Status Gizi Balita Berdasarkan Tingkat Konsumsi Energi dan Tingkat Konsumsi Protein

dengan jumlah anak sedikit. Hal ini diikuti pendapat Suhardjo 2003 yang menyatakan bahwa jumlah anggota keluarga juga mempunyai pengaruh terhadap timbulnya masalah gizi. Balita yang mengalami status gizi kurang dan status gizi pendek, juga merupakan keluarga besar yang jumlah anggota keluarga yaitu sebanyak 7 orang atau lebih, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Nadaek 2011 di Kelurahan Pekan Dolok Masihul, yang meneliti gambaran pola makan dan status gizi anak balita berdasarkan karakteristik keluarga menunjukkan bahwa anak balita yang gizi kurang, pendek dan kurus ditemukan pada keluarga besar ≥7 orang. 5.4 Status Gizi Balita Berdasarkan Pola Makan di Daerah Aliran Sungai dan Daerah Trandas

5.4.1 Status Gizi Balita Berdasarkan Tingkat Konsumsi Energi dan Tingkat Konsumsi Protein

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.15 dan tabel 4.18 menunjukkan bahwa distribusi status gizi berdasarkan indeks BBU, status gizi kurang dengan tingkat konsumsi energi kurang di daerah aliran sungai sebesar 62,5 dan di daerah trandas sebesar 75,0, status gizi sangat kurang dengan tingkat konsumsi defisit sebesar 50,0 di daerah aliran sungai dan sebesar 100,0 di daerah trandas. Berat badan merupakan massa tubuh yang sangat sensitif terhadap perubahan yang mendadak bila menurunnya nafsu makan dan terserang penyakit, karena berat badan parameter yang memberikan gambaran masa tubuh. Universitas Sumatera Utara Balita dengan status gizi kurang dengan tingkat konsumsi kurang, jika dalam jangka waktu lama dapat mengakibatkan perkembangan dan pertumbuhan balita terganggu dan dapat mengakibatkan defisiensi gizi. Menurut Depkes RI dalam Rosnita 2009, kekurangan mengonsumsi energi dalam waktu lama bisa mengakibatkan penurunan berat badan dan kekurangan zat gizi lainnya. Penurunan berat badan yang berlanjut akan menyebabkan keadaan gizi kurang yang nantinya menghambat tumbuh kembang balita. Pada tabel 4.16 dan tabel 4.19 menunjukkan bahwa berdasarkan indeks PBU atau TBU balita dengan status gizi pendek dengan tingkat konsumsi kurang di daerah aliran sungai sebesar 45,5 dan di daerah trandas sebesar 29,4. Status gizi pendek dengan tingkat konsumsi energi defisit sebesar 9,0 di daerah aliran sungai dan status gizi sangat pendek dengan tingat konsumsi energi defisit sebesar 100,0 di daerah trandas. Hal ini diasumsikan, pada masa kehamilan ataupun pada saat bayi diawal pertumbuhan balita mengalami asupan makan yang kurang dan sering mengalami penyakit infeksi. Balita dengan status gizi sangat pendek dan pendek dengan tingkat konsumsi energi kurang dan defisit bila dibiarkan dalam jangka waktu lama mengakibatkan pertumbuhan balita terhambat. Menurut Harper 1986 dikutip Rosnita 2009, jika zat gizi cendrung dalam kekurangan pada saat kehidupan maka gangguan pertumbuhan fisik untuk waktu yang lama cendrung terjadi. Pada tabel 4.17 dan tabel 4.20 menunjukkan bahwa berdasarkan indeks BBPB atau BBTB, balita status gizi kurus dengan tingkat konsumsi energi kurang di daerah aliran sungai sebesar 60,0 dan di daerah trandas sebesar 100,0, Universitas Sumatera Utara balita dengan tingkat konsumsi defisit di daerah aliran sungai sebesar 20,0 dan balita dengan status gizi sangat kurus dengan tingkat konsumsi defisit di daerah trandas sebesar 100,0. Hal ini diasumsikan karena menurutnya nafsu makan pada saat ini. Menurut Lawson.M 2009, pertumbuhan dan penambahan berat badan yang lambat menandakan seorang balita tidak tumbuh baik karena kekurangan gizi dan juga dapat diakibatkan oleh penyakit coeliac usus tidak dapat menyerap nutrisi makanan, gangguan jantung, gangguan system saraf. Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 4.21 dan tabel 4.24 menunjukkan bahwa berdasarkan indeks BBU status gizi kurus berdasarkan tingkat konsumsi protein kurang di daerah aliran sungai sebesar 87,5 dan di daerah trandas sebesar 37,5. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun balita tersebut kurang dalam tingkat konsumsi protein namun sebagian besar dari mereka memiliki status gizi normal, ini diasumsikan karena konsumsi energi yang mencukupi. Sebagian kecil balita dengan status gizi kurang, sangat kurang dengan tingkat konsumsi protein kurang dan defisit, hal ini dapat menyebabkan balita mengalami gangguan pertumbuhan. Konsumsi protein sangat dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan balita, kekurangan konsumsi protein pada masa balita dapat menyebabkan terganggunya atau terlambatnya pertumbuhan Almatsier, dkk 2011. Pada tabel 4.22 dan tabel 4.25 menunjukkan bahwa indeks PBU atau TBU berdasarkan status gizi pendek dengan tingkat konsumsi protein kurang di daerah aliran sungai sebesar 72,7 dan di daerah trandas sebesar 29,4, status gizi pendek dengan tingkat konsumsi protein defisit di daerah aliran sungai sebesar 9,1 dan di daerah trandas sebesar 11,8. Menurut Waterlow dalam Supariasa 2002, Universitas Sumatera Utara kekurangan protein pada balita dalam jangka waktu lama akibat yang ditimbulkan pada balita adalah anak menjadi pendekstunting menurut umurnya. Pada tabel 4.23 dan tabel 4.26 menunjukkan bahwa indeks BBPB atau BBTB berdasarkan status gizi kurus dengan tingkat konsumsi protein kurang di daerah aliran sungai sebesar 80,0 dan di daerah trandas sebesar 25,0, status gizi sangat kurus dengan tingkat konsumsi protein defisit di daerah trandas sebesar 100,0. Hal ini menunjukkan bahwa apabila balita mengalami kekurangan protein dalam jangka waktu yang lama akan berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan balita, karena protein diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan. Dalam masa pertumbuhan protein merupakan bahan pembentuk dasar struktur sel tubuh Almatsier, dkk 2011. Rendahnya konsumsi energi dan protein hal ini diasumsikan, karena balita sering sakit dan tidak adanya selera makan sehingga asupan makanan kurang dan juga disebabkan pendapatan yang rendah dan jumlah keluarga yang banyak sehingga mempengaruhi akses pangan dalam keluarga. Hal ini sesuai dengan pendapat Soehardjo, 2003 yang menyatakan bahwa pendapatan yang rendah menyebabkan daya beli yang rendah pula, sehingga tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan, keadaan ini sangat berbahaya untuk kesehatan keluarga dan akhirnya dapat berakibat buruk terhadap keadaan status gizi terutama bagi balita. Dalam kaitannya dengan status gizi pendapatan mempunyai hubungan yang erat dengan perubahan dan perbaikan konsumsi pangan, tetapi pendapatan yang tinggi belum tentu menjamin keadaan gizi yang baik. Universitas Sumatera Utara Hasil penelitian Sarah, M. dalam Julita, P.S 2010 di wilayah kerja Puskesmas Pantai Cermin Kecamatan Tanjung Pura Kabupaten Langkat menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat pendapatan keluarga kategori rendah di bawah UMR dengan berat badan menurut tinggi badan BBTB anak balita. Hasil penelitian Utomo dalam Julita, P.S 2010 di wilayah kerja Puskesmas Suruh Kabupaten Semarang menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu, jumlah anggota keluarga, pengetahuan ibu dengan status gizi balita. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Berg 1986 bahwa jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar, empat kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga kecil. Anak-anak yang mengalami gizi kurang pada keluarga beranggota banyak, lima kali lebih besar dibandingkan dengan keluarga beranggota sedikit. 