Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Pelanggaran Pelabelan Produk Pangan

8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu pembayaran ganti kerugian paling banyak Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah terhadap pelanggaran atas ketentuan tentang: 1 Kelalaian membayar ganti rugi kepada konsumen Pasal 19 ayat 2 dan ayat 3; 2 Periklanan yang tidak memenuhi syarat Pasal 20; 3 Kelalaian dalam menyediakan suku cadang Pasal 25; dan 4 Kelalaian memenuhi garansijaminan yang dijanjikan. Berdasarkan ketentuan Pasal 60 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka pelaku usaha yang lalai memenuhi tanggung jawabnya, maka dapat dijatuhi sanksi yang jumlahnya maksimum Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah. Ganti kerugian tersebut merupakan bentuk pertanggunggugatan terbatas, sehingga secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ganti kerugian yang dianut dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menganut prinsip ganti kerugian “subjektif terbatas”. Adanya pembatasan ganti kerugian atau yang disebut ganti kerugian subjektif terbatas itu, untuk kondisi Indonesia sebagai Negara yang industrinya masih dalam perkembangan dinilai tepat. Disamping memberikan perlindungan kepada konsumen juga pelaku usaha masih terlindungi atau dapat terhindar dari kerugian yang mengakibatkan kebangkrutan akibat pembayaran ganti kerugian yang tanpa batas.

D. Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Pelanggaran Pelabelan Produk Pangan

Dewasa ini, sering dijumpai pengaduan masyarakat melalui kolom surat pembaca maupun media elektronik. Berbagai macam keluhan dari rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap produk tertentu sampai ke pelayanan jasa tertentu yang tidak memadai atau mengecewakan. Rasa ketidakpuasan tersebut dapat berkembang menjadi konflik yang dialami oleh masyarakat. Dalam hal ini adalah masyarakat yang menjadi konsumen. Asal mula sengketa berawal pada situasi di mana pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain. Biasanya dimulai oleh perasaan tidak puas, bersifat subjektif dan tertutup yang dialami oleh perorangan maupun kelompok. Apabila perasaan kecewa atau tidak puas disampaikan kepada pihak kedua dan pihak kedua menanggapi dan dapat memuaskan pihak pertama maka selesailah konflik tersebut. Sebaliknya, apabila perbedaan pendapat tersebut terus berkelanjutan maka akan terjadi apa yang disebut sengketa. Sengketa dalam pengertian sehari- hari dimaksudkan sebagai suatu keadaan dimana pihak-pihak yang melakukan upaya-upaya perniagaan mempunyai masalah yaitu menghendaki pihak lain untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu tetapi pihak lainnya menolak atau tidak berlaku demikian. Sengketa juga dimaksudkan sebagai adanya ketidakserasian antara pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok yang mengadakan hubungan karena hak salah satu pihak terganggu atau dilanggar. 134 Menurut Menteri Perindustrian dan Perdagangan dengan Surat Keputusan No. 350MPPKep122001 tanggal 10 Desember 2001, yang dimaksud dengan sengketa konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran danatau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang atau memanfaatkan jasa. 135 Konsumen yang merasa hak-haknya telah dilanggar perlu mengadukannya kepada lembaga berwenang. Konsumen bisa meminta bantuan Lembaga Perlindugan Konsumen Swadaya Masyarakat LPKSM terlebih dahulu untuk meminta bantuan hukum atau bisa langsung menyelesaikan masalahnya ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK. Konsumen bisa mendatangi sub direktorat subdit pelayanan pengaduan di direktorat perlindungan konsumen, Departemen Perdagangan. Sebagaimana dijelaskan dalam website resminya http:pkdtjendpdn.depdag.go.id , konsumen yang akan mengadukan masalahnya bisa melalui