Representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan Studi kasus anak jalanan di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat

(1)

GALUH ADRIANA A14204013

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(2)

GALUH ADRIANA. REPRESENTASI SOSIAL TENTANG KERJA PADA ANAK JALANAN. STUDI KASUS ANAK JALANAN DI KOTA BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT. (Dibawah bimbingan NURMALA K. PANDJAITAN).

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan dengan melihat karakterstik sosial ekonomi serta perilaku kerja pada anak jalanan. Selain itu, tujuan akhir dari penelitian ini adalah menelaah hubungan antara representasi sosial dengan perilaku kerja pada anak jalanan.

Penelitian dilakukan di dua lokasi yaitu Stasiun Kereta Api Bogor dan Terminal Baranangsiang Bogor. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April-Mei 2009. Penelitian ini menggunakan metode survei dengan pendekatan kuantitatif yang ditunjang oleh pendekatan kualitatif. Penarikan sampel dilakukan dengan teknik

incidental sampling yaitu sebanyak 60 anak jalanan.

Metode yang digunakan untuk mencari representasi sosial adalah asosiasi bebas. Pernyataan yang diperoleh dari anak jalanan dikelompokkan menjadi sembilan kelompok dan disajikan dalam kuesioner dengan alat bantu kartu bargambar. Selanjutnya, data diolah dan dianalisis dengan menggunakan tabel frekuensi, tabulasi silang, dan Micrsoft Office Excell 2003. Analisis kualitatif digunakan untuk menelaah hubungan antara representasi sosial dengan perilaku kerja pada anak jalanan.

Mengacu pada hasil studi Abric (1976), representasi sosial memiliki dua struktur yaitu central core dan pheriperal core. Central core dari representasi sosial yang ada pada anak jalanan adalah cari uang. Sedangkan pheriperal core dari representasi sosial adalah untuk makan, untuk kehidupan, dan cari teman. Representasi sosial yang ada pada anak jalanan terbagi menjadi tiga tipe, antara lain tipe 1: kerja di jalanan untuk membantu orangtua mencari nafkah, tipe 2: kerja di jalanan untuk menambah teman, dan tipe 3: kerja di jalanan untuk mencari pengalaman.


(3)

jalanan tipe III tidak mengetahui larangan bekerja di jalanan. Seluruh anak jalanan mengetahui bahwa di jalanan terdapat razia anak jalanan. Anak jalanan tipe I dan II memiliki pengetahuan tentang waktu razia anak jalanan, tetapi pada anak jalanan tipe III hanya sebagian kecil yang mengetahui waktu razia. Anak jalanan tipe II kurang menyadari akan bahaya kerja di jalanan. Anak jalanan tipe III paling menyadari bahwa bekerja di jalanan dapat membantu perekonomian keluarga, tetapi bukan pencari nafkah. Anak jalanan tipe I memiliki opini bahwa aktivitas yang seharusnya dilakukan adalah bersekolah dan bermain, anak jalanan tipe II memiliki opini yaitu bersekolah, dan anak jalanan tipe III memiliki opini yaitu bersekolah, bermain, dan bekerja cari uang. Penilaian terhadap kondisi kerja anak jalanan, anak jalanan tipe II paling banyak menilai bahwa kondisi kerja anak jalanan bersifat positif.

Ada perbedaan antara representasi sosial berdasarkan karakteristik sosial ekonomi yang dimiliki. Anak jalanan tipe 1 adalah anak jalanan laki-laki yang berusia dibawah 15 tahun. Sedangkan, anak jalanan yang berusia di atas 15 tahun merepresentasikan bekerja untuk mencari pengalaman. Bagi anak jalanan perempuan, semakin dewasa usianya maka semakin merepresentasikan bekerja untuk mencari teman. Selain itu, semakin tinggi tingkat pendidikan anak jalanan, semakin merepresentasikan bekerja bukan untuk mencari uang. Terakhir, kedua orangtua anak jalanan tipe II dan III bekerja, sedangkan anak jalanan tipe I hanya bapak saja yang bekerja.

Mayoritas anak jalanan berusia diatas 15 tahun dan berjenis kelamin laki-laki. Sebagian besar anak jalanan sudah tidak sekolah, mereka memiliki pendidikan akhir SD dan sederajat. Sebagian besar alasan seorang anak turun ke jalan karena kurang perhatian dari keluarga dengan motivator atau orang yang mengajak bekerja di jalanan adalah teman. Pendidikan orangtua anak jalanan hanya sampai tingkat SD dan sederajat dan bekerja di sekor informal dan bersifat marjinal seperti buruh terampil, buruh kasar, pedagang pemulung, pengamen dan pengemis. Tingkat penghasilan bapak sebagai keluarga masih berada dibawah UMR Kota Bogor. Sedangkan untuk


(4)

dan karyawati. Penghasilan ibu sebagai penunjang kebutuhan hidup sehari-hari yaitu kurang dari Rp.400.000, 00 per bulan. Sebagian besar anak jalanan masih memiliki orangtua. Tidak semuanya memiliki tempat tinggal bersama orangtuanya.Anak jalanan termasuk keluarga besar, mereka memiliki jumlah saudara kandung diantara 3-5 orang termasuk diri sendiri. Hal ini menyebabkan anak jalanan kurang mendapatkan perhatian dari orangtua.

Terdapat perbedaan pula antara reresentasi sosial dengan perilaku kerja anak jalanan. Anak jalanan tipe II dan III memulai aktifitasnya lebih awal dibandingkan tipe I. Anak jalanan tipe I memiliki jenis pekerjaan lebih bervariasi, lama bekerja lebih dari lima jam dengan waktu istirahat sekitar satu sampai dua jam. Sedangkan anak jalanan tipe II memiliki jenis pekerjaan kurang bervariasi, lama bekerja lebih dari lima jam dengan waktu istirahat kurang dari sama dengan empat jam. Anak jalanan tipe III memiliki jenis pekerjaan kurang bervariasi, lama bekerja kurang dari lima jam dengan waktu istirahat lebih dari tujuh jam. Penelitian ini dapat dijadikan masukkan untuk program penangan masalah anak jalanan dengan melihat representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan.


(5)

Oleh:

GALUH ADRIANA

A14204013

Skripsi

Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian

pada

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009


(6)

ii

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi oleh: Nama Mahasiswa : Galuh Adriana Nomor Pokok : A14204013

Judul : Representasi Sosial Tentang Kerja Pada Anak Jalanan (Studi kasus: Anak Jalanan di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat)

dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS.DEA NIP. 19591114 198811 2001

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 19571222 198203 1 002


(7)

iii

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “REPRESENTASI SOSIAL TENTANG KERJA PADA ANAK JALANAN (KASUS ANAK JALANAN DI KOTA BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT)” ADALAH BENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI MANAPUN. SEMUA SUMBER DATA DAN INFORMASI YANG DIGUNAKAN DALAM TULISAN TELAH DINYATAKAN DENGAN JELAS DAN DAPAT DIPERIKSA KEBENARANNYA.

Bogor, Agustus 2009

Galuh Adriana A14204013


(8)

iv

Penulis dilahirkan di Jakarta 1 Oktober 1986. Penulis adalah anak pertama dari pasangan suami isteri Muhammad Zulkifli dan Galuh Susilawati. Pada tingkat sekolah dasar penulis bersekolah di SDN 01 Cimanggis, kemudian melanjutkan pendidikannya di SLTPN 1 Bojonggede dan SMAN 9 Bogor.

Penulis memiliki hobi berolah raga, terutama karate, pencak silat, renang dan atletik. Pada saat sekolah menengah pertama penulis mengikuti pertandingan atletik tingkat kecamatan di lapangan Pemda Cibinong dan pertandingan karate di Jakarta. Pada masa sekolah menengah atas penulis aktif di kegiatan ekstrakulikuler pencak silat, bahkan sampai mengikuti perlombaan PORSENIDA tingkat II wilayah Jawa Barat. Penulis turun sebagai atlit seni untuk tunggal putri dan ganda putri.

Setelah lulus dari SMAN 9 Bogor penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor melalui jalur PMDK. Penulis mengambil jurusan Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Pertanian. Pada pertangahan kuliah penulis menikah dengan Saripudin teman satu angkatan. Hingga kini penulis telah memiliki seorang anak laki-laki yang bernama Ananda Arie Sulaiman Putra Saripudin yang telah berumur tiga tahun.


(9)

v

Bismillahirrahmanirrohim,

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karunia-Nya yang telah memberikan nikmat sehat sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi dengan judul Representasi Sosial Tentang Kerja Pada Anak Jalanan dengan studi kasus anak jalanan di Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat merupakan karya ilmiah yang bertujuan untuk memahami sekaligus mengkaji kaitan antara representasi sosial tentang kerja dengan perilaku kerja anak jalanan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing, Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS.DEA atas segala kesediaan dan kesabaranya dalam membimbing, berbagi ide dan pemikiran pada setiap proses penyelesaian skripsi. Selain itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Djuara P. Lubis selaku penguji utama dan Ratria Viarianita selaku pembimbing akademik.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh civitas akademik sebagai bahan reverensi dalam memperkaya wawasan tentang studi anak jalanan. Selain itu, semoga skripsi ini dapat dijadikan sebagai bahan rujukan untuk penelitian lebih lanjut.

Bogor, Juli 2009


(10)

vi

Segala puji dan syukur hanya dipanjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan, kesabaran, dan pengetahuan kepada penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi ini.

Dalam penulisan skripsi ini penulis telah memperoleh bantuan, dorongan, semangat dan dukungan dari beberapa pihak baik secara langsung atau secara tidak langsung. Dalam kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih dengan rasa hormat kepada:

1. Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS.DEA, atas kesabarannya membimbing, berdiskusi, dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. 2. Kedua orang tua, Mama dan Papa, yang tiada henti memberikan dukungan

dan semangat kepada penulis.

3. Saripudin sebagai suami yang telah memberikan motivasi dan inspirasi dalam penulisan skripsi ini.

4. Ananda Arie Sulaiman Putra Saripudin sebagai anak yang kehadirannya membuat penulis lebih bersemangat untuk segera menyelesaikan penulisan skripsi.

5. Galuh Adriani sebagai adik yang telah memberikan dorongan dan semangat kepada penulis ketika mengalami kesulitan.

6. Mba Vera yang telah memberikan kritikan dan masukan yang membangun bagi penulis.

7. Mba Rahma, Mba Hana di Dokis, dan Bu Neni (Dokumentasi Ilmu-ilmu Sosial) yang telah membantu dalam mencari literatur-literatur yang dibutuhkan penulis.

8. Umi dan Bapak sebagai mertua yang telah membantu memberikan dorongan dan do’a agar penulis segera menyelesaikan penulisan skripsi ini.

9. Yunda dan Tina sebagai teman satu perjuangan yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis, terutama pada saat kesulitan dalam menemukan literatur.


(11)

vii

11. Seluruh staf di Stasiun Kota Bogor dan Terminal Baranangsiang atas kesediannya memberikan informasi mengenai gambarean umum lokasi.

12. Jusep, Titin, Yana, Rakhel dan semua teman-teman anak jalanan di Stasiun Kereta Api Bogor dan Terminal Baranangsiang, terima kasih atas cerita dan pengalaman yang diberikan selama penelitian.

