Keaslian Penelitian Sistematika Penulisan

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu : buku-buku yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku yang menguraikan materi yang tertulis yang dikarang oleh para sarjana, bahan-bahan mengajar dan lain-lain. c. Bahan Hukum Tersier, yaitu : Kamus, Ensklopedia, bahan dari internet dan lain-lain yang merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan Library Research, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku milik pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan, artikel-artikel yang diambil dari media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk Peraturan Perundang-undangan, dan untuk memperoleh data pendukung akan dilakukan pengambilan data konsumen dari situs internet YLKI. 5. Analisis Data Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, metode kualitatif ini digunakan agar penulis dapat mengerti dan memahami gejala yang ditelitinya. 14

F. Keaslian Penelitian

Maka skripsi ini digunakan metode analisis kualitatif agar lebih fokus kepada analisis hukumnya dan menelaah bahan-bahan hukum baik yang berasal dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, bahan dari internet, kamus dan lain-lain yang berhubungan dengan judul skripsi yang dapat digunakan untuk menjawab soal yang dihadapi. Penulisan skripsi ini didasarkan kepada ide, gagasan, maupun pemikiran penulis secara pribadi dari awal hingga akhir penyelesaian. Ide maupun gagasan 14 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia UI-Press, 2007, hal.21. yang timbul karena melihat keadaan yang berkembang mengenai bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen atas pelanggaran dalam pelabelan produk pangan yang semakin marak terjadi dalam perdagangan bebas khususnya dalam perdagangan produk pangan. Artinya tulisan ini bukanlah merupakan hasil ciptaan ataupun penggambaran dari karya tulisan orang lain. Oleh karena itu, keaslian dari penulisan ini terjamin adanya. Kalaupun ada terdapat judul tesis yang terdahulu yang menyerupai yaitu yang berjudul “Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Pelabelan Produk Pangan” oleh Anak Agung Ayu Diah Indrawati, Program Magister Studi Ilmu Hukum, Program Pascasarjana, Universitas Udayana, Denpasar. Akan tetapi yang menjadi pembahasan dan penelitian antara skripsi penulis dan tesis ini sangatlah berbeda dan tidak ada kesamaan mengenai apa yang menjadi pembahasan utama dari skripsi ini. Kalaupun ada pendapat dan kutipan dari penulisan ini, hal tersebut merupakan semata-mata adalah sebagai faktor pendorong dan pelengkap dalam usaha menyusun dan menyelesaikan penulisan ini, karena hal ini memang sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan tulisan ini.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematis. Untuk mempermudah penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab-bab yang saling berangkaian satu sama lain. Adapun sistematika penulisan ini adalah: Bab I berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar didalamnya terurai mengenai Latar Belakang penulisan skripsi, Permasalahan, kemudian dilanjutkan dengan Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Peneltian, Keaslian Penulisan, yang kemudian diakhiri oleh Sistematika Penulisan. Bab II Merupakan bab yang membahas tentang tinjauan umum mengenai perlindungan konsumen dimana didalamnya diuraikan yaitu Pengertian Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen, Asas, Tujuan, dan Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen, Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha. Bab III Merupakan bab yang membahas tentang Pengaturan mengenai Pelabelan Produk Pangan dan permasalahan yang dihadapi konsumen dalam ketersediaan informasi dalam label pangan dimana didalamnya diuraikan yakni Pengertian Label, Label sebagai Perwujudan Dari Hak Konsumen Mendapatkan Informasi, Pelabelan Produk Pangan Bagi Konsumen Dalam Mendapatkan Perlindungan dan Pengaturan mengenai Pelabelan Produk Pangan. Bab IV Merupakan bab yang membahas tentang Perlindungan Konsumen Dalam Pelanggaran Pelabelan Produk Pangan Berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 dimana didalamnya menguraikan tentang Perlindungan Konsumen Dalam Pelanggaran Label Produk Pangan, Aspek Perdata, Pidana, dan Administrasi dalam Perlindungan Konsumen, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Terhadap Pelanggarang Pelabelan Produk Pangan yakni Tanggung Jawab