fasilitas sebagai berikut 136 134 Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, Op.cit., hal.73-74. : 135 Ibid. 136 Abdul Halim Barkatullah, Ibid., hal.58. − Melalui telepon; − Datang langsung ke Subdit Pelayanan Pengaduan di Direktorat Perlindungan Konsumen; − Media massa; − Via Internet. Setelah dilakukan registrasi pengaduan maka dilakukan pengkajian terhadap masalah yang diadukan oleh konsumen. penentuan masalah atau perkara merupakan “kata kunci” untuk menyelesaikan masalah selanjutnya. Dasar untuk menentukan bahwa hal tersebut merupakan masalah perlindungan konsumen sebagai berikut: 1. Ada kerugian yang dirasakan oleh konsumen; 2. Konsumen tersebut adalah konsumen akhir; 3. Ada pelaku usaha; 4. Produk terdiri atas barang danatau jasa. Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 45 ayat 1, setiap konsumen yang dirugikan bisa menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada dilingkungan peradilan umum. Gugatan terhadap masalah pelanggaran hak konsumen perlu dilakukan karena posisi konsumen dan pelaku usaha sama-sama berimbang di mata hukum. Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat LPKSM, atau Pemerintah diajukan kepada peradilan umum. Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 pada Pasal 45 ayat 2 menyebutkan “penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa”. Berdasarkan ketentuan ini, bisa dikatakan bahwa ada 2 dua bentuk penyelesaian sengketa konsumen, yaitu melalui jalur pengadilan atau diluar jalur pengadilan. a Melalui Pengadilan Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu kepada ketentuan peradilan umum yang berlaku di Indonesia. Konsumen yang dirugikan haknya, tidak hanya diwakilkan oleh Jaksa dalam penuntutan peradilan umum untuk kasus pidana, tetapi ia sendiri juga dapat menggugat pihak lain di lingkungan peradilan tata usaha negara jika terdapat sengketa administrasi di dalamnya. Hal yang dikemukakan terakhir ini dapat terjadi dalam kaitannya dengan kebijakan aparat pemerintah yang ternyata dipandang merugikan konsumen secara individual. Bahkan, mengingat semakin banyaknya perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia juga tidak menutup kemungkinan ada konsumen yang menggugat pelaku usaha di peradilan negara lain, sehingga sengketa konsumen ini pun dapat bersifat transnasional. 137 Dalam kasus perdata di Pengadilan Negeri, pihak konsumen yang diberikan hak mengajukan gugatan menurut Pasal 46 UU No. 8 Tahun 1999 adalah: 1. Seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; 2. Sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; 3. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat LPKSM yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasar menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya. 4. Pemerintah danatau instansi terkait yang jika barang danatau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar danatau korban yang tidak sedikit. 137 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.176. Sampai saat ini hukum acara perdata tidak mengisyaratkan bahwa perwakilan oleh sarjana hukum verplichte procereurstelling yang telah memiliki kualifikasi tertentu untuk menangani sengketaperkara di pengadilan. Hal itu berarti konsumen dapat menangani sengketanya sendiri di pengadilan tanpa bantuan kuasa hukum. Subeki berpendapat bahwa tanpa bantuan hukum dari kuasa hukum, gugatan sering kali dinyatakan tidak dapat diterima karena kesalahan format. Para kuasa hukum yang bekerja di organisasi konsumen yang bertindak sebagai kuasa hukum konsumen, hendaknya telah memenuhi kualifikasi yang disyaratkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik sebagai advokat atau pengacara. 138 Sebelum penyusunan surat gugatan, kuasa hukum terlebih dahulu menerima pemberian kuasa dari konsumen untuk memberikan bantuan hukum mewakili kepentingan konsumen di pengadilan. Wujudnya dalam bentuk surat kuasa yang secara jelas dan terperinci menyebutkan untuk apa kuasa itu diberikan surat kuasa khusus. Adanya kekeliruan atau cacat dalam pemberian kuasa dapat mengakibatkan gugatan dinyatakan tidak dapat diterima. Sebelum penyusunan surat gugatan hendaknya dipertimbangkan beberapa hal, yakni 139 a Pertama, menggali fakta-fakta dari konsumen termasuk siapa saja dari produsen yang terlibat dalam sengketa tersebut. Jadi, kuasa hukum diharapkan tidak menambahkan fakta-fakta yang sebenarnya tidak dialami konsumen. : b Kedua, mempelajari bukti-bukti yang dimiliki konsumen, termasuk disini surat-surat dan saksi-saksi. Hasil penelitianpengujian laboratorium untuk komoditas tertentu, seperti makananminuman, otomotifkendaraan, air minum PAM, dan listrik PLN, sebenarnya dapat membantu mengungkapmembuktikan dalil-dalil gugatan konsumen. 138 Ibid., hal.178. 139 Ibid. c Ketiga, kuasa hukum konsumen hendaknya menggali sejauh mungkin hal-hal apa saja yang sudah dilakukan konsumen, misalnya menyurati produsen, wawancara dengan media massaelektronik atau menulis surat pembaca di media massa. Ini sangat penting guna memperhitungkan kemungkinan adanya gugatan balik berupa pencemaran nama baik dari produsen. d Keempat, menyangkut kompetensikewenangan mengadili secara absolut atribusi kekuasaan kehakiman diantara peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, atau peradilan tata usaha negara maupun kewenangan mengadili secara relatif diantara peradilan sejenis, mana yang paling berwenang mengadili. Kompetensi relatif ini menyangkut mengenai kewenangan pengadilan sejenis untuk mengadili Tergugat sesuai ketentuan Pasal 118 HIR. Prinsip yang berlaku, yaitu gugatan diajukan pada pengadilan negeri didaerah hukum Tergugat berdiam berdomisili atau jika domisilinya tidak diketahui, diajukan di tempat tinggal Tergugat sebetulnya actor sequitur forum rei. Tempat tinggal seseorang dapat dilihat dari Kartu Tanda Penduduknya KTP-nya. Syarat-syarat gugatan dalam ketentuan hukum acara perdata Pasal 8 HIR harus memenuhi persyaratan berikut ini 140 a Syarat Formal, meliputi: : 1. Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan; 2. Pembubuhan materai; 3. Tanda tangan Penggugat sendiri atau kuasa hukumnya. Dalam praktiknya, semula surat gugatan tidak dibubuhi materai. Kemudian, muncul praktik disejumlah pengadilan bahwa surat gugatan dibubuhi materai. b Syarat SubstansialMaterial, meliputi: 1. Identitas PenggugatPara Penggugat dan TergugatPara Tergugat; 140 M. Husni, Op.cit., hal.67. 2. Positafundamentum petendi dalil-dalil konkretalasan-alasan yang menunjukkan perikatan berdasarkan perjanjian atau perbuatan melawan hukum guna mengajukan tuntutan; 3. Petitum hal-hal yang dimohonkan PenggugatPara Penggugat untuk diputuskan oleh HakimPengadilan. Dalam praktik uraian dalam posita menyangkut fakta-fakta hukum uraian mengenai hal-hal yang menimbulkan sengketa, objek, sengketaperkara tanah, perjanjian, dan sebagainya, kualifikasi perbuatan TergugatPara Tergugat wanprestasi, perbuatan melawan hukum, perbuatan melawan hukum penguasa, uraian mengenai kerugian, serta perlunya tindakan untuk menjamin gugatan Penggugat Sita Jaminan bila gugatan Penggugat dimenangkan. Mengenai petitumnya, Penggugat dapat mengajukan petitum primair dan petitum subsidair. Petitum primair memuat hal-hal pokok yang dimohonkan Penggugat untuk dikabulkan Pengadilan, sedangkan petitum subsidair memberi kebebasan kepada Hakim untuk mengabulkan lain dari petitum primair. Dalam praktik penanganan perkara, pada umumnya tidak mudah menetapkan kualifikasi gugatan, meskipun secara teoretis dapat dibedakan menjadi 3 tiga, yaitu wanprestasi ingkar janji, perbuatan melawan hukum onrechtmatige daad dan perbuatan melawan hukum penguasa onrechtmatige overheads daad. Para kuasa hukum sering memanfaatkan hal ini untuk mengajukan eksepsitangkisan bahwa gugatan kabur, misalnya gugatan seharusnya wanprestasi, bukan perbuatan melawan hukum atau sebaliknya. 