13. Serta semua pihak yang telah membantu terselesaikannya proposal penelitian ini.


(12)

viii

DAFTAR TABEL….………... X

DAFTAR GAMBAR…………...……… xii

BAB I PENDAHULUAN……… 1

1.1 Latar Belakang……….. 1

1.2 Perumusan Masalah………... 3

1.3 Tujuan Penelitian……..………. 3

1.4 Kegunaan Penelitian………... 4

BAB II TINJAUAN PUSTA………... 5

2.1 Pemaknaan dan Representasi Sosial………... 5

2.2 Representasi Sosial tentang Kerja... 9

2.2.1 Pengukuran Makna Kerja... 11

2.3 Karakteristik Anak Jalanan... 14

2.3.1 Pengertian Anak Jalanan... 14

2.3.2 Karakteristik Sosial Anak Jalanan... 15

2.3.3 Karakteristik Ekonomi Anak Jalanan……...………. 18

2.3.4 Perilaku Kerja Anak Jalanan………... 19

2.4 Kerangka Pemikiran………... 24

2.5 Hipotesa Penelitian……… 29

2.6 Definisi Operasional……….. 29

BAB III METODOLOGI PENILITIAN..……… 40

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian …………..……….. 40

3.2 Tehnik Pemilihan Responden …..………. 40

3.3 Tehnik Pengumpulan Data ...…………..……….. 41

3.4 Tehnik Pengolahan dan Analisis Data ….……… 44

BAB IV GAMBARA UMUM LOKASI... 45

4.1 Lokasi I (Stasiun Kereta Api Bogor)... 45

4.2 Lokasi II (Terminal Baranangsiang)... 50

BAB V REPRESENTASI SOSIAL TENTANG KERJA PADA ANAK JALANAN... 54

5.1 Tipe-Tipe Representasi Sosial tentang Kerja 54 5.1.1 Tipe I: Kerja Di Jalanan untuk Menbantu Orangtua Mencari Nafkah ... 56

5.1.2 Tipe II: Kerja Di Jalanan Untuk Menambah Teman... 58

5.1.3 Tipe III:Kerja Di Jalanan Untuk Mencari Pengalaman ... 61

5.2 Dimensi-Dimensi Representasi Sosial Tentang Kerja... 66

5.2.1 Tipe I: Kerja Di Jalanan Untuk Membantu Orangtua Mencari Nafkah ... 66

5.2.2 Tipe II:Kerja Di Jalanan Untuk Menambah Teman... 70


(13)

ix

BAB VI KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI ANAK JALANAN... 78

6.1 Usia Anak Jalanan... 78

6.2 Pengalaman Kerja Menjadi Anak Jalanan ... 79

6.3 Jenis Kelamin Anak Jalanan ... 79

6.4 Status Pendidikan Anak Jalanan... 80

6.5 Tingkat Pendidikan Anak Jalanan ... 80

6.6 Jumlah Saudara Kandung ... 81

6.7 Status Sosial Ekonomi Keluarga Anak Jalanan ... 81

6.8 Status Perkawinan Orangtua Anak Jalanan... 85

6.9 Keberadaan Orangtua Anak Jalanan dan Tempat Tinggal... 86

6.10 Motivasi Anak Turun Ke Jalanan... 87

6.11 Ikhtisar... 88

BAB VII PERILAKU KERJA ANAK JALANAN ... 90

7.1 Tipe I:Kerja Di Jalanan Untuk Membantu Orangtua Mencari Nafkah. 90 7.2 Tipe II: Kerja Di Jalanan Untuk Menambah Teman... 91

7.3 Tipe III: Kerja Di Jalanan Untuk Mencari Pengalaman... 92

7.4 Ikhtisar... 93

BAB VIII HUBUNGAN ANTARA REPRESENTASI SOSIAL TENTANG KERJA DENGAN PERILAKU KERJA... 94

8.1 Studi Kasus Anak Jalanan Tipe I: Kerja adalah Mencari Nafkah... 96

8.2 Studi Kasus Anak Jalanan Tipe II: Kerja adalah Menambah Teman .. 98

8.3 Studi Kasus Anak Jalanan Tipe III: Kerja adalah Mencari Pengalaman... 100

8.4 Ikhtisar ... 103

BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN ... 104

9.1 Kesimpulan... 104

9.2 Saran... 107

DAFTAR PUSTAKA... 108


(14)

x

1. Contoh Skala Perbedaan Semantik Untuk Mengukur Kondisi

Kerja Anak Jalanan... 43 2. Waktu Operasional Stasiun Kereta Api Bogor... 46 3. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Berdasarkan Representasi

Sosial Tentang kerja... 55 4. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe I Berdasarkan Central

core dan Pheriperal core...... 56 5. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe I Berdasarkan Ciri

Demografis………... 57

6. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe I Berdasarkan

Motivasi dan Alasan Turun Ke Jalan... 57 7. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe I Berdasarkan

Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga... 58 8. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe II Berdasarkan

Central core dan Pheriperal core...... 59 9. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe II Berdasarkan Ciri

Demografis………... 60 10. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe II Berdasarkan

Motivasi dan Alasan Turun Ke Jalan... 60 11. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe II Berdasarkan

Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga………. 61 12. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe III Berdasarkan Central core dan Pheriperal core...... 62 13. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe III Berdasarkan Ciri

Demografis………... 62 14. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe III Berdasarkan

Motivasi dan Alasan Turun Ke Jalan... 64 15. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe III Berdasarkan

Kondisi Sosial Ekonomi Keluarga... 65 16. Jumlah Dan Persentase Anak Jalanan Tipe I Berdasarkan

Dimensi-Dimensi Mengenai Bekerja... 66 17. Jumlah Dan Persentase Anak Jalanan Tipe II Berdasarkan

Dimensi-Dimensi Mengenai Bekerja... 70 18. Jumlah Dan Persentase Anak Jalanan Tipe III Berdasarkan

Dimensi-Dimensi Mengenai Bekerja... 73 19. Tabel Perbandingan Tipe I, Tipe II, Tipe III... 77 20. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Usia... 78


(15)

xi 22.

Kelamin... 80 23. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Status

Pendidikan………. 80

24. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat

Pendidikan………. 81

25. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jumlah Saudara

Kandung... 81 26. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat

Pendidikan Bapak………. 82 27. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Jenis

Pekerjaan Bapak………... 83

28. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat

Penghasilan Bapak ... 83

29. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat

Pendidikan Ibu... 84 30. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Jenis

Pekerjaan Ibu………...…….. 84 31. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Tingkat

Penghasilan Ibu... 85

32. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Berdasarkan Status

Perkawinan Orangtua... 86 33. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Status

Keluarga dan Keberadaan Orangtua ... 86 34. Jumlah dan Presentase Responden Berdasarkan Alasan... 87 35. Jumlah dan Presentase Anak Jalanan Berdasarkan Motivator... 88 36. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe I Berdasarkan

Perilaku Kerja ... 91 37. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe II Berdasarkan

Perilaku Kerja ... 92 38. Jumlah dan Persentase Anak Jalanan Tipe III Berdasarkan

Perilaku Kerja ... 93 39. Perbandingan Perilaku Kerja Anak Jalanan Berdasarkan


(16)

xii

1. Kerangka Pemikiran Operasional... 28 2. Tipe Representasi Sosial Tentang Kerja Pada Anak


(17)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan ekonomi yang telah dilakukan selama ini oleh pemerintah Indonesia telah menghasilkan kemajuan dibeberapa sektor ekonomi. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa pembangunan yang telah dilaksanakan tersebut menghasilkan beberapa dampak negatif, salah satunya adalah terciptanya kesenjangan sosial-ekonomi dalam masyarakat Indonesia. Kesenjangan tersebut dapat dilihat dari tingkat pendapatan dan pendidikan yang tidak merata, ada masyarakat yang sangat kaya dan ada yang sangat miskin. Bahkan, adapula diantara mereka yang tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (Waluyo, 2000).

Kesenjangan sosial ekonomi tersebut menghasilkan permasalahan-permasalahan sosial ekonomi, baik itu di perdesaan ataupun di perkotaan. Permasalahan yang muncul di perkotaan salah satunya ialah munculnya fenomena anak jalanan. Fenomena anak jalanan ini terdapat di kota-kota besar seperti di Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Medan, dan bahkan sampai di kota Malang (Waluyo, 2000).

Dampak krisis ekonomi yang berlangsung pada tahun 1997 dilihat sebagai penyebab semakin meningkatnya jumlah anak jalanan. Data dari penelitian ini menunjukkan bahwa sejak tahun 1998 anak yang mulai terjun ke jalanan jumlahnya paling besar dibanding tahun-tahun sebelumnya. Dari 100 responden yang


(18)

diwawancarai mengaku bahwa sebagian besar mulai terjun ke jalanan di mulai tahun 1998, jumlahnya mencapai 35 anak (35,0 persen) dan pada tahun berikutnya (1999) bertambah 34,0 persen sehingga dapat diperkirakan bahwa setelah krisis ekonomi tahun 1997 jumlah anak jalanan meningkat menjadi 69,0 persen (Karnaji dkk, 2001 dan Astuti, 2005).

Menurut data Pusat Kajian Pengembangan Masyarakat (PKPM) Unika Atma Jaya (2001) yang bekerja sama dengan organisasi asing non pemerintah dalam programnya Save the Children, terdapat 10.000 anak jalanan di Jakarta yang tersebar di 312 'kantong'. Diantaranya ialah terminal luar kota Pulo Gadung,Lampu Merah Pramuka, Stasion Beos, Prapatan Cawang, dan Pasar Minggu. Dengan rata-rata terhitung 100 lebih anak mangkal per harinya. Umumnya, anak-anak jalanan melakukan pekerjaan sebagai pengamen, pengasong, pencuci mobil, menyemir sepatu, tukang parkir mobil, kernet dan menjadi joki, dan ojek payung.1 Sedangkan untuk di Bogor, Pemerintah Kota Bogor mencatat terdapat 640 anak jalanan yang tersebar di wilayah Kota Bogor pada tahun 20092. Biasanya anak jalanan di Bogor dapat ditemukan disetiap perempatan jalan, lampu merah, kolong jembatan, di bawah pohon, pusat perbelanjaan, dan paling banyak terdapat di jalan Pajajaran (di dekat hotel Pangrango)3.

Penanganan masalah anak jalanan masih terbatas. Telah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi anak jalanan tetapi mereka masih tetap tetap terlihat di jalanan. Untuk itu, perlu diadakan kegiatan pemberdayaan anak

1

Anonim. http://smu.net.com. Diakses tanggal 8 juni 2008.

2

Anonim. http://ahnadheryawan.com/lintas-kabupaten/kotabogor. diakses tanggal 13 Maret 2009

3


(19)

jalanan yang tepat sasaran. Sebagai penunjang kegiatan pemberdayaan anak jalanan tersebut, perlu diketahui apa yang sebenarnya direpresentasikan oleh anak jalanan mengenai pekerjaannya. Penelitian kali ini akan melihat bagaimana hubungan antara representasi sosial tentang kerja dengan perilaku kerja anak jalanan berdasarkan karakteristik sosial ekonomi.

Mengacu pada hasil studi Abric (1976), representasi sosial merupakan suatu mekanisme yang membentuk pola berpikir dan membicarakan tentang obyek maupun kejadian. Terkait dengan representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan, jika diketahui representasi sosial yang dimiliki maka akan diketahui apakah yang mereka representasikan mengenai bekerja. Sehingga, jika kita ingin merubah perilaku kerja anak jalanan maka kita harus merubah representasi sosial mereka terutama central core mengenai bekerja. Ketika ada perubahan pada central core maka hal itu akan berdampak pada representasi sosial secara keseluruhan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah karakteristik sosial ekonomi anak jalanan? 2. Bagaimanakah reprentasi sosial tentang kerja pada anak jalanan? 3. Bagaimanakah perilaku kerja yang terbentuk pada anak jalanan?

4. Bagaimanakah hubungan antara representasi sosial tentang kerja dengan perilaku kerja anak jalanan?


(20)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi anak jalanan. 2. Mengidentifiksi representasi sosial tentang kerja bagi anak jalanan. 3. Mengidentifikasi perilaku kerja yang terbentuk pada anak jalanan.

4. Mengetahui hubungan antara representasi sosial tentang kerja dengan perilaku kerja anak jalanan.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca untuk menambah wawasan dan informasi mengenai anak jalanan. Bagi pihak-pihak yang berkaitan dengan anak jalanan diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk membuat suatu solusi dalam melakukan upaya pemberdayaan untuk mengatasi bertambahnya jumlah anak jalanan.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemaknaan dan Representasi Sosial

Manusia merupakan makhluk yang tidak hanya menggunakan naluri namun juga menggunakan akalnya dalam menafsirkan segala sesuatu yang berada di lingkungannya. Veeger dalam Fauziyah (2002) mengungkapkan bahwa manusia adalah makhluk yang mampu memberi atau menggunakan arti-arti tertentu kepada benda-benda atau kejadian-kejadian yang dikenal sebagai proses pemaknaan. Proses pemaknaan merupakan inti dari hakekat kehidupan sosial, dimana perilaku manusia bukan merupakan reaksi yang langsung merespon terhadap stimulus yang datang, melainkan terdapat proses penafsiran maksud dan arti terhadap stimulus untuk mengambil suatu tindakan untuk merespon stimulus tadi.

Pemaknaan menurut Blumer dalam Rahayu (2004) yaitu proses interaksi diantara manusia (interaction) atas dasar makna (meaning) yang dimiliki terhadap suatu objek. Makna berasal atau muncul dari interaksi sosial antar manusia dengan sesamanya. Proses sosial dan interaksi sangat mempengaruhi pola pikir masyarakat dalam memandang objek yang ada. Dalam kehidupan, pandangan masyarakat terhadap suatu objek sangat dipengaruhi oleh proses penafsiran yang mereka lakukan.

Blumer seperti dikutip Poloma (2004) menyatakan aktor memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokkan dan mentransformir makna dalam hubungannya dengan situasi dimana dia ditempatkan dan arah tindakannya. Dapat pula dikatakan “tindakan


(22)

manusia terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal yang diketahuinya dan melahirkan serangkaian kelakuan atas dasar bagaimana mereka menafsirkan hal tersebut”.

Kemampuan manusia untuk memaknai arti dan simbol merupakan hasil berpikir mereka yang diperoleh melalui interaksi sosial. Jadi, dapat dikatakan pula bahwa kemampuan manusia memaknai suatu obyek akan mempengaruhi perilakunya terhadap obyek tersebut. Blumer membedakan objek menjadi tiga jenis yaitu objek fisik seperti pohon atau kursi; objek sosial seperti seorang ibu; dan objek abstrak

seperti gagasan atau prinsip moral. Setiap individu memiliki pemaknaan yang berbeda mengenai suatu objek yang sama (Blumer dalam Ritzer, 2004).

Mengenai makna tersebut, Blumer seperti dikutip oleh Sunarto (2000) menyatakan tiga premis yang menyatakan tentang makna. Pertama, manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna sesuatu tersebut bagi mereka. Kedua, makna merupakan suatu produksi sosial yang muncul dalam proses interaksi antar manusia. Ketiga, penggunaan makna oleh para pelaku berlangsung melalui suatu proses penafsiran.

Teori makna telah mengalami perkembangan, dimana makna tidak hanya dimiliki perorangan, tetapi terdapat makna yang dibagi bersama sesama komunitas ataupun masyarakat yang dinamakan makna sosial atau representasi sosial. Representasi sosial adalah suatu pendekatan struktural yang pertama kali diupayakan oleh Serge Muscovici pada tahun 1961. Dalam representasi sosial terdapat pengetahuan yang dimiliki bersama dan pemahaman tentang realita sosial yang ada di


(23)

masyarakat. Representasi sosial sebagai suatu pandangan fungsional yang membiarkan individu atau kelompok memberikan makna atau arti terhadap tindakan yang dilakukannya, untuk mengerti suatu realita kehidupan sesuai dengan referensi yang mereka miliki, dan untuk beradaptasi terhadap realitas tersebut (Abric, 1976).

Representasi sosial dapat berperan sebagai jembatan antara individu dengan dunia sosialnya. Sebagai sesuatu yang dikonstruksi secara sosial, representasi sosial memiliki 2 keutamaan, yaitu sebagai hasil dari pikiran sosial, penyusunan keyakinan, dan pengetahuan tentang fenomena yang berpengaruh secara signifikan di komunitas tertentu; serta sebagai sebuah proses individu dalam membangun kenyataan yang ada. Dalam kerangka psikologi sosial, maka representasi sosial merupakan suatu mekanisme yang membentuk pola berpikir dan membicarakan tentang obyek maupun kejadian. Dengan kata lain representasi sosial merupakan hasil dari interaksi individu satu sama lain dan merupakan suatu proses dalam memahami dunianya (Abric, 1976 dalam Deaux dan Philogene, 2001).

Abric (1976) seperti dikutip oleh Deaux dan Philogene (2001) menyatakan bahwa representasi sosial terdiri dari elemen informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap tentang suatu obyek. Bagian-bagian ini terorganisasi dan terstruktur sehingga kemudian menjadi sistem sosial-kognitif seseorang. Struktur representasi sosial terdiri dari central core peripheral core.

Central core ditentukan oleh obyek yang dimunculkan itu sendiri, oleh jenis hubungan antara obyek tersebut dengan suatu kelompok, dan juga oleh nilai dan norma sosial yang meliputi ideologi dari konteks yang ada di lingkungan pada saat itu


(24)

dalam suatu kelompok tersebut. Fungsi utamanya adalah mengorganisasi fungsi menyeluruh dari seluruh elemen yang menghasilkan representasi atau mengubahnya. Jadi dari central core inilah elemen-elemen ini akan memperoleh makna atau nilainya. Fungsi kedua adalah menentukan hubungan dan menyatukan elemen-elemen dari representasi sosial satu sama lain. Dari kedua fungsi yang dijalankannya tersebut maka central core dapat menjadi elemen dari representasi yang sangat tahan terhadap perubahan karena dia juga yang berfungsi menyatukan dan menstabilkan elemen-elemen di dalamnya. Jadi ketika ada suatu perubahan pada central core maka hal itu akan berdampak pada perubahan representasi seseorang secara keseluruhan. Jadi, jika terdapat dua representasi yang berbeda disebabkan oleh central core yang berbeda.

Elemen peripheral dapat ditemui di sekitar central core, bersifat konkret dan merupakan elemen yang paling bisa diakses secara langsung. Elemen ini juga memiliki fungsi, yaitu menjadikan konkret sesuatu, adaptasi, dan defense. Peripheral coremerupakan hasil dari anchoring representasi ke dalam kenyataan. Elemen inilah yang menyambungkan antara central core dan situasi konkret dalam suatu konteks representasi. Dengan adanya hal tersebut, maka memperlihatkan bukti bahwa elemen ini lebih fleksibel bila dibandingkan dengan central core. Ketika informasi baru atau suatu perubahan baru masuk dan menyatu dalam suatu proses representasi, maka elemen ini akan dimarginalkan kehadirannya, mengartikannya kembali pada pola keberpusatan yang ada, atau dengan memberinya karakter tertentu. Hal ini dapat mendukung perkembangan dan pergerakan dari suatu representasi. Sehingga tidak


(25)

salah jika elemen ini disebut Abric (1993) sebagai suatu sistem defense dari representasi.

Jadi representasi sosial sebenarnya memperkenalkan adanya sintesis yang baru antara individu dengan lingkup sosialnya. Posisi individu dalam teori ini dinilai tidak menghasilkan pola pikir dalam situasi yang terisolasi, namun dari basis saling mempengaruhi satu sama lain. Dan itu menjadi dasar bagi munculnya pemaknaan bersama tentang suatu obyek dan mempengaruhi perilaku individu berdasarkan makna bersama tersebut.

2.2 Representasi Sosial Tentang Kerja

Penelitian mengenai representasi sosial tentang kerja masih belum banyak diteliti. Maka dari itu digunakanlah hasil penelitian makna kerja untuk memberikan informasi mengenai makna kerja yang melekat pada diri individu. Diasumsikan makna kerja yang berada pada level individu berada pula pada level masyarakat atau disebut sebagai representasi sosial.

Pada masyarakat modern makna bekerja menjadi bersifat ekonomis, dimana bekerja lebih sering diartikan sebagai aktivitas seseorang yang bertujuan untuk memperoleh imbalan uang atau barang nyata lainnya. Menurut Brief (1990) dalam Amananty (1997) kebanyakan penulis menggunakan definisi yang bersifat ekonomis tersebut.

Penilaian terhadap makna dapat dilakukan dengan melihat aspek sejarah atau dimensi waktu. Dengan berjalannya waktu, maka penelitian mengenai bekerja tidak


(26)

hanya terfokus pada aspek pemenuhan kebutuhan pokok atau aspek ekonomisnya. Pemahaman terhadap makna bekerja semakin dipengaruhi oleh banyak aspek sesuai dengan perkembangan sosial yang ada. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Tim MOW (Meaning of Working Team) bahwa perkembangan sosial budaya yang tengah berlangsung dalam masyarakat mempunyai pengaruh terhadap makna bekerja bagi individu. Dimana, setiap individu berbeda dalam menghayati konsep dan makna bekerja. Ada yang menganggap bahwa bekerja merupakan sarana untuk mencukupi kebutuhan pokoknya, ada pula yang beranggapan bahwa dengan bekerja kebutuhan-kebutuhan sosial seperti memperoleh kepuasan, mengembangkan kemampuan, dapat terpenuhi (Amanaty, 1997).

Tim MOW mengungkapkan bahwa makna bekerja adalah suatu aktivitas yang menghasilkan sesuatu yang bernilai bagi orang lain,“an activity that produce something of value for other people”(MOW international research team, 1987:160)

Pengertian bekerja disampaikan pula oleh Watson (1995), bekerja tidak hanya usaha untuk bertahan hidup melainkan merupakan sarana dimana seseorang dapat menemukan konsep diri di dalam proses bekerja. Watson (1995) mendefinisikan kerja adalah “the carrying out of tasks which enable people to make a living... but in the process people bound up with their conception of self”(Watson, 1995:112). Sementara itu, menurut Amanaty (1997) menyatakan bekerja adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai baik bagi orang lain maupun bagi diri sendiri, baik yang bersifat fisik maupun psikologisnya.


(27)

Jadi secara konseptual, representasi sosial tentang kerja adalah sejumlah image, opini, penilaian, dan keyakinan umum mengenai kerja. Berdasarkan makna kerja yang diungkapkan di atas, maka dapat dikatakan bahwa representasi sosial tentang kerja adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup, memperoleh kepuasan, mengembangkan kemampuan, dapat menemukan konsep diri, serta untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.

2.2.1 Pengukuran Makna Kerja

Pemahaman dan penghayatan terhadap makna bekerja menjadi relatif terkait dengan situasi dan sudut pandang tertentu. Salah satunya ialah pendekatan yang digunakan oleh Kaplan dan Tausky (dalam Rasyid, 1987) pada Amanaty (1997) mengajukan konsep mengenai tipologi mengenai makna bekerja yang intinya dengan bekerja individu mampu mendapatkan sarana untuk:

1. Memenuhi status dan prestisenya 2. Mendapatkan penghasilan

3. Dapat mengisi waktunya secara lebih berarti

4. Mendapatkan sarana untuk melakukan kontak sosial atau interpersonal 5. Memberikan layanan atau pengabdian yang bersifat sosial

6. Mengekspresikan diri atau memperoleh kepuasan secara intrinsik, diantaranya memperoleh pengalaman, mempelajari sesuatu yang baru, aktualisasi diri, dan mengembangkan kemampuan diri.


(28)

Secara singkat dalam konsep tipologi tersebut, bekerja mempunyai dua fungsi, baik bersifat instrumental maupun ekspresif. Dalam fungsi ekspresif bekerja mempunyai makna sebagai sarana untuk mengekspresikan jati diri individu dalam konteks sosialnya. Makna ekspresif tergambar dalam bentuk keinginan untuk mendapatkan kepuasan dari penerapan kemampuan dan keahlian yang dimiliki, kepuasan karena dapat membantu orang lain. Sementara itu, makna instrumental dapat dilihat dari fungsi bekerja sebagai sarana untuk mencari penghasilan, bertahan hidup, dan mendapatkan rekan untuk usaha.

Lebih jauh mengenai dimensi makna bekerja, Tim MOW (Meaning Of Working International Research Team, 1987) mengadakan penelitian mengenai makna bekerja pada sektor formal (perusahaan) di sejumlah negara. Penelitian tersebut berlandaskan pada kerangka pemikiran yang melibatkan lima dimensi makna bekerja yaitu sentralitas kerja (work centrality), norma-norma sosial mengenai bekerja (societal norms about working), hasil-hasil bekerja yang bernilai (valued working outcomes), kepentingan tujuan bekerja (importance of work goals), dan identifikasi peran bekerja (working role identifications).

Didalam model yang dikemukakan oleh Tim MOW (1987), ada seperangkat variabel yang berpengaruh didalam proses pemberian makna terhadap bekerja pada seseorang, yaitu variabel yang tergolong pribadi dan situasi keluarga (personal and family situation),antara lain usia, jenis kelamin, pendidikan formal, agama; pekerjaan saat ini dan sejarah karir (present job and career history), seperti status pekerjaan dan


(29)

masa kerja; lingkungan sosial ekonomi secara makro (macro socio-economic environment).

Hasil penelitian Amanaty (1997) yang dilakukan pada karyawati yang bekerja pada sektor industri dan manufaktur menemukan hal yang berbeda mengenai dimensi-dimensi makna bekerja. Ternyata hasil penelitiannya mengungkapkan terdapat delapan dimensi makna bekerja yang berbeda dengan hasil penelitian MOW. Delapan dimensi tersebut diurutkan sebagai berikut:

1. Dimensi Peningkatan Ketrampilan dan Jaringan Sosial 2. Dimensi Pemenuhan Kebutuhan Hidup

3. Dimensi Penerapan Pengetahuan 4. Dimensi Jenjang Karir

5. Dimensi Kemandirian dan Kesejajaran Dengan Pria 6. Dimensi Ibadah dan Tanggung Jawab Sosial

7. Dimensi Peningkatan Status Sosial 8. Dimensi Pencarian Pasangan Hidup

Dari delapan dimensi tersebut, terdapat dua dimensi yang paling bermakna bagi karyawati yaitu dimensi peningkatan ketrampilan dan jaringan sosial serta dimensi pemenuhan kebutuhan hidup. Sedangkan dua dimensi yang dirasakan kurang bermakna adalah dimensi pencarian pasangan hidup dan dimensi peningkatan status sosial.

Dari penjelasan di atas, terdapat variasi dimensi makna. Hal ini disebabkan siapa yang memberikan makna tersebut terkait dengan karakteristik individu yang


(30)

mempengaruhi pemberian makna, tingkat pendidikan, dan sektor bekerja (formal/informal). Sedangkan lingkungan sosial, tugas dalam pekerjaan, dan tujuan hidup nampaknya berperan dalam pembentukan representasi sosial. Maka untuk representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan mungkin saja mempunyai dimensi yang berbeda dengan dimensi di atas.

2.3 Karakteristik Anak Jalanan 2.3.1 Pengertian Anak Jalanan

Anak jalanan menurut Depsos (2006) adalah anak yang sebagian besar menghabiskan waktunya untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat umum lainnya, mempumyai indikasi usia berada dibawah 18 tahun, memiliki orientasi hubungan dengan keluarga sekedarnya, serta tidak ada komunikasi yang rutin diantara mereka. Unicef dalam Garliah (2004) menyatakan anak jalan adalah anak-anak yang pergi meninggalkan rumah, sekolah, dan lingkungan tempat tinggalnya sebelum mencapai usia 16 tahun. Adapun pengertian anak jalanan lainnya terdapat dalam jurnal psikologi sosial sebagimana dikutip Garliah (2004), yaitu anak-anak yang meminta-minta di tempat umum, mengemis dengan pakaian kumal, kotor, dan penampilan tidak terawat.

Dari pengertian anak jalanan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian anak jalanan adalah anak-anak berusia dibawah 18 tahun, sebagian besar waktunya dihabiskan di tempa-tempat umum untuk mencari nafkah atau berkeliaran,


(31)

penampilan mereka biasanya kumal, kotor serta tidak terawat dan memiliki hubungan yang kurang dekat dengan keluarga.

2.3.2 Karakteristik Sosial Anak Jalanan

Karakteristik sosial anak jalanan dapat dilihat dari ciri-ciri fisik, jenis kelamin, usia, kondisi lingkungan baik fisik dan sosial, kondisi sosial-psikologis keluarga dan status pendidikan.

Anak jalanan mempunyai ciri fisik dan psikis yang khas. Ciri fisik dapat dilihat dari warna kulit yang kusam, rambut kemerah-merahan, memiliki badan yang kurus, dan memakai pakaian yang kotor. Ciri psikis dapat dilihat dari mobilitas yang tinggi terutama untuk memenuhi kebutuhan pangan, tidak perduli dengan lingkungan, selalu curiga dengan keberadaan orang asing, sangat sensitif, sulit diatur, berwatak keras, kreatif, semangat hidup yang tinggi, berpikir pendek, dan mandiri (Depsos, 2006).

Hasil penelitian Suhartini (2008) menemukan bahwa sebagian besar anak jalanan adalah laki-laki, terutama pada usia 16 sampai 18 tahun. Sedangkan anak jalanan perempuan lebih banyak ditemui pada usia 13-15 tahun, kebanyakan anak jalanan perempuan yang ditemui berada pada usia dibawah 13 tahun. Anak jalanan perempuan yang telah berusia 16-18 tahun sudah tidak lagi di jalanan karena malu sehingga anak jalanan perempuan lebih memilih untuk bekerja di pabrik.

Setiap harinya anak jalanan biasanya berada di daerah yang kotor, banyak sisa makanan, ataupun ditempat-tempat keramaian. Karena mereka sering berada di


(32)

tempat-tempat yang kotor dan penuh debu membuat mereka malas menjaga kebersihan tubuh seperti jarang mandi, tidak pernah menyisir rambut, malas untuk mencuci pakaian atau menyimpan pakaian (Garliah, 2004). Namun, terdapat hal positif dari anak jalanan yaitu mandiri, artinya anak-anak tidak terlalu menggantungkan hidup terutama dalam hal tempat tidur atau makan (Garliah 2004).

Keberadaan anak jalanan yang berada jauh dari orang tua menyebabkan anak jalanan rentan untuk mendapatkan tindak kekerasan dari orang-orang yang berada di sekeliling mereka. Tindak kekerasan tersebut terbagi menjadi empat jenis yaitu kekerasan ekonomi seperti ”dipalak” oleh preman, serta dipaksa bekerja oleh orang tua; kekerasan psikis seperti ancaman tidak boleh mengamen atau mengemis, dimaki-maki dengan kata-kata yang kasar, sampai ancaman dengan menggunakan senjata tajam; kekerasan fisik seperti tamparan, tendangan, pukulan, benturan dengan benda keras, serta pertengkaran dengan teman karena perebutan wilayah kekuasaan; dan kekerasan seksual seperti segala perilaku yang mengarah pada pelecehan seksual ataupun eksploitasi seks (Sutinah, 2001; Garliah, 2004; dan Depsos, 2006).

Keberadaan anak jalanan dipengaruhi juga oleh latar belakang keluarga. Hasil penelitian Sutinah (2001) dan Handoyo (2004) menemukan bahwa kondisi keluarga anak jalanan perempuan berasal dari keluarga yang tidak mampu (miskin) sehingga memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Suhartini (2008) menenemukan bahwa pendidikan tertinggi kepala rumah tangga hanya samapai tingkat SD. Karena pendidikan yang rendah tersebut, menyebabkan orang tua anak jalanan hanya bisa melakukan pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan khusus di bidang


(33)

pengetahuan (science)ataupun keterampilan khusus. Biasanya orang tua anak jalanan memiliki pekerjaan sebagai buruh bangunan, tukang sampah, pedagang, tukang becak, buruh pabrik dan ada pula yang menganggur. Hal tersebut membuat orang tua anak jalanan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup dan kebutuhan anak-anak mereka, sehingga anak-anak pun harus turun ke jalan untuk mencari uang demi sesuap nasi. Bagi anak jalanan perempuan menjadi anak jalanan merupakan ajakan dan tuntutan orang tua (sejak dalam gendongan ibunya) atau orang yang lebih besar/kakak.

Hubungan anak jalanan dengan keluarganya kurang dekat. Bagi anak jalanan, orang tua bukanlah orang terdekat buat mereka. Orang yang terdekat bagi mereka adalah teman di jalanan. Pada sebagian anak jalanan perempuan yang telah berusia sepuluh tahun ke atas dan secara kebetulan memiliki wajah dan tubuh yang bagus memiliki teman lelaki yang sangat intim.

Berdasarkan kondisi psiko-sosial keluarga anak jalanan maka alasan seorang anak menjadi anak jalanan dapat digolongkan menjadi tiga tipe. Tipe pertama, alasan seorang anak turun ke jalan karena faktor ekonomi atau mencari nafkah untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Tipe kedua, alasan seorang anak turun ke jalan karena kurang kasih sayang keluarga atau disharmoni keluarga. Tipe ketiga, alasan seorang anak turun ke jalan karena iseng atau hanya sekedar menambah uang saku.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa anak jalanan memiliki karakteristik sosial seperti warna kulit yang kusam, penampilan yang tidak rapih serta


(34)

kotor, jumlah anak jalanan lebih banyak laki-laki pada usia 16 sampai 18 tahun dan pada perempuan pada usia 13 sampai 15 tahun, berada ditempat-tempat keramaian dan banyak makanan, sangat rentan mengalami tindak kekerasan dari lingkungan bekerja, berasal dari keluarga yang kurang mampu dengan pendidikan kepala keluarga hanya sampai SD, memiliki hubungan yang kurang baik dengan keluarga, orang tua bukan merupakan orang terdekat bagi anak jalanan, dan penyebab terjadinya anak jalanan dapat dibedakan menjadi tiga tipe berdasarkan faktor ekonomi, keluarga, dan iseng.

2.3.3 Karakteristik Ekonomi Anak Jalanan

Karakteristik ekonomi anak jalanan dapat dilihat dari lokasi bekerja, aktivitas yang dilakukan, kondisi ekonomi keluarga, dan modal untuk melakukan pekerjaan.

Menurut hasil penelitian Sutinah (2001), bagi anak jalanan perempuan yang sudah tidak memiliki orang tua atau ibu menjadikan jalanan sebagai tempat untuk mencari uang agar dapat bertahan hidup dan hanya sebagian anak jalanan perempuan mencari uang untuk kekayaan, foya-foya, dan dianggap sebagai pekerjaan (Handoyo dkk, 2004).

Lokasi bekerja anak jalanan biasanya berada di pasar, terminal bus, stasiun kereta api, taman-taman kota, daerah lokalisasi WTS, perempatan jalanan atau jalan raya terutama daerah lampu merah (traffic light), di kendaraan umum, dan tempat pembuangan sampah. Aktivitas yang mereka lakukan biasanya hanya membutuhkan sedikit keterampilan dan tidak membutuhkan banyak tenaga seperti, menyemir


(35)

sepatu, mengasong, menjual koran atau majalah, mencuci kendaraan, menjadi pemulung, mengamen, menjadi kuli angkut, menjadi penghubung atau penjual jasa, bersih-bersih makam, pekerja seks, pencari kerang (di pantai), dan ojek payung (Depsos, 2006 dan Sutinah, 2001).

Biasanya modal untuk melakukan pekerjaannya menggunakan modal sendiri, berkelompok, berasal dari majikan/patron atau pun dari bantuan/stimulan (Depsos, 2006). Modal untuk melakukan pekerjaan sebagai anak jalanan dapat diartikan sebagai alat yang digunakan untuk melakukan pekerjaan. Alat yang digunakan oleh anak jalanan tergantung pada jenis pekerjaan yang dilakukan. Penjelasan lebih lanjut mengenai alat yang digunakan dalam bekerja akan dibahas pada bab perilaku kerja.

Jadi dapat disimpulkan bahwa lokasi anak jalanan bekerja biasanya berada di daerah terminal, stasiun kereta api, lampu merah serta tempat keramaian lainnya, jenis pekerjaan yang dilakukan adalah yang memiliki tingkat keterampilan yang rendah serta tidak membutuhkan banyak tenaga, dan alat yang digunakan disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan.

2.3.4 Perilaku Kerja Pada Anak Jalanan

Hasil penelitian psikososial4 mengenai anak jalan menerangkan mengenai faktor-faktor yang berperan terhadap perkembangan pola perilaku anak jalanan yaitu:

1. Kehadiran keluarga. Bagi anak jalnan yang lepas hubungan dengan keluarganya, cenderung lebih banyak memperlihatkan perilaku antisosial.

4


(36)

2. Struktur keluarga. Bagi anak jalanan yang berasal dari keluarga besar, cenderung kurang dapat perhatian dari orang tua dan cenderung lebih rentan terlibat gangguan tingkah laku.

3. Lamanya terlibat dalam kehidupan jalanan. Semakin lama dan semakin banyak waktunya menggeluti dunia jalanan, semakin akrab dengan nilai-nilai kultur jalanan/budaya jalanan seperti, nilai moralitas yang longgar, nilai perjuangan untuk bertahan hidup, penuh kekerasan, penonjolan kekuatan, ketiadaan figur orangtua, peranan kelompok sebaya yang besar.

4. Faktor pendidikan. Bagi anak jalanan yang masih bersekolah, tampak lebih mampu mempertahankan nilai-nilai yang serasi dengan konformitas sosial masyarakat umum.

5. Lingkungan tempat tinggal. Anak jalanan “murni”, cenderung lebih banyak memperlihatkan perilaku antisosial.

Faktor-faktor tersebut sangat mempengaruhi perkembangan perilaku dan mental emosional, antara lain: kecenderungan berperilaku agresif-impulsif, gangguan tingkah laku, seks bebas, penyalahgunaan zat dan berkembangnya berbagai perilaku antisosial.

Pola perilaku yang ada pada anak jalanan salah satunya ialah perilaku kerja. Perilaku kerja yang dilakukan oleh anak jalanan dapat terlihat dari waktu memulai pekerjaan, lama bekerja, pekerjaan yang dilakukan, tempat bekerja, dan alat yang digunakan untuk bekerja.


(37)

Waktu memulai pekerjaan di jalanan dipengaruhi oleh status pendidikan, usia, jenis pekerjaan, dan jenis kelamin anak jalanan. Menurut hasil penelitian Karnaji (2001), anak jalanan perempuan yang masih sekolah melakukan kegiatan setelah pulang sekolah diantara pukul 10.00-14.00 WIB bagi mereka yang bersekolah siang hari, dan pukul 14.00-18.00 WIB bagi mereka yang bersekolah pagi hari. Kecuali pada hari Minggu/libur mereka memulai kegiatannya sejak pagi hari (07.00 WIB – sore). Lain halnya dengan anak jalanan perempuan yang tidak bersekolah, mereka bekerja setiap hari dari pukul 07.00 – 22.00 WIB. Biasanya mereka yang bekerja pada sore hari mengakhiri aktivitasnya pada pukul 23.00-24.00 WIB. Jadi, rata-rata anak jalanan bekerja selama 5-12 jam per hari.

Hasil penelitian Handoyo dkk (2004) menemukan hal yang berbeda mengenai pola kerja anak jalananan. Pola kerja yang terbentuk pada anak jalanan berbeda-beda tergantung pada usia mereka mulai turun ke jalan. Pada kelompok anak jalanan yang mulai turun ke jalan pada umur 3 sampai 10 tahun, biasanya berada di perempatan-perempatan jalan dan mereka bergerak pada saat traffic lightberwarna merah. Mereka mulai beraktivitas sore hari sekitar jam 16.00 WIB sampai malam hari jam 21.00 WIB.

Sedangkan pada kelompok anak jalanan perempuan yang turun ke jalan pada usia remaja (di atas 10 tahun), mereka turun ke jalan karena mengikuti ajakan teman-temannya. Intensitas mereka berada di jalanan lebih tinggi, hampir setiap saat, dari pagi sampai sore dan malam hari. Daerah yang dirambah pun tidak terbatas


(38)

perempatan jalan saja melainkan juga pasar dan pusat-pusat keramaian seperti simpang lima dan pasar Johar Semarang.

Hasil penelitian Tauran (2000) menyatakan bahwa anak jalanan yang bekerja sebagai pedagang, memiliki waktu bekerja yang lebih teratur dan menyelesaikan pekerjaanya ketika barang dagangan mereka habis. Sedangkan anak jalanan yang bekerja sebagai pengamen tidak memiliki keteraturan waktu bekerja. Mereka memulai dan mengakhiri pekerjaannya tergantung pada keinginannya sendiri. Walaupun pekerjaan yang mereka lakukan berbeda, namun terdapat kesamaan yaitu mereka dapat bekerja sekaligus bermain dalam aktivitasnya.

Pemilihan lokasi kerja pada anak jalanan terkait dengan strategi bertahan hidup anak jalananan. Hasil penelitian Suhartini (2008) menyatakan bahwa anak jalanan yang memiliki startegi bertahan hidup kompleks memiliki lokasi kerja di angkot, bus dalam maupun antar kota, dan rute lokasi kerja tidak sama setiap hari. Sedangkan anak jalanan yang memiliki strategi bertahan hidup sedang memiliki lokasi kerja di angkot, bus dalam kota, dan lokasi kerja sama setiap hari. Terakhir, anak jalanan yang memiliki startegi bertahan hidup sederhana memiliki lokasi kerja di angkot dan rute lokasi kerja sama setiap hari. Kemudian untuk jenis pekerjaan yang dilakukan, anak jalanan yang memiliki strategi bertahan hidup kompleks dan sedang memiliki jenis pekerjaan ganda, sedangkan bagi anak jalanan yang memiliki strategi bertahan hidup sederhana tidak memiliki pekerjaan ganda. Selanjutnya untuk tipe kelompok kerja tidak ada perbedaan diantara perbedaan tipe strategi bertahan hidup.


(39)

Alat yang digunakan oleh anak jalanan dalam bekerja tergantung pada jenis pekerjaan yang mereka lakukan. Bagi mereka yang bekerja sebagai pengamen biasanya menggunakan salah satu alat bantu seperti gitar kecil, kecrekan, dan gendang. Bagi mereka yang bekerja sebagi tukang semir biasanya menggunakan sikat sepatu, semir sepatu, dan kain untuk menggosok sepatu. Bagi mereka yang bekerja sebagai pemulung biasanya menggunakan karung untuk membawa benda pulungannya. Bagi mereka yang bekerja sebagai pembersih makam biasanya menggunakan alat bantu seperti sapu, arit, dan cangkul. Bagi mereka yang bekerja sebagai ojek payung biasanya menggunakan alat bantu payung. Dan bagi mereka yang bekerja membersihkan kendaraan bisanya menggunakan kemoceng.

Jadi dapat disimpulkan bahwa anak jalanan yang masih bersekolah memulai aktivitasnya setelah pulang sekolah yaitu pada pukul 10.00-14.00 WIB, sedangkan anak jalanan yang tidak bersekolah akan memulai aktifitasnya sejak pukul 07.00 WIB, rata-rata anak jalanan bekerja 5-12 jam per hari, pekerjaan yang dilakukan hanya memerlukan sedikit keterampilan dan tenaga, megenai tempat bekerja biasanya berada di terminal bus, stasiun kereta api, ataupun di tempat-tempat keramaian lainnya, dan alat yang digunakan untuk bekerja disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan.


(40)

2.4 Kerangka Pemikiran

Representasi sosial berarti pemahaman bersama tentang suatu hal di kelompok tertentu yang di dalamnya terdiri dari informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap. Representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan adalah sejumlah image, opini, penilaian, dan keyakinan umum yang dimiliki oleh anak jalanan mengenai pekerjaannya. Dimana representasi sosial memiliki dua struktur yaitu central core dan peripheral core. Central corebersifat lebih memusat, berakar pada individu dan merupakan hasil dari sistem nilai yang dibagi bersama oleh anggota suatu kelompok sehingga relatif lebih sulit untuk diubah dibanding peripheral core(Abric, 1976).

Bentuk pengetahuan dalam representasi sosial pada anak jalanan dapat dibentuk dari komunikasi yang ada di antara anak jalanan. Anak jalanan dapat berkomunikasi satu sama lain tentang pekerjaan yang dilakukannya sekarang melalui informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap mereka. Dari hasil komunikasi tersebut maka anak jalanan akan memiliki suatu pengetahuan sosial tentang kerja yang hampir sama diantara mereka. Namun, meskipun perubahan pada kebudayaan terasa cukup kuat, namun hal itu tidak akan berarti banyak jika central core representasi seseorang tidak terpengaruh (Abric, 1976). Jika anak jalanan memiliki representasi sosial tertentu tentang kerja, maka meskipun kebudayaan cenderung berubah selama central core mereka tidak berubah, tetap saja representasi sosial anak jalanan tentang kerja cenderung tidak akan berubah. Perubahan ini mungkin saja hanya akan mengenai


(41)

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa representasi sosial merupakan sintesis baru antara individu dengan lingkup sosialnya. Posisi individu dalam teori ini dinilai tidak menghasilkan pola pikir dalam situasi yang terisolasi, namun dari basis saling mempengaruhi satu sama lain. Dan itu menjadi dasar bagi munculnya pemaknaan bersama tentang suatu obyek dan mempengaruhi perilaku individu berdasarkan makna bersama tersebut.

Representasi sosial yang terbentuk pada anak jalanan dipengaruhi oleh berbagai macam karakteristik individu dan faktor eksternal. Karakteristik indidvidu yang termasuk dalam karakteristik sosial ekonomi anak jalanan terdiri dari usia, jenis kelamin, status pendidikan, tingkat pendidikan, pengalaman kerja menjadi anak jalanan, motivasi menjadi anak jalanan, status ekonomi keluarga, dan status sosial keluarga. Karakteristik individu anak jalanan ini akan dilihat pengaruhnya dengan representasi sosial tentang kerja yang ada pada anak jalanan. Dimana, semakin bertambah usia anak jalanan, maka akan semakin tinggi nilai representasi sosial mereka mengenai bekerja. Selain itu, terdapat perbedaan representasi sosial tentang kerja antara laki-laki dan perempuan. Begitu pula dengan status pendidikan dan tingkat pendidikan anak jalanan, representasi sosial tentang kerja yang dimiliki oleh anak jalanan yang masih sekolah akan berbeda dengan anak jalanan yang tidak sekolah. Untuk pengalaman kerja menjadi anak jalanan, semakin lama waktu mereka berada di jalanan maka representasi sosial tentang kerja yang dimiliki oleh anak jalanan semakin seragam. Status sosial ekonomi ekonomi keluarga ikut mempengaruhi representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan. Anak jalanan


(42)

berasal dari kelurga dengan kondisi ekonomi kurang mampu akan merepresentasikan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sedangkan anak jalanan yang berasal dari kondisi ekonomi sudah mampu memiliki representasi bekerja untuk memperoleh hiburan atau kesenangan.

Faktor eksternal juga mempengaruhi representasi sosial tentang kerja. Faktor eksternal diantaranya jenis kekerasan, kondisi kerja, dan kebijakan pemerintah. Jenis kekerasan menyangkut segala bentuk tindakan yang merugikan dan menyakiti anak jalanan. Bila anak jalanan sering mendapatkan kekerasan dari lingkungan bekerjanya maka mereka akan memiliki representasi sosial tentang bekerja yang negatif. Kondisi kerja yaitu suatu keadaan dan sifat pekerjaan bagi anak jalanan. Dimana kondisi kerja yang positif akan mengahsilkan representasi sosial tentang kerja yang positif pula. Sedangkan kondisi kerja yang negatif akan menyebabkan representasi sosial yang negatif pula. Sedangkan kebijakan pemerintah terkait dengan anak jalanan, menyangkut segala peraturan yang mengatur mengenai keberadaan anak jalanan, baik berupa larangan, ancaman, ataupun teguran-teguran yang disampaikan pada saat razia anak jalanan. Kebijakan dari pemerintah akan berhubungan terhadap dimensi representasi sosial tentang kerja yaitu pada aspek pengetahuan mengenai peraturan yang dibuat oleh pemerintah dan akan berpengaruh terhadap representasi sosial anak jalanan mengenai bekerja.

Representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan berhubungan erat dengan perilaku kerja anak jalanan. Parameter perilaku kerja pada anak jalanan dapat dilihat dari jam kerja, lama bekerja, lama beristirahat, lokasi bekerja, jenis pekerjaan, dan tipe kelompok kerja anak jalanan. Dimana anak jalanan yang merepresentasikan


(43)

bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari akan bekerja lebih giat dengan alokasi waktu bekerja di jalanan yang lebih panjang dan waktu beristirahat yang singkat dibandingkan dengan anak jalanan yang merepresentasikan bekerja untuk mencari hiburan atau kesenangan. Menurut hasil penelitian MOW (1987), seseorang yang memiliki sentralitas terhadap kerja akan bekerja lebih giat dengan alokasi waktu bekerja lebih dari delapan jam. Sedangkan seseorang yang tidak memiliki sentralitas terhadap kerja akan bekerja kurang dari delapan jam. Selanjutnya lokasi kerja, hasil penelitian Suhartini (2008) menyatakan bahwa anak jalanan yang memiliki startegi bertahan hidup kompleks memiliki lokasi kerja di angkot, bus dalam maupun antar kota, dan rute lokasi kerja tidak sama setiap hari. Sedangkan anak jalanan yang memiliki strategi bertahan hidup sedang memiliki lokasi kerja di angkot, bus dalam kota, dan lokasi kerja sama setiap hari. Terakhir, anak jalanan yang memiliki startegi bertahan hidup sederhana memiliki lokasi kerja di angkot dan rute lokasi kerja sama setiap hari. Kemudian untuk jenis pekerjaan yang dilakukan, anak jalanan yang memiliki strategi bertahan hidup kompleks dan sedang memiliki jenis pekerjaan ganda, sedangkan bagi anak jalanan yang memiliki strategi bertahan hidup sederhana tidak memiliki pekerjaan ganda. Selanjutnya untuk tipe kelompok kerja tidak ada perbedaan diantara perbedaan tipe strategi bertahan hidup. Secara sederhana penjelasan di atas dapat digambarkan sebagai berikut:


(44)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional

Keterangan:

: mempengaruhi Karakteristik Individu: 1. Usia

2. Jenis kelamin 3. Status pendidikan 4. Tingkat pendidikan

5. Pengalaman kerja menjadi anak jalanan 6. Motivasi menjadi anak jalanan

7. Status ekonomi keluarga 8. Status sosial keluarga

Perilaku Kerja:

 Jam kerja

 Lama bekerja

 Lama beristirahat

 Lokasi bekerja

 Jenis pekerjaan

 Tipe kelompok kerja

Representasi Sosial Tentang Kerja Pada Anak Jalanan

Faktor Eksternal 1.Jenis kekerasan 2.Kondisi Kerja


(45)

2.5 Hipotesa Penelitian

1. Diduga karakteristik sosial ekonomi anak jalanan berhubungan dengan representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan.

2. Diduga representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan berhubungan dengan perilaku kerja anak jalanan.

2.6 Definisi Operasional

1. Anak jalanan adalah seorang anak yang berusia dibawah 18 tahun menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan dan tempat umum lainnya. 2. Usia adalah lama hidup responden dari sejak lahir sampai ketika

diwawancarai, kategori yang digunakan adalah: 1) Antara 9 – 11 tahun

2) Antara 12 – 14 tahun 3) Antara 15 – 17 tahun

3. Jenis kelamin adalah struktur biologis yang ada pada diri anak jalanan. Kategorinya adalah:

1) Laki-laki 2) Perempuan

4. Status pendidikan adalah pernah atau tidaknya masuk pendidikan formal/nonformal.

Kategorinya adalah: 1) Tidak pernah sekolah 2) Pernah sekolah


(46)

5. Tingkat pendidikan anak jalanan adalah pendidikan terakhir yang dilalui oleh anak jalanan. Kategorinya adalah sebagai berikut:

1) Belum sekolah 2) SD dan sederajat 3) SLTP dan sederajat 4) SLTA dan sederajat

6. Pengalaman kerja menjadi anak jalananadalah lama bekerja menjadi anak jalanan. Dikategorikan sebagai berikut:

1) Kurang dari 1 tahun 2) Antara 1 – 2 tahun 3) Lebih dari 2 tahun

7. Motivasi menjadi anak jalanandilihat dari alasan menjadi anak jalanan dan motivator seorang anak menjadi anak jalanan.

8. Alasan menjadi anak jalanan adalah segala hal yang menyebabkan seorang anak mau bekerja sebagai anak jalanan. Dikategorikan sebagai berikut:

1) Ekonomi, mencari uang membantu orangtua

2) Disharmoni keluarga, kurang kasih sayang dan perhatian orangtua 3) Tambahan uang saku/jajan

9. Motivator menjadi anak jalanan adalah seseorang yang mengajak atau menyuruh seorang anak untuk bekerja di jalanan. Kategoriny adalah sebagai berikut:

1) Orangtua 2) Teman


(47)

3) Anggota keluarga lainnya seperti kakak, adik, paman, bibi, dan sejenisnya 4) Sendiri

5) Orang Lain

10.Status ekonomi keluarga dilihat dari tingkat pendapatan orang tua dan jenis pekerjaan orang tua.

11.Tingkat pendapatan orang tuaadalah jumlah uang yang didapat oleh orang tua dalam satu bulan terakhir. Tingkat pendapatan orangtua dikategorikan berdasarkan hasil survey di lapangan.

1) Tidak berpenghasilan 2) Tidak Tahu

3) < Rp 200.000,00

4) Rp 200.000,00 – Rp 400.000,00 5) Rp 400.000,00 – Rp 600.000,00 6) Rp 600.000,00 – Rp 800.000,00 7) > Rp 800.000,00

12.Jenis pekerjaan orangtua adalah aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan uang dalam satu bukan terakhir.

Jenis pekerjaan bapak, dikategorikan sebagai berikut: 1) Tidak bekerja

2) Tidak tahu 3) Pedagang

4) P2: Pengemis dan Pengamen 5) Pemulung


(48)

6) Buruh kasar:serabutan, tukang bangunan, kuli panggul, tukang sampah 7) Buruh terampil:pembantu rumahtangga(PRT), satpam, supir, karyawan 8) Lainnya: tukang sol sepatu, tukang ojek, ustad

Jenis pekerjaan ibu,dikategorikan sebagai berikut: 1) Tidak bekerja

2) Pengemis

3) Jasa: tukang cuci botol kecap, PRT, guru ngaji 4) Karyawati

13.Status sosial keluarga dilihat dari status perkawinan orang tua, keberadaan orang tua, tingkat pendidikan serta tempat tinggal.

14.Status perkawinan orang tua adalah kondisi perkawinan orang tua yang legal baik secara hukum dan agama. Dikategorikan:

1) Menikah, memiliki status yang resmi dimata hukum

2) Cerai, telah berpisah secara hukum atau orangtua telah meninggal 3) Tidak tahu

15.Keberadaan orang tua adalah apakah orang tua anak jalanan masih hidup atau tidak. Dikategorikan:

1) Memiliki ayah dan ibu 2) Yatim/Piatu

3) Yatim-Piatu 4) Tidak tahu

16.Tingkat pendidikan orangtua anak jalanan yaitu pendidikan terakhir yang dilalui oleh orangtua anak jalanan. Dikategorikan:


(49)

1) Tidak Sekolah (TS) 2) SD dan sederajat 3) SLTP dan sederajat 4) SLTA dan sederajat 5) Perguruan Tinggi 6) Tidak Tahu

17.Tempat tinggal adalah dengan siapa mereka tinggal. Kategorinya adalah: 1) Bersama orang tua kandung

2) Bersama orang tua asuh (angkat) 3) Bersama saudara

4) Bersama teman sekelompok 5) Menggelandang di jalanan

18.Jenis kekerasan adalah segala bentuk bahaya yang terdapat di jalanan baik berupa tindakan yang tidak menyenangkan dari orang lain maupun kecelakaan lalu lintas. Jenis kekerasan yang diterima oleh anak jalanan berdasarkan hasil survei di lapangan dikategorikan sebagai berikut.

1) Kecelakaan lalu lintas seperti tersrempet dan atau jatuh dari kendaraan mobil/kereta api

2) Kekrasan ekonomi seperti dipalak oleh ”preman” atau orang yang lebih tua

3) Kekrasan fisik seperti dipukul, ditampar oleh orang lain (preman) atau oleh teman sebaya


(50)

4) Pelecehan seksual seperti dicolek dan di ”suit-suitin” (bagi anak jalanan perempuan)

19.Kondisi kerja adalah suatu keadaan dan sifat pekerjaan yang anak jalanan miliki sekarang. Kondisi kerja akan dilihat dengan menggunakan metode skala perbedaan semantik yang berisikan karakteristik bipolar (dua kutub) dari suatu pekerjaan. Kategorinya ialah sebagai berikut:

1) Menyedihkan - Menyenangkan 2) Keterpaksaan - Kemauan sendiri 3) Penuh resiko - Aman

4) Melelahkan - Ringan

5) Tidak mencukupi - Mencukupi kebutuhan 6) Pekerjaan rendah - Setara dengan pekerjaan lain

Selanjutnya, diantara dua kutub ini akan diberi skor nilai antara 1-5, dimana setiap responden harus memberikan penilaian dengan menggunakan rentangan skor tersebut. Jika skor yang diberikan semakin ke kiri mendekati angka 1 maka dapat disimpulkan bahwa kondisi kerja anak jalanan sangat negatif, dan sebaliknya jika skor yang diberikan semakin ke kanan atau mendekati angka 5 maka dapat disimpulkan bahwa kondisi kerja anak jalanan sangat posisif.

20.Kebijakan pemerintah adalah segala peraturan yang mengatur mengenai keberadaan anak jalanan. Variabel akan dilihat secara kualitatif dan akan dijelaskan pada dimensi-dimensi representasi sosial.


(51)

21.Representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan adalah sejumlah image, opini, penilaian, dan keyakinan umum mengenai kerja yang ada pada anak jalanan. Dalam representasi sosial terdapat empat elemen yaittu informasi, keyakinan, pendapat dan sikap yang dijelaskan sebagai berikut: 1) Informasi adalah segala pengetahuan yang miliki anak jalanan mengenai

kerja

2) Keyakinan adalah suatu hal yang dipercaya mengenai kerja bagi anak jalanan

3) Pendapat adalah suatu hasil pemikiran mengenai kerja yang dikomunikasikan kepada anak jalanan lainnya

4) Sikap adalah kecenderungan respon suka atau tidak suka pada kerja yang hasil akhirnya bisa posistif atau negatif.

Penyusunan instrumen untuk melihat representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan melalui beberapa tahap. Pada tahap pertama yaitu yahap pada pra-survei diperoleh 9 kelompok representasi sosial tentang kerja seperti untuk kehidupan, cari kebebasan, cari pengalaman, cari hiburan, cari teman, bantu orangtua, cari uang, untuk makan, dan untuk sekolah. Mengacu pada hasil studi Abric (1976) bahwa pengelompokkan representasi sosial tentang kerja harus kelipatan tiga. Mengenai representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan dijelaskan sebagai berikut:

1) Untuk kehidupan yaitu bekerja direpresentasikan sebagai alat untuk bisa bertahan hidup


(52)

2) Cari kebebasan yaitu bekerja direpresentasikan untuk memperoleh kemerdekaan terhadap tindakan apa yang akan diambil, dan bisa mandiri. 3) Cari pengalaman yaitu bekerja direpresentasikan untuk memperoleh

wawasan, menambah pengetahuan tentang kehidupan, dan mengetahui informasi tentang kehidupan jalananan.

4) Cari hiburan yaitu bekerja direpresentasikan untuk menghilangkan sters, mencari hiburan dan cuci mata,tidak bosan, mencari ketenangan dan memperoleh kesenangan.

5) Cari teman yaitu bekerja direpresentasikan sebagai wadah untuk mencari sahabat, cari pergaulan, cari persahabatan, kenal banyak orang dan cari pacar.

6) Bantu orangtua yaitu bekerja direpresentasikan untuk memberi uang kepada orangtua, menambah penghasilan keluarga, dan untuk membantu membeli obat adik.

7) Cari uang yaitu bekerja direpresentasikan untuk memperoleh atau menghasilkan uang.

8) Untuk makan yaitu bekerja direpresentasikan untuk bisa membeli makanan untuk dimakan sendiri dan anggota keluarga lainnya.

9) Untuk sekolah yaitu bekerja direpresentasikan sebagai alat agar bisa melanjutkan pendidikan formal, bisa membeli buku sekolah dan peralatan tulis, bisa membayar sekolah dan bisa menyekolahkan adik.

Dari 9 kelompok representasi tentang kerja pada anak jalanan di atas, berdasarkan sifatnya dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu netral, positif dan


(53)

negatif. Representasi sosial tentang kerja yang bersifat netral artinya makna kerja tersebut dimiliki oleh semua orang, seperti untuk kehidupan. Representasi sosial tentang kerja kerja positif artinya bekerja untuk memenuhi kepentingan pribadi, tidak ada beban dalam menjalankannya, seperti cari kebebasan, cari pengalaman, cari hiburan, dan cari teman. Representasi sosial tentang kerja bersifat negatif artinya bekerja bukan hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi tetapi juga orang lain, serta bekerja merupakan suatu tanggungjawab didalam kehidupan seperti bantu orangtua, cari uang, untuk makan, dan untuk sekolah.

Selanjutnya, untuk mengetahui representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan, Abric (1976) merumuskan sebagai berikut: responden diminta untuk memilih tiga kata yang sesuai dengan representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan dan diberi kode 3, 3 kata lainnya yang dirasakan paling tidak mewakili makna kerja bagi anak jalanan, dan 3 kata terakhir dianggap netral dan diberi kode 2. Untuk mengetahui representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan dilihat dari Jumlah kumulatif dari masing-masing item. Dikategorikan sebagai berikut:

1) Central core: dipilih berdasarkan jumlah tertinggi pertama dari representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan yang diberi skor 3

2) Peripheral core: melihat representasi sosial tentang kerja yang diberi skor 2 Terakhir, central core dan pheriperal core dijadikan dasar untuk pengelompokkan representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan.


(54)

22.Perilaku kerja adalah segala aktivitas yang dapat menghasilkan uang. Dalam perilaku kerja akan dilihat dari jam kerja, lama bekerja, lokasi kerja, jenis pekerjaan, dan tipe kelompok kerja.

23.Jam kerja adalah waktu dimana anak jalanan melakukan kegiatan mencari uang. Dikategorikan:

1) Pagi: 07.00 – 11.00 WIB 2) Siang: 11.01 – 15.00 WIB 3) Sore: > 15.00 WIB

24.Lama bekerja adalah jumlah waktu yang digunakan oleh anak jalanan untuk bekerja (Tidak termasuk waktu bermain dan rekreasi). Dikategorikan:

1) < 5 jam 2) ≥ 5 jam

25.Lokasi kerja adalah tempat dimana anak jalanan bekerja. Pada penelitian lokasi penelitian dibatasi yaitu di Stasiun Kereta Api Bogor dan Terminal Baranangsiang. Berdaasrkan hasil survei lokasi kerja anak jalanan dikategorikan sebagai berikut.

1) Stasiun kereta api: di dalam gerbong dan wilayah stasiun

2) Terminal Baranangsiang: terminal bus, angkutan umum, lampu merah (traffic light)

26.Jenis pekerjaan anak jalanan adalah cara-cara yang dilakukan oleh anak jalanan untuk mendapatkan uang. Dikategorikan:


(55)

2) Berdagang seperti pedagang koran atau majalah, pedagang asongan dan penjual makanan ringan

3) Pengamen 4) Pengemis 5) Pemulung

27.Tipe kelompok kerja adalah apakah anak jalanan bekerja berkelompok atau tidak. Kategorinya adalah:

1) Tidak tentu, kadang sendiri dan kadang berkelompok 2) Selalu sendiri

3) Selalu berdua


(56)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Terminal Baranangsiang dan Stasiun Kereta Api Bogor, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan tempat ini didasarkan wilayah yang strategis bagi anak jalanan untuk mencari uang karena merupakan salah satu tempat keramaian sehingga di daerah ini akan sangat banyak terdapat anak jalanan. Selain itu, pada daerah ini banyak terdapat variasi jenis pekerjaan yang dilakukan oleh anak jalanan mulai dari pengamen, pengemis, tukang sapu, pemulung, pedagang asongan, penjual koran, dan lainnya. Diharapkan dari perbedaan jenis pekerjaan akan terdapat perbedaan karakteristik anak jalanan. Perbedaan karakteristik nantinya akan menghasilkan makna kerja yang berbeda pula, sehingga sangat mendukung atas kebutuhan data yang dibutuhkan pada penggalian makna kerja pada anak jalanan.

Pengumpulan data dilakukan pada bulan April 2009. Pengolahan data dan hasil penulisan laporan selanjutnya dilakukan pada bulan bulan Mei – Juni 2009.

3.2 Teknik Pemilihan Responden

Populasi dari penelitian ini adalah anak jalanan yang berada di Terminal Baranangsiang, Stasiun Kerta Api Bogor, Kota Bogor, Provinsi Jawa Barat. Jumlah responden yang diambil adalah 60 orang. Responden sejumlah 60 orang diambil dengan menggunakan teknik incidental sampling dengan pertimbangan bahwa pada


(57)

waktu penelitian anak jalanan yang dijadikan responden adalah anak yang berada di daerah tersebut dan sedang melakukan kegiatan mencari uang di jalanan. Untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap akan dipilih reponden untuk dijadikan informan. Informan dipilih tiga anak jalanan yang mewakili ke tiga tipe representasi sosial tentang kerja.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Proses penyusunan instrumen penelitian mengenai representasi sosial tentang kerja bagi anak jalanan melalui beberapa tahap. Karakteristik sosial ekonomi anak jalanan dicari dengan menggunakan kuesioner dengan menggunakan pertanyaan terbuka dan tertutup. Untuk mengetahui representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan menggunakan metode asosiasi bebas dan skala perbedaan semantik. Perilaku kerja pada anak jalanan telah dicari dengan menggunakan kuesioner berupa pertanyaan terbuka dan tertutup serta panduan pertanyaan dengan melakukan wawancara mendalam. Untuk faktor eksternal jenis kekerasan yang dialami anak jalanan dan kebijakan pemerintah telah dicari dengan menggunakan kuesioner yang tergabung didalam kuesioner dimensi-dimensi representasi sosial, sehingga pada saat pembahasan juga akan digabungkan ke dalam sub bab tersebut.

Lebih lenjut mengenai instrumen untuk melihat representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan didahului dengan tahap pra-survei. Dimana pada tahap ini mengumpulkan kalimat pendek atau kata-kata mengenai representasi tentang kerja pada anak jalanan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh item-item yang benar-benar hidup pada lingkungan anak jalanan dengan menggunakan metode asosiasi bebas.


(58)

Metode ini ditempuh dengan cara memberikan sebuah pertanyaan terbuka mengenai arti bekerja menurut anak jalanan, apa yang dibayangkan ketika mendengar kata bekerja dan apa yang disimpulkan dari bekerja. Jumlah responden yang dibutuhkan pada langkah asosiasi bebas tergantung variasi respon yang didapat. Jika dianggap penambahan responden tidak memunculkan respon baru (hanya berupa pengulangan-pengulangan dari respon yang telah diperoleh sebelumnya) maka penambahan respon dihentikan.

Pada penelitian, langkah asosiasi bebas dihentikan setelah responden ke 55 yang menghasilkan 100 pernyataan dan kata-kata yang menggambarkan representasi sosial tentang kerja. Mengacu pada hasil studi Abric (1976) bahwa pengelompokkan representasi sosial tentang kerja harus kelipatan tiga. Selanjutnya, pernyataan dan kata-kata tersebut dikelompokkan menjadi 9 kelompok representasi sosial tentang kerja yaitu untuk kehidupan, cari kebebasan, cari pengalaman, cari hiburan, cari teman, bantu orangtua, cari uang, untuk makan, dan untuk sekolah.

Akhirnya, reprsentasi sosial tentang kerja disajikan dalam bentuk kuesioner dan dibantu dengan menggunakan kartu bergambar. Dimana kartu bergambar tersebut merupakan ilustrasi terhadap representasi sosial tentang kerja sehingga responden bisa memahami representasi sosial tentang kerja yang dimaksud. Penggunaan kartu bergambar ini dimaksudkan untuk mengurangi bias karena responden belum bisa baca dan kurang mengerti mengenai representasi sosial tentang kerja. Responden akan memilih 3 kata melalui gambar yang dianggap paling mewakili makna kerja akan diberi kode 3, 3 kata melalui gambar yang dianggap paling tidak mewakili akan


(1)

105

uang. Penilaian terhadap kondisi kerja, anak jalanan tipe II paling banyak menilai bahwa kondisi kerja anak jalanan bersifat positif.

2. Umumnya, anak jalanan berasal dari keluarga dengan kondisi sosial ekonomi yang regolong miskin, berusia diatas lima belas tahun, berjenis kelamin laki-laki, bekerja sebagai pengamen, sekolah sampai tingkat SD, memiliki orangtua yang lengkap, dan memiliki jumlah saudara antara tiga sampai lima orang. Keadaan sosial ekonomi anak jalanan mempengaruhi representasi sosial. Hanya variabel usia, jenis kelamin, dan pendidikan terakhir yang mempengaruhi anak jalanan untuk memilih representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan. Pada anak jalanan tipe I, usianya relatif lebih muda yaitu dibawah 15 tahun dan berjenis kelamin laki-laki, anak jalanan tipe II usia berusia diatas 15 tahun dan berjenis kelamin perempuan, dan anak jalanan tipe III berusia diatas lima belas tahun dan berjenis kelamin laki-laki. Selainitu, semakin tinggi tingkat pendidikan anak jalanan semakin besar kecenderungan untuk memilih tipe III. Pada dimensi-dimensi representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan, sebagian besar anak jalanan tipe I kurang memiliki pengetahuan usia kerja. Anak jalanan tipe III tidak mengetahui larangan bekerja di jalanan. Seluruh anak jalanan mengetahui bahwa di jalanan terdapat razia anak jalanan. Anak jalanan tipe I dan II memiliki pengetahuan tentang waktu razia anak jalanan, tetapi pada anak jalanan tipe III hanya sebagian kecil yang mengetahui waktu razia. Anak jalanan tipe II kurang menyadari akan bahaya kerja di jalanan. Anak jalanan tipe III paling menyadari bahwa bekerja di jalanan dapat membantu perekonomian keluarga, tetapi bukan pencari nafkah. Anak jalanan tipe I memiliki opini bahwa aktivitas yang


(2)

seharusnya dilakukan adalah bersekolah dan bermain, anak jalanan tipe II memiliki opini yaitu bersekolah, dan anak jalanan tipe III memiliki opini yaitu bersekolah, bermain, dan bekerja cari uang. Penilaian terhadap kondisi kerja anak jalanan, anak jalanan tipe II paling banyak menilai bahwa kondisi kerja anak jalanan bersifat positif. Penelitian ini dapat dijadikan masukkan untuk program penangan masalah anak jalanan dengan melihat representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan.

3. Perilaku kerja pada anak jalanan hanya dipengaruhi empat variabel, diantaranya jam kerja, jenis pekerjaan, lama bekerja dan lama istirahat. Anak jalanan tipe I memulai aktivitas pada siang hari, sedangkan tipe lainnya mulai bekerja pada pagi hari. Jenis pekerjaan yang dilakukan tipe I lebih bervariatif dibandingkan tipe lainnya. Tipe I dan II memiliki waktu bekerja yang lebih panjang dibandingkan tipe III, yaitu lebih besar dari lima jam. Lama istirahat tipe III lebih panjang dibandingkan tipe I dan II yaitu lebih besar sama dengan tujuh jam.

4. Anak jalanan tipe I memiliki central core yaitu mencari uang. Mereka bekerja lebih bersungguh-sungguh. Memiliki alokasi waktu untuk bekerja lebih panjang dengan waktu beristirahat yang lebih singkat. Berbeda dengan anak jalanan tipe II yang memiliki representasi bekerja untuk mencari teman, akan bekerja lebih santai dibandingkan tipe I dengan waktu istirahat yang relatif lebih panjang. Sedangkan anak jalanan tipe III bekerja untuk mencari pengalaman. Mereka bekerja paling santai dengan alokasi waktu untuk beristirahat lebih panjang dibandingkan kedua tipe alinnya. Anak jalanan tipe III jauh lebih dewasa dibandingkan ke 2 tipe lainnya. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor usia dan


(3)

107

keadaan ekonomi lebih baik dibandingkan tipe I dan II. Umumnya, anak jalanan tipe III tidak lagi bergantung kepada orangtua

9.2 SARAN

Adapun saran yang diajukan sehubungan dengan penelitian mengenai representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan adalah:

1. Dalam setiap upaya penanggulangan terhadap masalah anak jalanan sebaiknya pemerintah lebih memperhatikan representasi sosial tentang kerja pada anak jalanan.

2. Bagi anak jalanan tipe I perlu diberikan pelatihan untuk meningkatkan ketrampilan mereka baik ketrampilan memainkan musik, dan membuat kerajinan tangan dari limbah botol air kemasan.

3. Bagi anak jalanan tipe II, perlu disiapkan arena tempat bermain yang lebih ekonomis dan mudah dijangkau oleh kalangan anak jalanan.

4. Bagi anak jalanan tipe III perlu dibentuk perkumpulan perkumpulan-perkumpulan yang dapat mewadahi aspirasi anak jalanan. Misalnya, perkumpulan pecinta bola bagi anak jalanan penggemar bola sehingga mereka mereka bisa berbagi pengalaman.

5. Pada penelitian selanjutnya, perlu dilakukan uji statistik untuk melihat hubungan antara representasi sosial dengan perilaku kerja anak jalanan, apakah berpengaruh secara siginifikan atau tidak.


(4)

Abric, Jean-Claude. 1976. A Structural Approach of the social representations: The theory of the the central core. 9th International Conference on Social Representation. Juli.2008. Bali.

Amanaty, Ati. 1997. Makna Bekerja Bagi Karyawati. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Depok.

Anonim. 2008. www.smunet.com .Anak Jalanan Belajar Sopan Santun. Diakses Rabu 9 April 2008.

Anonim. 2008. www.psikososial perilaku anak jalanan.com. Diakses Rabu 9 April 2008.

Anonim. 2009. www.radar-bogor.co.id . Diakses 13 Maret 2009.

Anonim. 2009. http://ahmadheryawan.com/lintas-kabupaten-kota/kotabogor. Diakses 13 Maret 2009.

Anonim. http://BreakingNews.com. Liburan Panjang Lonjakan Penumpang di Terminal Baranangsiang dan Stasiun Kereta Api Bogor. Terbit Senin, 21 Agustus 2006. Diakses tanggal 25 juni 2009

Anonim .http://tempointeraktif.com. Ratusan Penumpang KRL Bogor Terhambat. Terbit kamis, 30 juni 2005. diakses tanggal 25 Juni 2009.

Anonim . http://BreakingNews.com. Liburan Panjang Lonjakan Penumpang di Terminal Baranangsiang dan Stasiun Kereta Api Bogor. Terbit Senin, 21 Agustus 2006. Diakses tanggal 25 juni 2009

Deaux, Kay dan Gina Philogene. 2001. Representation of The Social: Bridging Theoritical Traditions. Blackwell Publisher. Massachusets.

Departemen Sosial. 2006.Modul Pelayanan Sosial Anak Jalanan. Jakarta.

Fauziyah, Elis.2002. Makna Tanah Bagi Petani. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.


(5)

109

Garliah, Lili. 2004. ”Program Intervensi Dalam Penanganan Masalah Anak Jalanan”. Jurnal. Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara

Handoyo, Eko dkk. 2004. Profil Anak Jalanan Perempuan di Kota Semarang (Kebutuhan, Motivasi dan Aspirasinya). Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.

Karnaji dkk. 2001. Studi Tentang Penyusunan Model Pembinaan dan Pemberdayaan Anak jalanan. Jurnal Penelitian Dinamika Sosial dan Ilmu Politik volume 2 Nomor 3.. Univesitas Airlangga.

MOW International Research Team. 1987. The Meaning of Working. London:Academic Press, Inc.

Poloma, Margaret M. 2004. Sosiologi Kontemporer. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

PT.KERETA API – Divisi Angkutan Perkotaan Jabotabek. Jadwal Perjalanan KRL Ekonomi Jakarta-Bogor. Diperoleh tanggal 23 April 2009

PT.KERTA API. http://www.keretaapi.com/info-ka. Stasiun Kereta Api Bogor. Diakses tamggal 23 April 2009

Rahayu, Siti Sri. 2004. Makna Hutan Bagi Bagi Masyarakat Adat. Skripsi. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Riduwan, dan Akdon. 2006. Rumus dan Data dalam Aplikasi Statistika untuk Penelitian (Administrasi Pendidikan-Bisnis-Pemerintah-Sosial-Kebijakan-Ekonomi-Hukum-Manajemen-Kesehatan). Ed. Bukhori Alma. Alfabeta. Bandung.

Ritzer, George dan Douglas J.Goodman. 2004. Teori Sosiologi Modern. Prenada Media. Jakarta.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. Suhartini, Tina. 2008. Strategi bertahan hidup anak jalanan. Skripsi. Fakultas


(6)

Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Sutinah. 2001. ”Anak Jalanan Perempuan: Studi Kualitatif Tentang Strategi Mempertahankan Hidup dan Tindak Kekerasan Seksual yang Dialami Anak Jalanan Perempuan di Kota Surabaya”. Jurnal Penelitian Dinamika Sosial volume 2 nomor 3 Desember. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.Universitas Airlangga

Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. PT.Bina Rina Prawira: Jakarta Selatan.

Tauran. 2000. Studi Profil Anak Jalanan Sebagai Upaya Perumusan Model Kebijakan. JurnalAdministrasi Negara volume 1 nomor 1.

Waluyo, Dwi Eko. 2000. Karakteristik Sosial Ekonomi dan Demografi Anak Jalanan di Kota Madya Malang. Laporan Penelitian Universitas Muhammadiyah Malang. Dept. Economic and Development Studies.