Gambaran Pola Asuh Makan Pada Baduta Gizi Kurang di Wilayah Kerja Puskesmas Sukamulya Tahun 2012
GAMBARAN POLA ASUH MAKAN PADA ANAK USIA BAWAH DUA TAHUN (BADUTA) GIZI KURANG DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS
SUKAMULYA KABUPATEN TANGERANG TAHUN 2012
SKRIPSI
Oleh : SITI JULAEHA
105101003255
PEMINATAN GIZI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1433H/2012
(2)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 30 Desember 2012
(3)
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, 30 Desember 2012
Siti Julaeha, NIM: 105101003255
Gambaran Pola Asuh Makan Pada Baduta Gizi Kurang di Wilayah Kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang Tahun 2012
xxvii + 148 halaman, 8 tabel, 2 bagan, 5 lampiran
ABSTRAK
Kekurangan gizi pada baduta baik akut maupun kronis, dapat dipastikan mempengaruhi daya tahan tubuh, pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif baduta, yang pada gilirannya memberikan kontribusi pada meningkatnya kematian dan kesakitan baduta, serta menurunnya prestasi akademik dan produktivitas sumber daya manusia di masa mendatang. Pola asuh anak yang tidak memadai merupakan faktor penting dalam menyebabkan masalah gizi kurang pada Baduta. Pola asuh makan merupakan bagian dari pola asuh gizi, yang dapat dilihat dari perilaku ibu dalam pemberian air susu ibu (ASI) dan makanan pendamping ASI (MP-ASI).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran pola asuh makan pada baduta gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang Tahun 2012 yang dilakukan pada bulan April - Desember tahun 2012. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sampel yang digunakan sebanyak 15 orang yang terdiri dari 7 orang informan utama dan 9 orang informan pendukung. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam dan observasi mengenai pengetahuan, sikap, dan praktik ibu dalam hal perilaku pemberian ASI dan MP-ASI pada baduta, penilaian status gizi baduta dilakukan dengan cara mengukur
berat badan anak dengan menggunakandacin dan panjang badan dengan
menggunakanSECA atau microtoice. Penilaian status gizi berdasarkan z-score BB/U
dan PB/U dibandingkan dengan baku WHO-NCHS. Informan utama dalam penelitian ini adalah ibu yang memiliki anak gizi kurang yang berusia dibawah dua tahun (baduta) di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang tahun 2012.
Gambaran pola asuh makan ibu baduta gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya secara umum buruk karena sebagian besar informan memiliki pengetahuan, sikap dan praktik pemberian ASI dan MP-ASI yang buruk. Hampir semua informan memiliki pengetahuan, sikap dan praktik yang buruk terkait ASI eksklusif, kolostrum, waktu yang tepat untuk memberikan ASI pertama kali, tidak mengerti komposisi ASI, bahaya pemberian MP-ASI dini, serta tidak mengetahui waktu yang tepat untuk melakukan penyapihan. Namun meskipun demikian, ada beberapa informan utama memiliki pengetahuan yang baik dalam hal frekuensi pemberian ASI dan lamanya pemberian ASI, selain itu mereka juga memiliki sikap
(4)
yang baik terhadap frekuensi pemberian ASI dan memiliki praktik yang baik dalam hal frekuensi pemberian ASI dan lamanya pemberian ASI.
Gambaran pola pemberian MP-ASI pada ibu baduta gizi kurang juga secara umum juga buruk. Sebagian informan memiliki pengetahuan, sikap dan praktek yang buruk terhadap pemberian MP-ASI, waktu pemberian MP-ASI pertama kali, tahapan pemberian MP-ASI, dan manfaat MP-ASI yang tepat bagi anak. Namun meskipun demikian pengetahuan, sikap dan praktik ibu baduta gizi kurang terhadap komposisi dan porsi MP-ASI, frekuensi pemberian MP-Asi serta cara pembuatan MP-ASI sudah cukup baik.
Pola asuh makan atau perilaku ibu baduta gizi kurang yang buruk dalam hal pemberian ASI dan MP-ASI, merupakan penyebab baduta menderita gizi kurang. Perilaku ibu baduta yang buruk, mungkin disebabkan oleh kurangnya penyuluhan kesehatan dari petugas kesehatan atau kurangnya pemahaman dan kesadaran mereka dalam hal pentingnya ASI eksklusif dan MP-ASI yang tepat untuk pertumbuhan dan perkrmbangan anak serta dimungkinkan karena kebiasaan-kebiasaan pemberian makanan baduta yang sejak awal memang sudah buruk.
Berdasarkan hasil penelitian, disarankan kepada petugas Puskesmas sebaiknya melakukan pendekatan-pendekatan dengan cara bekerjasama denga tokoh masyarakat yang berpengaruh diwilayah setempat dalam upaya memperbaiki perilaku atau kebiasaan-kebiasaan buruk terkait pemberian ASI dan MP-ASI yang sudah mendarah daging di masyarakat, selain itu perlu dilakukan peningkatan program penyuluhan kesehatan dan pendampingan gizi baik secara individu maupun kelompok dengan menggunakan contoh menu makanan yang dilengkapi dengan komposisi, porsi, frekuensi dan cara penyajiannya sehingga dapat mudah dipahami oleh ibu baduta,
serta memberikan reward kepada ibu baduta yang memiliki perilaku baik dalam hal
pemberian ASI dan MP-ASI. Daftar bacaan: 52 (1987-2011)
(5)
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH
Undergraduate Thesis, 30 December 2012 Siti Julaeha, NIM: 105101003255
DescribeParentingEatAtChildren Under The Age Of Two
Years(Baduta)MalnutritionIn The Working AreaSukamulyaTangerang DistrictHealth Centers (Puskesmas)In 2012
xxvii + 148 pages, 8 tables, 2 charts, 5 attachments
ABSTRACT
This studyaims to describeparentingeatatchildren under the age of two years(baduta)malnutritionin the working areaSukamulyaTangerang districthealth centers (Puskesmas)in 2012. It wasconducted inApril-Decemberin 2012.This study used a qualitative approach. Samples used as many as 15 people consisting of 7 the key informants and 9 secondary informants.Data was collected by in-depth interviews and observations of the knowledge, attitudes and practices of mothers in
breastfeeding behaviors and MP-ASI on baduta, assessment of nutritional status
baduta done by measuring the child's weight using the balance scales and the length
of the body by using a SECA or microtoice. Assessment of nutritional status based on
z-score W / A and PB / U compared with standard WHO-NCHS. Key informants in
this study were mothers of undernourished baduta in the working area of Tangerang
District Health Center Sukamulya 2012.
This study shows that the parenting maternal eating baduta malnutrition at
health center working area Sukamulya is generally bad because most of the informants have the poor knowledge, attitude and practice of breastfeeding and complementary feeding. Almost all informants have poor knowledge, attitude and practices related toexclusive breastfeeding, colostrum, good timingat first time breastfeeding. They do not understand the composition of breast milk, the dangers of early complementary feeding, and the right time to do the weaning. However, some
mothers’ baduta malnutrition have good knowledge in terms of frequency and
duration of breastfeeding, in addition they have a good attitude towards the frequency of breast-feeding and weaning age and they also have a good practices in terms of the frequency of breast-feeding and duration of breastfeeding.
The pattern of provision of complementary feeding on maternal malnutrition baduta is also generally too bad. Some informants have the knowledge, attitudes and practices that adversely affect the provision of complementary feeding, timing of
complementary feeding first time, giving MP-ASI stages, and the benefits of
appropriate complementary feeding for children. However, they have good
knowledge, attitude and practice of maternal malnutrition on the composition baduta
and share complementary feeding, frequency of MP-ASI and ways of making the
(6)
The bad parenting dining or maternal behavior baduta malnutrition,in terms
of breastfeeding and complementary feeding, is a cause baduta suffer malnutrition.
Baduta poor maternal behavior may be caused by a lack of health education from health personnel or lack of understanding and awareness on the importance of exclusive breastfeeding and appropriate complementary feeding for children growth. This is also may be caused by the feeding habits baduta that since the beginning gone bad.
Based on these results, it is recommended to the health center personnel make approaches by working premises of influential community leaders local region in an effort to improve behavior or bad habits associated with breastfeeding and complementary feeding which is ingrained in the community, but it needs to be done increased health education programs and nutrition assistance either individually or in groups using a sample menu of food that comes with the composition, portion, frequency and manner of presentation so that it can be easily understood by the
mother baduta, and give rewards to baduta mother who had good behavior in terms
of breastfeeding and MP-ASI. The reading list : 52 (1987-2011)
(7)
PERNYATAAN PERSETUJUAN
GAMBARAN POLA ASUH MAKAN PADA BADUTA GIZI KURANG DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SUKAMULYA KABUPATEN
TANGERANG TAHUN 2012
Telah diperiksa, disetujui dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 30 Desember2012
Mengetahui
Febrianti, M.Si Minsarnawati, SKM, M.Kes
(8)
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta,16 Januari 2013
Mengetahui,
Penguji I
Raihana N.Alkaff, M. MA
Penguji II
Ratri Ciptaningtyas, SSN. Kes
Penguji III
(9)
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Identitas Diri
Nama : Siti Julaeha
Tempat/Tanggal Lahir : Tangerang 27 Juni 1986
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Status : Menikah
Alamat : Kp. Palis Tegal Ds. Kaliasin RT. 07/01 Kecamatan
Sukamulya Kabupaten Tangerang 15610
Nomor Telepon : 083870926723/ 082110705689
Riwayat Pendidikan
1994 – 2000 SDN Jengkol III Kecamatan Kresek
2000 – 2003 Madrasah Tsanawiyah Negeri Sukamulya
2003 – 2006 SMAN I Kabupaten Tangerang (Kelas III bidang studi
IPA)
2005 – 2012 Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN)
(10)
LEMBAR PERSEMBAHAN
Sembah Bakti penulis haturkan kepada ayahanda tercinta abah H. Asnali yang
sudah banyak membekali penulis dengan pendidikan/ sekolah sebagai bekal untuk
masa depan dalam mengarungi hidup.
Teruntuk ibunda tercinta Hj. Jamsah yang telah melahirkan, membesarkan
dan mendidik anaknya dengan penuh cinta kasih dan sayang. Semoga penulis dapat
mengikuti jejak bunda menjadi orangtua yang bijaksana dalam mendidik,
membesarkan dan mengantar anak-anak menggapai masa depan yang cerah. Do’akan
anakmu bunda...
Ayahanda mertua Alm. H. Buang dan ibunda mertua Hj. Arimah atas doa
yang tulus yang senantiasa mengiringi langkahku menapak hari-hari dalam hidup.
Kakanda tercinta Mr. Kusnadi M.Pd, Abdul Rohim, Jaelani beserta
bidadari-bidadari nan cantik & baik hati (Mama Hilal, Ami Kiki, Bunda Afsel, De eva) serta
Adik-adiku tersayang (Su’ud, Lila, Anam dan Cuel) Terimakasih untuk segala cinta
dan kasih sayang.
Suamiku tercinta (Hidayat S.Ag), terima kasih atas pengertian, dukungan dan
pengorbanan lahir batin yang telah diberikan. Doa setiap waktu dalam Shalat
malammu yang memberi kekuatan dan semangat penulis dalam menyelesaikan
pendidikan.
Anakku tercinta Muhammad Farhan Kamil “Bunda sayang Ade..” Doa, tawa
dan ceriamu menjadi energi positif yang memberi kekuatan buat bunda dalam
(11)
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan
limpahan rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan judul “Gambaran Pola Asuh Makan Pada Baduta Gizi Kurang di Wilayah
Kerja Puskesmas Sukamulya Tahun 2012”. Shalawat serta salam penulis mohonkan
ke hadirat Allah SWT, semoga selalu dialirkan kepada nabi dan rasul akhir zaman,
Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, segenap sahabat dan umat-Nya. Amin.
Ucapan terima kasih teruntukIbu Febrianti, M.Si dan Ibu Minsarnawati,
SKM, M.Kes,selakuPembimbing I dan Pembimbing IIyang dengan penuh kesabaran, ketekunan dan kelembutan telah banyak memberikan bimbingan dan arahan serta
motivasi dalam penyusunan skripsi.
Tak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu tersusunnya skripsi ini. Terima kasih ini penulis haturkan kepada :
1. Bapak Prof. DR (HC) dr. MK Tajudin S.And, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Febrianti, M.Si, selaku Ketua Program Studi Kesehatan masyarakat UIN
syarif Hidayatullah Jakarta beserta para Dosen yang sangat berjasa dalam
memberikan pendidikan sebagai bekal hidup yang berharga bagi penulis.
3. Ibu Raihana N.Alkaff, M. MA, Ibu Ratri Ciptaningtyas, SSN. Kes, Ibu Catur
Rosidati, SKM.MKM, selaku dosen penguji skripsi sekaligus pembimbing
(12)
4. Staf Puskesmas Sukamulya, Ibu Henalusti (TPG) dan Bpk.Khaerudin,
SKMserta staf Puskesmas lain yang sudah banyak membantu, Selamat
bertugas.
5. Para Ibu bayi beserta keluarga informan, terimakasih atas kesediaannya
menjadi informan .
6. Sahabat-sahabatku Endah, Giri, Ita, Retno, Eka dan sahabat satu bimbingan
yang lain. Terimakasih atas doa, semangat dan bantuannya selama ini.
Bersama kalian aku jadi berani untuk melangkah maju.
7. Sahabat-sahabatku Nungky, Eva, Rahma,Rofa, Pipit, Riri dan Elok.
Terimakasih atas saran, doa dan dukungannya, sampai kapanpun kalian tetap
sahabatku.
8. Sahabat-sahabatku sedari kecil “wong palis kabeh”, terimakasih untuk semua.
Penulis menyadari penulisan skripsi ini masih kurang dari sempurna, sehingga
sangat diharapkan saran dan kritikanya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak.
Jakarta, 15 Desember 2012
(13)
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ... i
ABSTRAK ...ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN ... vi
RIWAYAT HIDUP PENULIS ... viii
LEMBAR PERSEMBAHAN ... ix
KATA PENGANTAR ... x
PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 8
1.3 Pertanyaan Penelitian ... 10
1.4 Tujuan Penelitian ... 10
1.4.1 Tujuan Umum ... 10
1.4.2 Tujuan Khusus ... 10
1.5 Manfaat Penelitian ... 10
1.5.1 Manfaat Bagi Puskesmas ... 10
1.5.2 Manfaat Bagi Ibu Baduta ... 11
1.5.3 Manfaat Bagi Peneliti ... 11
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 12
BAB II ... 13
TINJAUAN PUSTAKA ... 13
2.1 Perilaku ... 13
2.1.1 Pengertian ... 13
2.1.2 Proses Adopsi Perilaku ... 17
(14)
2.1.4 Perilaku Kesehatan ... 21
2.1.5 Pengukuran dan Indikator Perilaku Kesehatan ... 22
2.2 Pola Asuh Anak ... 26
2.3 Pola Asuh Makan ... 30
2.4 Jenis-jenis makanan anak usia 0-24 bulan ... 32
2.4.1 Air Susu Ibu (ASI) ... 32
2.4.2 Makanan Pengganti Air Susu Ibu (PASI) ... 34
2.4.3 Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) ... 37
2.4.4 Kebutuhan Gizi Anak Usia 0 sampai 24 Bulan... 45
2.4.5 Persiapan dan Penyimpanan Makanan ... 55
2.4.6 Perawatan Kesehatan ... 55
2.5 Status Gizi ... 58
2.5.1 Penilaian Status Gizi ... 60
2.5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi ... 66
BAB III ... 70
KERANGKA PIKIR DAN DEFINISI ISTILAH ... 70
3.1 Kerangka Pikir ... 70
3.2 Definisi Istilah ... 71
BAB IV ... 76
METODE PENELITIAN ... 76
4.1 Jenis Penelitian ... 76
4.2 Waktu dan Tempat Penelitian... 76
4.3 Informan Penelitian ... 77
4.4 Instrumen Penelitian ... 78
4.5 Pengumpulan Data ... 78
4.6 Analisis Data ... 79
4.7 Validasi Data ... 80
BAB V ... 81
HASIL PENELITIAN ... 81
5.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 81
(15)
5.1.2 Gambaran Umum Program Perbaikan Gizi di Puskesmas Sukamulya .. 82
5.2 Karakteristik Informan ... 83
5.2.1 Informan Utama ... 84
5.2.2 Informan Pendukung ... 88
5.3 Hasil Penelitian ... 91
5.3.1 Gambaran Pola Asuh Makan ... 91
BAB VI ... 104
PEMBAHASAN ... 104
6.1 Pengetahuan Pemberian ASI ... 104
6.2 Sikap Pemberian ASI ... 106
6.3 Praktek Pemberian ASI ... 108
6.4 Pengetahuan Pemberian MP-ASI ... 110
6.5 Sikap Pemberian MP-ASI ... 113
6.6 Praktek Pemberian MP-ASI... 113
BAB VII ... Error! Bookmark not defined. KESIMPULAN DAN SARAN ... Error! Bookmark not defined. 7.1 Kesimpulan ... Error! Bookm ark not defined. 7.2 Saran ... Error! Bookm ark not defined. DAFTAR PUSTAKA ... 120
(16)
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Usia 0 sampai 24 bulan atau yang biasa dikenal dengan istilah baduta (bayi
dibawah dua tahun) merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat,
sehingga kerap diistilahkan sebagai periode emas sekaligus periode kritis. Periode
emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini bayi dan anak memperoleh asupan gizi
yang sesuai untuk tumbuh kembang optimal. Sebaliknya apabila bayi dan anak pada
masa ini tidak memperoleh makanan sesuai kebutuhan gizinya, maka periode emas
akan berubah menjadi periode kritis yang akan mengganggu tumbuh kembang bayi
dan anak, baik pada saat ini maupun masa selanjutnya (Depkes RI, 2006).
Baduta merupakan salah satu kelompok rawan gizi. Kekurangan gizi pada
baduta dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, social,
dan intelektual yang sifatnya menetap dan terus dibawa sampai anak menjadi dewasa.
Selain itu kekurangan gizi dapat menyebabkan terjadinya penurunan atau rendahnya
daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi. World Healthy Organization (WHO)
menyatakan terjadinya gagal tumbuh akibat kurang gizi pada masa bayi
mengakibatkan terjadinya penurunan Intelektual Question (IQ) 11 point lebih rendah
dibandingkan dengan anak yang tidak kurang gizi (Depkes RI, 2006)
Pola asuh makan pada bayi meliputi pemberian gizi yang cukup dan seimbang
melalui pemberian air susu ibu (ASI) dan makanan pendamping ASI (MP-ASI).
(17)
paling baik dalam memenuhi kebutuhan gizi bayi, dilanjutkan dengan pemberian
MP-ASI yang tepat serta MP-ASI dilanjutkan pemberiannya sampai usia dua tahun merupakan
kunci agar anak dapat tumbuh kembang secara optimal (Dinkes Prop SU, 2006).
Anjuran WHO adalah memberikan ASI secara maksimal, tetapi sampai usia
tertentu ASI tidak dapat lagi memenuhi seluruh kebutuhan, karena bayi memerlukan
makanan tambahan sebagai pendamping ASI. (WHO, 1999).
MP-ASI adalah makanan atau minuman yang mengandung gizi diberikan
kepada bayi/anak untuk memenuhi kebutuhan gizinya.MP-ASI adalah makanan yang
diberikan pada bayi yang telah berusia enam bulan atau lebih karena ASI tidak lagi
memenuhi gizi bayi. Pemberian makanan pendamping dilakukan secara
berangsur-angsur untuk mengembangkan kemampuan bayi mengunyah dan menelan serta
menerima macam-macam makanan dengan berbagai tekstur dan rasa. MP-ASI
merupakan proses transisi dari asupan yang semata berbasis susu menuju ke makanan
yang semi padat. Untuk proses ini juga dibutuhkan ketrampilan motorikoral.
Ketrampilan motorik oral berkembang dari refleks menghisap menjadi menelan
makanan yang berbentuk bukan cairan dengan memindahkan makanan dari lidah
bagian depan ke lidah bagian belakang (Sulistijani, 2001).
Dalam periode pemberian MP-ASI, bayi tergantung sepenuhnya pada
perawatan dan pemberian makanan oleh ibunya. Oleh karena itu pengetahuan dan
sikap ibu sangat berperanan, sebab pengetahuan tentang ASI danMP-ASI dan sikap
yang baik terhadap pemberian ASI dan MP-ASI akan menyebabkan seseorang
(18)
pengetahuan gizi seseorang maka ia akan semakin memperhitungkan jenis dan
jumlah makanan yang diperolehnya untuk dikonsumsi (Ahmad Djaeni, 2000).
Untuk dapat menyusun menu yang adekuat, seseorang perlu memiliki
pengetahuan dan sikap yang baik mengenai bahan makanan dan zat gizi, kebutuhan
gizi seseorang serta pengetahuan hidangan dan pengolahannya. Umumnya menu
disusun oleh ibu (Soegeng Santoso dan Anna Lies Ranti, 1999).
Pemberian MP-ASI meliputi terutama mengenai kapan MP-ASI harus
diberikan, jenis bentuk dan jumlahnya (Krisnatuti, 2000). Waktu yang tepat untuk
pemberian MP-ASI adalah usia 4 sampai 6 bulan (Lawson, 2003). Cara pemberian
pertama kali berbentuk cair menjadi lebih kental secara bertahap (Octopus, 2006).
Jadi pemberian MP-ASI yang cukup dalam hal kualitas ataupun kuantitas, penting
untuk pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan anak (Graimes, 2008).
Pemberian MP-ASI ini juga harus memperhatikan kondisi anak, ciri anak
yang siap diberikan MP-ASI diantaranya adalah bayi dapat duduk dengan baik tanpa
dibantu; Reflek lidah bayi sudah hilang dan tidak secara otomatis mendorong
makanan padat keluar dari mulutnya dengan lidah; Bayi sudah siap dan mau
mengunyah; Bayi sudah bisa “menjumput”, dimana dia bisa memegang makanan atau
benda lainnya dengan jempol dan telunjuknya. Menggunakan jari dan menggosokkan
makanan ke telapak tangan tidak bisa menggantikan gerakan “menjumput”. Bayi
kelihatan bersemangat untuk ikut serta pada saat makan dan mungkin akan mencoba
untuk meraih makanan dan memasukkannya ke dalam mulut (Sulistijani, 2001).
Dari hasil beberapa penelitian menyatakan bahwa keadaan kurang gizi pada
(19)
yang tidak tepat. Ketidaktahuan tentang cara pemberian makanan bayi dan anak serta
adanya kebiasaan yang merugikan kesehatan, secara langsung dan tidak langsung
menjadi penyebab utama terjadinya masalah kurang gizi pada anak, khususnya pada
anak usia dibawah 2 tahun (Depkes RI, 2000).
Penelitian yang dilakukan oleh Agustina (2006) pada keluarga miskin di
Kelurahan Gundaling-I Kecamatan Brastagi, menunjukkan bahwa ada hubungan
antara praktek pemberian makan yang baik dengan status gizi anak 0 sampai 2 tahun.
Analisis analitik yang dilakukan oleh Alphara Anggraeni menunjukkan bahwa ada
hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan ibu tentang MP-ASI dengan tingkat
konsumsi protein anak usia 0 sampai 24 bulan (nilai p=0,001). Hasil uji analitik juga
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan ibu
tentang MP-ASI dengan tingkat konsumsi energi (nilai p=0,105) anak usia baduta,
tidak ada hubungan bermakna antara usia awal pemberian MP-ASI dengan tingkat
konsumsi energi (nilai p=0,140) dan tingkat konsumsi protein (nilai p=0,174) anak
usia baduta dan tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat konsumsi energi
dengan status gizi (nilai p=0,577) dan tingkat konsumsi protein dengan status gizi
anak usia baduta (nilai p=0,458).
Di Indonesia umumnya MP-ASI diberikan terlalu dini, terlalu banyak, dan
terlalu sering padahal keadaan lingkungan kurang menguntungkan sehingga infeksi
sering terjadi pada anak masa penyapihan. Disamping itu makanan yang diberikan
mempunyai kualitas rendah baik energi, protein, vitamin maupun mineral (Krause V,
2000). Pemberian makanan yang terlalu dini, terlalu sering dan terlalu banyak ini
(20)
berkurang, akibatnya produksi ASI berkurang, padahal makanan sapihan yang
diberikan tidak sebaik ASI. Jadi sudah ada perubahan praktek pemberian makanan
dari makanan pendamping ASI menjadi makanan pengganti ASI (Susanto JC, 2003).
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rita Mutia Bahri Terdapat hubungan
yang signifikan antara pengetahuan dengan pemberian MP-ASI (0,001), dan
hubungan yang signifikan antara sikap dengan pemberian MP-ASI (0,002).
Berdasarkan study kasus yang dilakukan di puskesmas kuala leumping kota bengkulu
diketahui bahwa ada hubungan antara pengetahuan ibu tentang MP-ASI dengan status
gizi anak usia 6 sampai 24 bulan dimana semakin baik pengetahuan ibu maka
semakin baik pula status gizi anak usia 6 sampai 24 bulan (Susanto JC, 2003).
Hasil Riskesdas tahun 2007 memperlihatkan bahwa secara umum prevalensi
gizi buruk dan gizi kurang menurut indikator BB/U di Indonesia yaitu gizi buruk
sebesar 5,4% dan gizi kurang sebesar 13,0%. Untuk Provinsi Banten prevalensi gizi
buruk yaitu sebesar 4,4% dan gizi kurang 12,2%. Sedangkan untuk Kabupaten
Tangerang prevalensi gizi buruk yaitu sebesar 2,6% dan gizi kurang sebesar 10,3%.
Meskipun prevalensi gizi buruk di Kabupaten Tangerang dan Provinsi Banten
dibawah angka prevalensi nasional, namun masalah ini merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang serius (Depkes RI, 2008).
Kekurangan gizi pada anak baik akut maupun kronis, dapat dipastikan
mempengaruhi daya tahan tubuh, pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif anak
yang pada gilirannya memberikan kontribusi pada meningkatnya kematian dan
kesakitan anak serta menurunnya prestasi akademik dan produktivitas sumber daya
(21)
(2001), kurang gizi pada usia muda dapat berpengaruh terhadap perkembangan
mental (kemampuan berfikir). Otak mencapai bentuk maksimal pada usia dua tahun,
kekurangan gizi pada usia ini dapat berakibat terganggunya fungsi otak secara
permanen (Almatsier, 2001).
Pada umumnya bayi mempunyai status gizi saat lahir yang kurang lebih sama
dengan status gizi bayi di Amerika. Akan tetapi seiring dengan bertambahnya umur,
disertai dengan adanya asupan zat gizi yang lebih rendah dibandingkan kebutuhari
serta tingginya beban penyakit infeksi pada awal-awal kehidupan maka sebagian
besar bayi Indonesia terus mengalami penurunan status gizi dengan puncak
penurunan pada umur kurang lebih 18 sampai 24 bulan. Pada kelompok umur inilah
prevalensi balita kurus (wasting) dan balita pendek (stunting) mencapai tertinggi
(Hadi, 2001). Setelah melewati umur 24 bulan, status gizi balita umumnya
mengalami perbaikan meskipun tidak sempurna. Balita yang kurang gizi mempunyai
risiko meninggal lebih tinggi dibandingkan balita yang tidak kurang gizi. Setiap tahun
kurang lebih 11 juta dan balita di seluruh dunia meninggal oleh karena
penyakit-penyakit infeksi seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), diare, malaria,
campak, dan lainnya. Ironisnya, 54% dan kematian tersebut berkaitan dengan adanya
kurang gizi (WHO, 2002).
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 memperlihatkan bahwa
secara umum prevalensi balita kurang gizi (balita yang mempunyai berat badan
kurang) secara nasional adalah sebesar 17,9 persen diantaranya 4,9 persen yang
gizi buruk. Prevalensi balita gizi kurang menurut provinsi yang tertinggi adalah
(22)
Sementara itu prevalensi balita pendek (stunting) secara nasional adalah sebesar
35,6 persen, dengan rentang 22,5 persen (DI Yogyakarta) sampai 58,4 persen
(NTT). Prevalensi balita kurus (wasting) secara nasional adalah sebesar 13,3
persen, dengan prevalensi tertinggi adalah Provinsi Jambi (20%), dan terendah
adalah Bangka Belitung (7,6%). Hasil Riskesdas 2010 menunjukan 40,6 persen
penduduk mengonsumsi makanan dibawah kebutuhan minimal (kurang dari 70%
dari Angka Kecukupan Gizi/AKG) yang dianjurkan tahun 2004. Berdasarkan
kelompok umur dijumpai 24,4 persen Balita, 41,2 persen anak usia sekolah,
54,5 persen remaja, 40.2 persen Dewasa, serta 44,2 persen ibu hamil
mengonsumsi makanan dibawah kebutuhan minimal. Untuk Provinsi Banten
prevalensi gizi buruk yaitu sebesar 4,4% dan gizi kurang 12,2%. Sedangkan untuk
Kabupaten Tangerang prevalensi gizi buruk yaitu sebesar 2,6% dan gizi kurang
sebesar 10,3%. Meskipun prevalensi gizi buruk di Kabupaten Tangerang dan Provinsi
Banten dibawah angka prevalensi nasional yaitu sebesar 17,9% , namun masalah ini
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius(Depkes RI, 2008).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Sukamulya
pada bulan februaritahun 2012 diketahui bahwa jumlah keseluruhan balita yang ada
di wilayah kerja puskesmas sukamulya berjumlah 5.980 dan jumlah balita yang
ditimbang sebanyak 4.576 dengan jumlah kasus gizi buruk sebanyak 33 kasus
(0,72%), dan gizi kurang sebanyak 165 kasus (3,61%). Setelah dilakukan validasi
data gizi buruk pada tanggal 5-19 november 2012 diketahui dari jumlah 33 kasus
balita gizi buruk yang divalidasi berdasarkan indikator berat badan per umur (BB/U)
(23)
buruk dan sebanyak 26 balita berstatus gizi kurang. Dari hasil validasi data gizi buruk
tersebut diketahui jumlah kasus balita gizi kurang yang berusia antara 12 sampai 24
bulan sebanyak 8 kasus (Data Puskesmas, 2011).
Pada keluarga dengan pengetahuan tentang MP-ASI yang rendah seringkali
anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan
gizinya. Pada umumnya anak-anak yang masih kecil (bayi dan balita) mendapat
makanannya secara dijatah oleh ibunya dan tidak memilih serta mengambil sendiri
mana yang disukainya (Ahmad Djaeni,2000). Sehingga dapat dipastikan bahwa
terjadinya kasus gizi kurang dan gizi buruk pada baduta di wilayah kerja Puskesmas
Sukamulya ditengarai akibat pemberian ASI dan MP-ASI yang tidak tepat.
Maka berdasarkan hal tersebut peneliti terdorong untuk mengetahui
gambaran praktik pola asuh makan yang meliputi pemberian ASI dan MP-ASI pada
baduta gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang
yang perlu diketahui apakah sudah dilakukan dengan baik dan benar atau sebaliknya.
Selain itu, di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya belum pernah dilakukan penelitian
sebelumnya terkait pola asuh makan pada baduta.
1.2 Rumusan Masalah
Manfaat ASI untuk pertumbuhan dan perkembangan anak sudah dibuktikan
secara akurat yaitu untuk imunitas tubuh, ekonomis, psikologis, praktis dan lain-lain.
Pemberian ASI secara eksklusif yaitu pemberian ASI saja tanpa makanan lain dan
direkomendasikan selama 6 bulan. Sedangkan MP-ASI direkomendasikan setelah
usia bayi 6 bulan seiring dengan bertambahnya kebutuhan gizi bayi dan menurunnya
(24)
Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan dan pemberian makanan
pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat serta ASI yang dilanjutkan pemberiannya
sampai usia dua tahun merupakan kunci agar anak dapat tumbuh kembang secara
optimal. (Dinkes Prop SU, 2006).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Sukamulya pada
bulan februari tahun 2012 diketahui bahwa jumlah keseluruhan balita yang ada di
wilayah kerja puskesmas sukamulya berjumlah 5.980 dan jumlah balita yang
ditimbang sebanyak 4.576 dengan jumlah kasus gizi buruk sebanyak 33 kasus
(0,72%), dan gizi kurang sebanyak 165 kasus (3,61%). Setelah dilakukan validasi
data gizi buruk pada tanggal 5 sampai 19 november 2012 diketahui dari jumlah 33
kasus balita gizi buruk yang divalidasi berdasarkan indikator BB/U dan BB/TB
sebanyak 7 orang balita berstatus gizi buruk dan sebanyak 26 balita berstatus gizi
kurang. Dari hasil validasi data gizi buruk tersebut diketahui jumlah kasus balita gizi
kurang yang berusia antara 12 sampai 24 bulan sebanyak 8 kasus (Data Puskesmas,
2011).
Dari hasil pengamatan yang dilakukan peneliti di lingkungan sekitar terhadap
ibu yang memiliki baduta diketahui pola asuh makan yang meliputi pemberian ASI
dan MP-ASI tidak sesuai seperti ibu yang tidak memberikan ASI secara eksklusif,
pemberian MP-ASI dini serta praktik pemberian MP-ASI yang tidak sesuai dengan
umur dan kebutuhan gizi bayi.
Berdasarkan latar belakang diatas peneliti memfokuskan pada gambaran
praktik pola asuh makan yang meliputi pemberian ASI dan MP-ASI pada baduta gizi
(25)
Oleh karena itu, peneliti terdorong untuk mengetahui gambaran pola asuh makan
pada baduta gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten
Tangerang tahun 2012.
1.3 Pertanyaan Penelitian
Bagaimana gambaran pola asuh makan pada baduta gizi kurang yang
meliputi pemberian ASI dan MP-ASI di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya
Kabupaten Tangerang tahun 2012?
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui gambaran pola asuh makan pada baduta gizi kurang di wilayah
kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang tahun 2012.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran pengetahuan, sikap dan praktik ibu dalam pemberian
ASI pada baduta gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya
Kabupaten Tangerang tahun 2012.
2. Mengetahui gambaran pengetahuan, sikap dan praktik ibu dalam pemberian
makanan pendamping ASI (MP-ASI) pada baduta gizi kurang di wilayah kerja
Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang tahun 2012.
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Manfaat Bagi Puskesmas
1. Memberikan informasi kepada Puskesmas Sukamulya maupun Dinas
Kesehatan Kabupaten Tangerang mengenai pola pemberian ASI dan
(26)
berbagai program ataupun upaya yang dilakukan untuk meningkatkan
status gizi baduta dan peningkatan pemberian ASI eksklusif.
2. Dapat menjadi masukan dan informasi mengenai status gizi anak yang
ada di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya.
3. Sebagai masukan dan bahan pertimbangan bagi Puskesmas Sukamulya
maupun Dinas Kesehatan Kabupaten Tangerang dalam menentukan
arah kebijakan gizi masyarakat maupun penyempurnaan program
khususnya yang berkaitan dengan program peningkatan status gizi
anak di masa yang akan datang.
1.5.2 Manfaat Bagi Ibu Baduta
1. Memberikan pengetahuan mengenai pentingnya pemberian ASI
eksklusif pada ibu baduta di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya
dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak yang
optimal.
2. Memberikan pengetahuan mengenai pentingnya pemberian MP-ASI
yang tepat sesuai dengan kebutuhan gizi dan usia anak dalam
mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal.
1.5.3 Manfaat Bagi Peneliti
1. Memberikan pengetahuan mengenai pola asuh makan pada baduta gizi
kurang di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang
tahun 2012.
2. Sebagai bahan masukan untuk penelitian di tempat yang berbeda atau
(27)
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian yang berjudul Gambaran Pola Asuh Makan pada Baduta Gizi
Kurang di Wilayah Kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang Tahun 2012
ini bertujuan melakukan analisis mendalam mengenai perilaku ibu dalam
memberikan ASI dan makanan pendamping ASI pada baduta gizi kurang di wilayah
kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang tahun 2012. Penelitian ini
dilakukan dengan melihat gambaran pengetahuan, sikap dan praktik pola asuh makan
yang meliputi pemberian ASI dan makanan pendamping ASI pada baduta gizi kurang
di wilayah kerja Puskesmas Sukamulya Kabupaten Tangerang tahun 2012.
Penelitian ini dilakukan oleh Mahasiswa Peminatan Gizi Program Studi
Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan menggunakan
pendekatan kualitatif dan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
wawancara mendalam (Indepth Interview), pengamatan atau observasi sebagai data
primer serta pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengumpulkan data profil
puskesmas dan data-data terkait masalah gizi yang diperoleh dari Puskesmas
(28)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perilaku
2.1.1 Pengertian
Menurut Notoatmodjo (2007), dari segi biologis, perilaku adalah suatu
kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab
itu, dari sudut pandang bilogis semua makhluk hidup mulai dari tumbuhan, binatang
sampai dengan manusia itu berperilaku, karena mereka mempunyai aktivitas masing
– masing. Sehingga yang dimaksud dengan perilaku manusia pada hakikatnya adalah
tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang
sagat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah,
menulis, membaca dan lain sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa
yang dimaksud dengan Perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktifitas
manusia, baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh
pihak luar. (Notoatmodjo, 2010)
Menurut Lewit yang dikutip oleh Maulana (2009) perilaku merupakan hasil
pengalaman dan proses interaksi dengan lingkungannya, yang terwujud dalam bentuk
pengetahuan, sikap, dan tindakan sehingga diperoleh keadaan seimbang antara
kekuatan atau pendorong dan kekuatan penahan. Perilaku seseorang dapat berubah
jika terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan didalam diri seseorang.
Sedangkan menurut Skiner (1938) seorang ahli psikologi yang dikutip dalam
(29)
reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini
terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme
tersebut merespons, maka teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus
Organisme Respons.Skiner mebedakan adanya dua respons.
1. Respondent respons atau reflexive, yankni respons yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulasi) tertentu. Stimulus semacam ini disebut
elicting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relatif tetap. Misalnya: makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya
terang menyebabkan mata tertutup, dan sebaliknya. Respondent respons ini
juga mencakup perilaku emosional misalnya mendengar berita musibah
menjadi sedih atau menangis, lulus ujian meluapkan kegembiraannya dengan
mengadakan pesta, dan sebagainya.
2. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau prangsang tertentu.
Prangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforcer, karena
memperkuat respons. Misalnya apabila seorang petugas kesehatan
melaksanakan tugasnya dengan baik (respon terhadap tugasnya atau job
skripsi) kemudian memperoleh penghargaan dari atasnnya (stimulus baru),
maka petugas kesehatan itu akan lebih baik lagi dalam melaksanakan
(30)
Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus, menurut Notoatmodjo (2007)
perilaku dapat dibedakan menjadi dua:
1. Perilaku tertutup (covert behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup
(covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian,
persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima
stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. Misalnya:
seorang ibu hamil tahu pentingnya periksa kehamilan, seorang pemuda tahu bahwa
HIV/AIDS dapat menular melalui hubungan seks, dan sebagainya.
2. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka.
Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek
(practice). Misalnya seorang ibu memeriksakan kehamilannya atau membawa
anaknya ke puskesmas untuk diimunisasi.
Seperti telah disebutkan di atas, sebagaian besar perilaku manusia adalah
operant respone. Oleh sebab itu, untuk membentuk jenis respons atau perilaku perlu
diciptakan adanya suatu kondisi tertentu yang disebut operant conditioning. Prosedur
pembentukan perilaku dalam operant conditioning ini menurut Skiner adalah sebagai
berikut :
1. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau
reinforcer berupa hadiah-hadiah atau rewards bagi perilaku yang akan
(31)
2. Melakukan analisis untuk mengidentifikasi komponen-komponen kecil
yang membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian
komponen-komponen tersebut disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju
kepada terbentuknya perilaku yang dimaksud.
3. Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai tujuan
sementara, mengidentifikasi reinforcer atau hadiah untuk
masing-masing komponen tersebut.
4. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan
komponen yang telah tersusun. Apabila komponen pertama telah
dilakukan, maka hadiahnya diberikan. Hal ini akan mengakbatkan
komponen atau perilaku (tindakan) tersebut cenderung akan sering
dilakukan. Kalau ini sudah terbentuk maka dilakukan komponen
(perilaku) yang kedua yang kemudian diberi hadiah (komponen
pertama tidak memerlukan hadiah lagi).
Demikian berulang-ulang sampai komponen kedua terbentuk. Setelah itu
dilanjutkan dengan komponen ketiga, keempat, dan selanjutnya sampai seluruh
perilaku yang diharapkan terbentuk.
Sebagai ilustrasi, misalnya dikehendaki agar anak mempunyai kebiasaan
menggosok gigi sebelum tidur. Untuk berperilaku seperti ini maka anak tersebut
harus :
1. Pergi ke kamar mandi sebelum tidur,
2. Mengambil sikat dan odol,
(32)
4. Melaksanakan gosok gigi,
5. Menyimpan sikat gigi dan odol,
6. Pergi ke kamar tidur
Kalau dapat diidentifikasi hadiah-hadiah (tidak berupa uang) bagi
masing-masing komponen perilaku tersebut (komponen 1-6), maka akan dapat dilakukan
pembentukan kebiasaan tersebut.
Contoh di atas adalah suatu penyederhanaan prodesur pembentukan perilku
operant melalui operant coditioning. Di dalm kenyataanya prosedur itu banyak dan
bervariasi sekali dan lebih kompleks daripada contoh di atas. Teori Skiner ini sangat
besar pengaruhnya terutama di Amerika Serikat. Konsep-konsep behaviour control,
behaviour therapy, dan behaviour modification yang dewasa ini berkembang adalah bersum ber pada teori ini.
2.1.2 Proses Adopsi Perilaku
Rogers (1974) dalam Maulana (2009) mengungkapkan bahwa sebelum
individu mengadopsi perilaku baru, terjadi proses berurutan dalam dirinya. Proses ini
disebut AIETA, meliputi awareness (individu menyadari atau mengetahui adanya
stimulus/objek), interest (orang mulai tertarik pada stimulus), evaluation (menimbang
baik buruknya stimulus bagi dirinya), trial (orang mulai mencoba perilaku baru), dan
adoption (orang telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan
sikapnya terhadap stimulus). Dalam penelitian berikutnya Rogers menyimpulkan,
proses adopsi perilaku tidak selalu melalui tahap-tahap tersebut (Maulana, 2009).
Selain itu menurut Rogers dalam Notoatmodjo (2003), apabila penerimaan
(33)
pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat
langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh
pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama.
2.1.3 Domain Perilaku
Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2005) membagi perilaku
manusia itu ke dalam tiga ranah atau domain yakni: kognitif (cognitive), afektif
(affective), dan psikomotor (psychomotor). Kemudian oleh ahli pendidikan di
Indonesia, ketiga domain ini diterjemahkan kedalam cipta (kognitif), rasa (afektif),
dan karsa (psikomotor), atau peri cipta, peri rasa, dan peri tindak (Notoatmodjo,
2005).
Dalam perkembangan selanjutnya, teori Bloom ini dimodifikasi untuk
pengukuran hasil pendidikan kesehatan yakni menjadi tiga tingkat ranah perilaku
sebagai berikut:
1. Pengetahuan
Menurut Engel, Blackwell dan Mianiard (1995) dalam Khomsan dkk (2007),
pengetahuan adalah informasi yang disimpan dalam ingatan dan menjadi penentu
utama perilaku seseorang. Sedangkan menurut Notoatmodjo (2005) pengetahuan
adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui
indera yang dimilikinya.
Selanjutnya menurut Winkel (1984) dalam Khomsan dkk (2007)
mengemukakan bahwa tingkat pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh
(34)
dan perilaku seseorang karena berhubungan dengan daya nalar, pengalaman, dan
kejelasan konsep mengenai objek tertentu (Khomsan dkk, 2007).
Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan atau kognitif merupakan domain
yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang. Tingkat pengetahuan di
dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan yaitu: tahu, memahami, aplikasi,
analisis, sintesis dan evaluasi.
2. Sikap
Menurut Campbell (1950) dalam Notoatmodjo (2005), sikap adalah suatu
sindroma atau kumpulan gejala dalam merespons stimulus atau objek. Sedangkan
menurut Notoatmodjo (2005), sikap adalah juga respons tertutup seseorang terhadap
stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang
bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik, dan
sebagainya). Sikap itu melibatkan pikiran perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan
yang lain.
Menurut Mar’at (1981) dalam Khomsan dkk (2007), sikap belum merupakan
suatu tindakan atau aktifitas akan tetapi berupa predisposisi tingkah laku. Predisposisi
untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap obyek tertentu mencakup
komponen kognisi, afeksi, dan konasi. Komponen kognisi akan menjawab pertanyaan
apa yang dipikirkan tentang apa yang dirasakan, senang atau tidak senang terhadap
suatu obyek. Komponen konasi akan menjawab pertanyaan bagaimana/kesiapan
untuk bertindak terhadap obyek (Khomsan dkk, 2007).
Senada dengan hal diatas Newcomb dalam Notoatmodjo (2005) menyatakan
(35)
merupakan pelaksanaan motif tertentu. Dalam kata lain, fungsi sikap belum
merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi merupakan
predisposisi perilaku (tindakan) atau rekasi tertutup (Notoatmodjo, 2005).
Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2005) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3
komponen pokok:
a. Kepercayaan (keyakinan) ide, dan konsep terhadap suatu objek.
b. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
c. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Menurut Notoatmodjo (2005), ketiga komponen diatas secara bersama-sama
membentuk sikap yang utuh (total attitude). Dalam menentukan sikap yang utuh ini,
pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. Seperti
halnya pengetahuan, sikap juga mempunyai tingkatan berdasarkan intentitasnya, yaitu
terdiri dari menerima (receiving), merespon (responding), menghargai (valuing) dan
bertanggung jawab (responsible).
Maulana (2009) menyatakan bahwa sikap tidak dibawa sejak lahir, tetapi
dipelajari dan dibentuk berdasarkan pengalaman dan latihan sepanjang perkembangan
individu. Sebagai mahluk sosial, manusia tidak lepas dari pengaruh interaksi dengan
orang lain (eksternal), selain mahluk individual (internal). Kedua faktor tersebut
berpengaruh terhadap sikap.
3. Praktik atau tindakan (practice)
Menurut Notoatmodjo (2005) sikap belum tentu terwujud dalam tindakan,
sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain, yaitu antara lain adanya fasilitas
(36)
Menurut Maulana (2009), praktik atau tindakan memiliki beberapa tingkatan, yaitu:
1. Persepsi (perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang
akan diambil merupakan praktik tingkat pertama.
2. Respon terpimpin (guided response)
Hal ini berarti dapat melakukan sesuatu sesuai urutan yang benar dan sesuai
dengan contoh.
3. Mekanisme (mechanism)
Mekanisme berarti dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis,
atau telah merupakan kebiasaan.
4. Adopsi (adoption)
Adalah suatu praktik atau tindakan yang telah berkembang dengan baik. Hal
ini berarti tindakan tersebut telah dimodifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan
tersebut.
2.1.4 Perilaku Kesehatan
Berdasarkan teori perilaku dari Skiner tersebut, maka perilaku kesehatan
adalah respons seseorang (orgnisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan
dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, dan minuman, serta
lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3
kelompok.
(37)
2. Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas kesehatan,
atau sering disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking
beahaviour)
3. Perilaku kesehatan lingkungan(Notoatmodjo, 2007)
2.1.5 Pengukuran dan Indikator Perilaku Kesehatan
Notoatmodjo (2005) menyatakan untuk mengukur perilaku dan perubahannya,
khususnya perilaku kesehatan mengacu pada tiga domain perilaku.
1. Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003), sebelum seseorang mengadopsi perilaku
(berperilaku baru), ia harus tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku
tersebut bagi dirinya atau keluarganya. Masih menurut Notoatmodjo (2005),
pengetahuan tentang kesehatan adalah mencakup apa yang diketahui oleh seseorang
terhadap cara-cara memelihara kesehatan.
Indikator-indikator apa yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat
pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan, dapat dikelompokkan menjadi:
a. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit yang meliputi penyebab penyakit,
gejala atau tanda-tanda penyakit, bagaimana cara pengobatan, atau kemana
mencari pengobatan, bagaimana cara penularannya, bagaimana cara
pencegahannya termasuk imunisasi, dan sebagainya.
b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat yang
meliputi jenis-jenis makanan yang bergizi, manfaat makan yang bergizi bagi
(38)
c. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan yang meliputi manfaat air bersih,
cara-cara pembuangan limbah yang sehat dan sampah, manfaat pencahayaan
dan penerangan rumah yang sehat, akibat polusi bagi kesehatan dan
sebagainya (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Notoatmodjo (2005), untuk mengukur pengetahuan kesehatan adalah
dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara langsung (wawancara) atau
melalui pertanyaan-pertanyaan tertulis atau angket. Indikator pengetahuan kesehatan
adalah “tingginya pengetahuan” responden tentang kesehatan, atau besarnya
presentase kelompok responden atau masyarakat tentang variabel-variabel atau
komponen-komponen kesehatan.
2. Sikap
Pranadji (1988) dalam Khomsan dkk (2007) mengemukakan bahwa sikap
seseorang dapat diketahui dari kecenderungan tingkah laku yang mengarah pada
obyek tertentu. Sikap positif akan menumbuhkan perilaku positif dan sebaliknya
sikap negatif akan menumbuhkan perilaku negatif pula seperti: menolak, menjauhi,
meninggalkan bahkan sampai hal-hal yang merusak. Melalui pendidikan baik formal
maupun nonformal akan memungkinkan terjadinya perubahan sikap dan kepercayaan.
Pendidikan akan menimbulkan pengalaman belajar pada seseorang, sehingga
mengetahui dan lebih mengerti fakta-fakta tentang berbagai obyek baik positif
maupun negatif.
Notoatmojdo (2003) menyatakan bahwa sikap merupakan penilaian (bisa
berupa pendapat) seseorang terhadap stimulus atau objek (dalam hal ini adalah
(39)
ataobjek, proses selanjutnya akan menilai atau bersikap terhadap stimulus atau objek
kesehatan tersebut. Oleh sebab itu indikator untuk sikap kesehatan juga sejalan
dengan pengetahuan kesehatan, yakni:
a. Sikap terhadap sakit dan penyakit
Adalah bagaimana penilaian atau pendapat seseorang terhadap: gejala atau
tanda- tanda penyakit, penyebab penyakit, cara pencegahannya atau cara
mengatasinya.
b. Sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat
Adalah penilaian atau pendapat seseorang terhadap cara-cara memelihara dan
berperilaku hidup sehat. Dengan perkataan lain pendapat atau penilaian lain
terhadap makanan, minuman, olahraga dan sebagainya.
c. Sikap terhadap kesehatan lingkungan
Adalah pendapat atau penilaian seseorang terhadap cara-cara memelihara dan
berperilaku hidup sehat. Misalnya pendapat atau penilaian terhadap air bersih,
pembuangan limbah, polusi, dan sebagainya (Notoatmojdo, 2003).
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung.
Pengukuran sikap secara langsung dapat dilakukan dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan tentang stimulus atau objek yang bersangkutan. Misalnya, bagaimana
pendapat responden tentang imunisasi pada anak balita dan sebagainya
(Notoatmodjo, 2005).
3. Praktek atau Tindakan (practice)
Menurut Notoatmodjo (2003) setelah seseorang mengetahui stimulus atau
(40)
diketahui atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses selanjutnya diharapkan
ia akan melaksanakan atau mempraktekan apa yang diketahui atau disikapinya
(dinilai baik). Inilah yang disebut praktek (practice) kesehatan, atau dapat juga
dikatakan perilaku kesehatan (overt behavior). Oleh sebab itu indikator praktek
kesehatan menurut Notoatmodjo (2003) ini juga mencakup hal-hal tersebut diatas,
yakni:
a. Tindakan (praktek) sehubungan dengan penyakit
Mencakup pencegahan penyakit misalnya dengan mengimunisasikan anaknya
dan penyembuhan penyakit misalnya dengan minum obat sesuai anjuran
dokter dan sebagainya.
b. Tindakan (praktek) pemeliharaan dan peningkatan kesehatan
Mencakup antara lain: mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang,
melakukan olahraga secara teratur dan sebagainya.
c. Tindakan (praktek) kesehatan lingkungan
Mencakup antara lain: membuang air besar di jamban, membuang sampah
pada tempatnya dan sebagainya.
Pengukuran atau cara mengamati perilaku dapat dilakukan melalui dua cara,
secara langsung maupun secara tidak langsung. Pengukuran perilaku yang paling baik
adalah secara langsung, yakni dengan pengamatan (observasi), yaitu mengamati
tindakan dari subjek dalam rangka memelihara kesehatannya, misalnya: dimana
responden membuang air besar, makanan yang disajikan ibu dalam keluarga untuk
(41)
Sedangkan secara tidak langsung menggunakan metode mengingat kembali
(recall). Metode ini dilakukan melalui pertanyaan-pertanyaan terhadap subjek tentang
apa yang telah dilakukan berhubungan dengan objek tertentu (Notoatmodjo, 2005)
2.2Pola Asuh Anak
Sering dikatakan bahwa ibu adalah jantung dari keluarga, jantung dalam tubuh
merupakan alat yang sangat penting bagi kehidupan seseorang. Apabila jantung
berhenti berdenyut maka orang itu tidak bisa melangsungkan hidupnya. Dari
perumpaan ini bisa disimpulkan bahwa kedudukan seorang ibu sebagai tokoh sentral
dan sangat penting untuk melaksanakan kehidupan. Pentingnya seorang ibu terutama
terlihat sejak kelahiran anaknya. (Gunarsa, 1993).
Agar pola hidup anak bisa sesuai dengan standar kesehatan, disamping harus
mengatur pola makan yang benar juga tak kalah pentingnya mengatur pola asuh yang
benar pula. Pola asuh yang benar bisa ditempuh dengan memberikan perhatian yang
penuh serta kasih sayang pada anak, memberinya waktu yang cukup untuk menikmati
kebersamaan dengan seluruh anggota keluarga. Dalam masa pengasuhan, lingkungan
pertama yang berhubungan dengan anak adalah orang tuanya. Anak tumbuh dan
berkembang di bawah asuhan dan perawatan orang tua oleh karena itu orang tua
merupakan dasar pertama bagi pembentukan pribadi anak. Melalui orang tua, anak
beradaptasi dengan lingkungannya untuk mengenal dunia sekitarnya serta pola
pergaulan hidup yang berlaku dilingkungannya. Dengan demikian dasar
pengembangan dari seorang individu telah diletakkan oleh orang tua melalui praktek
(42)
Pengasuhan berasal dari kata asuh (to rear) yang mempunyai makna menjaga,
merawat dan mendidik anak yang masih kecil. Wagnel dan Funk menyebutkan bahwa
mengasuh itu meliputi menjaga serta memberi bimbingan menuju pertumbuhan ke
arah kedewasaan. Pengertian lain diutarakan oleh Webster yang mengatakan bahwa
mengasuh itu membimbing menuju ke pertumbuhan ke arah kedewasaan dengan
memberikan pendidikan, makanan dan sebagainya terhadap mereka yang di asuh
(Sunarti, 1989).
Dari beberapa pengertian tentang batas asuh, menurut Whiting dan Child
dalam proses pengasuhan anak yang harus diperhatikan adalah orang-orang yang
mengasuh dan cara penerapan larangan atau keharusan yang dipergunakan. Larangan
maupun keharusan terhadap pola pengasuhan anak beraneka ragam. Tetapi pada
prinsipnya cara pengasuhan anak mengandung sifat : pengajaran (instructing),
pengganjaran (rewarding) dan pembujukan (inciting) (Sunarti, 1989). Di negara
timur seperti Indonesia, keluarga besar masih lazim dianut dan peran ibu seringkali di
pegang oleh beberapa orang lainnya seperti nenek, keluarga dekat atau saudara serta
dapat juga di asuh oleh pembantu (Nadesul, 1995).
Pola asuh anak merupakan kemampuan keluarga dan masyarakat untuk
menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan
berkembang dengan sebaik-baiknya baik fisik, mental, dan sosial, berupa sikap dan
perilaku ibu atau pengasuh lain dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan
makan, merawat kebersihan, dan memberi kasih sayang (Zeitlin, 2000 dalam
(43)
pengasuhan yang diterapkan kepada anak balita yang berkaitan dengan makanan
balita dan pemeliharaan kesehatan.
Sedangkan menurut Moersintowarti dkk (2002) kebutuhan akan asuh pada
anak meliputi kebutuhan akan nutrisi yang adekuat dan seimbang, perawatan
kesehatan dasar, pakaian, perumahan, higiene diri dan sanitasi lingkungan, dan
kesegaran jasmani berupa olahraga dan rekreasi.
Teori positive deviance (Zeitlin, 1990) menyatakan bahwa berbagai stimulus
yang rutin diberikan oleh ibu atau pengasuh terhadap bayi, baikstimulus visual,
verbal dan auditif akan dapat menyebabkan stimulasigrowth hormone, metabolisme
energi menjadi normal dan imun responlebih baik.
Peranan pengasuhan ini pertama kali diindentifikasi dalam JointNutrition
Support Program in Iringa, Tanzania dan kemudian digunakanpada berbagai studi
positive deviance di berbagai negara. Peranandeterminan pola asuhan terhadap
pertumbuhan bayi cukup besar, dimanapola asuhan yang baik dapat meningkatkan
tingkat kecukupan gizi dankesehatan bayi. Determinan pola asuhan dan kesehatan
langsungberpengaruh terhadap pertumbuhan bayi (Engel, 1992).
Pola pengasuhan anak adalah pengasuhan anak dalam pra danpasca kelahiran,
pemberian ASI, pemberian makanan, dan pengasuhanbermain (Hamzat A, 2000).
Menurut Jus’at (2000) pola pengasuhan adalah kemampuankeluarga untuk
menyediakan waktu, perhatian dan dukungan terhadapanak agar dapat tumbuh dan
berkembang dengan sebaik-baiknya secarafisik, mental dan sosial. Pola pengasuhan
anak berupa sikap dan praktikpengasuhan ibu lainnya dalam kedekatannya dengan
(44)
Pengasuhan anak adalah suatu fungsi penting pada berbagaikelompok sosial
dan kelompok budaya. Fungsi ini meliputi pemenuhankebutuhan dasar anak seperti
pemberian makanan, mandi, danmenyediakan dan memakaikan pakaian buat anak.
Termasuk didalamnya adalah monitoring kesehatan si anak, menyediakan obat, dan
merawat serta membawanya ke petugas kesehatan profesional.Tambahan lain adalah
diterimanya fungsi hiburan, pendidikan,sosialisasi, penerimaan informasi pandangan
serta nilai dari pengasuhmereka (O'Connel,1994 Bahar, 2002). Pengasuhan anak
adalah aktivitasyang berhubungan dengan pemenuhan pangan, pemeliharaan fisikdan
perhatian terhadap anak (Haviland,1988 Bahar, 2002). Berdasarkan pengertian
tersebut "pengasuhan" pada dasarnya adalah suatu praktekyang dijalankan oleh orang
lebih dewasa terhadap anak yangdihubungkan dengan pemenuhan kebutuhan
pangan/gizi, perawatandasar (termasuk imunisasi, pengobatan bila sakit), rumah atau
tempatyang layak, higine perorangan, sanitasi lingkungan, sandang, kesegaranjasmani
(Soetjiningsih, 1995). Serupa dengan yang diajukan oleh Mosleydan Chen 1988
(Bahar,2002) pengasuhan anak meliputi aktivitasperawatan terkait gizi/penyiapan
makanan dan menyusui, pencegahandan pengobatan penyakit, memandikan anak,
membersihkan pakaiananak, membersihkan rumah.
Pola asuh terhadap anak merupakan hal yang sangat pentingkarena akan
mempengaruhi proses tumbuh kembang balita. Polapengasuhan anak berkaitan erat
dengan keadaan ibu terutamakesehatan, pendidikan, pengetahuan, sikap dan praktik
tentangpengasuhan anak ( Suharsih, 2001).
Pola asuh gizi merupakan bagian dari pola asuh anak yaitu praktik di rumah
(45)
sumber lainnya untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan anak.
Aspek kunci dalam pola asuh gizi meliputi perawatan dan perlindungan bagi ibu,
praktik menyusui, pemberian Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI),
penyiapan makanan, kebersihan diri dan sanitasi lingkungan, praktik kesehatan di
rumah dan pola pencarian pelayanan kesehatan (Zeitlin, 2000 dalam Rosmana, 2003).
Berdasarkan kerangka konseptual yang dikemukan oleh UNICEF yang
dikembangkan lebih lanjut oleh Engle et al (1997) menekankan bahwa ada tiga
komponen yang merupakan faktor-faktor yang berperan dalam menunjang
pertumbuhan dan perkembangan anak yang optimal diantaranya adalah : makanan,
kesehatan, dan asuhan. Engle et al (1997) mengemukakan bahwa pola asuh meliputi
6 hal yaitu : (1) perhatian / dukungan ibu terhadap anak, (2) pemberian ASI atau
makanan pendamping pada anak, (3) rangsangan psikososial terhadap anak, (4)
persiapan dan penyimpanan makanan, (5) praktek kebersihan atau higiene dan
sanitasi lingkungan dan (6) perawatan balita dalam keadaan sakit seperti pencarian
pelayanan kesehatan.
Pemberian ASI dan makanan pendamping ASI pada anak serta persiapan dan
penyimpanan makanan tercakup dalam praktek pemberian makan atau pola asuh
makan (Engle, 1997).
2.3 Pola Asuh Makan
Pengaturan makan untuk bayi dan anak dibahas secara tersendiri, sebab bayi
dan anak mempunyai ciri khas yang membedakannya dari orang dewasa, yaitu berada
(46)
Untuk kebutuhan pangan/gizi, ibu menyiapkan diri sejak prenataldalam mengatur
dietnya selama kehamilan, masa neo-natal berupapemberian ASI, menyiapkan
makanan tambahan berupa makanan padatyang lebih bervariasi bahannya atau
makanan yang diperkaya, dandukungan emosional untuk anak. Status sakit, pola
aktivitas, asupan gizirendah, frekuensi konsepsi terkait pertumbuhan anak melalui
status giziibu (Pengasuhan makanan anak terdiri atas hal yang berhubungandengan
menyusui, dan pemberian makanan selain ASI buat anak).Pengasuhan makanan anak
fase 6 bulan pertama adalahpemenuhan kebutuhan anak oleh ibu dalam bentuk
pemberian ASI ataumakanan pendamping/pengganti ASI pada anak. Dinyatakan
cukup biladiberi ASI semata sejak lahir sampai usia 4-6 bulan dengan frekuensikapan
saja anak minta dan dinyatakan kurang bila tak memenuhi kriteriatersebut.
Pengasuhan makanan anak pada fase 6 bulan ke-dua adalahpemenuhan
kebutuhan makanan untuk bayi yang dilakukan ibu,dinyatakan cukup bila anak
diberikan ASI plus makanan lumat yangterdiri dari tepung-tepungan dicampur susu,
dan atau nasi (berupa buburatau nasi biasa) bersama ikan, daging atau putih telur
lainnya ditambahsayuran (dalam bentuk kombinasi atau tunggal) diberi dalam
frekuensisama atau lebih 3 x per hari, dan kurang bila tidak memenuhi
kriteriatersebut (Bahar, 2002).
Ada dua tujuan pengaturan makan untuk bayi dan anak yang pertama adalah
memberikan zat gizi yang cukup bagi kebutuhan hidup, yaitu untuk pemeliharaan dan
atau pemulihan serta peningkatan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan fisik
dan psikomotor serta melakukan aktivitas fisik. Yang kedua adalah untuk mendidik
(47)
Makanan untuk bayi dan anak haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi sesuai dengan umur
2. Susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang, bahan makanan
yang tersedia setempat, kebiasaan makan, dan selera terhadap makan
3. Bentuk dan porsi makanan disesuaikan dengan daya terima, toleransi, dan
keadaan faali bayi / anak.
4. Memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan. (Prabantini, 2010).
Pola asuh makan pada bayi meliputi pemberian gizi yang cukup dan seimbang
melalui pemberian air susu ibu (ASI) dan makanan pendamping ASI (MP-ASI).
2.4Jenis-jenis makanan anak usia 0-24 bulan
Jenis-jenis makanan Anak usia 0 sampai 24 bulan terdiri dari : Air Susu Ibu
(ASI), Pengganti Air Susu Ibu (PASI), dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI).
(Prabantini, 2010)
2.4.1 Air Susu Ibu (ASI)
ASI merupakan pangan kompleks yang mengandung zat-zat gizi lengkap dan
bahan-bahan bioaktif yang diperlukan untuk tumbuh kembang dan pemeliharaan
kesehatan bayi. Sebelumnya ASI eksklusif (hanya memberikan ASI sebagai makanan
bayi) dianjurkan hingga bayi berumur 4 bulan. Setelah itu bayi diberi makanan
pendamping berupa sari buah dan bubur. Namun sejak tahun 2001, berdasarkan
hasil-hasil penelitian, world health organization (WHO) menganjurkan pemberian ASI
eksklusif hingga bayi berumur 6 bulan.setelah itu diperkenalkan makanan
(48)
dimakan. ASI dianjurkan tetap diberikan hingga bayi berumur 2 tahun.(Almatsier,dkk
2011).
Menurut Soetjiningsih (1997), Dibandingkan dengan susu lainnya, ASI
memiliki beberapa keunggulan, yaitu:
a. Mengandung semua zat gizi dalam susunan dan jumlah yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan gizi bayi.
b. Tidak memberatkan fungsi saluran pencernaan dan ginjal.
c. Mengandung beberapa zat antibodi sehingga mencegah terjadinya infeksi
d. Ekonomis dan praktis. Tersedia setiap waktu pada suhu ideal dan dalam
keadaan segar serta bebas dari kuman.
e. Berfungsi menjarangkan kehamilan.
f. Membina hubungan yang hangat dan penuh kasih sayang antara ibu dan bayi.
Bila ibu dan bayi sehat, ASI hendaknya secepatnya diberikan karena ASI
merupakan makanan terbaik dan dapat memenuhi kebutuhan gizi selama 3 – 4 bulan
pertama. ASI yang diproduksi pada 1 – 5 hari pertama dinamakan kolostrum, yaitu
cairan kental yang berwarna kekuningan. Kolostrum ini sangat menguntungkan bayi
karena mengandung lebih banyak antibodi, protein, mineral dan vitamin A.
Pemberian ASI tidak dibatasi dan dapat diberikan setiap saat. Produksi ASI
dirangsang oleh isapan bayi dan keadaan ibu yang tenang. Disamping itu perlu
diperhatikan kesehatan ibu pada umumnya, status gizi dan perawatan payudara.
Pemberian ASI tidak dibatasi dan dapat diberikan setiap saat terutama ASI eksklusif
(49)
ASI eksklusif adalah bayi yang diberi ASI saja tanpa tambahan cairan lain
seperti susu formula, madu, air teh, air putih dan tanpa tambahan makanan padat
seperti pisang, pepaya, bubur, biskuit dan tim. Pemberian ASI secara eksklusif ini
dianjurkan untuk jangka waktu setidaknya selama 4 bulan, tetapi bila mungkin
sampai 6 bulan. Setelah bayi berumur 6 bulan harus mulai diperkenalkan dengan
makanan padat, sedangkan ASI dapat diberikan sampai bayi berusia 2 tahun atau
bahkan lebih dari 2 tahun (Roesli, 2000).
Menurut Suhardjo (1992) pemberian MP-ASI dinimengakibatkan beberapa
gangguan atau masalah kesehatan yaitu : gangguan menyusui, beban ginjal yang
terlalu berat sehingga mengakibatkan hyperosmolitas plasma, alergi terhadap
makanan dan mungkin gangguan terhadap pengaturan selera makan.
Bayi perlu menyusu sesegera mungkin. Pemberian kesempatan isap pada anak
akan merangsang proses lactogenesis dan selanjutnyagalactopoiesis. Frekuensi
menyusui sesuai permintaan bayi dan tiapkali diberikan 5-10 menit per payudara.
Pemberian ASI pada anakdilakukan pada satu sisi payudara ibu sampai selesai
kemudianberpindah pada sisi lainnya. Produksi ASI bisa maksimum bila anakdiberi
menyusu kedua payudara saat minggu-minggu pertama. Praktek yang baik bila ibu
hanya memberi ASI semata sampai usia anak 4-6bulan. Pemberian ASI selanjutnya
sampai usia 2 tahun amat menunjangpertumbuhan yang baik (Bahar, 2002).
2.4.2 Makanan Pengganti Air Susu Ibu (PASI)
Walaupun ASI adalah makanan paling ideal bagi bayi, namun tidak semua ibu
dapat memberikan ASI pada bayinya. Menurut Sulistijani (2001), pemberian PASI
(50)
1. Bayi sakit seperti kekurangan cairan, radang mulut atau infeksi
paru-paru
2. Bayi lahir dengan berat badan rendah
3. Bayi lahir sumbing (bawaan)
Pemberian PASI juga dapat disebabkan oleh masalah pada pihak ibu :
1. Jumlah dan mutu ASI kurang memadai sehingga tidak mencukupi kebutuhan
bayi
2. Ibu menderita sakit dan karena sakitnya dilarang menyusui oleh dokter baik
untuk kepentingan ibu maupun bayinya, seperti ginjal atau penyakit menular
3. Ibu menderita infeksi, luka puting (mastitis)
4. Ibu mengalami gangguan jiwa atau epilepsi
5. Ibu sedang menjalani terapi obat yang tidak aman bagi bayi.
Untuk alasan-alasan tersebut, pada umumnya bayi harus diberi makanan
pengganti ASI (PASI) berupa susu formula. Pada umumnya susu formula untuk bayi
terbuat dari susu sapi yang susunan zat gizinya diubah sedemikian rupa sehingga
dapat diberikan kepada bayi tanpa menimbulkan efek samping. Oleh karena ASI
yangpaling ideal untuk bayi maka perubahan yang dilakukan pada komponen gizi
susu sapi harus mendekati susunan zat gizi ASI. Meskipun para ahli teknologi pangan
telah berusaha untuk memperbaiki susunan zat gizi susu sapi agar komposisinya
mendekati susunan zat gizi ASI, sampai saat ini usaha tersebut belum menunjukkan
hasil yang baik (Krisnatuti, 2004).
Dibandingkan dengan ASI, susu formula memiliki banyak kelemahan
(51)
kontrol dari kemungkinan masuknya organisme-organisme patogen atau terjadinya
kontaminasi yang dapat menyebabkan diare.
Pengaturan makanan bayi dengan PASI sama dengan pengaturan makanan
dengan ASI. Pemberian PASI dilakukan berdasarkan kebutuhan gizi bayi terutama
dalam hal kebutuhan air, energi dan protein (RSCM dan Persagi, 1992).
Untuk mencukupi kebutuhan bayi, susu diberikan sesuai dengan takarannya.
Takaran akan bertambah sesuai dengan bertambahnya umur bayi. Jadwal menyusu
dengan susu formula tetap seperti pada bayi yang diberi ASI (Nadesul, 2005).
Bayi sehat pada umumnya tidak memerlukan makanan tambahan sampai usia
6 bulan. Pada keadaan-keadaan khusus dibenarkan untuk mulai memberi makanan
padat setelah bayi berumur 4 bulan tetapi belum mencapai 6 bulan. Misalnya karena
terjadi peningkatan berat badan bayi yang kurang dari standar atau didapatkan
tandatanda lain yang menunjukkan bahwa pemberian ASI eksklusif tidak berjalan
dengan baik. Namun, sebelum diberi makanan tambahan sebaiknya coba diperbaiki
dahulu cara menyusuinya. Cobalah hanya memberi bayi ASI saja tanpa memberi
minuman atau makanan lain. Selain itu, bayi harus sering disusui, perhatikan posisi
menyusui. Secara umum usahakan dahulu agar cara pemberian ASI dilakukan sebaik
mungkin. Apabila setelah 1 – 2 minggu ternyata upaya perbaikan tersebut tidak
menyebabkan peningkatan berat badan, maka pemberian makanan tambahan atau
padat diberikan bagi bayi berusia diatas 4 bulan (Roesli, 2000).
Bila oleh suatu sebab (misalnya ibu bekerja atau hamil lagi) bayi tidak
memperoleh ASI, maka kepada bayi diberikan PASI (Pengganti Air Susu Ibu). PASI
(52)
dengan susunan gizi ASI, sehingga dapat diberikan kepada bayi tanpa menyebabkan
akibat sampingan. Akan tetapi belum ada PASI yang tepat menyerupai susunan ASI
(As’ad, 2002).
Proses penyapihan dimulai pada saat yang berlainan. Pada beberapa kelompok
masyarakat (budaya) tertentu, bayi tidak akan disapih sebelum berusia 6 bulan.
Bahkan ada yang baru memulai penyapihan setelah bayi berusia 2 tahun. Sebaliknya,
pada masyarkat urban bayi disapih terlalu dini yaitu baru beberapa hari lahir sudah
diberi makanan tambahan (Arisman, 2004).
Menurut Sulistjani (2001), seiring bertambahnya usia anak, ragam makanan
yang diberikan harus bergizi lengkap dan seimbang yang mana penting untuk
menunjang tumbuh kembang dan status gizi anak. Dalam hal pengaturan pola
konsumsi makan, ibu mempunyai peran yang sangat penting dalam memilih jenis
makanan yang bergizi seimbang. Setelah berumur 6 bulan, bayi memerlukan
makanan pendamping karena kebutuhan gizi bayi meningkat dan tidak seluruhnya
dapat dipenuhi oleh ASI.
2.4.3 Makanan Pendamping ASI (MP-ASI)
Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) adalah makanan yang diberikan pada
bayi yang telah berusia enam bulan atau lebih karena ASI tidak lagi memenuhi gizi
bayi. Pemberian makanan pendamping dilakukan secara berangsur-angsur untuk
mengembangkan kemampuan bayi mengunyah dan menelan serta menerima
macam-macam makanan dengan berbagai tekstur dan rasa.
Untuk menjamin kesehatan dan pertumbuhan yang baik butuhmenu seimbang
(1)
5. Sebaiknya Petugas Kesehatan melakukan upaya pendekatan dengan tokoh masyarakat yang berpengaruh di wilayah setempat dalam rangka upaya merubah kebiasaan-kebiasaan buruk yang merugikan kesehatan di masyarakat.
(2)
(3)
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier, Sunita, 2004, Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Cetakan ke Empat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
As’ad. S, 2002, Gizi-Kesehatan Ibu dan Anak. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
Amalia, Nurfita, 2011, Pola Asuh Anak Yang Berhubungan Dengan Status Gizi Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Kejayan Kabupaten Pasuruan Tahun 2011. Skripsi FKM UI Jakarta.
Almatsier, S. dan Soetardjo, S, dkk, 2011, Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan, PT Gramedia Pustaka utama, Jakarta.
CORE, 2003, Buku Panduan Pemulihan yang berkesinambungan Bagi Anak Malnutrisi, Diterjemahkan oleh Project Concern International/PCI-Indonesia.
Deddy, 1994, Masalah Program ASI Eksklusif dan Makanan Pendamping ASI, Jakarta.
Depkes RI, 2002, Pemantauan Pertumbuhan Anak, Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Depkes RI, Jakarta.
______, 2004, Pedoman Pelaksanaan Pendistribusian dan Pengelolaan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) , Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Depkes RI, Jakarta.
______, 2006, Pedoman Umum Pemberian MP-ASI lokal, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Depkes RI, Jakarta.
______, 2007, Buku Saku Rumah Tangga Sehat dengan PHBS, Pusat Promosi Kesehatan, Depkes RI, Jakarta.
______, 2008, Laporan Hasil RISKESDAS 2007, Depkes RI, Jakarta.
______, 2009, Pedoman Penanganan dan Pelacakan Balita Gizi Buruk, Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Depkes RI, Jakarta.
E.Beck, Mary, 2011, Ilmu Gizi dan Diet (Hubungannya dengan Penyakit-Penyakit untuk Perawat & Dokter), Andi Offset, Yogyakarta.
Harsiki, Trinabasilih, 2003, Hubungan Pola Asuh Anak dan Faktor Lain Dengan Keadaan Gizi Anak Batita Keluarga Miskin Di Pedesaan dan Perkotaan Propinsi Sumatera Barat Tahun 2002, Tesis Program Pasca Sarjana FKM UI, Depok.
Herawati, M.I. Tri Hadiah, 1999, Pengaruh Pemberian Makanan Tambahan Bagi Balita KEP Terhadap Perubahan Status Gizi Balita di Empat Puskesmas Kabupaten Sidoarjo Tahun 1998, Tesis Program Pasca Sarjana FKM UI, Depok.
Husin, Cut Ruhana, 2008, Hubungan Pola Asuh Anak dengan Status Gizi Balita Umur 24-59 Bulan Di Wilayah Terkena Tsunami Kabupaten Pidie Propinsi Nangroe Aceh Darussalam Tahun 2008, Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan.
Jahari, A.B. dan Sandjaya, dkk, 2000, Status Gizi Balita di Indonesia Sebelum dan Selama Krisis (Analisis Data Antropometri Susenas 1989 s/d 1999), Jakarta, Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi.
(4)
Kartasapoetra dan Marsetyo, 2003, Ilmu Gizi (Korelasi Gizi, Kesehatan dan Produktivitas Kerja), Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
Karyadi, Lies Darwin, 1985, Pengaruh Pola Asuh Makan Terhadap Kesulitan Makan Anak Bawah Tiga Tahun (BATITA). Tesis Fakultas Pasca Sarjana IPB, Bogor.
Khomsan, Ali, 2000, Teknik Pengukuran Pengetahuan Gizi, Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Khomsan, Ali dan Yayuk Farida, Baliwati. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi.
Penebar Swadaya. Depok.
Khomsan, Ali, Faisal Anwar, dkk, 2007a, Studi Implementasi Program Gizi: Pemanfaatan, Cakupan, Keefektifan dan Dampak Terhadap Status Gizi Balita, Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB, Bogor.
______, dkk, 2007b, Studi Peningkatan Pengetahuan Gizi Ibu dan Kader Posyandu serta Perbaikan Gizi Balita, Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia IPB, Bogor.
Kodariyah, Witri, 2010, Gambaran Faktor yang Mempengaruhi Kesulitan Makan Pada Anak Usia Prasekolah (1-3 Tahun) di Wilayah Kerja Puskesmas Bogor Timur Kota Bogor Tahun 2009. Skripsi FKIK KESMAS UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Moeleong, Lexy J. 1991, Metode Penelitian Kualitatif, Penerbit PT Remaja Rosadakarya, Bandung.
Maryunani, Anik, 2010, Ilmu Kesehatan Anak dalam Kebidanan, CV. Trans Info Media, Jakarta.
Milles dan Hubberman, 1992, Analisis Data Kualitatif, Gramedia, Jakarta.
Moehji, Sjahmien, 1988, Pemeliharaan Gizi Bayi dan Balita, Penerbit Bhratara Karya Aksara, Jakarta.
______, 2003, Ilmu Gizi, Penerbit Bhratara Karya Aksara, Jakarta.
______, 2008, Bayi Sehat dan Cerdas Melalui Gizi dan Makanan Pilihan: Panduan Asupan Gizi untuk Bayi dan Balita, Pustaka Mina, Jakarta. Notoatmodjo, Soekidjo, 1993, Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu
Perilaku Kesehatan, Andi Offset, Yogyakarta.
Nadesul, SH, 2005, Makanan Sehat Untuk Bayi, Puspa Swara, Jakarta.
______, 2003a, Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-Prinsip Dasar, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
______, 2003b, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
______, 2004, Metodologi Penelitian Kesehatan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. ______, 2005, Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi, Penerbit Rineka Cipta,
Jakarta.
______, 2007, Promosi Keshatan dan Ilmu Perlaku, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta.
RSCM, & PERSAGI, 1988, Penuntun Diit Anak, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Rosmana, Dadang, 2003, Hubungan Pola Asuh Gizi dengan Status Gizi Anak Usia 6- 24 Bulan di Kabupaten Serang Propinsi Banten Tahun 2003, Tesis, Program Pasca Sarjana FKM UI, Depok.
(5)
Soetjiningsih, 1997, ASI (Petunjuk Untuk Tenaga Kesehatan). Cetakan Pertama, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Surabaya.
Soetjiningsih, 1998, Tumbuh kembang Anak. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Surabaya.
Santoso, Soegeng dan Ranti, Anne Lies, 1999, Kesehatan Dan Gizi. PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Sunarti, E, 2004, Mengasuh dengan Hati Tantangan yang Menengah, Media Kompotindo, Jakarta.
Sarmin dan Rachmawaty Fitri, 2009, Cara Mendeteksi Gizi Buruk Pada Balita. al- Mawaddah [online], [diakses pada 8 februari 2012], <http://almawaddah.wordpress.com/>.
Sediaoetama, Acmad Djaeni, 2008, Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid I, Cetakan ke Delapan, Dian Rakyat, Jakarta.
______, 2009, Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi Jilid II, Cetakan ke Enam, Dian Rakyat, Jakarta.
Susanto, 2003, Gizi dan Kesehatan, Bayu Media, Malang.
Supariasa, I.D.N, dkk, 2002, Penilaian Status Gizi, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Prabantini, Dwi, 2010, A to Z Makanan Pendamping ASI, Andi Offset, Yogyakarta.
Pudjiadi, Solihin, 2005, Ilmu Gizi Klinis Pada Anak, Edisi Keempat, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Winarno, FG, 1987, Gizi dan Makanan (Bagi Bayi dan Anak Sapihan), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
Yuniarti, 2010, Analisis Pola Makan dan Aktifitas Fisik Siswa-Siswi Gizi Lebih Di SMA LABSCHOOL Kebayoran Baru Jakarta Selatan Tahun 2009, Skripsi FKIK KESMAS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Zulkarnaen, 2008, Hubungan Karakteristik Keluarga Terhadap Kenaikan Berat Badan Balita Gizi Buruk Di Klinik Gizi Puslitbang Gizi Dan Makanan
Bogor Tahun 2007. Skripsi FKIK KESMAS UIN Syarif Hidayatullah
(6)