Perdata, Pidana dan Administrasi, dan Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Pelanggaran Pelabelan Produk Pangan. Bab V ini berisikan rangkuman kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan saran-saran yang mungkin berguna bagi penerapan Perlindungan Konsumen Atas Pelanggaran Pelabelan Produk Pangan di Indonesia dan orang-orang yang akan membacanya. BAB II TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UU No. 8 TAHUN 1999 A. Pengertian Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen 1. Pengertian Konsumen Sebagai suatu konsep, “konsumen” telah diperkenalkan beberapa puluh tahun lalu di berbagai negara dan sampai saat ini sudah puluhan negara memiliki undang-undang atau peraturan khusus yang memberikan perlindungan kepada konsumen termasuk penyediaan sarana peradilannya. Sejalan dengan perkembangan tersebut, berbagai negara telah menetapkan hak-hak konsumen yang digunakan sebagai landasan pengaturan perlindungan kepada konsumen. Di samping itu, telah berdiri organisasi konsumen Internasional, yaitu International Organization of Consumer Union IOCU. Di Indonesia telah berdiri berbagai organisasi konsumen seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI di Jakarta dan organisasi konsumen lainnya yang tersebar diseluruh kota di Indonesia. 15 Istilah “konsumen” berasasal dari alih bahasa dari kata “consumer” Inggris-Amerika, atau “consumentkonsument” Belanda. Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer adalah lawan dari produsen setiap orang yang menggunakan barang. Tujuan penggunaan barang danatau jasa nantilah yang menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna barang danatau jasa tersebut. Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi kata consumer sebagai pemakai atau konsumen. 16 15 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.22. Pengertian konsumen dalam arti umum adalah pemakai, pengguna atau pemanfaat barang danatau jasa untuk tujuan tertentu. Sedangkan menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa “Konsumen adalah setiap 16 Ibid. orang pemakai barang danatau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Berdasarkan pengertian diatas, subyek yang disebut sebagai konsumen berarti setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang danatau jasa. Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke person atau termasuk juga badan hukum recht person. Menurut Az. Nasution, orang yang dimaksudkan adalah orang alami bukanlah badan hukum. Sebab yang memakai, menggunakan danatau memanfaatkan barang danatau jasa untuk kepentingan sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain tidak untuk diperdagangkan hanyalah orang alami atau manusia. 17 Ada hal lain yang juga perlu dikritisi dari pengertian “konsumen” dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Batasan pengertian “konsumen” dalam UUPK tersebut adalah batasan sempit. Yang dapat dikualifikasikan sebagai konsumen sesungguhnya tidak hanya terbatas pada subjek hukum yang disebut “orang”, akan tetapi masih ada subjek hukum lain yang juga sebagai konsumen akhir yaitu “badan hukum” yang mengonsumsi barang danatau jasa serta tidak untuk diperdagangkan. Oleh karena itu, lebih tepat bila dalam pasal ini menentukan “setiap pihak yang memperoleh barang danatau jasa” yang dengan sendirinya tercakup orang dan badan hukum, atau paling tidak ditentukan dalam Penjelasan Pasal 1 angka 2 UUPK tersebut. 18 Pengertian konsumen antara negara yang satu dengan negara yang lain tidak sama. Di Spanyol, konsumen diartikan tidak hanya individu orang, tetapi juga suatu perusahaan yang menjadi pembeli atau pemakai terakhir. Dan yang paling menarik adalah konsumen di negara ini tidak harus terikat dalam hubungan jual beli sehingga dengan sendirinya konsumen tidak identik dengan pembeli. 17 Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., hal.8. 18 Ahmadi Miru Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004, hal.5. Namun, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda NBW Buku IV, pasal 236 konsumen dinyatakan sebagai orang alamiah. Maksudnya, ketika mengadakan perjanjian ia tidak bertindak selaku orang yang menjalankan profesi perusahaan. 19 Pengertian “konsumen” di Amerika Serikat dan MEE, kata “konsumen” yang berasal dari consumer sebenarnya berarti “pemakai”. Namun, di Amerika Serikat kata ini dapat diartikan lebih luas lagi sebagai “korban pemakaian produk yang cacat”, baik korban tersebut pembeli, bukan pembeli tetapi pemakai, bahkan juga korban yang bukan pemakai karena perlindungan hukum dapat dinikmati pula bahkan oleh korban yang bukan pemakai. 20 Upaya perlindungan terhadap konsumen dari pemakaian produk-produk yang cacat di negara-negara anggota European Economic Community ECMEE dilakukan dengan cara menyusun Product Liability Directive yang nantinya harus diintegrasikan ke dalam instruktur hukum masing-masing negara anggota EC, maupun melalui Statutory Orders yang berlaku terhadap warga negara seluruh anggota EC. Ketentuan-ketentuan dalam Directive harus diimplementasikan ke dalam hukum nasional dulu sebelum dapat diterapkan, sedangkan Statutory Orders dapat langsung berlaku bagi semua warga negara dari negara-negara anggota EC. 21 Article 1 Directive ini mengedepankan konsep liability without fault. Pengertian “konsumen” consumers tidak dijabarkan secara rinci dalam Directive. Dalam kajian bersama pada pasal 1 dengan pasal 9 Directive yang isinya : The producer shall be liable for damage caused by a defect in his product. Article 9 For the purpose Article 1, “damage” means: 19 Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., hal.13. 20 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.23. 21 Ibid., hal.24. a damage caused by death or by personal injuries; b damage to, or destruction of, any item of property other than the detective product it self, with a lower threshold of 500 ECU, provided that the item of property: i is a type ordinarily intended for private use or consumption, and ii was used by the injured person mainly for his own private use or consumption. This Article shall be without prejudice to national provisions relating to non material damage. Dapat disimpulkan bahwa “konsumen” berdasarkan Directive adalah pribadi yang menderita kerugian jiwa, kesehatan, maupun benda akibat pemakaian produk yang cacat untuk keperluan pribadinya. Jadi, konsumen yang dapat memperoleh kompensasi atas kerugian yang dideritanya adalah “pemakai produk cacat untuk keperluan pribadi”. Perumusan ini sedikit lebih sempit dibandingkan dengan pengertian serupa di Amerika Serikat. 22 Perlakuan hukum yang lebih bersifat mengatur danatau mengatur dengan diimbuhi perlindungan merupakan pertimbangan tentang perlunya pembedaan dari konsumen itu. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPerdata, betapapun kedudukan undang-undang ini berdasarkan pendirian Mahkamah Agung, 23 22 Ibid., hal 24-25. terdapat beberapa istilah yang perlu diperhatikan. Antara lain, istilah pembeli Pasal 1460, 1513, dst. Jo. Pasal 1457, penyewa Pasal 1550 dst. Jo. Pasal 1548, penerima hibah Pasal 1670 dst. Jo. Pasal 1666, peminjam pakai Pasal 1743 Jo. Pasal 1740, peminjam Pasal 1744 dan sebagainya. Sedang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang KUHD ditemukan istilah tertanggung Pasal 246 dst. KUHD, penumpang Pasal 393, 394, dst. Jo. Pasal 341. 23 Surat Edaran Mahkamah Agung R.I tanggal 5 September 1963 No. 31963, perihal: Gagasan Burgerlijk Wetboek tidak sebagai Undang-Undang, termuat dalam Dian Yustisia, Pengadilan Tinggi Bandung 1975. hal.9. Pembeli barang danatau jasa, penyewa, penerima hibah, peminjam pakai, peminjam, tertanggung, atau penumpang, pada satu sisi dapat merupakan konsumen akhir tetapi pada sisi lain dapat pula diartikan sebagai pelaku usaha. Mereka tersebut sekalipun pembeli misalnya, tidak semata-mata sebagai konsumen akhir untuk keperluan non komersial atau untuk kepentingan diri sendiri, keluarga atau rumah tangga masing-masing tersebut. Perkembangan hukum baru, menunjukkan pula telah digunakannya istilah konsumen dalam putusan pengadilan. Dalam putusan Mahkamah Agung MA ini, pengertian khalayak ramai dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961, ditafsirkan sebagai konsumen. 24 Az. Nasution dalam bukunya menegaskan beberapa batasan tentang konsumen, yakni: 25 a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang danatau jasa digunakan untuk tujuan tertentu; b. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang danatau jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang danatau jasa lain atau untuk diperdagangkan tujuan komersial; c. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang danatau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga danatau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali non komersial. Bagi konsumen antara, barang danatau jasa itu adalah barang danatau jasa capital, berupa bahan baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain 24 Putusan Mahkamah Agung tanggal 14 Maret 1987 No. 341 PKPdt1986 dalam Perkara Merk Ratu Ayu, antara PT. Rama Pharmaceutical Industry Permohonan Peninjauan Kembali PK, Termohon KasasiPenggugat melawan Ny. Martha Tilaar dan Pemerintah RI qq Dep. Kehakiman RI qq Direktorat Paten dan Hak Cipta Termohon Peninjauan Kembali, Pemohon, dan Turut Termohon KasasiTergugat III. Dalam pertimbangannya MA menyatakan antara lain: “UU No. 21 Tahun 1961 mempunyai tujuan untuk melindungi baik konsumen khalayak ramai maupun pemakai pertama… “.” 25 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Jakarta : Diadit Media, 2002, hal. 13. yang akan diproduksinya produsen. Kalau ia distributor atau pedagang berupa barang setengah jadi atau barang jadi yang menjadi mata dagangannya. Konsumen antara ini mendapatkan barang danatau jasa itu di pasar industri atau pasar produsen. Sedang bagi konsumen akhir, barang danatau jasa itu adalah barang danatau jasa konsumen, yaitu barang danatau jasa yang biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga atau rumah tangganya produk konsumen. Barang danatau jasa konsumen ini umumnya diperoleh di pasar-pasar konsumen dan terdiri dari barang danatau jasa yang umumnya digunakan didalam rumah tangga masyarakat. Bagi konsumen antara yang sebenarnya adalah pengusahapelaku usaha, kepentingan mereka dalam menjalankan usaha atau profesi mereka tidak “terganggu” oleh perbuatan-perbuatan persaingan yang tidak wajar, perbuatan penguasaan pasar secara monopoli atau oligopoli, dan sejenis dengan itu. Mereka memerlukan kaidah-kaidah hukum yang mencegah perbuatan-perbuatan tidak jujur dalam bisnis, dominasi pasar dengan berbagai praktik bisnis yang menghambat masuknya perusahaan baru atau merugikan perusahaan lain dengan cara-cara yang tidak wajar. Bagi konsumen akhir selanjutnya disebut konsumen, mereka memerlukan produk konsumen barang danatau jasa konsumen yang aman bagi kesehatan tubuh atau keamanan jiwa, serta pada umumnya untuk kesejahteraan keluarga atau rumah tangganya. Karena itu yang diperlukan adalah kaidah-kaidah hukum yang menjamin syarat-syarat aman setiap produk konsumen bagi konsumsi manusia, dilengkapi dengan informasi yang benar, jujur, dan bertanggung jawab. Karena pada umumnya konsumen tidak mengetahui dari bahan apa suatu produk itu dibuat, bagaimana proses pembuatannya serta strategi pasar apa yang dijalankan untuk mendistribusikannya, maka diperlukan kaidah hukum yang dapat melindungi. Perlindungan itu sesungguhnya berfungsi menyeimbangkan kedudukan konsumen dan pengusaha, dengan siapa mereka saling berhubungan dan saling membutuhkan. 26 Keadaan seimbang di antara para pihak yang saling berhubungan, akan lebih menerbitkan keserasian dan keselarasan materiil, tidak sekedar formil, dalam kehidupan masyarakat Indonesia sebagaimana dikehendaki oleh falsafah bangsa dan negara ini. 2. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen Istilah “hukum konsumen” dan “hukum perlindungan konsumen” sudah sangat sering terdengar. Dalam berbagai literatur hukum pun sering digunakan dua istilah hukum ini. Namun, belum jelas benar apa saja yang masuk ke dalam materi keduanya dan apakah kedua “cabang” hukum tersebut identik. 27 Pengertian hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen ternyata belum dibakukan menjadi suatu pengertian yang resmi, baik dalam peraturan perundang-undangan maupun dalam kurikulum akademis. Fakultas Hukum Universitas Indonesia mempergunakan hukum perlindungan konsumen, tetapi Hondius, ahli hukum konsumen dari Belanda menyebutnya dengan hukum konsumen konsumen-tenrecht. 28 M.J. Leder menyatakan: “In a sense there is no such creature as consumer law”. Sekalipun demikian, secara umum sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen itu seperti yang dinyatakan oleh Lowe yakni: “….rules of law which recognize the bargaining weakness of the individual consumer and which ensure that weakness is not unfairly exploited”. 29 Karena posisi konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan pengayoman kepada masyarakat. Jadi, sebenarnya hukum 26 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.23. 27 Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta : PT. Grasindo, 2004, hal. 11. 28 N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab Produk, Jakarta : Panta Rei, 2005, hal. 30. 29 Sidharta, Op.cit., hal.9-10. konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya. Az. Nasution menjelaskan bahwa kedua istilah tersebut berbeda, yakni bahwa hukum perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum konsumen. Menurut Az. Nasution, hukum konsumen adalah “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang danatau jasa konsumen, didalam pergaulan hidup”, sedangkan hukum perlindungan konsumen diartikan beliau sebagai “keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan dan masalahnya dengan para penyedia barang danatau jasa konsumen”. 30 Pada hakikatnya, hukum konsumen maupun hukum perlindungan konsumen membahas hal yang sama, yakni kepentingan hukum hak-hak konsumen. Bagaimana hak-hak dari konsumen tersebut diakui dan diatur di dalam hukum dan bagaimana penegakannya dalam praktik kehidupan bermasyarakat merupakan materi dari pembahasan kedua istilah hukum ini. Dengan begitu, hukum perlindungan konsumen atau hukum konsumen dapat diartikan sebagai keseluruhan perangkat hukum yang mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban konsumen dan produsen yang timbul dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhannya. Keseluruhan perangkat hukum tersebut termasuk di dalamnya, baik aturan hukum perdata, pidana, administrasi negara, maupun hukum internasional. Cakupannya adalah hak dan kewajiban serta cara-cara pemenuhannya dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhannya, yaitu bagi konsumen mulai dari usaha untuk mendapatkan kebutuhannya dari produsen, meliputi informasi, harga sampai pada akibat-akibat yang timbul karena pengguna kebutuhan tersebut, misalnya dalam mendapatkan penggantian kerugian. Sedangkan bagi produsen 30 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.13. meliputi kewajiban yang berkaitan dengan produksi, penyimpanan, peredaran dan perdagangan produk, serta akibat dari pemakaian produk tersebut. Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberi pengertian perlindungan konsumen sebagai segala upaya menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen tersebut antara lain adalah dengan meningkatkan harkat dan martabat konsumen serta membuka akses informasi tentang barang danatau jasa baginya, dan mengembangkan sikap pelaku usaha yang jujur dan bertanggung jawab. Dengan demikian, jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka hukum perlindungan konsumen merupakan hukum yang mengatur upaya-upaya untuk menjamin terwujudnya perlindungan hukum terhadap kepentingan konsumen. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengelompokkan norma-norma perlindungan konsumen dalam 2 dua kelompok, yakni: 1. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. 2. Ketentuan tentang pencantuman klausula baku. Adanya pengelompokkan tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen dari atau akibat perbuatan yang dilakukan pelaku usaha. Berkenaan dengan perlindungan konsumen dapat di klasifikasikan bidang-bidang yang harus dilindungi, yaitu: a. Keselamatan fisik, b. Peningkatan serta perlindungan kepentingan ekonomis konsumen, c. Standar untuk keselamatan dan kualitas barang danatau jasa, d. Pemerataan fasilitas kebutuhan pokok, e. Upaya-upaya untuk memungkinkan konsumen melaksanakan tuntutan ganti rugi, f. Program pendidikan dan penyebarluasan informasi, g. Pengaturan masalah-masalah khusus seperti makanan, minuman, obat- obatan dan kosmetik. Janus Sidabalok mengemukakan 4 empat alasan pokok konsumen harus dilindungi, yaitu 31 1. Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut UUD RI 1945; : 2. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak negatif penggunaan teknologi; 3. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional; 4. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen. Membuat batasan tentang hukum konsumen atau hukum perlindungan konsumen tidak bisa dilepaskan dengan bagaimana hukum meletakkan asas-asas untuk melindungi konsumen atas pemenuhan barang danatau jasa. Pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999 menetapkan asas bahwa perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Bertolak dari penetapan asas-asas tersebut, dapatlah diberikan pengertian tentang hukum konsumen atau hukum perlindungan konsumen berupa serangkaian norma-norma yang bertujuan melindungi kepentingan konsumen atas pemenuhan barang danatau jasa yang didasarkan kepada manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.

B. Asas, Tujuan, dan Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen