Asas, Tujuan, dan Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

f. Program pendidikan dan penyebarluasan informasi, g. Pengaturan masalah-masalah khusus seperti makanan, minuman, obat- obatan dan kosmetik. Janus Sidabalok mengemukakan 4 empat alasan pokok konsumen harus dilindungi, yaitu 31 1. Melindungi konsumen sama artinya dengan melindungi seluruh bangsa sebagaimana diamanatkan oleh tujuan pembangunan nasional menurut UUD RI 1945; : 2. Melindungi konsumen perlu untuk menghindarkan konsumen dari dampak negatif penggunaan teknologi; 3. Melindungi konsumen perlu untuk melahirkan manusia-manusia yang sehat rohani dan jasmani sebagai pelaku-pelaku pembangunan, yang berarti juga untuk menjaga kesinambungan pembangunan nasional; 4. Melindungi konsumen perlu untuk menjamin sumber dana pembangunan yang bersumber dari masyarakat konsumen. Membuat batasan tentang hukum konsumen atau hukum perlindungan konsumen tidak bisa dilepaskan dengan bagaimana hukum meletakkan asas-asas untuk melindungi konsumen atas pemenuhan barang danatau jasa. Pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999 menetapkan asas bahwa perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum. Bertolak dari penetapan asas-asas tersebut, dapatlah diberikan pengertian tentang hukum konsumen atau hukum perlindungan konsumen berupa serangkaian norma-norma yang bertujuan melindungi kepentingan konsumen atas pemenuhan barang danatau jasa yang didasarkan kepada manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen serta kepastian hukum.

B. Asas, Tujuan, dan Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen

1. Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen 31 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2010, hal.6. Secara etimologi kata, bahwa asas dapat diterangkan sebagai berikut: 32 a. Dasar, alas, pondamen; misalnya batu yang baik untuk rumah. b. Sesuatu kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir berpendapat dan sebagainya; misalnya bertentangan dengan asas-asas hukum pidana. c. Cita-cita yang menjadi dasar perkumpulan, negara dan sebagainya; misalnya membicarakan asas dan tujuannya. Selanjutnya kata asas ini di dalam bahasa Inggris disebut “principle” yang hubungannya erat dengan istilah “principium” bahasa Latin. Principium menurut asal katanya adalah permulaan; awal mula; sumber; asal pengakal; pokok, dasar. 33 Dalam setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang, terdapat sejumlah asas atau prinsip yang mendasari diterbitkannya undang-undang tersebut. Asas-asas hukum merupakan fondasi suatu undang-undang dan peraturan pelaksanaannya. 34 Menurut Sudikno Mertokusumo, asas hukum bukan merupakan hukum kongkrit, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum dan abstrak, atau merupakan latar belakang peraturan yang kongkrit yang terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang menjelma dalam peraturan perundang- undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif dan dapat ditemukan dengan mencari sifat-sifat atau ciri-ciri yang umum dalam peraturan kongkrit tersebut. Bila asas-asas dikesampingkan, maka runtuhlah bangunan undang-undang tersebut dan seluruh peraturan pelaksanaannya. 35 Prof. Dr. Tan Kamello, S.H.,M.S mengatakan bahwa cita-cita hukum suatu undang-undang yang merupakan refleksi normatif dari keinginan 32 Syamsul Arifin, Falsafah Hukum, Medan : UNIBA PRESS, 1992, hal.114. 33 Ibid. 34 Abdoel Djamali, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Jakarta : Raja Grafindo, 2006, hal.3. 35 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum : Suatu Pengantar, Jakarta : Liberty, 1996, hal.5-6. masyarakatnya terletak kepada jantungnya hukum tersebut. 36 Asas hukum ini ibarat jantung peraturan hukum atas dasar dua alasan yaitu, pertama asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum. Ini berarti bahwa penerapan peraturan-peraturan hukum tersebut dapat dikembalikan kepada asas-asas hukum. Kedua, karena asas hukum mengandung tuntutan etis, maka asas hukum diibaratkan sebagai jembatan antara peraturan-peraturan hukum dengan cita-cita sosial dan pandangan etis masyarakatnya. 37 Di dalam usaha perlindungan hukum terhadap konsumen, terdapat asas- asas yang terkandung di dalam peraturan perundang-undangannya. Dalam penjelasan umum Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen UUPK pada alinea delapan menyebutkan bahwa undang-undang tersebut mengacu pada filosofi pembangunan nasional, termasuk pembangunan hukum di dalamnya yang memberikan perlindungan terhadap konsumen yang berlandaskan kepada Pancasila dan UUD RI Tahun 1945 38 Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu: yang terkandung dalam ketentuan pasal 2 UU No. 8 Tahun 1999. 39 1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 36 Tan Kamello Syarifah Lisa, Hukum Perdata : Hukum Orang Keluarga, Medan : USU, 2010, hal.77. 37 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1991, hal.87. 38 N.H.T. Siahaan, Op.cit., hal.82. 39 Ahmadi Miru Sutarman Yodo, op.cit., hal.25. 3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang danatau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Jika diperhatikan pada substansi pasal 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan penjelasannya, terlihat bahwa perumusannya mengacu pada filosofi pembangunan nasional yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah negara Republik Indonesia. Kelima asas yang disebutkan dalam pasal 2 UUPK tersebut, bila diperhatikan substansinya, maka dapat dibagi menjadi 3 tiga asas yakni: 1. Asas kemanfaatan yang di dalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen, 2. Asas keadilan yang di dalamnya meliputi asas keseimbangan, dan 3. Asas kepastian hukum. Gustav Radbruch menyebut keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum sebagai “tiga ide dasar hukum” atau “tiga nilai dasar hukum”, yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum. Di antara ketiga asas tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masa keadilan, dimana Friedman menyebutkan bahwa: “In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how it distributes its benefits and cost”, dan dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan bahwa “every function of law, general or specific, is allocative”. 40 40 Ibid., hal.26. Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini yang menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan gerakan perlindungan konsumen oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum juga oleh banyak jurist menyebut sebagai tujuan hukum. Persoalannya, sebagai tujuan hukum, baik Radbruch maupun Achmad Ali mengatakan adanya kesulitan dalam mewujudkan secara bersamaan. Achmad Ali mengatakan, kalau dikatakan tujuan hukum sekaligus mewujudkan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Dalam kenyataan sering antara tujuan yang satu dan lainnya terjadi benturan. Pada kasus tertentu bila hakim menginginkan putusannya “adil” menurut persepsinya, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, demikian pula sebaliknya. 41 Dalam hubungan ini, Radbruch mengajarkan: “bahwa kita harus menggunakan asas prioritas di mana prioritas pertama selalu jatuh pada keadilan, baru kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum”. Akan tetapi, Achmad Ali tidak dapat menyetujui sepenuhnya pendapat Radbruch tersebut. Beliau menyatakan bahwa “sependapat untuk menganut asas prioritas, tetapi tidak dengan telah menetapkan urutan prioritas seperti apa yang diajarkan Radbruch, yakni berturut- turut keadilan dulu baru kemanfaatan barulah terakhir kepastian hukum. Ia sendiri menganggap hal yang lebih realistis jika kita menganut asas prioritas yang kasuistis. Yang dimaksudkan yakni, ketiga tujuan hukum diprioritaskan sesuai kasus yang dihadapi, sehingga pada kasus A mungkin prioritasnya pada kemanfaatan, sedang untuk kasus B prioritasnya pada kepastian hukum”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melalui asas prioritas yang kasuistis, tujuan hukum untuk mencapai keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum semuanya tergantung dari kondisi yang ada atau dihadapi di dalam setiap kasus. Asas keseimbangan yang dikelompokkan ke dalam asas keadilan, 41 Ibid., hal.27. mengingat hakikat keseimbangan yang dimaksud adalah juga keadilan bagi kepentingan masing-masing pihak, yaitu konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Kepentingan pemerintah dalam hubungan tersebut tidak dapat dilihat dalam hubungan transaksi dagang secara langsung menyertai pelaku usaha dan konsumen. kepentingan pemerintah dalam rangka mewakili kepentingan publik yang kehadirannya tidak secara langsung di antara para pihak tetapi melalui berbagai pembatasan dalam bentuk kebijakan yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Keseimbangan perlindungan antara pelaku usaha dan konsumen menampakkan fungsi hukum yang menurut Rescoe Pound sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepentingan- kepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan kata lain sebagai sarana kontrol sosial. Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Menurut Bellefroid, secara umum hubungan-hubungan hukum baik yang bersifat publik maupun pivat dilandaskan pada prinsip-prinsip atau asas kebebasan, persamaan dan solidaritas. Dengan prinsip atau asas kebebasan, subyek hukum bebas melakukan apa yang diinginkannya dengan dibatasi oleh keinginan orang lain dan memelihara akan ketertiban sosial. Dengan prinsip atau asas kesamaan, setiap individu mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum untuk melaksanakan dan meneguhkan hak-haknya. Dalam hal ini hukum memberikan perlakuan yang sama terhadap individu. 42 Prinsip atau asas solidaritas sebenarnya merupakan sisi balik dari asas kebebasan. Apabila dalam prinsip atau asas kebebasan yang menonjol adalah kewajiban, dan seakan-akan setiap individu sepakat untuk tetap mempertahankan kehidupan bermasyarakat yang merupakan modus survival bagi manusia. Melalui 42 Ibid., hal.29. prinsip atau asas solidaritas dikembangkan kemungkinan negara mencampuri urusan yang sebenarnya bersifat privat dengan alasan tetap terpeliharanya kehidupan bersama. Dalam hubungan inilah kepentingan pemerintah sebagaimana dimaksudkan dalam asas keseimbangan diatas, yang sekaligus sebagai karakteristik dari apa yang dikenal dalam kajian hukum perdata dan hukum ekonomi. Agar segala upaya untuk membentengi tindakan kesewenang-wenangan pihak pelaku usaha dan memberikan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen sebagaimana harusnya, maka asas-asas perlindungan konsumen tersebut harus dipadankan dengan tujuan dari perlindungan konsumen. Dalam Pasal 3 UUPK menetapkan 6 tujuan dari perlindungan konsumen, yakni: 1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; 2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang danatau jasa; 3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; 4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsure kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; 5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha; dan 6. Meningkatkan kualitas barang danatau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang danatau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UUPK sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindugan konsumen. Achmad Ali mengatakan masing-masing undang-undang memiliki tujuan khusus. Hal itu juga terlihat dari pengaturan pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang mengatur tujuan khusus perlindungan konsumen, sekaligus membedakan dengan tujuan umum yang berkenaan dengan ketentuan pasal 2 tersebut. 43 Rumusan tujuan perlindungan konsumen pada huruf c dan huruf e merupakan tujuan hukum untuk mendapatkan keadilan. Sementara tujuan untuk memberikan kemanfaatan terlihat dalam rumusan huruf a, b dan f. Terakhir tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum tercermin dalam rumusan huruf d. Pengelompokkan tersebut tidak berlaku mutlak karena rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang dapat dikualifikasikan sebagai tujuan ganda. Kesulitan dalam memenuhi ketiga tujuan hukum umum tersebut sekaligus keseluruhannya, menjadikan sejumlah tujuan khusus dalam huruf a sampai dengan huruf f dari Pasal 3 UUPK hanya dapat tercapai secara maksimal, apabilan didukung oleh keseluruhan sub sistem perlindungan yang diatur dalam UUPK, tanpa mengabaikan fasilitas penunjang dan kondisi masyarakat. Unsur masyarakat sebagaimana yang dikemukakan sangat berhubungan dengan persoalan kesadaran hukum dan ketaatan hukum, yang selanjutnya menentukan keefektifan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dimana kesadaran hukum, ketaatan hukum dan efektivitas perundang-undangan adalah tiga unsur yang saling berhubungan satu sama lainnya. Agar tujuan hukum perlindungan konsumen ini dapat berjalan sebagaimana yang telah di cita-citakan oleh Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, maka kesatuan dari keseluruhan sub sistem yang terkandung dalam undang- 43 Ahmadi Miru Sutarman Yodo, Op.cit., hal.34. undang tersebut harus diperkuat dengan didukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. 2. Prinsip-prinsip Hukum Perlindungan Konsumen Prinsip tentang tanggung jawab merupakan perihal yang sangat penting dalam hukum perlindungan konsumen. dalam kasus-kasus pelanggaran hak konsumen, diperlukan kehati-hatian dalam menganalisa siapa yang harus bertanggung jawab dan seberapa jauh pertanggung jawaban yang dapat dibebankan kepada pihak-pihak yang terkait. 44 Beberapa sumber hukum formil, seperti peraturan perundang-undangan dan perjanjian standar di lapangan hukum keperdataan kerap memberikan pembatasan-pembatasan terhadap tanggung jawab yang dipikul oleh si pelanggar hak konsumen. Dalam area hukum tertentu, antara hukum pengangkutan dan hukum lingkungan terdapat perbedaan yang diterapkan. Bahkan, di dalam bidang hukum pengangkutan, antara kasus yang satu dengan kasus yang lain, prinsip- prinsipnya pun juga berbeda. Secara umum, prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat dibedakan sebagai berikut: 45 a Kesalahan Liability based of Fault; b Praduga selalu bertanggung jawab Presumption of Liability; c Praduga selalu tidak bertanggung jawab Presumption of Non Liability; d Tanggung jawab mutlak Strict Liability; dan e Pembatasan tanggung jawab Limitation of Liability. f Tanggung jawab produk Product Liability. a. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan Liability Based on Fault. 44 Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta : PT. Grasindo, 2006, hal.72. 45 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.92. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan fault liability atau liability based on fault adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya pada pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh 46 Prinsip ini menyatakan bahwa seseorang baru dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya. Pasal 1365 KUHPerdata yang lazim dikenal sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya empat unsur pokok, yaitu . 47 a Adanya perbuatan, : b Adanya unsur kesalahan, c Adanya kerugian yang diderita, dan d Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian. Kesalahan yang dimaksud adalah unsur yang bertentangan dengan hukum. Pengertian “hukum”, tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat. Secara common sense, asas tanggung jawab ini dapat diterima karena adil bagi orang yang berbuat salah untuk mengganti kerugian bagi pihak korban. Dengan kata lain, tidak adil jika orang yang tidak bersalah harus mengganti kerugian yang diderita orang lain. Di dalam pembagian beban pembuktiannya, prinsip ini mengikuti ketentuan pasal 163 HIR Herziene Indonesische Reglement atau pasal 283 Rbg Rechtsreglement Buitengewesten dan pasal 1865 KUHPerdata. Dalam pasal- pasal ini dikatakan, barangsiapa yang mengakui mempunyai suatu hak, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut actorie incumbit probatio. 48 Sejalan dengan teori umum dalam hukum acara, yakni asas audi et alterm partem atau asas kedudukan yang sama antara semua pihak yang 46 Sidharta, Op.cit., hal.73. 47 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.93. 48 Ibid. berperkara. 49 Hakim harus memberi para pihak beban yang seimbang dan patut sehingga masing-masing memiliki kesempatan yang sama untuk memenangkan perkara tersebut. Perkara yang perlu diperjelas dalam prinsip ini yang sebenarnya juga berlaku umum untuk prinsip-prinsip lainnya adalah definisi tentang subjek pelaku kesalahan pasal 1367 KUHPerdata. Dalam doktrin hukum dikenal asas vicarious liability dan corporate liability. 50 Vicarious liability atau disebut juga respondeat superior, let the master answer, mengandung pengertian, majikan bertanggung jawab atas kerugian pihak lain yang ditimbulkan oleh orang-orangkaryawan yang berada di bawah pengawasannya captain of the ship doctrine. Jika karyawan tersebut dipinjamkan ke pihak lain borrowed servant, maka pertanggung jawabannya beralih kepada si pemakain karyawan tersebut fellow servant doctrine. Corporate liability pada prinsipnya memiliki pengertian yang sama dengan vicarious liability. Menurut doktrin ini, lembaga korporasi yang menaungi suatu kelompok pekerja mempunyai tanggung jawab terhadap tenaga- tenaga yang dipekerjakannya. Prinsip ini diterapkan tidak saja untuk karyawan organiknya karyawan yang digaji oleh korporasi, tetapi juga diterapkan untuk karyawan non organik tenaga kerja yang dikontrak kerja dengan pembagian hasil. Latar belakang penerapan prinsip tersebut adalah konsumen hanya melihat semua di balik dinding suatu korporasi itu sebagai satu kesatuan. Konsumen tidak dapat membedakan mana yang berhubungan secara organik dengan korporasi dan yang tidak berhubungan organik. Doktrin terakhir ini disebut ostensible agency. Maksudnya, jika suatu korporasi memberi kesan kepada masyarakat konsumen, orang yang bekerja di korporasi tersebut adalah karyawan yang tunduk di bawah perintahkoordinasi korporasi tersebut maka 49 Bahan ajar “Hukum Acara Perdata Indonesia” oleh Muhammad Husni, SH.,MH, Pembantu Dekan III FH USU sekaligus dosen pengajar mata kuliah Hukum Acara Perdata. 50 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.96. sudah cukup syarat bagi korporasi tersebut untuk wajib bertanggung jawab secara vicarious terhadap konsumennya. b. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab Presumption of Liability. Dalam prinsip ini, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab presumption of liability principle, sampai ia dapat membuktikan ia tidak bersalah. Jadi, beban pembuktiannya ada pada si tergugat. Berkaitan dengan prinsip tanggung jawab ini, dalam doktrin hukum pengangkutan khususnya, dikenal empat variasi 51 a Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab kalau ia dapat membuktikan, kerugian ditimbulkan oleh hal-hal di luar kekuasaannya. : b Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, ia mengambil suatu tindakan yang diperlukan untuk menghindari timbulnya kerugian. c Pengangkut dapat membebaskan diri dari tanggung jawab jika ia dapat membuktikan, kerugian yang timbul bukan karena kesalahannya. d Pengangkut tidak bertanggung jawab jika kerugian itu ditimbulkan oleh kesalahankelalaian penumpang atau karena kualitasmutu barang yang diangkut tidak baik. Beban pembuktian terbalik omkering van bewijslast diterapkan dalam prinsip ini. Dalam konteks hukum pidana di Indonesia, omkering van bewijslast juga diperkenalkan dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi, tepatnya pada pasal 17 dan pasal 18. Namun, dalam praktiknya pihak kejaksaan Republik Indonesia sampai saat ini masih keberatan untuk menggunakan kesempatan yang diberikan prinsip beban pembuktian terbalik. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 pun mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini, sebagaimana 51 Sidharta Revisi, Op.cit., hal.75. ditegaskan dalam pasal 19, 22, dan 23 ketentuan pasal 28 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999. 52 Dasar pemikiran dari Teori Pembalikan Beban Pembuktian adalah seseorang dianggap bersalah, sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Hal ini tentu bertentangan dengan asas hukum praduga tidak bersalah presumption of innocence yang lazim dikenal dalam hukum. Namun, jika diterapkan dalam kasus konsumen akan terlihat bahwa asas ini cukup relevan. Jika teori ini digunakan, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu ada di pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat yang harus menghadirkan bukti-bukti dirinya tidak bersalah. Konsumen tidak selalu sekehendak hatinya mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan si tergugat. c. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab Presumption of Nonliability. Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip presumption of liability. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab presumption nonliability principle hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas 53 Contoh penerapan prinsip ini adalah dalam hukum pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabinbagasi tangan, yang biasanya dibawa dan diawasi oleh si penumpang konsumen adalah tanggung jawab dari penumpang. Dalam hal ini, pengangkut pelaku usaha tidak dapat diminta pertanggungjawabannya. dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan. Sekalipun demikian, dalam pasal 44 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara, ada penegasan, “prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab” ini tidak lagi diterapkan secara mutlak dan mengarah kepada prinsip tanggung jawab dengan pembatasan uang ganti rugi 52 Sidharta, Op.cit., hal.76. 53 Sidharta Revisi, Op.cit., 77. setinggi-tingginya satu juta rupiah. Artinya, bagasi kabinbagasi tangan tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban sepanjang bukti kesalahan pihak pengangkut pelaku usaha dapat ditunjukkan. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu ada pada si penumpang. d. Prinsip tanggung jawab mutlak Strict Liability. Prinsip tanggung jawab mutlak strict liability sering diidentikkan dengan prinsip tanggung jawab absolut absolute liability. Akan tetapi, ada pendapat ahli yang membedakan kedua terminologi tersebut. Ada pendapat yang mengemukakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun, ada pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya dalam keadaan force majeur. Sebaliknya, absolute liability adalah prinsip tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya. Selain itu, ada pandangan yang agak mirip, yang mengkaitkan perbedaan keduanya pada ada atau tidak adanya hubungan kausalitas antara subjek yang bertanggung jawab dan kesalahannya. Pada strict liability, hubungan itu harus ada, sementara pada absolute liability, hubungan itu tidak selalu ada. Maksudnya, pada absolute liability, dapat saja si tergugat yang dimintai pertanggungjawaban itu bukan si pelaku langsung kesalahan tersebut misalnya saja dalam kasus bencana alam. 54 Dalam Protokol Guatemala 1971, prinsip tanggung jawab mutlak ini diterima untuk menggantikan ketentuan pasal 17 ayat 1 Konvensi Warsawa 1929. Prinsip ini juga diberlakukan dalam hukum positif Indonesia, yakni dalam pasal 43 ayat 1 Undang-Undang No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Menurut R.C. Hoeber et.al., prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan karena 55 54 Ibid., hal.77-78. : 55 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op.cit., hal.97. a. Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks; b. Diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya; c. Asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati. Prinsip tanggung jawab mutlak dalam hukum perlindungan konsumen secara umum digunakan untuk “menjerat” pelaku usaha, khususnya produsen barang, yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen. Asas tanggung jawab itu dikenal dengan nama Product Liability. Menurut asas ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang dipasarkannya. Gugatan product liability dapat dilakukan berdasarkan 3 tiga hal 56 1 Melanggar jaminan breach of warranty, misalnya khasiat yang timbul tidak sesuai dengan janji yang tertera dalam kemasan produk; : 2 Ada unsur kelalaian negligence, yaitu produsen lalai memenuhi standar pembuatan obat yang baik; 3 Menerapkan tanggung jawab mutlak strict liability. Variasi yang sedikit berbeda dalam penerapan tanggung jawab mutlak terletak pada risk liability. Dalam risk liability, kewajiban mengganti rugi dibebankan kepada pihak yang menimbulkan risiko adanya kerugian itu. Namun, penggugat konsumen tetap diberikan beban pembuktian, walaupun tidak sebesar si tergugat. Dalam hal ini, ia hanya perlu membuktikan adanya hubungan kausalitas antara perbuatan pelaku usaha produsen dan kerugian yang dideritanya. Selebihnya dapat digunakan prinsip strict liability. e. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan Limitation of Liability. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan limitation of liability principle sangat disenangi oleh para pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai 56 Ibid. klausul eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Misalnya dalam perjanjian cuci cetak film, ditentukan bila film yang ingin dicucicetak itu hilang atau rusak termasuk akibat kesalahan petugas, maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugiannya sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru. Prinsip ini biasanya dikombinasikan dengan prinsip-prinsip tanggung jawab lainnya. Dalam pengangkutan udara, yakni pasal 17 ayat 1 Protokol Guatemala 1971, prinsip “tanggung jawab dengan pembatasan” dikaitkan dengan prinsip “tanggung jawab mutlak”. Batas tanggung jawab pihak pengangkut untuk satu penumpang sebesar 100.000 Amerika Serikat tidak termasuk biaya perkara atau 120.000 Amerika Serikat termasuk biaya perkara. Prinsip tanggung jawab ini sangat merugikan konsumen bila ditetapkan secara sepihak oleh para pelaku usaha. Dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen seharusnya pelaku usaha tidak boleh secara sepihak menentukan klausul yang merugikan konsumen, termasuk membatasi maksimal pertanggung jawabannya. Jika ada pembatasan mutlak harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang jelas. f. Prinsip tanggung jawab produk Product Liabilty. Istilah dan definisi product liability di kalangan para pakar dan sejumlah peraturan diartikan secara berbeda-beda. Product liability sering diistilahkan dengan tanggung gugat produk, tanggung jawab produk, atau tanggung jawab produsen. 57 Agnes M. Toar mengartikannya sebagai tanggung jawab produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut. Agnes menafsirkan produk sebagai NE Algra HR HWR Gokkel memberikan definisi product liability sebagai berikut: tanggung jawab pemilik pabrik untuk barang-barang yang dihasilkannya, misalnya yang berhubungan dengan kesehatan pembeli, pemakai konsumen atau keamanan produk. 57 N.H.T. Siahaan, Op.cit., hal.146. barang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak. 58 Sedangkan Perkins Coie mengartikannya sebagai “the liability of the manufacturer or others in the chain of distribution of a product to a person injured by the use of the product”. Ending Saefullah lebih memperluas cakupan pengertian product liability sebagai berikut: “Product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk producer, manufacture atau dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk processor, assembler atau dari orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan seller, distributor produk tersebut”. Robert D Harsh dalam Diederick-Verschoor mendefinisikan yakni “The liability of a manufacturer, processor or non manufacturing seller for injury to the person or property of a buyer or third party, caused by a product”. Menurut The 1973 Hague Convention on the Law Applicable to Products Liability, yang juga disebut dengan The Hague Convention, product liability diberlakukan kepada orang-orangpihak-pihak sebagai yang bertanggungjawab, yakni: 1. Pengusaha dari barangproduk akhir atau bagian komponen; 2. Pengusaha dari barang-barang alam natural product; 3. Supplier dari sesuatu produk; 4. Orang-orang lain, termasuk pengusaha bengkel dan pergudangan di dalam jaringan penyediaanpersiapan atau distribusi suatu barang. Ciri-ciri dari Product Liability sendiri dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Yang dapat dikualifikasikan sebagai produsen adalah: • Pembuat produk jadi finished product; • Penghasil bahan baku; • Pembuat suku cadang; 58 Agnes M. Toar, Tanggung jawab Produk dan Sejarah Perkembangannya di beberapa Negara, Makalah dalam Penataran Hukum Perikatan II di Ujungpandang, 17-29 Juli 1989 dari situs http:google.compelabelanprodukpangantanggungjawabrodukdansejarahperkembangannyadibeb erapanegara. • Setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu; • Importir suatu produk dengan maksud untuk diperjualbelikan, disewakan, disewagunakan leasing atau bentuk distribusi lain dalam transaksi perdagangan; • Pemasok supplier, dalam hal identitas dari produsen atau importir tidak dapat ditentukan. 2. Yang dapat dikualifikasikan sebagai konsumen adalah konsumen akhir end- consumer atau ultimate consumers; 3. Yang dapat dikualifikasi sebagai produk adalah benda bergerak, sekalipun benda bergerak tersebut telah menjadi komponenbagian dari benda bergerak atau benda tetap lain, listrik, dengan pengecualian produk-produk pertanian dan perburuan; 4. Yang dapat dikualifikasi sebagai kerugian adalah kerugian pada manusia death atu personal injury dan kerugian pada harta benda, selain dari produk yang bersangkutan; 5. Produk kualifikasi sebagai mengandung kerusakan apabila produk itu tidak memenuhi keamanan safety yang dapat diharapkan oleh seseorang dengan mempertimbangkan semua aspek, antara lain: a. Penampilan produk the presentation of the product, b. Maksud penggunaan produk intended use of the product, dan c. Saat ketika produk ditempatkan di pasaran the time when the product was put into circulation. Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacatrusak sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain konsumen, baik kerugian badaniah, kematian, atau harta benda. Menurut Emma Suratman, produk cacat adalah “setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses produksinya maupun disebabkan hal-hal lain yang sering terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan orang”. 59 Dari batasan definisi tersebut terlihat bahwa pihak yang terutama bertanggung jawab adalah pelaku usaha pembuat produk tersebut produsen, tanpa kesalahan dari pihaknya. Perkembangan ini sebenarnya dipicu oleh tujuan yang ingin dicapai doktrin ini, yaitu 60 a. Menekan lebih rendah tingkat kecelakaan karena produk cacat tersebut; : b. Menyediakan sarana hukum ganti rugi bagi korban produk cacat yang tidak dapat dihindari. Sesuatu produk dapat disebut cacat tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya karena 61 1 Cacat produk atau manufaktur; : 2 Cacat desain; dan 3 Cacat peringatan atau cacat instruksi. Cacat produk adalah keadaan produk yang umumnya berada di bawah tingkat harapan konsumen atau cacat tersebut dapat membahayakan harta bendanya, kesehatan tubuh atau jiwa konsumen. misalnya, setiap orang mengharapkan air minum dalam botol tidak berisi butir-butir pasir, seperti juga tepung gandum tidak berisi potongan-potongan kecil besi, saus tomat tidak terbuat dari labu siam ditambah dengan zat pewarna. Cacat-cacat demikian dapat pula termasuk cacat desain, karena kalau desain produk tersebut dipenuhi sebagaimana mestinya, tidaklah kejadian merugikan konsumen tersebut dapat terjadi. Cacat peringatan atau instruksi merupakan cacat produk karena tidak dilengkapi dengan peringatan-peringatan tertentu atau instruksi penggunaan 59 Emma Suratman, SH. Ketua Tim Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan tentang Tanggung Jawab Produsen di bidang Farmasi terhadap Konsumen 1990-1991, BPHN Departemen Kehakiman RI, hal.9. 60 Mr. K. Van Leeuwen, Juridische Aspecten van Productveiligheid, Kluwer Deventer, Entschede, 1990 dalam Az. Nasution, Ibid., hal.249. 61 Ibid. tertentu. Misalnya, peringatan produk harus disimpan pada suhu kamar atau suhu lemari pendingin makanan dalam kemasan. Atau peringatan agar dalam penggunaannya harus menggunakan voltase listrik tertentu televise, larangan memakai kendaraan bermotor selama menggunakannya jamu Nostresa, atau meminta nasehat dokter obat Tylenol, dan sebagainya. Produk yang tidak memuat peringatan atau instruksi tersebut, termasuk produk cacat, yang tanggung jawabnya secara tegas dibebankan pada produsen dari produk yang bersangkutan. Akan tetapi disamping produsen, syarat-syarat tertentu, beban tanggung jawab itu dapat pula diletakkan di atas pundak pelaku usaha lainnya, seperti importir produk, distributor, atau pedagang pengecernya. Oleh karena itu, tanggung jawab produk caacat ini berbeda dari tanggung jawab pelaku usaha produk pada umumnya. Tanggung jawab produk cacat terletak pada tanggung jawab cacatnya produk berakibat pada orang, orang lain atau barang lain, sedang tanggung jawab pelaku usaha karena perbuatan melawan hukum adalah tanggung jawab atas rusaknya atau tidak berfungsinya produk itu sendiri. Dari perkembangan product liability di berbagai negara, dapat dikemukakan bahwa product liability merupakan lembaga hukum yang tetap menggunakan konstruksi hukum tort perbuatan melawan hukum, dengan beberapa modifikasi. Modifikasi tersebut antara lain: 1. Produsen langsung dianggap bersalah jika terjadi kasus product liability, sehingga di dalamnya dianut prinsip praduga bersalah presumption of fault berbeda dengan praduga tidak bersalah presumption of no fault yang dianut oleh tort. 2. Karena produsen dianggap bersalah, konsekuensinya ia harus bertanggung jawab liable untuk memberi ganti rugi secara langsung kepada pihak konsumen yang menderita kerugian. Jenis tanggung jawab liability semacam ini disebut no fault liability atau strict liability. 3. Karena produsen sudah dianggap bersalah, maka konsumen yang menjadi korban tidak perlu lagi membuktikan unsur kesalahan produsen. Dilihat dari sudut pandang ini, konsumen jelas sangat diringankan dari beban untuk membuktikan kesalahan produsen, yang relatif sangat sukar, seperti dianut di dalam tort. Dalam hal ini beban pembuktian justru dialihkan shifting the burden of proof kepada pihak produsen, untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan kesalahan yang menimbulkan kerugian kepada konsumen. Namun demikian, karena karakter dasar dari product liability adalah tort, konsumen yang menjadi korban masih harus membuktikan ketiga unsur lainnya, yaitu perbuatan produsen adalah perbuatan melawan hukum, telah timbul kerugian dan hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang timbul. Meskipun sistem tanggung jawab dalam product liability berlaku prinsip strict liability, pihak produsen dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya, baik untuk seluruhnya atau untuk sebagian. Hal-hal yang dapat membebaskan tanggung jawab produsen tersebut adalah 62 a. Jika produsen tidak mengedarkan produknya put into circulation; : b. Cacat yang menyebabkan kerugian tersebut tidak ada pada saat produk diedarkan oleh produsen, atau terjadinya cacat tersebut baru timbul kemudian; c. Bahwa produk tersebut tidak dibuat oleh produsen baik untuk dijual atau diedarkan untuk tujuan ekonomis maupun dibuat atau diedarkan dalam rangka bisnis; d. Bahwa terjadinya cacat pada produk tersebut akibat keharusan memenuhi kewajiban yang ditentukan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah; 62 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Op. cit., hal.105. e. Bahwa secara ilmiah dan teknis state of scientic and technical knowledge, state of art defense pada saat produk tersebut diedarkan tidak mungkin terjadi cacat. Dari cakupan product liability tersebut, menunjukkan luasnya kepentingan konsumen yang dapat dijangkau oleh lembaga hukum ini. Dari pengertian produk dan produsen yang begitu luas, dapat diasumsikan bahwa melalui product liability secara formal, kepentingan konsumen dapat terlindungi karena dapat diketahui apa yang dapat dituntut dan kepada siapa tuntutan itu harus ditujukan. 63 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen telah menggunakan prinsip semi-strict liability sebagaimana yang diatur dalam pasal 19 Bab IV tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha, yang dijelaskan sebagai beriktu: • Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, danatau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang danatau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. • Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang danatau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan danatau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. • Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 tujuh hari setelah tanggal transaksi. • Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak mengharuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih jelas mengenai adanya unsur kesalahan. 63 Ibid., hal.105. • Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Demikian juga pada Pasal 20 yang berbunyi bahwa pelaku usaha periklanan bertanggung jawab atas iklan yang diproduksi dan segala akibat yang ditimbulkan oleh iklan tersebut. Disamping itu, tanggung gugat juga diberlakukan bagi importir barang danatau jasa sebagai pembuat barang yang diimpor atau sebagai penyedia jasa asing jika importasi barang tersebut atau penyediaan jasa asing jika importasi barang tersebut atau penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri atau perwakilan penyedia jasa asing. Dalam pasal 28 dinyatakan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. Hal ini berarti berlaku sistem pembuktian terbalik, baik dalam perkara pidana maupun perkara perdata, sesuatu yang menyimpang dari hukum acara yang biasa. Di dalam hukum acara pidana, beban pembuktian terletak pada Jaksa Penuntut Umum, sedangkan di dalam hukum acara perdata baik berdasarkan pasal 163 HIR, pasal 383 RBg, maupun pasal 1865 KUHPerdata, beban pembuktian diletakkan pada penggugat. Berdasarkan sistem hukum yang ada kedudukan konsumen sangat lemah dibanding produsen. Salah satu usaha untuk melindungi dan meningkatkan kedudukan konsumen adalah dengan menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak strict liability dalam hukum tentang tanggung jawab produsen. Dengan diberlakukannya prinsip tanggung jawab mutlak diharapkan pula para produsenindustriawan Indonesia menyadari betapa pentingnya menjaga kualitas produk-produk yang dihasilkannya, sebab bila tidak demikian selain akan merugikan konsumen juga akan sangat besar risiko yang harus ditanggungnya. Para produsen akan lebih berhati-hati dalam memproduksi sebelum dilempar ke pasaran sehingga para konsumen, baik dalam maupun luar negeri, tidak akan ragu-ragu membeli barang produksi Indonesia. Demikian juga bila kesadaran para produsenindustriawan terhadap hukum tentang tanggung jawab produsen tidak ada, dikhawatirkan akan berakibat tidak baik terhadap perkembanganeksistensi dunia industri nasional maupun pada daya saing produk-produk nasional, terutama di luar negeri. Penerapan prinsip tanggung jawab mutlak di Indonesia meliputi 3 tiga bagian penting. Pertama, faktor-faktor eksternal hukum yang akan mempengaruhi perkembangan dan pembaruan hukum perlindungan konsumen termasuk penerapan prinsip tanggung jawab mutlak. Kedua, faktor internal sistem hukum yaitu elemen struktur dan budaya hukum dalam rangka penerapan prinsip tanggung jawab mutlak di Indonesia. Ketiga, adalah ruang lingkup materi atau substansi dari prinsip tanggung jawab mutlak yang perlu diatur dalam undang- undang. 64 Akan tetapi, dengan memberlakukan prinsip strict liability dalam hukum tentang product liability tidak berarti pihak produsen tidak mendapat perlindungan. Pihak produsen masih diberi kesempatan untuk membebaskan diri dari tanggung jawabnya dalam hal-hal tertentu yang dinyatakan dalam undang- undang. Disamping itu, pihak produsen juga dapat mengasuransikan tanggung jawabnya sehingga secara ekonomis dia tidak mengalami kerugian yang berarti. Konsekuensi dari pembalikan beban pembuktian adalah tergugat wajib membuktikan ketidaksalahannya. Apabila tergugat tidak dapat membuktikan ketidaksalahannya, maka tergugat harus dikalahkan karena apa yang didalihkan oleh penggugat terbukti. Dalam perkara pidana, juga berlaku hal yang sama, bahwa apabila tersangka tidak dapat membuktikan ketidaksalahannya, ia harus dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana yang disangkakan kepadanya. Akan tetapi, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga membebaskan pelaku usaha untuk memberikan ganti rugi apabila pelaku usaha dapat membuktikan kalau kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen 64 Inocentius Samsul, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab Mutlak, Jakarta : FH UI Program Pascasarjana, 2004, hal.287. sebagaimana yang ada dalam pasal 19 ayat 5. Selain itu, pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen apabila: a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan; b. Cacat barang timbul pada kemudian hari; c. Cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen; e. Lewatnya waktu penuntutan 4 tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan pasal 27. Adapun sistem beban pembuktian terbalik juga digunakan jika kasus perlindungan konsumen diangkat sebagai kasus pidana. Hal ini berarti meskipun ganti rugi telah diberikan namun tidak menghapus kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. Adapun untuk membuktikan unsur kesalahan ini digunakan sistem beban pembuktian terbalik. Pasal 22 UUPK menegaskan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi Jaksa untuk melakukan pembuktian.

C. Hak dan Kewajiban Konsumen