BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Produk pangan yang dipasarkan oleh para pelaku usaha baik produsen, distributor, maupun pedagang eceran dikonsumsi konsumen, baik dari usia
balita, anak-anak, hingga orang dewasa. Para pelaku usaha dituntut untuk menyediakan informasi yang benar dan tidak menyesatkan konsumen
dalam pemakaianpenggunaan dari produk pangan yang diproduksi. Akan tetapi, konsumen masih belum mengerti apa yang menjadi haknya dan
bagaimana penjaminan dari haknya tersebut. Maka dari itu, Undang- Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
disosialisasikan dengan baik dan tepat guna untuk melindungi setiap kecurangan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam labelisasi produk
pangannya. 2. Dalam perlindungan konsumen yang diatur dalam Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 memiliki substansi aspek perdata, pidana dan administrasi. Dari mulai pengimplikasian tugas dan wewenang yang sesuai dengan
tugas aparat hukum untuk melakukan perlindungan hukum kepada konsumen yang bersengketa sampai kepada perbuatan dari pelaku usaha
yang diatur dalam hukum perdata maupun pidana. 3. Dimensi perlindungan hukum bagi konsumen dalam pelanggaran
pelabelan produk pangan juga meliputi pertanggungjawaban dari pelaku usaha. Pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha terhadap ketentuan
label pangan dapat dikenakan pertanggungjawaban atau sanksi secara perdata, pidana dan administratif. Sanksi yang diberikan secara perdata
dan pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai dengan pemberian sanksi administratif. Sanksi administratif yang diberikan lebih efektif
dibandingkan dengan sanksi perdata atau pidana. Hal itu disebabkan
karena sanksi administratif dapat diterapkan langsung dan sepihak, tanpa menunggu proses peradilan, sanksi perdata danatau pidana acapkali tidak
membawa efek “jera” bagi pelakunya, nilai ganti rugi dan pidana yang dijatuhkan mungkin tidak seberapa dibanding dengan keuntungan yang
diraih dari perbuatan pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha. Begitu juga mekanisme penjatuhan putusan yang berbelit-belit dan membutuhkan
proses yang lama, sehingga konsumen sering menjadi tidak sabar. 4. Penyelesaian sengketa konsumen dalam pelanggaran pelabelan produk
pangan juga dihadapkan dalam 2 dua pilihan yang sulit antara melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Penyelesaian sengketa konsumen
melalui pengadilan sering menimbulkan suatu polemik yang berkepanjangan. Konsumen merasa jika permasalahan kerugian yang
mereka alami akibat kesalahan instruksilabel produk pangan digugat melalui pengadilan, maka proses pemeriksaannya akan membutuhkan
waktu yang cukup lama. Juga terhadap putusan di pengadilan yang sangat mengecewakan konsumen karena putusan Hakim akan meringankan para
pelaku usaha. Penyelesaian sengketa konsumen melalui di luar pengadilan menjadi alternatif yang sering digunakan oleh konsumen. Penyelesaian
dipilih melalui jalur BPSK. Prosedur gugatan melalui BPSK dilakukan secara sukarela dari kedua belah pihak yang bersengketa. Syarat
keanggotaan, tugas dan wewenang dari BPSK juga menjadikan konsumen sebagai pihak yang bukan lemah. BPSK dalam melaksanakan tugasnya
tidak menganut pandangan subjektivitas tetapi berpandangan objektif dalam menyelesaikan permasalah pelanggaran pelabelan produk pangan di
Indonesia. Penyelesaian melalui BPSK memberikan keuntungan dimana penyelesaian sengketa konsumen dilakukan dengan sederhana, cepat, dan
biaya ringan. Putusan yang telah dicapaidiputuskan oleh BPSK kepada pelaku usaha wajib menerima putusan BPSK. Pelaku usaha wajib
melaksanakan putusan tersebut selambat-lambatnya 7 tujuh hari kerja terhitung sejak menyatakan menerima putusan BPSK. Apabila pelaku
usaha menolak putusan BPSK, tetapi tidak mengajukan keberatan ke
Pengadilan Negeri setelah jangka waktu yang ditetapkan, maka dianggap menerima putusan dan wajib melaksanakan putusan tersebut selambat-
lambatnya 5 lima hari setelah batas waktu mengajukan keberatan dilampaui.
B. Saran