalkan air hujan sebagai sumber pengairannya. Apabila intensitas hujan
menurun, maka padi akan kekurangan air dan akan berdampak pada turunnya produksi padi, yang selanjutnya mempengaruhi ketersediaan pangan pokok
dalam rumah tangga petani. Sebaliknya, apabila air tersedia terlalu banyak, maka sawah menjadi tergenang dan akan berdampak pada berkembangnya
hama yang akan menyerang tanaman. Serangan hama juga akan menurunkan produksi.
Beberapa faktor sosial ekonomi tertentu, seperti lahan pertanian yang sempit, kemiskinan, dan pendapatan yang rendah juga menyebabkan
ketersediaan pangan rendah. Ketiga hal ini merupakan permasalahan yang saling berkaitan dan masih dihadapi oleh rumah tangga petani khususnya di
Kecamatan Bulu. Lahan pertanian yang sempit disebabkan kerena jumlah rumah tangga pertanian semakin banyak, sementara lahan pertanian jumlahnya
tetap. Luas sempitnya lahan pertanian berdampak pada produksi dan pendapatan petani. Apabila lahan pertanian sempit, maka produksi usahatani
menjadi rendah dan berakibat pada rendahnya pendapatan petani. Sebagian besar kebutuhan pangan masyarakat yang tinggal di pedesaan
dipenuhi dari produksi setempat. Gangguan terhadap kelancaran produksi dapat berpotensi memicu kekurangan pangan. Apabila kekurangan pangan pokok
secara makro dapat dipenuhi dengan importransfer dari daerah lain, belum tentu masyarakat di tingkat rumah tangga mampu menjangkaunya karena
kegagalan produksi berdampak pada penurunan pendapatan yang juga akan menurunkan daya beli.
Ketersediaan pangan pokok yang rendah akan berpengaruh terhadap tingkat konsumsi gizi rumah tangga. Berdasar survei konsumsi pangan
Kabupaten Sukoharjo tahun 2009, beras padi-padian merupakan penyumbang energi terbesar dalam konsumsi pangan rumah tangga, yaitu sebesar 493,7
commit to user 57
kkalkaphari dari total kalori semua kelompok bahan pangan sebesar 1.385,4 kkalkaphari. Oleh karena itu, ketersediaan beras rumah tangga dalam jumlah
yang cukup sangat penting agar kebutuhan kalori setiap anggota rumah tangga dapat tercukupi.
C. Konsumsi Pangan Rumah Tangga