141 Yusuf Shofie berpendapat untuk permasalahan konsumen dengan lembaga pengadilan tidak diketahui dengan pasti secara kuantitatif. Namun demikian, ada pertimbangan-pertimbangan hakim yang bernuansa perlindungan konsumen yakni dalam pelanggaran pelabelan produk pangan meskipun minim. Minimnya masalah-masalah konsumen di pengadilan tidak termasuk di luar pengadilan disebabkan oleh sikap konsumen Indonesia yang enggan berperkara 141 Ibid., hal.71. di pengadilan. Penyebab keengganan mereka meminta keadilan dari pengadilan disebabkan oleh yang bersifat yuridis-politis-sosiologis, yaitu: 1. Pertama, karena tidak konsistennya badan peradilan di Indonesia atas putusan-putusannya. Sering terjadi perbedaan putusan-putusan pengadilan dalam kasus-kasus pelanggaran label pangan. Dalam kasus-kasus berskala nasional saja, pengadilan belum mampu bersikap konsisten, bagaimana dengan kasus-kasus label pangan pada era perdagangan bebas yang bersuasana internasional. 2. Kedua, konsumen enggan berperkara di pengadilan padahal telah sangat dirugikan pengusaha. Keengganan konsumen sebelum diundangkannya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pada 20 April 1999, lebih didasarkan pada: − Belum jelasnya norma-norma perlindungan konsumen sebelum diundangkannya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; − Peradilan Indonesia yang belum sederhana, cepat, dan biaya ringan; − Sikap menghindari konflik meskipun hak-haknya sebagai konsumen dilanggar. 3. Ketiga, tarik-menarik berbagai kepentingan diantara pelaku ekonomi yang bukan konsumen, yang memiliki akses kuat di berbagai bidang, termasuk akses kepada pengambil keputusan. Yang terakhir ini secara sosiologis berada di luar jangkauan hukum. Kalaupun hukum mampu menjangkaunya itupun hanya sebatas pada mereka yang menjadi tumbal spacegoat tarik-menarik kepentingan tersebut. Adapun bagaimana pengadilan menjalankan fungsinya tidak akan sama dari masa ke masa. Diharapkan semakin bertambah terobosan-terobosan baru melalui pengadilan, untuk menyuarakan rasa keadilan masyarakat konsumen. Hendaknya pengadilan tidak lagi hanya menunggu undang-undang sebagai dasar hukum mengadili sengketaperkara yang diajukan para pencari keadilan yakni konsumen. Ditengah krisis moneter ini, dapat saja pengadilan membuat terobosan baru atas kemungkinan penyalahgunaan krisis moneter sebagai alasan force majeur dari produsenpengusaha. b Diluar Pengadilan Penyelesaian sengketa konsumen terkait pelanggaran pelabelan produk pangan di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi danatau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadinya kembali kerugian yang diderita oleh konsumen Pasal 47 UU No. 8 Tahun 1999. 142 Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tersebut tidak menghilangkan tanggung jawab pidana terhadap pelanggaran pelabelan produk pangan sebagaimana yang telah diatur dalam undang-undang. Dari pernyataan Pasal 45 ayat 3 dijelaskan bahwa bukan hanya tanggung jawab pidana yang tetap dibuka kesempatannya untuk diperkarakan, melainkan juga tanggung jawab lainnya, misalnya dibidang administrasi negara. 143 Untuk mengatasi keberlikuan proses pengadilan, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberi jalan alternatif dengan menyediakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pasal 45 ayat 4 UU No. 8 Tahun 1999 menyebutkan “jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa”. 144 Tidak dijelaskan maksud dari kata-kata “dinyatakan tidak berhasil” dalam pasal tersebut. Secara redaksi, juga tidak dijelaskan apa yang dimaksud dengan istilah “penyelesaian di luar pengadilan” ini adalah upaya perdamaian di Hal ini berarti bahwa penyelesaian di pengadilan pun tetap dibuka setelah para pihak gagal menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan. 142 Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., hal.86. 143 N.H.T. Siahaan, Op.cit., hal.206. 144 Sidharta Revisi, Op.cit., hal.175. antara mereka, atau juga termasuk penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen BPSK. Apabila yang dimaksud “penyelesaian di luar pengadilan” maka termasuk juga penyelesaian melalui BPSK, maka salah satu pihak atau para pihak dapat menghentikan perkaranya di tengah jalan, sebelum BPSK menjatuhkan putusan. Dengan demikian, kata-kata “dinyatakan tidka berhasil” tidak mungkin begitu saja oleh salah satu pihak atau para pihak. Jika konsumen memutuskan untuk memilih penyelesaian melalui BPSK, maka konsumen seharusnya terikat untuk menempuh proses pemeriksaan sampai saat penjatuhan putusannya. Jika konsumen tidak dapat menerima putusan tersebut, baru konsumen diberi hak melanjutkan penyelesaiannya di pengadilan negeri. Interpretasi seperti inilah yang diinginkan oleh pembentuk undang-undang tersebut, yang tampak dalam ketentuan Pasal 56 UU No. 8 Tahun 1999. 145 Pasal 54 ayat 3 UU No. 8 Tahun 1999 menegaskan bahwa putusan majelis dari BPSK bersifat final dan mengikat. Kata “final” diartikan sebagai tidak adanya upaya banding dan kasasi. Yang ada adalah “keberatan” yang dapat disampaikan kepada pengadilan negeri dalam waktu 14 empat hari kerja setelah pihak berkepentingan menerima pemberitahuan putusan tersebut. Jika pihak yang “dikalahkan” tidak menjalankan putusan BPSK kepada penyidik untuk dijadikan bukti permulaan yang cukup dalam melakukan penyidikan. UU No. 8 Tahun 1999 sama sekali tidak memberi kemungkinan lain bagi BPSK, kecuali menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik dalam hal ini, UU No. 8 Tahun 1999 tidak menggunakan kata “dapat” sehingga berarti menutup alternatif untuk tidak menyerahkan kasus tersebut kepada penyidik. Kata “final” dalam Pasal 54 ayat 3 UU No. 8 Tahun 1999 di atas juga dipertanyakan karena kontradiksi dengan Pasal 58 UU No. 8 Tahun 1999. Pertama, jika ada keberatan atas putusan BPSK, maka pengadilan negeri yang dilimpahkan perkara ini wajib menjatuhkan putusan paling lambat 21 dua 145 Ibid. puluh satu hari sejak diterimanya keberatan. Tentu batasan waktu ini akan memberi beban yang tidak kecil bagi pengadilan negeri, mengingat pelanggaran pelabelan produk pangan yang mengakibatkan kerugian konsumen sendiri sangat kompleks dan peru pengkajian lebih teliti oleh hakim. Kedua, jika putusan pengadilan negeri tersebut tidak diterima oleh salah satu pihak atau para pihak, maka masih dibuka kesempatan mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung dalam waktu 14 empat belas hari. Untuk itu, Mahkamah Agung wajib mengeluarkan putusan dalam waktu 30 tiga puluh hari sejak menerima permohonan kasasi. Batasan-batasan waktu tersebut terkesan sangat optimis, sekalipun boleh jadi tidak realistis karena beban yang dilimpahkan kepada badan-badan peradilan memang sangat berat. Penumpukan perkara di Mahkamah Agung sangat luar biasa, sehingga rasanya sulit jika para Hakim Agung masih dibebani batasa waktu yang demikian pendek. Jika pelaku usaha dapat menerima putusan BPSK tersebut, maka ia diberi waktu 7 tujuh hari sejak menerima putusan itu untuk melakukan eksekusi. Ketentuan dalam Pasal 56 ayat 1 agak “mengganggu” karena pada ayat berikut para pihak diberi waktu pula untuk mengajukan keberatan dalam waktu 14 empat belas hari. Dapat dibayangkan jika ada pelaku usaha menerima putusan BPSK dan melaksanakannya, namun masih terbuka bagi pihak konsumen untuk mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri. Dalam Pasal 49 UU No. 8 Tahun 1999 disebutkan syarat-syarat untuk menjadi anggota BPSK, yaitu: 1 Warga Negara Republik Indonesia; 