5.5 Pola Penyakit Balita Berdasarkan Jenis, Frekuensi dan Lama Sakit di Daerah Aliran Sungai dan Daerah Trandas Hasil penelitian yang terlihat pada tabel 4.27 menunjukkan bahwa sebagian besar balita mengalami pernah sakit dalam satu bulan terakhir di daerah aliran sungai sebesar 95,0 dan di daerah trandas sebesar 93,3. Pada tabel 4.28 menunjukkan bahwa sebagian besar jenis penyakit yang dialami balita dalam satu bulan terakhir adalah flu, di daerah aliran sungai sebesar 38,6 dan di daerah trandas sebesar 61,4. Ada sebagian kecil balita menderita diare sebesar 66,7 di daerah aliran sungai dan sebesar 33,3 di daerah trandas. Hal Universitas Sumatera Utara ini terlihat bahwa penyakit ini dipengaruhi oleh faktor daya tahan tubuh dan lingkungan yang lembab dan kotor yang mengandung bibit penyakit, asap pembakaran hutanlahan perkebunan dan cuaca ekstrim sehingga keadaaan tersebut memicu terjadinya penyakit flu. Hal ini disebabkan, di daerah aliran sungai keluarga yang tinggal didalam rumah sangat jarang membuka jendela sehingga udara didalam rumah bisa menjadi lembab karena kurangnya pencahayaan, kondisi rumah yang tidak memiliki asbes sehingga debu dari atap rumah bisa langsung terhiup, lantai rumah yang terbuat dari papan kondisi kerapatannya kurang sehingga memungkinkan udara masuk dari bawah, kondisi lingkungan rumah yang selalu lembab, dan juga hygient dan sanitasi yang kurang. Sedangkan di daerah trandas kondisi rumah juga tidak memiliki asbes sehingga debu dari atap rumah bisa langsung terhirup, lantai rumah yang terbuat dari papan kondisi kerapatannya juga kurang sehingga memungkinkan udara masuk dari bawah sehingga udara didalam rumah bisa menjadi lembab karena kondisi rumah merupakan rumah panggung dan juga pada saat musim hujan ataupu banjir kondisi lingkungan rumah menjadi lembab dan pada musim panas adanya debu dari badan jalan karena masih dalam tahap pengerasan dan terkadang adanya asap dari pembakaran hutanlahan . Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Polumulo 2012 yang mengatakan bahwa 86,5 balita menderita common cold dengan ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat, berdasarkan uji statistik tidak terdapat hubungan ventilasi rumah dengan kejadian common cold pada wilayah kerja Puskesmas Tamalate Kota Gorontalo. Universitas Sumatera Utara Menurut Kusnoputranto, H yang dikutip Rosnita 2009, bahwa lingkungan kotor akan mengakibatkan keleluasan agen untuk hidup dan berkembang biak, agen bisa saja sewaktu-waktu menyerang pejamu bila tubuh sedang lemah akan menyebabkan penyakit. Flu, batuk, pilek dan demam penyakit yang banyak di derita balita yang disebabkan virus atau alergi. Kelembaban, curah hujan, suhu dan pencemaran lingkungan seperti hasil pembakaran hutan dapat memperberat penyakit Anonim,2009. Pada tabel 4.29 menunjukkan bahwa balita di daerah aliran sungai dan daerah trandas frekuensi sakit 1 kali dengan jenis sakit flu masing-masing sebesar 88,9 dan 92,9, hal ini menunjukkan balita sangat rentan terhadap penyakit. Hal ini diasumsikan karena kurangnya pola asuh pada balita, prilaku ibu yang kurang baik terhadap perawatan kesehatan balitanya, kebersihan diri dan sanitasi lingkungan, juga merupakan penyebab timbulnya berbagai penyakit pada balita. Pada tabel 4.30 menunjukkan bahwa balita di daerah aliran sungai sebagian besar balita mengalami lama sakit 1-2 minggu dengan jenis sakit flu sebesar 100, pada daerah trandas sebagian balita mengalami lama sakit 1 minggu dengan jenis sakit yaitu flu sebesar 95,2, hal ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan yang lembab dan kotor yang mengandung bibit penyakit, hygient buruk, kondisi kelembaban didalam rumah menjadi tempat perkembangbiakan bakteri dan jamur, bisa berpengaruh karena banyaknya barang-barang yang ada dalam satu rumah dan struktur rumah yang tidak memenuhi syarat sehingga dapat mempengaruhi lamanya sembuh penyakit. Universitas Sumatera Utara

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN