C. Tanggung jawab Pelaku Usaha Terhadap Pelanggaran Pelabelan Produk Pangan
1. Tanggung Jawab Perdata Penyedia barang danatau penyelenggara jasa sebagai pelaku usaha
memiliki tugas dan kewajiban untuk ikut serta menciptakan dan menjaga persaingan usaha yang sehat yang menunjang bagi pembangunan perekonomian
nasional secara keseluruhan. Kepada pelaku usaha dibebankan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajiban tersebut, yaitu melalui penerapan norma-
norma hukum, kepatutan, dan menjunjung tinggi kebiasaan yang berlaku di kalangan dunia usaha. Prinsip business is business, tidak dapat diterapkan, tetapi
dipahami dengan prinsip bisnis untuk pembangunan. Jadi, sudah sepantasnya pelaku usaha harus bekerja keras untuk menjadikan usahanya memberi kontribusi
pada peningkatan pembangunan nasional secara keseluruhan. Kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya merupakan tanggung jawab publik yang diemban oleh pelaku usaha. Semua ketentuan di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen bertujuan mengarahkan setiap pelaku usaha untuk berperilaku sesuai ketentuan undang-undang untuk menyukseskan pembangunan
ekonomi nasional di Indonesia, khususnya dalam bidang usaha perdagangan. Setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha maka ia akan
dikenakan sanksi sebagai akibat hukum dari pelanggaran tersebut. Pemberian sanksi sebagai akibat hukum pelanggaran ini sangat penting, dikarenakan dunia
persaingan usaha yang sehat membutuhkan keseriusan dan ketegasan. Pemberian sanksi merupakan salah satu alat untuk mengembalikan keadaan manakala telah
terjadi pelanggaran rehabilitasi sekaligus sebagai alat preventif bagi pengusaha sehingga tidak terulang lagi perbuatan yang sama.
112
Dalam pelanggaran pada label produk pangan yang dilakukan oleh pelaku usaha, terdapat sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 8
112
Abdul Halim Barkatullah, Op.cit., hal.38.
Tahun 1999, Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan maupun Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999. Sanksi ini dapat berupa sanksi perdata,
pidana maupun administratif. Selain dibebani dengan kewajiban, pelaku usaha juga dikenakan
larangan-larangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 17 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pada Pasal
8 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengatur larangan bagi pelaku usaha yang sifatnya umum yang dibedakan menjadi 2 dua,
yaitu
113
1. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh
konsumen. :
2. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar, tidak akurat, dan yang menyesatkan konsumen.
Kedua larangan ini merupakan kualifikasi dalam pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam pelabelan produk pangan.
Hak dan kewajiban dan larangan-larangan tersebut sangat perlu diperhatikan oleh pelaku usaha. Akan tetapi, tanggung jawab produk Product
Liability juga harus dipikul oleh pelaku usaha sebagai bagian dari kewajiban yang mengikat setiap kegiatan dalam usahanya. Sehingga diharapkan pelaku
usaha wajib untuk selalu bersikap hati-hati dalam memproduksi barang danatau jasa yang diproduksinya.
Tanggung jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen diatur khusus dalam Bab VI mulai dari Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dengan melihat substansi pada
113
Abdul Halim Barkatullah, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoretis dan Perkembangan Pemikiran, Bandung : Nusa Media, 2008, hal.41.
Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dapat diketahui bahwa tanggung jawab pelaku usaha meliputi
114
a. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerusakan,
:
b. Tanggung jawab ganti kerugian atas pencemaran, dan c. Tanggung jawab ganti kerugian atas kerugian konsumen.
Berdasarkan hal tersebut, adanya produksi barang danatau jasa yang cacat bukan merupakan satu-satunya dasar pertanggungjawaban pelaku usaha.
Segala kerugian yang dialami oleh konsumen juga menjadi tanggung jawab pelaku usaha. Tanggung jawab tersebut juga tidak lepas dari prinsip-prinsip
sebuah tanggung jawab, karena prinsip tanggung jawab merupakan hal yang sangat penting dalam perlindungan konsumen.
Secara historis Product Liability lahir karena ada ketidakseimbangan tanggung jawab antara produsen dan konsumen, dimana produsen yang pada
awalnya menerapkan strategi product oriented dalam pemasaran produknya, harus mengubah strateginya menjadi consumer oriented. Produsen secara bebas dan
leluasa memproduksi produk pangan dan melemparkan hasil produksinya ke pasar tanpa perlu mencermati kualitas dan mutu barang. Pihak konsumenlah yang
dituntut untuk bersikap waspada dan hati-hati dalam membeli barang-barang tersebut dan mengkonsumsinya demi keselamatan dirinya. Hal tersebut sesuai
dengan adagium yang berlaku pada waktu itu yakni “caveat emptor” konsumen selaku pembeli haruslah berhati-hati.
115
Namun, dunia perdagangan berkembang sehingga menumbuhkan kesadaran dunia usaha akan martabat manusia yang perlu dihormati. Hak-hak
manusia diperjuangkan dan dijunjung tinggi dalam peradaban manusia. Tuntutan untuk menghormati hak-hak manusia tersebut juga dilibatka dalam dunia industri
dan perdagangan, sehingga menggeser adagium caveat emptor menjadi caveat venditor dimana produsen yang harus cermat dan berhati-hati dalam menghasilkan
114
Ahmadi Miru Sutarman Yodo, Op.cit., hal.126.
115
Sidharta, Cetakan Pertama, Op.cit., hal.79.
dan memasarkan barang-barangnya. Adagium caveat venditor mewajibkan pabrik dan produsen sebagai penjual harus bersikap cermat, agar barang-barang hasil
produksinya tidak mendatangkan kerugian bagi kesehatan dan keselamatan konsumen, karena pihak konsumen memiliki hak asasi untuk mendapatkan
barang-barang yang tidak mengandung cacat. Dalam dunia perdagangan inilah product liability sebagai instrumen hukum perlindungan konsumen lahir.
Tanggung jawab produk, barang danatau jasa meletakkan beban tanggung jawab pembuktian produk itu kepada pelaku usaha pembuat produk
produsen merupakan Strict Liability. Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 22 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
mengatur bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam setiap kasusnya menjadi beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Pelanggaran jaminan
berkaitan dengan jaminan pelaku usaha khususnya produsen, bahwa barang yang dihasilkan atau dijual tidak mengandung cacat. Kelalaian dari pelaku usaha
juga dapat digugat bila si pelaku usaha gagal menunjukkan, ia cukup berhati-hati reasonable care dalam membuat, menyimpan, mengawasi, memperbaiki,
memasang label, atau mendistribusikan suatu barang.
116
Kerugian yang dialami oleh seorang pemakai produk yang cacat atau membahayakan, bahkan pemakai yang juga menjadi korban, merupakan tanggung
jawab mutlak pelaku usaha pembuat produk tersebut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999. Dengan penerapan tanggung
jawab mutlak produk ini, pelaku usaha pembuat produk, dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen pemakai produk, kecuali pelaku usaha
tersebut dapat membuktikan keadaan sebaliknya dimana kerugian yang terjadi bukan akibat dari kesalahan pelaku usaha tersebut.
117
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ketentuan tanggung jawab produk dikenal dalam Pasal 1504. Pasal ini berkaitan dengan Pasal-pasal
1322, 1473, 1474, 1491, 1504 sampai dengan Pasal 1511. Pada dasarnya konsep
116
Sidharta II Revisi, Op.cit., hal.81.
117
Ahmadi Miru Sutarman Yodo, Op.cit., hal.134-135.
tanggung jawab produk ini juga tidak jauh berbeda dengan konsep tanggung jawab yang diatur dalam ketentuan Pasal 1365 dan Pasal 1865 KUHPerdata.
Perbedaannya adalah bahwa tanggung jawab pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi diperoleh, setelah konsumen yang menderita kerugian dapat
membuktikan bahwa cacatnya suatu produk tersebut serta kerugian yang timbul merupakan akibat dari kesalahan yang dilakukan oleh produsen.
118
Perbedaan yang lain yakni ketentuan ini tidak secara tegas mengatur pemberian ganti rugi atau beban pembuktian kepada konsumen, melainkan kepada
pihak manapun yang mempunyai hubungan hukum dengan pelaku usaha, baik sebagai konsumen, sesame pelaku usaha, penyalur, pedagang atau instansi lain.
Pertimbangan-pertimbangan yuridis yang menyebabkan urgenitas penerapan instrumen hukum Produk Liability
119
1. Hak para konsumen Indonesia yang bagian terbesar adalah rakyat sederhana perlu ditegakkan sebagai konsekuensi penghormatan hak asasi manusia.
:
2. Agreement Establishing The World Trade Organization WTO yang telah diratifikasi Indonesia, pada prinsipnya menekankan adanya keterkaitan yang
saling menguntungkan antara pelaku usaha dan konsumen. 3. Tata hukum positif tradisional yang masih berlaku di Indonesia selama ini,
tidak memberikan solusi terhadap kasus-kasus pelanggaran hak konsumen. Tata hukum positif nasional hanya menyediakan dua sarana penyelesaian
kasus gugatan oleh konsumen yang mengalami kerugian yaitu instrumen hukum wanprestasi Pasal 1243 KUHPerdata dan instrumen hukum
perbuatan melanggar hukum Pasal 1365 KUHPerdata. 4. Tanggung jawab produk secara nyata sangat dibutuhkan mengingat pada
tanggung jawab produk ini tidak mengharuskan adanya hubungan kontraktuil antara pelaku usaha dan konsumen, disamping hal itu juga adanya
pembuktian terbalik oleh pelaku usaha.
118
Sidharta II Revisi, Ibid., hal. 82-83.
119
Anak Agung Ayu Diah Indrawati, Op.cit., hal.151.
5. Seturut dengan teori fungsional dari hukum adalah bahwa hukum merupakan instrumen pengatur masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Hukum
haruslah menjadi sarana rekayasa sosial yang oleh Roscoceu Pound hukum adalah a tool of social engineering.
Selain hal tersebut diatas, ada alasan-alasan lain yang memperkuat penerapan prinsip Strict Liability tersebut yang didasarkan pada prinsip Social
Climate Theory, yaitu: 1. Manufacturer adalah pihak yang berada dalam posisi keuangan yang lebih
baik untuk menanggung beban kerugian dan pada setiap kasus yang mengharuskan mengganti kerugian dia akan meneruskan kerugian tersebut
dan membagi resikonya kepada banyak pihak dengan cara menutup asuransi yang preminya dimasukkan ke dalam perhitungan harga dari barang hasil
produksinya. Hal ini dikenal dengan istilah deep pockets theory. 2. Terdapat kesulitan dalam membuktikan adanya unsur kesalahan dalam suatu
proses manufacturing yang demikian kompleks pada perusahaan besar industri bagi seorang konsumenkorbanpenggugat secara individual.
Dalam hukum tentang Product Liability, pihak korbankonsumen yang akan menuntut kompensasi pada dasarnya hanya diharuskan menunjukkan 3 tiga
hal
120
1. Bahwa produk tersebut telah cacat pada waktu diserahkan oleh produsen. yaitu:
2. Bahwa cacat tersebut telah menyebabkan atau turut menyebabkan kerugiankecelakaan.
3. Bahwa adanya kerugian. Juga diakui secara umum bahwa pihak korbankonsumen harus
menunjukkan bahwa pada waktu terjadinya kerugian, produk tersebut pada prinsipnya berada dalam keadaan seperti pada waktu diserahkan oleh pelaku
usaha. Meskipun, sistem tanggung jawab pada Product Liability berlaku prinsip
120
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.103.
Strict Liability, pihak pelaku usaha dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian.
121
Dengan diberlakukan prinsip Strict Liability maka pelaku usaha di Indonesia menyadari betapa pentingnya menjaga kualitas produk yang
dihasilkannya, sebab bila tidak selain akan merugikan konsumen juga akan sangat besar resiko yang harus ditanggungjawabinya. Para pelaku usaha akan lebih
berhati-hati dalam memproduksi barangnya sebelum dilempar ke pasaran sehingga konsumen tidak ragu-ragu membeli produksi Indonesia. Akan tetapi,
diberlakukannya prinsip Strict Liability tidak berarti pihak pelaku usaha tidak mendapat perlindungan. Pihak pelaku usaha juga dapat mengasuransikan
tanggung jawabnya sehingga secara ekonomis tidak mengalami kerugian yang berarti.
Pentingnya hukum dalam tanggung jawab pelaku usaha Product Liability yang menganut prinsip tanggung jawab mutlak Strict Liability dalam
mengantisipasi kecenderungan dunia usaha yang lebih menaruh perhatian pada perlindungan konsumen dari kerugian yang diderita akibat produk yang cacat. Hal
ini disebabkan karena sistem hukum yang berlaku saat ini dipandang terlalu menguntungkan pihak pelaku usaha, sementara pelaku usaha memiliki posisi
ekonomis yang lebih kuat. 2. Tanggung Jawab Pidana
Disamping tanggung jawab keperdataan, hukum perlindungan konsumen juga memiliki tanggung jawab pidana. Pengaturan hukum positif dalam lapangan
hukum pidana secara umum terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Di Indonesia penerapan kitab di atas diunifikasikan sejak 1918, yakni
sejak pertama kali diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch- Indie.
122
121
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Ibid., hal.107.
122
Sidharta II Revisi, Op.cit., hal.111.
Berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPerdata yang masih bersifat pluralistis, kodifikasi hukum pidana tersebut jauh sudah
berlaku untuk semua golongan penduduk. Hukum perlindungan konsumen juga bagian dari hukum pidana. Hak-hak konsumen sebagaimana yang telah diatur
dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bernuansa public sehingga dapat dipertahankan melalui hukum pidana. Perbuatan
pelaku usaha yang menimbulkan kerugian kepada konsumen dalam tingkatan yang kompleksitas tertentu sangat berdimensi kejahatan. Berarti, perbuatan pelaku
usaha yang melanggarmerugikan hak konsumen yang bertentangan dengan norma-norma hukum pidana dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Oleh
karena itu, kasus tersebut harus diselesaikan dengan hukum pidana dan memakai instrumen pidana KUHAP.
Menurut David Tench, penerapan hukum pidana dalam upaya mewujudkan hak-hak konsumen di negaranya adalah sebagai berikut
123
“With the great expansion in consumer law we have experience to our great satisfaction mostly-in recent years we are now beginning to wonder whether the
criminal law is the right way to control commercial behavior ini the market place. Obviously, where questions are involved, the criminal law will be necessary, and
consumers will always require some part of consumer law to remain criminal”. :
Dari hal tersebut diatas, menunjukkan keampuhan hukum pidana dalam menanggulangi perilaku-perilaku curang para pelaku ekonomi, khususnya bidang
hukum ekonomi, yang umumnya dimuat dalam bagian akhir dari undang-undang tersebut, menunjukkan fungsi hukum sebagai pengendali.
Penerapan norma-norma hukum pidana seperti yang termuat dalam KUHPidana atau diluar KUHPidana sepenuhnya diselenggarakan oleh alat-alat
perlengkapan Negara yang diberikan wewenang oleh undang-undang untuk itu. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana LN No. 76 Tahun 1981 menetapkan setiap Pejabat Polisi Negara
123
Janus Sidabalok, Op.cit., hal. 59.
Republik Indonesia berwenang untuk melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Disamping
polisi, pegawai negeri sipil juga diberikan wewenang khusus untuk melakukan tindak penyelidikan.
Penerapan KUHPidana dan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan tindak pidana oleh badan-badan tata usaha negara memang
menguntungkan bagi perlindungan konsumen. Oleh sebab itu, keseluruhan proses perkara menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah.
Konsumen yang karena tindak pidana tersebut menderita kerugian, sangat terbantu dalam mengajukan gugatan perdata ganti ruginya. Berdasarkan
hukum atau kenyataan beban pembuktian yang diatur dalam Pasal 1865 KUHPerdata sangat memberatkan konsumen. Dengan demikian, fungsi
perlindungan kepentingan konsumen penerapannya perlu mengeluarkan tenaga dan biaya untuk pembuktian peristiwa atau perbuatan melanggar hukum pelaku
tindak pidana. Pasal 204 dan 205 KUHPidana dimaksudkan dalam pelabelan produk
pangan adalah jika pelaku usaha melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, sedang pelaku usaha tersebut mengetahui dan menyadari bahwa barang-barang tersebut
berbahaya bagi jiwa dan kesehatan si pemakai barang konsumen dimana pihak pelaku usaha produsen tidak mengatakan atau menjelaskan tentang sifat bahaya
dari barang-barang tersebut dalam label produknya, tetapi jika pelaku usaha yang akan menjual barang yang berbahaya bagi jiwa dan kesehatan mengatakan secara
jujur kepada konsumen tentang sifat berbahaya di dalam label produknya tersebut maka tidak dikenakan pasal ini.
124
124
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal. 82-84.
Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 hal tersebut tercantum dalam Pasal 18. Barang-barang yang termasuk dalam Pasal 204
dan 205 KUHPidana tersebut yakni makanan, minuman, alat-alat kosmetik, alat- alat tulis, dan sebagainya.
Sanksi pidana dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 61, 62 dan 63. Pasal 61 menyebutkan bahwa “Penuntutan pidana dapat
dilakukan terhadap pelaku usaha danatau pengurusnya”. Ketentuan ini jelas memperlihatkan suatu bentuk pertanggungjawaban
pidana yang tidak saja dapat dikenakan kepada pengurus tetapi juga kepada perusahaan. Menurut Nurmandjito merupakan upaya yang bertujuan menciptakan
sistem bagi perlindungan konsumen.
125
Ketentuan dalam Pasal 62 dan 63 ini memberlakukan 2 dua aturan hukum sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu
pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian diberlakukan ketentuan hukum pidana sebagaimana diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana KUHPidana, sementara diluar dari tingkat pelanggaran tersebut berlaku ketentuan pidana tersebut dalam Undang-Undang
No. 8 Tahun 1999. Persoalan pidananya diselesaikan berdasarkan ketentuan KUHPidana sepanjang akibat perbuatan pidana yang dilakukan oleh PT sebagai
subjek hukum, memenuhi kualifikasi luka berat, sakit berat, cacat tetap, atau kematian pada konsumen.
Melalui ketentuan pasal ini perusahaan dinyatakan sebagai subjek hukum pidana.
126
Hal lain juga dapat diketahui dari ketentuan tersebut, bahwa sanksi pidana yang dikenal dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen ada 2 dua tingkatan, yaitu sanksi pidana penjara paling lama 5 lima tahun atau pidana denda paling banyak sebesar Rp.
2.000.000.000,00 dua milyar rupiah, dan dsanksi pidana penjara paling lama 2 dua tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 lima ratus juta
rupiah. Menyangkut istilah pelanggaran yang dipergunakan dalam rumusan Pasal
62, khususnya Pasal 62 ayat 3 masih perlu ditinjau kembali karena akibat-akibat
125
Nurmandjipto, Op.cit., hal. 30.
126
Ahmadi Miru Sutarman Yodo, Op.cit., hal. 288.
dari pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat 3 tersebut, di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP dikualifikasi sebagai
kejahatan. Sanksi pidana yang berupa denda sebagaimana yang dikemukakan
tersebut, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP termasuk dalam jenis hukuman pokok, sebagaimana dapat dilihat dalam Pasal 10 yang
menentukan bahwa
127
Hukuman-hukuman ialah: :
1 Hukuman mati, 2 Hukuman penjara,
3 Hukuman kurungan, 4 Hukuman denda.
Hukuman-hukuman tambahan ialah: 1. Pencabutan beberapa hak tertentu,
2. Perampasan barang tertentu, 3. Pengumuman keputusan hakim.
Yang menjadi masalah apabila sanksi pidana berupa denda yang dijatuhkan atas perbuatan pidana yang dilakukan pelaku usaha berbadan hukum,
hanya dipandang sekadar “ongkos” sebagaimana halnya ongkos yang harus dikeluarkan dalam rangka operasional produksi suatu perusahaan. Demikian juga
dijelaskan oleh Susanto bahwa melihat praktek penegakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi, dipandang sekadar
ongkos yakni biaya atau pengurangan dari keuntungan melalui denda “yang dikalkulasikan dan diperhitungkan sebelumnya dengan cara yang sama seperti
halnya dengan setiap ongkos yang harus dikeluarkan untuk menghasilkan dan memasarkan produk dari korporasi yang bersangkutan.
127
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politeia, 1993, hal.34-36.
Adanya sanksi pidana denda yang dipandang sekadar ongkos operasional produksi atau pemasaran, akan mengakibatkan perusahaan sebagai subjek hukum
pidana tidak menjadi jera atau sanksi pidana denda yang dimaksud tidak mengubah perilaku perusahaan yang dimaksud. Akibatnya perbuatan pidana
dalam pelabelan produk pangan yang merugikan konsumen dapat selalu berulang. Jika hal ini terjadi berarti sanksi pidana denda saja masih belum cukup apalagi
sanksi denda tersebut dalam jumlah kecil sehingga harus ada pertimbangan terhadap kemungkinannya memberikan sanksi tambahan sebagaimana diatur
dalam Pasal 63 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 yang isinya “Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman
tambahan
128
a. Perampasan barang tertentu; , berupa:
b. Pengumuman keputusan hakim; c. Pembayaran ganti rugi;
d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen;
e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran; dan f. Pencabutan izin usaha.
3. Tanggung Jawab Administrasi Dalam setiap uraian bahwa Pemerintah juga memegang peranan penting
dalam upaya mewujudkan perlindungan hukum atas hak-hak konsumen. Peranan Pemerintah tersebut ada dalam 3 tiga hal yaitu:
1 Regulasi, 2 Kontrol penataan hukumperaturan termasuk punishment,
3 Social engineering. Dalam permasalahan perlindungan terhadap konsumen di bidang
pelabelan produk pangan, dimana telah menjadi kewajiban Pemerintah untuk memperhatikannya sesuai dengan tujuan Negara yang tercantum dalam
128
Ahmadi Miru Sutarman Yodo, Op.cit., hal.290.
Pembukaan konstitusi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Negara wajib melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, perlindungan konsumen dan penanganan masalah konsumen merupakan bagian tugas dari memajukan
kesejahteraan umum secara luas.
129
Di bidang regulasi, Pemerintah mengambil peran melalui pembentukan peraturan-peraturan yang berisikan pengakuan dan penegasan hak-hak konsumen
yang harus dihormati oleh pihak lain. Pemerintah membentuk sejumlah peraturan yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha dalam rangka memproduksi dan
mengedarkan produknya ke masyarakat. Termasuk dalam hal ini adalah penggunaan bahan baku, tahapan-tahapan produksi pengolahan, pengemasan,
pengangkutan, promosi, pelabelan dan periklanan, serta harga. Setelah pembentukan peraturan-peraturan tersebut, Pemerintah
mengontrolmengawasi penataan terhadap peraturan-peraturan tersebut. Tanpa pengawasan pelaksanaan peraturan-peraturan tersebut di masyarakat tidak efektif.
Yang paling penting adalah bagaimana pelaku usaha menaati peraturan tersebut di dalam usahanya memproduksi dan mengedarkan produknya. Dengan demikian,
produk yang tidak memenuhi syarat standar pelabelan tidak sampai ke masyarakat yang dapat menimbulkan kerugian kepada konsumen. Agnes M. Toar
berpendapat bahwa meskipun sudah banyak peraturan mengenai perlindungan konsumen, namun kontrol penaatan peraturan tersebut masih sangat kurang.
Kontrol penaatan peraturan menjadi penting apabila berkaitan dengan produk yang berhubungan erat dengan kesehatan dan keselamatan manusia,
seperti produk pangan. Tidak perlu menunggu lebih dahulu jatuh korban keracunan makanan baru kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap sarana dan
prasarana produksinya. Akan tetapi, aparat Negara yang bertugas dan berwenang untuk itu harus proaktif memeriksa dan mengawasi proses produksi dan peredaran
pangan tersebut.
129
Anak Agung Ayu Diah Indrawati, Op.cit., hal.164.
Pelaksanaan peraturan perlindungan konsumen juga menjadi penting dalam kaitannya dengan pemberian hukuman punishment atas setiap
pelanggaran ketentuan yang berlaku. Pemberian hukuman ini kadang kala menjadi suatu keharusan apabila pelanggaran itu sudah sedemikian rupa supaya tidak
terulang lagi danatau pihak lain tidak mengulanginya. Hukuman atau sanksi yang diberikan oleh Pemerintah tersebut berupa sanksi administrasi yang dapat
diterapkan secara berjenjang dimulai dari teguranperingatan, denda sampai pencabutan ijin usaha.
Faktor yang tidak kalah penting adalah faktor situasi dan kondisi yang memungkinkan pelaku usaha melakukannya dengan baik sekaligus untuk
memperoleh hak-haknya. Hal ini berarti iklim yang kondusif bagi pelaku usaha harus tercipta untuk memberi kesempatan berperilaku sesuai dengan peraturan
yang berlaku. Pihak Pemerintah harus memberi kebebasan yang cukup bagi setiap pelaku usaha untuk memenuhi aturan hukum yang ada. Kesalahan dari Pemerintah
adalah memberlakukan pungutan terlalu banyak yang dibebankan kepada pelaku usaha sehingga menimbulkan biaya produksi yang tinggi. Dengan hal ini, pelaku
usaha sering melakukan tawaran kolusi yang pada akhirnya menimbulkan kerugian kepada konsumen dan bahkan kehidupan berbangsa pada umumnya.
Konsumen juga membutuhkan iklim yang kondusif bagi konsumen untuk menuntut haknya manakala konsumen telah menderita kerugian karena memakai
atau mengonsumsi produk pangan yang label produk pangannya menyesatkan cacat instruksi. Artinya, jika konsumen bermaksud mempertahankan atau
menuntut haknya, sudah sepantasnya ia mendapat dukungan yang positif dari lembaga eksekutif dan lembaga-lembaga Negara lainnya yang terkait. Tidak
sepantasnya aparat Pemerintah berdiri di belakang pelaku usaha yang diduga merugikan konsumen, tetapi seharusnya berada dalam posisi yang netral. Karena
dalam praktiknya pejabat Pemerintah berdiri sebagai juru bicara dari pelaku usaha yang menegaskan bahwa pelaku usaha tidak bersalah, yang mengakibatkan
sekeras apapun konsumen menuntut haknya tetap saja konsumen jadi pihak yang lemah dan kalah.
Berjalannya proses pengadilan yang sesuai dengan harapan masyarakat untuk mencari keadilan banyak dipengaruhi oleh kondisi sosial politik suatu
Negara. Oleh sebab itu, tugas Pemerintah untuk menciptakan suasana sosial politik yang kondusif sehingga badan-badan peradilan berjalan sesuai dengan
fungsinya masing-masing. Hal ini berarti Pemerintah harus menghormati dan mengawasi kebebasan badan peradilan bukan mempengaruhi jalannya proses
peradilan. Maka dari itu, tugas dan tanggung jawab Pemerintah untuk mengarahkan seluruh lapisan masyarakat, baik konsumen, pelaku usaha, maupun
aparat Pemerintah untuk menaati hukum demi keadilan dan kesejahteraan seluruh masyarakat.
Sama halnya dengan hukum pidana, hukum administrasi Negara juga merupakan instrumen hukum publik yang penting dalam perlindungan konsumen.
Sanksi-sanksi hukum secara perdata dan pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai dengan sanksi administratif.
130
Sanksi administratif tidak ditujukan kepada konsumen, tetapi melainkan kepada pelaku usaha, baik itu produsen maupun para penyalur hasil-hasil produk
pangan. Sanksi administratif berkaitan dengan perijinan yang diberikan. Pemerintah kepada pengusahapenyalur produk pangan tersebut. Jika terjadi
pelanggaran pada pelabelan produk pangan, maka ijin-ijin usaha produksi produk pangan tersebut dapat dicabut secara sepihak oleh Pemerintah.
Pencabutan ijin usaha hanya bertujuan untuk menghentikan proses produksi produk pangan dari produsenpenyalur. Dengan demikian, dampaknya
secara tidak langsung melindungi konsumen untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban akibat kesalahan informasi yang ada dalam label produk pangan
tersebut. Pemulihan hak-hak konsumen yang telah menjadi korban bukan lagi tugas instrumen hukum administrasi Negara. Hak-hak konsumen yang dirugikan
dapat dituntut dengan bantuan hukum perdata danatau pidana.
131
130
Sidharta Cetakan Pertama, Op.cit., hal.95.
131
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.84.
Campur tangan administrasi Negara harus dilatarbelakangi dengan itikad melindungi masyarakat luas dari bahaya. Pengertian bahaya terutama berkenaan
dengan informasi yang menyesatkan dalam pelabelan produk pangan yang merugikan kesehatan dan jiwa masyarakat konsumen. Syarat-syarat pendirian
perusahaan yang bergerak di bidang pangan dan pengawsan terhadap proses produksinya dilakukan dengan ekstra hati-hati.
Sanksi administratif seringkali lebih efektif dibandingkan dengan sanksi perdata atau pidana. Alasan-alasan yang mendukung pernyataan tersebut, yakni
132
a Sanksi administratif dapat diterapkan secara langsung dan sepihak. Hal ini disebabkan karena penguasa sebagai pihak pemberi ijin tidak perlu meminta
persetujuan dari pihak manapun. Persetujuan tersebut dibutuhkan dari instansi-instansi Pemerintah terkait. Sanksi administratif juga tidak perlu
melalui suatu proses pengadilan. Akan tetapi, bagi pihak yang terkena sanksi ini dibuka kesempatan untuk “membela diri”, yakni mengajukan kasus
pencabutan ijin usaha tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara, tetapi sanksi tersebut dijatuhkan terlebih dahulu, sehingga berlaku efektif.
:
b Sanksi perdata danatau pidana seringkali tidak membawa efek “jera” bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan pelabelan produk pangan. Nilai ganti
rugi dan pidana yang dijatuhkan tidak sebanding dengan keuntungan yang diraih dari perbuatan negatif pelaku usaha tersebut. Belum lagi mekanisme
penjatuhan putusan pengadilan yang sangat berbelit-belit dan membutuhkan proses yang lama, sehingga konsumen tidak sabar. Dalam pengajuan gugatan
secara perdata, konsumen sering dihadapkan pada posisi tawar menawar yang tidak selalu menguntungkan dibandingkan dengan si pelaku usaha.
133
Walaupun secara teoritis instrumen tanggung jawab administratif ini cukup efektif, tetapi ada kendala dalam penerapannya, dimana sanksi administratif
sangat jarang dijatuhkan oleh Pemerintah terhadap pelaku usaha. Pemerintah masih mengandalkan inisiatif konsumen untuk mempersalahkannya. Pemerintah
132
Sidharta Cetakan Pertama, Op.cit., hal.96-97.
133
Ibid.
nampaknya menjadikan sanksi administratif sebagai ultimum remedium, karena dikaitkan dengan pertimbangan tenaga kerja dan perpajakan. Kedua pertimbangan
tersebut seharusnya tidak menjadi alasan pemaaf bagi pelaku usaha yang merugikan konsumen tersebut, sepanjang didukung oleh bukti-bukti yang cukup.
Dalam kaitannya dengan pelabelan produk pangan, pada Pasal 61 Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 disebutkan:
1 Seitap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dikenakan tindakan administratif.
2 Tindakan administatif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi: a. Peringatan secara tertulis;
b. Larangan untuk mengedarkan untuk sementara waktu danatau perintah untuk menarik produk pangan dari peredaran;
c. Pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia;
d. Penghentian produksi untuk sementara waktu; e. Pengenaan denda paling tinggi Rp. 50.000.000,00 lima puluh juta
rupiah, danatau; f. Pencabutan izin produksi atau izin usaha.
3 Pengenaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 huruf b, c, d, e dan f hanya dapat dilakukan setelah peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf a diberikan sebanyak-banyaknya tiga kali.
4 Pengenaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dan ayat 3 dapat dilakukan oleh Menteri teknis sesuai dengan kewenangannya
berdasarkan masukan dari Menteri Kesehatan. Hal yang sama disebutkan pula dalam Pasal 57 Undang-Undang No. 7
Tahun 1996 tentang Pangan. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bentuk pertanggungjawaban administratif dapat dituntut
dari produsen sebagai pelaku usaha diatur di dalam Pasal 60 Undang-Undang No.
8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu pembayaran ganti kerugian paling banyak Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah terhadap pelanggaran
atas ketentuan tentang: 1 Kelalaian membayar ganti rugi kepada konsumen Pasal 19 ayat 2 dan
ayat 3; 2 Periklanan yang tidak memenuhi syarat Pasal 20;
3 Kelalaian dalam menyediakan suku cadang Pasal 25; dan 4 Kelalaian memenuhi garansijaminan yang dijanjikan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 60 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka pelaku usaha yang lalai memenuhi tanggung
jawabnya, maka dapat dijatuhi sanksi yang jumlahnya maksimum Rp. 200.000.000,00 dua ratus juta rupiah. Ganti kerugian tersebut merupakan bentuk
pertanggunggugatan terbatas, sehingga secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ganti kerugian yang dianut dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen menganut prinsip ganti kerugian “subjektif terbatas”. Adanya pembatasan ganti kerugian atau yang disebut ganti kerugian
subjektif terbatas itu, untuk kondisi Indonesia sebagai Negara yang industrinya masih dalam perkembangan dinilai tepat. Disamping memberikan perlindungan
kepada konsumen juga pelaku usaha masih terlindungi atau dapat terhindar dari kerugian yang mengakibatkan kebangkrutan akibat pembayaran ganti kerugian
yang tanpa batas.
D. Penyelesaian Sengketa Konsumen Dalam Pelanggaran Pelabelan Produk Pangan