2 Berbadan sehat; 3 Berkelakuan baik; 4 Tidak pernah dihukum karena kejahatan; 5 Memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang perlindungan konsumen; 6 Berusia sekurang-kurangnya 30 tiga puluh tahun. Berbeda dengan Badan Perlindungan Konsumen Nasional yang berskala nasional dan melibatkan banyak unsur dalam masyarakat, pada BPSK keanggotaannya hanya berasal dari tiga unsur, yaitu pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha. Setiap unsur terdiri dari minimal 3 tiga orang dan maksimal lima orang. Artinya, dalam satu pengangkatan BPSK tiap Daeraha Tingkat II akan diangkat anggota antara 9 sampai dengan 15 orang. Jumlah itu di luar kepala sekretariat dan anggota sekretariat yang bertugas membantu tugas-tugas BPSK. Setiap kasus pelanggaran pelabelan produk pangan diselesaikan dengan membentuk majelis, yang berjumlah ganjil, terdiri dari minimal tiga orang mewakili semua unsur. Mereka akan menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen mengenai pelabelan produk pangan melalui jalan mediasi, arbitrase, atau konsiliasi. Jumlah minimal tiga orang itu masih ditambah dengan bantuan seorang panitera. Namun, dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak dijelaskan apakah panitera diambil dari anggota BPSK atau dari luar BPSK. 146 Di luar tugas penyelesaian pelanggaran pelabelan produk pangan, Pasal 52 juga menetapkan tugas dan wewenang BPSK, yaitu: 1. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen; 2. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; 3. Melaporkan kepada penyidik umum jika terjadi pelanggaran ketentuan dalam UUPK; 4. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 5. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; 6. Memanggil pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran- pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 7. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli danatau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap UUPK; 146 Sidharta II Revisi, Op.cit., hal.178. 8. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang yang tidak bersedia memenuhi panggilan BPSK; 9. Mendapatkan, meneliti danatau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan danatau pemeriksaan; 10. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; 11. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; 12. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan UUPK. Dengan membandingkan bobot tugas dan wewenang yang demikian luas, serta syarat-syarat untuk menjadi anggota BPSK patut dipertanyakan apakah ada orang-orang yang berkompeten untuk itu di setiap wilayah Daerah Tingkat II. Terlebih lagi untuk anggota yang berasal dari unsur konsumen, harus dilakukan seleksi yang benar-benar matang. Jika Pemerintah diberi kewenangan penuh untuk mengangkat dan memberhentikan wakil-wakil konsumen dalam keanggotaan BPSK, dikhawatirkan ada kecenderungan untuk tidak lagi mempercayai objektivitas mereka dalam memperjuangkan kepentingan konsumen tatkala bersengketa di BPSK. Kewenangan BPSK sendiri sangat terbatas. Lingkup sengketa yang berhak ditanganinya hanya mencakup pelanggaran Pasal 19 ayat 2, Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26. Sanksi yang dijatuhkan hanya berupa sanksi administratif. Pengertian sanksi administratif telah mendapat pengaruh dari sistem Common Law, sehingga dapat berupa penetapan ganti rugi pada ketentuan Pasal 60 UUPK. Pelanggaran terhadap pasal-pasal lainnya yang bernuansa pidana, sepenuhnya menjadi kewenangan pengadilan. Termasuk kategori ini adalah pelanggaran pelabelan produk pangan yakni dalam Pasal 8 dan Pasal 10 UU No. 8 Tahun 1999, sekalipun pengawasan terhadap pencantuman label pangan sesuai standar adalah bagian dari tugas BPSK ketentuan Pasal 52 UU No. 8 Tahun 1999. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan