Perlindungan Konsumen Dalam Pelanggaran Label Produk Pangan

BAB IV PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PELANGGARAN PELABELAN PRODUK PANGAN BERDASARKAN UU No. 8 TAHUN 1999

A. Perlindungan Konsumen Dalam Pelanggaran Label Produk Pangan

Harus disadari bahwa persaingan usaha justru dibutuhkan dalam struktur ekonomi yang baik. Karena dengan adanya kompetisi antar pelaku usaha, para konsumen memiliki kebebasan dan alternatif secara luas mendapatkan barang- barang konsumsi. Manfaat dari hal itu terlihat kepada upaya-upaya yang bersifat kompetitif antar pelaku usaha dalam menciptakan produk barang yang berkualitas, berstandar bagus dan memuaskan para konsumen juga menekan harga barang tersebut. Globalisasi dan perdagangan bebas yang ditunjang oleh pesatnya kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telematika semakin membuat pesat dan luasnya ruang gerak arus transaksi barang danatau jasa yang ditawarkan ke tengah pasar. Barang danatau jasa yang ditawarkan tersebut bukan saja pada tingkat produk dalam negeri tetapi justru lebih pesat dari luar negeri. Dampaknya terhadap konsumen dari kondisi tersebut adalah barang danatau jasa yang dibutuhkan dapat terpenuhi dan bebas untuk menjatuhkan pilihan terhadap berbagai aneka jenis dan mutu barang danatau jasa yang sesuai dengan selera dan kemampuan konsumen. 94 Di lain fenomena dan kondisi demikian dapat menjadikan posisi konsumen lemah dan tidak berimbang. Bahkan konsumen menjadi objek aktivitas pelaku usaha yang mengeksploitasinya demi mencapai profit yang sebesar- besarnya melalui promosi, cara penjualan, informasi yang menyesatkan mengenai 94 Titien Puji Rahayu, Bahan Skripsi Perlindungan Konsumen Pengawasan Makanan, Jakarta, Univ. Islam Indonesia tahun 2008, Bab I, hal.35, didownload dari situs: http:google.comskripsipelabelanprodukpanganujiskripsititienpujirahayu2008 , tanggal 29 April 2013. barang, penerapan janji standar yang merugikan, janji-janji kosong dan sebagainya. Marshal B Clinard dan Peter C Yeager dalam bukunya Corporate Crime dalam hubungan ini menggambarkan bahwa begitu ragam intensitas perbuatan curang dan illegal yang berakibat buruk karena secara sengaja dilakukan oleh perusahaan terhadap konsumen, pekerja dan saingannya, tidak peduli pula kepada mitra niaga bangsa-bangsa asing yang melibatkan ribuan atau miliaran dolar per tahun. 95 Lebih luas lagi Kuntjoro Jakti mengatakan bahwa terdapat penafsiran yang keliru tentang kebebasan dan praktik bisnis yang tanpa pembatasan bahwa siapa tidak mampu bermain dalam gelanggang usaha, biarlah gugur atau mundur dari usahanya. Penafsiran keliru seperti ini menimbulkan citra buruk masyarakat terhadap pelaku usaha menghalalkan penggunaan segala cara dalam memperoleh keuntungan ekonomi sebesar-besarnya. 96 Kenyataan menunjukkan, beraneka ragam faktor penting sebagai penyebab lemahnya konsumen. Menurut hasil penelitian Badan Pembinaan Hukum Nasional BPHN, faktor-faktor yang melemahkan konsumen adalah: 97 1. Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya. 2. Belum terkondisinya masyarakat konsumen karena sebagai masyarakat belum tahu akan hak-hak dan kemana haknya disalurkan jika mendapatkan kesulitan atau kekurangan dari standar barang danatau jasa yang sewajarnya. 3. Belum terkondisinya masyarakat konsumen menjadi masyarakat yang mempunyai kemauan menuntut hak-haknya. 4. Proses peradilan yang ruwet dan waktu yang berkepanjangan. 5. Posisi konsumen yang lemah. 95 N.H.T. Siahaan, Op.cit., hal.57. 96 Ibid. 97 Badan Pembinaan Hukum Nasional BPHN: Laporan Akhir Penelitian Perlindungan Konsumen Atas Kelalaian Produsen, Departemen Kehakiman RI, 1992, hal.77. Jika diamati dalam pola sosial yang terjadi, faktor-faktor tersebut diatas dapat ditambahkan dalam wujud berikut ini: 1. Politik pembangunan di Indonesia lebih meleluasakan pelaku usaha, berupa melonggarkan norma-norma hukum dalam penerapan dan penataatan hukum konsumen. 2. Tidak konsistennya badan peradilan atas putusan-putusannya, dimana kerap terjadi perbedaan putusan-putusan pengadilan dalam kasus-kasus yang serupa. 98 3. Sistem hukum Indonesia masih belum banyak menjamah dan merumuskan kebijakan untuk melindungi konsumen. 4. Tarik-menarik berbagai kepentingan di antara para pelaku ekonomi yang bukan konsumen, pihak mana memiliki akses kuat dalam pelbagai lini, tidak terkecuali kepada pengambil keputusan. Figur ini secara sosiologis berada di luar jangkauan hukum. 99 Senada dengan faktor-faktor tersebut, hasil penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia YLKI maupun PBB, termasuk The International Organization of Consumer’s Union IOCU disimpulkan, bahwa para konsumen agak enggan menggunakan sarana penegakan hukum dan institusi peradilan dalam mempertahankan kepentingannya karena tidak mudahnya menggunakan sarana hukum serta tingginya biaya berperkara di pengadilan. 100 Dari hasil ini dapat ditarik kesimpulan bahwa umumnya konsumen belum mengerti tentang apa yang menjadi haknya dan bagaimana haknya dijamin dalam peraturan perundang-undangan. Demikian juga di kalangan pelaku usaha belum memahami adanya larangan terhadap perbuatan dan kebiasaan para pelaku usaha, khususnya terhadap pencantuman label dalam produk pangan yang diproduksinya. 98 Jusuf Sophie, Perlindungan Konsumen, Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti, 2000, hal.9. 99 Ibid. 100 N.H.T. Siahaan, Op.cit., hal.43. Berbicara mengenai hak, umumnya konsumen menyangsikan bagaimana cara mendapatkan hak yang efektif, karena terlalu merepotkan kalau hanya menuntut tetapi tidak direspon dengan baik. Mengenai kerugian yang timbul akibat informasi yang menyesatkan dalam label produk pangan, konsumen mengatakan akan menuntut juga. Akan tetapi, kemana mengadukannya, semuanya tidak mengetahui kecuali hanya ke aparat kepolisian. Sosialisasi terhadap ketentuan-ketentuan penting di dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen harus efektif dan tepat guna. Sanski-sanksi yang telah diatur sedemikian rupa dalam Pasal 62 Bab XIII UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ini baik sanksi perdata, sanksi pidana, dan sanksi administrasi harus di berlakukan sesuai dengan penjatuhan sanksi oleh Majelis Hakim di Pengadilan. Dengan begitu, perlindungan konsumen terhadap pelanggaran-pelanggaran pelaku usaha dalam pencantuman label yang informasinya menyesatkan konsumen dapat terealisasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sehingga tidak terjadi ketimpangan antara pelaku usaha dan konsumen.

B. Aspek Perdata, Pidana dan Administrasi dalam Perlindungan Konsumen