Representasi Sensualitas Perempuan Dalam Game

(1)

REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM GAME

(Studi Semiotika Tentang Representasi Sensualitas Perempuan Dalam Game Seven Sins)

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S-1) Pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh

RINA MARIA 090904092

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Allah Bapa yang Maha Pengasih Tuhan Yesus Kristus, Bapa yang baik dan senantiasa mengasihi peneliti selamanya. Sahabat yang baik yang selalu menjadi penopang dan pengharapan peneliti,bahkan pribadi yang tidak pernah meninggalkan peneliti sedikitpun dalam pengerjaan skripsi ini. Ada banyak hal yang harus dilewati peneliti selama penelitian ini, tapi peneliti percaya segala sesuatunya adalah datang daripadaNya untuk mendatangkan kebaikan bagi peneliti.

Penulisan karya ilmiah ini dilakukan adalah sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan S-1 di Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Melalui penulisan karya ilmiah ini juga peneliti dapat menuangkan dan menggunakan ilmu-ilmu yang peneliti dapatkan selama kuliah di Departemen Ilmu Komunikasi.

Dalam pengerjaan skripsi ini peneliti menyadari bahwa peneliti tidak sendiri, ada banyak pihak yang sangat membantu peneliti. Oleh karena itu peneliti ingin mengucapkan terimakasih terkhusus kepada kedua orang tua peneliti, Bapak Kompol E. Hutagaol, S.H dan Mama M. Samosir, yang senantiasa memberi dukungan semangat maupun materi, juga kedua orang saudari peneliti, kak Elfrida Meilina Hutagaol, Amd dan Kak Lydia Novita Hutagaol, Amd.par . Terimakasih untuk selalu ada memberi dukungan buat peneliti. Selain itu, peneliti juga ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1)Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2)Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A, selaku Ketua Departemen Ilmu

Komunikasi.

3)Bapak Drs. Mukti Sitompul, Msi selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu untuk membimbing dan membantu peneliti dalam penyelesaian skripsi ini.

4)Kepada pihak Departemen Kak Icut dan Kak Maya yang sudah banyak

membantu peneliti selama masa perkuliahan dan dalam proses pengerjaan skripsi ini.


(3)

5)Kak Yovita yang berbaik hati, meluangkan waktunya untuk berbagi ilmu dan berdiskusi seputaran penelitian peneliti.

6)Kelompok Tumbuh bersama ‘Joel Isahya’ (Kak Mutiara Ginting, Kak

Rebekka Purba, dan Sarah R.A. Gultom) serta Adik-adik rohani yang Tuhan percayakan kepada peneliti, KK ‘Devon Theos’ (Nonivilli, Agusman, Tika, Neysa, dan Ria) yang senantiasa memberi peneliti semangat, pengguatan, bahkan topangan doa yang tak henti-hentinya. Terimakasih telah menjadi saudara di dalam Kristus.

7)Sahabat-sahabat peneliti dalam perkuliahan (Dwi Mahliza Ulfa dan Damai Ryanti Purba) yang saling memberikan dukungan dan motivasi, serta teman-teman Komunikasi 2009, Felina, Liberty, Windo, Rittar, Reno, Rouli, serta semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu. Terima kasih untuk setiap doa, dukungan dan semangat yang kalian berikan.

8)Sahabat-sahabat peneliti yang luar biasa setia dari bangku sekolah hingga sudah hampir sarjana dan bergulat didunia pekerjaan, OMBS fams ( Checy, Idena, Jane, Ikke, Ratna, Debora, Sere, Christine, Dian, Dewi, Ruth, Deasy, Tiurma, dan Yolanda), terimakasih buat semangat, sukacita, bahkan dukungan doa yang tak pernah putus.

9) Pastor dan Para Suster R.S. Elisabeth yang menguatkan dan memberi

semangat peneliti untuk terus berjuang menyelesaikan Tugas akhir ini.

10) Seluruh komponen pelayanan UKM KMK USU UP PEMA FISIP (AKK,

PKK, dan TPP’11 serta TPP’12) atas semangat dan doa yang diberikan kepada peneliti.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, peneliti mengharapkan saran yang membangun. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.


(4)

Medan, Oktober 2013


(5)

Abstrak

Penelitian ini berjudul Representasi Sensualitas Perempuan dalam Video Game Seven Sin. Sensualitas perempuan menjadi sebuah tren tampilan video game jaman sekarang yang menjadi nilai jual yang tidak dapat terbantahkan keampuhannya di industri game. Video game tidak lagi berperan sebagai alat hiburan saja, melainkan menyuguhkan unsur sensualitas perempuan sebagai komoditas penjualan dan daya tarik yang kuat untuk para gamers. Peneliti akan melakukan penelaahan tanda-tanda dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes yang melihat makna-makna tersembunyi dalam suatu gambar visual yang digunakan di dalam Video Game Seven Sin. Peneliti akan menggunakan model semiotika Roland Barthes yaitu two order signification atau signifikasi dua tahap dengan melihat tataran denotatif, tataran konotatif dan juga tidak mengabaikan peran pengamat di dalamnya yang dikenal dengan mitos yang merupakan bagian dari tataran konotatif. Objek yang digunakan adalah gambar-gambar yang terdapat dalam adegan Video Game Seven Sin dari level 1,2,3, dan 6, yang terdiri dari 60 buah gambar. Hasil penelitian ini menemukan bahwa sensualitas perempuan direpresentasikan melalui tokoh perempuan yang menonjolkan daya tarik seksualnya, dengan tampilan kostum serba mini, ketat, terbuka dan seksi. Penampilan fisik yang ideal, proporsional, menggumbar bagian-bagian sensitif perempuan, bahkan banyak adegan yang menampilkan gerakan-gerakan erotis yang disengaja untuk membangkitkan imajinasi seksual laki-laki. Hal ini juga didukung dengan dialog yang mengandung imajinasi seksual tokoh laki-laki itu sendiri. Sensualitas perempuan diperlakukan sebagai ‘objek’ seks bagi laki-laki dan kehadiran tubuh perempuan tersebut selalu menjadi bahan eksploitasi yang

menggiurkan. Pesan yang terdapat dalam Video Game Seven Sin ini mengarah

kepada budaya patriarki yang selalu menjadikan perempuan ‘objek’ pemuas kebutuhan laki-laki dan kaum yang selalu layak untuk dieksploitasi dari sudut mana pun.

Kata kunci : Sensualitas, Perempuan, Video game, Analisis semiotika


(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN ... ii

PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii

ABSTRAK ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Konteks Masalah ... 1

1.2. Fokus Masalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9

2.1. Paradigma Kajian ... 9

2.1.1. Paradigma Kritis ... 10

2.2. Kajian Pustaka ... 11

2.2.1 Semiotika ... 11

2.2.1.1. Semiotika Roland Barthes ... 14

2.2.1.2. Mitos ... 19

2.2.2 Sensualitas Perempuan ... 21

2.3. Model Teoritik ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 24

3.1. Metode Penelitian ... 24

3.2. Objek Penelitian ... 25

3.3.Teknik Pengumpulan Data ... 26

3.4.Kerangka Analisis ... 27

3.5.Teknik Analisis Data ... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 30

4.1. Hasil ... 30

4.2. Pembahasan ... 43

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 134

5.1. Simpulan ... 134

5.2. Saran ... 137

5.3. Implikasi Teoritis ... 138


(7)

DAFTAR REFERENSI ... 141 LAMPIRAN


(8)

Abstrak

Penelitian ini berjudul Representasi Sensualitas Perempuan dalam Video Game Seven Sin. Sensualitas perempuan menjadi sebuah tren tampilan video game jaman sekarang yang menjadi nilai jual yang tidak dapat terbantahkan keampuhannya di industri game. Video game tidak lagi berperan sebagai alat hiburan saja, melainkan menyuguhkan unsur sensualitas perempuan sebagai komoditas penjualan dan daya tarik yang kuat untuk para gamers. Peneliti akan melakukan penelaahan tanda-tanda dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes yang melihat makna-makna tersembunyi dalam suatu gambar visual yang digunakan di dalam Video Game Seven Sin. Peneliti akan menggunakan model semiotika Roland Barthes yaitu two order signification atau signifikasi dua tahap dengan melihat tataran denotatif, tataran konotatif dan juga tidak mengabaikan peran pengamat di dalamnya yang dikenal dengan mitos yang merupakan bagian dari tataran konotatif. Objek yang digunakan adalah gambar-gambar yang terdapat dalam adegan Video Game Seven Sin dari level 1,2,3, dan 6, yang terdiri dari 60 buah gambar. Hasil penelitian ini menemukan bahwa sensualitas perempuan direpresentasikan melalui tokoh perempuan yang menonjolkan daya tarik seksualnya, dengan tampilan kostum serba mini, ketat, terbuka dan seksi. Penampilan fisik yang ideal, proporsional, menggumbar bagian-bagian sensitif perempuan, bahkan banyak adegan yang menampilkan gerakan-gerakan erotis yang disengaja untuk membangkitkan imajinasi seksual laki-laki. Hal ini juga didukung dengan dialog yang mengandung imajinasi seksual tokoh laki-laki itu sendiri. Sensualitas perempuan diperlakukan sebagai ‘objek’ seks bagi laki-laki dan kehadiran tubuh perempuan tersebut selalu menjadi bahan eksploitasi yang

menggiurkan. Pesan yang terdapat dalam Video Game Seven Sin ini mengarah

kepada budaya patriarki yang selalu menjadikan perempuan ‘objek’ pemuas kebutuhan laki-laki dan kaum yang selalu layak untuk dieksploitasi dari sudut mana pun.

Kata kunci : Sensualitas, Perempuan, Video game, Analisis semiotika


(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Konteks Masalah

Dewasa ini disadari atau tidak, videogame memiliki posisi yang hampir sama dengan media film atau televisi yang juga membentuk konstruksi masyarakat akan sesuatu hal dan menjadikan hal tersebut sebagai realisme palsu, yang berakar dan tertanam didalam pola pikir masyarakat. Video game yang pada awalnya hanyalah sebuah entertainment tools atau sebuah alat hiburan ternyata memiliki kemampuan yang jauh melebihi tujuan awal dibuatnya. Dalam video game kita bisa menemukan beragam simbol-simbol yang dibaliknya ternyata terdapat ideologi yang tertanam secara halus, yang tanpa sadar juga mempengaruhi pola pikir dalam menilai dan bertindak serta dijadikan komoditas penjualan. Konstruksi yang sering sekali dibangun dan menjadi nilai jual tinggi adalah dengan mengkaitkan setiap detail video game dengan sosok perempuan.

Perempuan hadir sebagai komoditas pada beberapa game bahkan menjadi ikonik. Industri video game tidak hanya memproduksi sebuah permainan secara harafiah, akan tetapi juga memproduksi isi pesan. Pesan yang didalamnya banyak sekali menyoroti perempuan dari sudut stereotipnya bahkan berbau sensualitas yang mengarah pada eksploitasi terhadap perempuan. Perempuan memang selalu menarik untuk dibicarakan, baik dari segi apa yang ada dalam tubuhnya hingga bagaimana Ia diposisikan dalam lingkungan sosialnya.

Salah satu game yang didalamnya terdapat banyak unsur perempuan adalah game seven sin. Seven Sin adalah salah satu jenis game yang diluncurkan pada tahun 2005 oleh perusahaan Monte Cristo di Prancis dan dibawah naungan publisher atau sebuah agen penyebar dan distribusi video game, bernama Digital Jetzer, Inggris. Game ini merupakan game simulasi kehidupan, dimana pemain akan diajak menjadi seseorang yang akan memecahkan suatu misi demi kepuasan pribadinya didalam suatu kota yang bernama Appel City. Game ini banyak melibatkan tokoh perempuan dengan segala karakter dan sisi sensualitasnya. Dalam memecahkan misi tersebut pemain diajak untuk melakukan segala cara apapun termasuk melakukan tujuh dosa


(10)

mematikan (seven deadly sins) yang direpresentasikan melalui adegan–adegan, antara lain: mencuri uang di kantong mantel, merusak pakaian di toko, buang air kecil di gelas minum bosnya, hingga menggoda karakter perempuan dengan tindakan yang tidak pantas. Adapun tujuh dosa dasar manusia yang dikenal dalam sejarah yakni kesombongan (pride), rakus/berlebihan (gluttony), iri (envy), kemalasan (sloth), kemarahan (anger/wrath), keserakahan (greed), dan birahi (lust). Tujuh dosa inilah yang disajikan secara gamblang didalam game ini.

Dengan kata lain game ini merepresentasikan hasrat dan kebutuhan manusia dalam kehidupannya sehari-hari. Game ini menampilkan gambar dan adegan yang menjurus ke pornografi, dari sistem permainannya, pemilihan karakter perempuan, pakaian yang dipakai, hingga suara musik yang juga menjurus kearah pornografi. Pemain diwakilkan hanya dengan tampilan animasi sosok seorang laki-laki, yang akan menggoda karakter perempuan disetiap levelnya agar perempuan tersebut mau membuka rahasia dari misi yang hendak dipecahkannya. Hal tersebut dilakukan karena cara ini yang paling mendominasi permainan agar misi terpecahkan dan permainan pun selesai dengan predikat menang. Cara-cara yang dilakukan dalam menggoda karakter perempuan didalam game ini, dilakukan dengan cara halus hingga dengan cara yang tak pantas untuk disajikan ke khalayak luas. Setiap level dalam game ini, hampir selalu menampilkan karakter seorang perempuan melalui gambar animasi dan menjadikan karakter tersebut sebagai alat utama permainan.

Game ini seolah-olah hadir dengan karakter perempuan sesuai pandangan dunia yang selama ini sudah terkonstruksi. Dunia seolah-olah menyajikan realisme palsu bahwa perempuan direpresentasikan dengan makhluk sosial kelas dua. Segala sesuatunya diperlihatkan, seolah-olah perempuan dijadikan sebagai alat pemuas kebutuhan laki-laki dan tidak punya kekuatan untuk melawan hal tersebut. Perempuan dikonstruksikan sebagai suatu sosok yang dianggap layak dieksploitasi dan menjadi objek sasaran untuk menyajikan pornografi melalui apa yang ada pada diri perempuan tersebut bahkan cenderung menunjukkan sensualitas dari tubuh perempuan. Visualisasi karakter perempuan pada umumnya dibangun dengan pakaian seksi, terbuka, bentuk tubuh yang ideal, bahkan dengan ekspresi menggoda. Video game menaturalisasikan tubuh tersebut secara sosial dan kultural sebagi objek


(11)

yang di ‘puja’ sekaligus ‘dilecehkan’ karena dianggap memiliki kekuatan “pesona” tertentu.

Trend video game dengan memasukkan unsur sensualitas perempuan, saat ini sangat digandrungi oleh para gamers yang pada umumnya adalah laki-laki. Bahkan para developer game berlomba-lomba menciptakan game yang di dalamnya banyak memunculkan tokoh-tokoh perempuan dengan menampilkan sisi sensualitas mereka dan menganggap bahwa sensualitas adalah nilai jual yang tak terbantahkan di industri video game. Seperti gameDarkStalkers–Marvel VS Capcom”, yang menampilkan avatar seorang perempuan (Morrigan Aensland) dengan berpakaian sangat seksi dan cenderung seperti “memaksa” pandangan orang yang memainkan

game tersebut terfokus pada gambar bagian-bagian sensitifnya, game “Tekken

Series”, “Playboy The Mension”, dan game “Seven Sin” sendiri, yang akan diteliti peneliti pada penelitian ini. Game ber-gendre dewasa ini seolah-olah seperti memakai strategi perempuan sebagai ‘objek’ untuk menggikat hati para gamers.

Dengan kata lain, cara pandang dunia ini seolah-olah selalu dilihat dari sisi kacamata laki-laki. Cara pandang inilah yang sudah berakar dan menghasilkan satu budaya yang sering disebut dengan budaya Patriarki. Budaya patriarki membuat sosok perempuan digambarkan seolah-olah seperti kaum yang selalu lemah, tidak memiliki hak yang sama dengan lelaki, terlahir sebagai objek pemuas kebutuhan laki-laki, termarjinalkan, gampang dieksploitasi, selalu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengurus anak hingga terkesan tidak dapat mandiri. Patriarki berarti kekuasaan laki-laki, dengan cara apa laki-laki menguasai perempuan, serta untuk menyebutkan sistem yang membuat perempuan tetap dikuasai melalui beragam macam cara. Patriarki membentuk laki-laki sebagai superordinat dalam kerangka hubungan dengan perempuan yang dijadikan subordinatnya. Dapat disimpulkan bahwa, patriarki ini merupakan suatu sistem dominasi dari kaum laki-laki terhadap perempuan dan menyatakan bahwa laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, serta segala kontrol dipegang oleh laki-laki (Sugihastuti, 2007:93).

Budaya patriarki ini sudah sangat berakar sejak dahulu dalam benak masyarakat, terutama dari adat istiadat yang sangat kental dari setiap suku bangsa yang ada. Misalnya saja dalam budaya batak, sosok perempuan selalu dicap sebagai orang kedua dan tidak pernah menjadi pemeran utama. Bagi suku batak, jika tidak


(12)

mempunyai keturunan laki-laki, dianggap dalam keluarga tersebut tidak ada penerus identitas keluarga atau yang sering disebut ‘marga’. Kaum laki-laki selalu diberi pendidikan yang setinggi-tingginya dimanapun, sedangkan perempuan hanya diberikan pendidikan seadanya dan cenderung tetap tinggal di rumah. Sama halnya dengan suku jawa, dulu ada anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, karena pada akhirnya akan ke dapur juga. Apalagi dalam keluarga yang memiliki keuangan yang terbatas, maka pendidikan akan diprioritaskan pada anak laki-laki (Narwoko, 2004:338).

Budaya inilah yang terus mempengaruhi pola pikir masyarakat hingga dewasa ini. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai bidang yang pada akhirnya

membuat perempuan menjadi kaum yang termarjinalkan dan menjadi second

person. Hal ini dapat dilihat di dunia media massa. Hampir seluruh media massa hadir dengan realitas yang telah disusun oleh budaya patriarki, hingga mulai merambah dalam dunia game. Game yang berasal dari istilah bahasa Inggris yang berarti permainan ini, awalnya dianggap sebagai media hiburan, sekarang mulai dilirik menjadi sasaran empuk untuk mengkonstruksi simbol-simbol yang lain. Salah satunya mengkonstruksikan image seorang perempuan. Konstruksi yang mulanya telah terbentuk akibat ulah media massa, menjalar pada dunia game, yang tanpa sadar budaya patriarki pun ternyata ikut masuk di dalamnya. Game yang mulai tercium konstruksi didalamnya pada umumnya adalah game-game moderen.

Game moderen pertama sekali ditemukan oleh Insinyur Televisi berkebangsaan Jerman, Ralph H. Baer. Ia menciptakan sebuah permainan di televisi pada tahun 1966, di perusahaan bernama Sanders. Mahakarya penemuannya ini kemudian dikembangkan hingga menjadi protoip konsol game pertama, yang diberi nama Brown Box. Game ciptaannya ini kemudian dipatenkan pada tahun 1968 melalui begitu banyak ujian dan hingga kini masih tercatat sebagai video game pertama sekali muncul di dunia. Ralph H.Baer melalui penemuannya ini mendapatkan penghargaan National Medal of Technology dari George Bush dan menandai dimulainya era industri Video Game.

Bermula dari game yang muncul di televisi yang ditemukan oleh Ralph H. Baer, game ini pun kian berkembang pesat, bermula dari menggunakan konsol yaitu:


(13)

istilah yang digunakan untuk sebuah sistem mesin yang dirancang khusus untuk memainkan video game dengan disertai minimal dua stik game untuk memainkanya dan beberapa alat pendukung lainnya, contohnya yang populer saat ini seperti, Sony Playstation, Nintendo Wii, Microsoft X-BOX, dan Sega Dreamcast. Hingga menggunakan media Playstation atau bahkan berkembang melalui media komputer, baik menggunakan jaringan internet (online) maupun tidak menggunakan jaringan internet (off line). Game melalui media komputer (PC) ini mengalami perkembangan yang kian pesat. Para pengelola industri game berlomba-lomba untuk menciptakan game yang lebih nyata dan menarik untuk para pemainnya. Hal inilah yang membuat perkembangan game di komputer sangat pesat, sehingga game bukan hanya sekedar permainan untuk mengisi waktu luang, menghibur atau sekedar hobi, melainkan sebuah cara untuk meningkatkan kreatifitas dan tingkat intelektual para penggunanya.

Beragam segmentasi game telah diluncurkan, mulai dari game yang ber-gendre permainan tak-tik, asah otak, tembak-tembakan, strategi, adventure, hingga game yang menyajikan tentang simulasi kehidupan (Life Simulation). Semuanya dikemas dengan sedemikian rupa, hingga membentuk suatu game yang seru untuk dimainkan. Game juga saat ini hadir dengan segmentasi usia, dari anak-anak, remaja, hingga dewasa. Sayangnya, walaupun terbagi dalam segmentasi usia, tidak ada aturan yang ketat dalam menerapkan segmentasi tersebut ketika game siap diluncurkan ke masyarakat. Seperti game seven sin ini yang akan diteliti oleh peneliti. Didalam cover kaset game ini terdapat simbol yang menandakan 18 tahun keatas, yang berarti game ini hanya dapat dimainkan oleh orang dewasa berusia 18 tahun keatas. Tetapi faktanya dilapangan, ketika peneliti hendak membeli kaset game ini, kaset game ini diperjualbelikan dengan bebasnya, bahkan hal yang sangat miris ketika peneliti bertanya kepada beberapa orang yang sudah pernah memainkan game ini, ditemukan ada berusia 13 tahun, yang masih duduk dibangku sekolah menengah pertama (SMP), yang sudah pernah bermain game ini hingga selesai.

Efek yang ditimbulkan game ini pasti berbeda dengan efek yang dirasakan orang dewasa berusia 18 tahun keatas dengan anak berusia 13 tahun. Proses pengolahan pikiran anak berusia 13 tahun belum sepenuhnya matang sehingga akan gampang menyerap konstruksi yang dibuat oleh media game ini. Ketika mereka


(14)

memainkan game ini dengan frekuensi yang terlalu banyak, terpaan media akan semakin kuat untuk mempengaruhi pola pikir mereka. Kemungkinan besar mereka akan menganggap dan menilai perempuan sesuai dengan apa yang disajikan game ini, apalagi bagi anak berusia dibawah 13 tahun. Tubuh perempuan dan sisi sensualitasnya akan menjadi topik yang paling menarik dan akan membentuk suatu ideologi kekuasaan laki-laki terhadap tubuh tersebut, seperti apa yang ditampikan dalam game ini. Hal yang paling membahayakan, bisa saja pola pikir seperti ini akan mereka bawa kedalam dunia nyata dan eksploitasi terhadap perempuan menjadi sebuah adat-istiadat yang biasa dilakukan.

Stereotip perempuan tidak hanya dirasakan dalam dunia game. Sebelumnya, stereotip tersebut telah berkembang dalam dunia media massa. Dalam hal bisa dilihat bagaimana media massa, menyajikan tayangan Sinetron, film, bahkan berita-berita yang ditayangkan di televisi, menggambarkan sosok perempuan yang berperan menjadi ibu-ibu yang jahat, perempuan penggoda, hingga perempuan berpakaian minim (Daulay, 2007:55). Tidak hanya itu saja, perempuan digambarkan sebagai sosok yang emosional, irrasional dalam berpikir, tidak bisa tampil sebagai pemimpin atau sebagai pengambil keputusan, selalu berteman dengan air mata, dianggap lemah, hanya pintar dalam bersolek, bahkan mirisnya cenderung menampilkan sisi sensualitas dan menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting serta tidak strategis (second person) (Narwoko, 2004: 342).

Dalam pemberitaan di media massa juga, misalnya dalam tayangan berita kriminal kasus pemerkosaan, bagaimana media terlalu banyak menggali bagaimana perempuan diperkosa, perempuan digambarkan menderita sebagai korban pemerkosaan, dan segala kesedihannya. Seharusnya, fokus media bukanlah pada eksploitasi perempuan sebagai korban perkosaan, tetapi bagaimana menanggulangi hal tersebut. Para perempuan yang menyaksikan tayangan tersebut menjadi paranoid dan ketakutan tanpa tahu apa yang seharusnya mereka lakukan

.

Di sadari atau tidak image perempuan memang tengah berada dalam sebuah situasi yang seolah-olah dianggap sebagai suatu realitas yang sesungguhnya terjadi dan nyata dalam dunia ini. Kondisi dunia sudah terkonstruksi secara halus dengan budaya patriarki dan semakin berakar kian hari. Segala aspek kehidupan tidak akan terlepas dari keberadaan laki-laki dan semua tentangnya, sehingga perempuan sebagai kaum yang termarginalkan,


(15)

rentan terhadap kekerasaan mental maupun seksual, stereotip, ketidaksetaraan gender, bahkan menjadikannya komoditas penjualan untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.

Perempuan selalu harus berusaha keluar dari nilai-nilai patriarki yang sangat mengikat dan membuat perempuan harus ekstra kerja keras untuk mendapatkan posisi sebagai ‘mitra’ dengan laki-laki (Daulay, 2007:5). Game seven sin adalah salah satu game yang sangat dominan menampilkan karakter perempuan dengan sisi sensualitasnya, hingga membuat game ini dengan mudah menciptakan konstruksi terhadap makna sensualitas perempuan. Jika dilihat situasi yang ada dalam game ini mungkin saja budaya patriarki akan semakin melekat pada perempuan dan menjadikannya terus-menerus sebagai ‘objek’ pemuas kebutuhan laki-laki. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat dan menganalisis, bagaimana game seven sin ini merepresentasikan ataupun menggambarkan sensualitas perempuan dalam setiap adegannya. Peneliti dalam penelitian ini akan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes untuk mengetahui makna penanda, petanda yang merepresentasikan sensualitas perempuan dalam game seven sin.

I.2 Fokus Masalah

Berdasarkan konteks masalah diatas, maka peneliti memfokuskan masalah yang akan diteliti adalah “Bagaimana sensualitas perempuan direpresentasikan dalam game seven sin?

I.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk melihat tanda-tanda semiotika yang digunakan guna

merepresentasikan sensualitas perempuan dalam game seven sin.

2. Untuk mengetahui bagaimana cara developer game seven sin dalam

menggambarkan sisi sensualitas perempuan dalam game seven sin melalui analisis semiotika.


(16)

I.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan memperluas khasanah penelitian Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU dan dapat dijadikan bahan referensi oleh mahasiswa Ilmu Komunikasi.

2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan berguna untuk menambah

pengetahuan dan dapat memperluas wawasan penulis mengenai ilmu Komunikasi khususnya mengenai analisis semiotika didalam game.

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak yang membutuhkan pengetahuan berkenaan dengan penelitian ini dan menjadi rujukan dalam memaknai sosok seorang perempuan.


(17)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2 .1 Paradigma Kajian

Paradigma merupakan suatu model dari teori ilmu pengetahuan dan kerangka berfikir. Menurut Guba dalam Wibowo (2011), paradigma adalah seperangkat kepercayaan dasar yang menjadi prinsip utama dalam menentukan pandangan tentang dunia dan menjelaskan pada penganutnya tentang alam dunia. Artinya, paradigma bisa dikatakan sebagai suatu kepercayaan, cara pandang, atau prinsip dasar yang ada dalam diri seseorang tentang pandangan dunia dan membentuk cara pandangnya terhadap dunia (Wibowo, 2011:27). Paradigma juga diperlukan dalam penelitian karena akan menpengaruhi teori bahkan cara seseorang menganalisis dan menggambil tindakan terhadap sesuatu hal. Sudut pandang ataupun cara pandang tidak pernah bersifat netral dan objektif, tergantung pada paradigma yang digunakan. Oleh karena itu menurut Kuhn (1970), paradigma menentukan apa yang hanya ingin kita ketahui, hanya ingin kita inginkan, hanya ingin kita lihat dan kita ketahui.

Paradigma inilah yang sangat mempengaruhi pandangan seseorang dalam menggambil suatu tindakan atau sesuatu hal apapun. Misalnya dua orang yang sama dihadapkan dengan suatu fenomena yang sama, atau suatu peristiwa yang sama, kemungkinan kedua orang tersebut akan memberi respon yang berbeda terhadap fenomena atau peristiwa tersebut. Kedua orang tersebut juga akan menghasilkan penilaian, sikap, tindakan, bahkan pandangan yang berbeda juga. Perbedaan ini bisa terjadi karena kedua orang tersebut memiliki paradigma yang berbeda, yang secara otomatis mempengaruhi persepsi dan tindakan komunikasinya. Paradigma Ilmu komunikasi berdasarkan metodologi penelitiannya, menurut Dedy N. Hidayat (1999) yang mengacu pada pemikiran Guba dan Lincoln (1994) ada tiga paradigma : (1) paradigma klasik yang mencakup positivisme dan postpositivisme, (2) paradigma kritis dan (3) paradigma konstruktivisme (Bungin, 2008: 237).


(18)

2.1.1 Paradigma Kritis

Paradigma Kritis merupakan salah satu paradigma yang bersumber dari pemikiran sekolah frankurt, dimana pada saat itu sedang berlangsung propaganda besar-besaran Hitler. Media dipenuhi oleh prasangka, retorika, dan propaganda. Media menjadi alat dari pemerintah untuk mengontrol publik dan menjadi sarana pemerintah untuk mengobarkan semangat perang. Media bukan sesuatu yang netral, melainkan dikuasai oleh kelompok dominan. Pertanyaan utama dari paradigma kritis adalah adanya kekuatan-kekuatan yang berbeda dalam masyarakat yang mengontrol proses komunikasi dalam membentuk suatu realitas (Eriyanto, 2001:23).

Paradigma kritis beranggapan bahwa realitas yang kita lihat adalah realitas semu, realitas yang telah terbentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial, politik, budaya, ekonomi, etnik, nilai gender, dan sebagainya, serta telah terkristalisasi dalam waktu yang panjang (Hamad, 2004:43). Asumsi dasar dari teori kritis ini adalah, mengungkapkan realis atau struktur rill dibalik ilusi, kesadaran semu dari kehidupan manusia atas dasar kesadaran subjektif dan berupaya mengubah kondisi sosial yang ada yang telah mendominasi realitas sosial pikiran masyarakat. Paradigma ini memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang netral, tetapi dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya. Oleh karena itu, konsentrasi analisis pada paradigma kritis adalah menemukan kekuatan yang dominan tersebut dalam memarjinalkan dan meminggirkan kelompok yang tidak dominan. Media dalam menyajikan tayangannya, bahkan berita-beritanya bukan dengan posisi yang netral dan menjadi ruang publik dari berbagai pandangan yang berseberangan dalam masyarakat. Sebaliknya, media adalah ruang di mana kelompok dominan menyebarkan pengaruhnya dengan meminggirkan kelompok lain yang tidak dominan (Eriyanto, 2001:49).

Paradigma ini memandang suatu penelitian bukan hanya sekedar penelitian penuh kritikan saja, melainkan mengubah dunia yang timpang dan banyak didominasi oleh kekuasaan yang menindas kelompok bawah. Hal ini memungkinkan peneliti untuk terlibat dalam menegasikan relasi yang nyata, mengungkapkan mitos dan ilusi, menunjukkan bagaimana dunia yang penuh ketimpangan sembari menegaskan bagaimana seharusnya dunia itu. Dengan kata lain, penelitian dengan


(19)

menggunakan paradigma ini hadir untuk menghilangkan keyakinan dan gagasan palsu tentang masyarakat, dan mengkritik sistem kekuasaan yang tidak seimbang dan struktur yang mendominasi dan menindas orang.

Dalam pandangan paradigma kritis, tidak ada realitas yang benar-benar riil, karena realitas yang muncul sebenarnya adalah realitas semu yang terbentuk bukan melalui proses alami, tetapi oleh proses sejarah dan kekuatan sosial, politik, dan ekonomi serta dibentuk manusia sendiri. Realitas tersebut dibentuk oleh kelompok-kelompok dominan, dengan cara manipulasi, mengkondisikan orang lain agar punya penafsiran dan pemaknaan seperti yang kelompok itu inginkan. Oleh karena itu, apa yang disebut realitas sering kali bukanlah realitas, melainkan hanya ilusi yang menyebabkan distorsi pengertian dalam masyarakat (Eriyanto, 2001:56). Analisis yang bersifat kritis ini, umumnya beranjak dari pandangan atau nilai tertentu yang diyakini oleh peneliti. Oleh karena itu, keberpihakan peneliti dan posisi peneliti atas suatu masalah sangat menentukan bagaimana data atau teks ditafsirkan. Subjektifitas peneliti sangat dominan dalam penelitian menggunakan paradigma kritis, karena menggandalkan penafsiran peneliti. Dalam hal ini penafsiran didapatkan langsung dari peneliti dengan masuk menyelami teks, gambar, ataupun suatu data, dan menyingkap makna yang ada dibaliknya, sehingga unsur subjektifitas tidak dapat dihindari (Eriyanto, 2011:62).

2.2. Kajian Pustaka

2.2.1. Semiotika

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Pengertian tersebut didukung dari segi etimologis semiotika yang berasal dari kata Yunani, yaitu semeion, yang berarti “tanda” atau seme, yaitu penafsir tanda. Tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam mendefenisikan sesuatu hal yang bisa berbentuk kata-kata, gambar-gambar, suara-suara, aroma, gerakan, atau objek, yang dapat ditafsirkan dan memiliki makna didalamnya (Birowo, 2004:44). Tanda merupakan perangkat yang kita pakai dalam upaya untuk mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Tanda ini berada pada keseluruhan kehidupan manusia yang tidak bisa terlepas dari kebudayaan manusia itu


(20)

sendiri dan menjadi sistem tanda yang dapat digunakan sebagai pengatur kehidupannya. Oleh karena itu, tanda-tanda itu (yang berada pada sistem tanda) sangatlah akrab dan bahkan melekat pada kehidupan manusia yang penuh makna, seperti teraktualisasi pada bahasa, religi, seni sejarah, bahkan ilmu pengetahuan (Sobur, 2004:124).

Tanda tersebut adalah cerminan dari realitas yang dikonstruksikan lewat bahasa maupun kata-kata. Dengan demikian, tanda adalah basis dari seluruh komunikasi, dimana melalui tanda, manusia dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya, bahkan melakukan banyak hal yang dapat dikomunikasikan di dunia ini (Sobur, 2004:15). Menurut Umberto eco, tanda dianggap dapat mengkaji segala sesuatu yang dapat digunakan untuk kebohongan ataupun mengkelabui. Tanda tidak dapat berdiri sendiri, melainkan di dalam tanda tersebut terdapat sesuatu yang tersembunyikan dibaliknya. Contohnya sebutan penipu ulung menandakan seorang

yang pura-pura menjadi dokter, pengacara atau apapun (Sobur, 2004:18).

Secara terminologis semiotika dapat didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, dan seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pada dasarnya, analisis semiotika merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, sesuatu yang dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca teks atau narasi/ wacana tertentu. Analisisnya bersifat paradigmatic, yang berarti berupaya menemukan makna dari berbagai hal, termasuk dari hal-hal yang tersembunyi dibalik sebuah teks (Wibowo, 2011:5).

Seorang ahli yang merupakan pendiri linguistik modern dan terkenal dengan teori ‘tanda’ adalah Ferdinand de Saussure. Menurutnya, tanda tidak bisa terlepas dari bahasa, karena bahasa itu merupakan suatu sistem tanda yang dikonstruksikan melalui sistem sosial. Saussure berpersepsi dan berpandangan, bahwa kita memiliki pandangan tentang realitas yang dikonstruksikan oleh kata-kata serta tanda-tanda yang lain, yang digunakan dalam konteks sosial (Wibowo, 2011:7). Dalam konteks komunikasi manusia, Saussure meletakkan tanda dengan melakukan pemilahan antara signifier (penanda) dan signified (Petanda). Signifier (penanda) adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis dan dibaca. Signified (petanda) adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep sesuatu dari signifier. Hubungan keduanya disebut


(21)

Signification, yang berarti suatu upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Fiske, 1990:44).

Hubungan tersebut diperoleh dari produk kultural dan hanya bersifat kesepakatan, konveksi, atau peraturan dari cultural pemakai bahasa tersebut. Hubungan antara signifier dan signified dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu :

• Ikon adalah tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas

yang ditandainya, misalnya foto atau peta

• Indeks adalah tanda yang kehadirannya menunjukkan adanya

hubungan dengan yang ditandai, misalnya asap adalah indeks dari api

• Simbol adalah sebuah tanda dimana hubungan antara Signifier dan Signified semata-mata adalah masalah konveksi, kesepakatan atau peraturan (Sobur, 2004:126).

Dengan kehadiran penanda dan petanda ini akan memunculkan suatu makna, oleh karena itu kedua hal ini tidak dapat dipisahkan dan berdiri sendiri-sendiri, bahkan kesatuan dari dua hal ini diibaratkan oleh Saussure seperti dua sisi dari sehelai kertas (Sobur, 2004:46). Charles Saunders Pierce, seorang filsuf aliran pragmatik Amerika yang dianggap sebagai pendiri semiotika modern, mendefenisikan semiotika sebagai hubungan antara tanda (simbol), objek, dan makna (Morissan, 2009:38). Pierce melihat yang menjadi dasar dari semiotika adalah konsep tentang tanda, dimana tanda ini sendiri tidak hanya bahasa dan sistem komunikasi yang tersusun oleh tanda-tanda, melainkan dunia itu sendiripun, sejauh terkait dengan pikiran manusia seluruhnya terdiri atas tanda-tanda. Jika hal ini tidak terjadi demikian, manusia tidak akan bisa menjalin hubungannya dengan realitas, karena tanda tersebut adalah sesuatu yang hidup dan dihidupi, serta hadir dalam proses interpretasi yang mengalir (Sobur, 2004:17).

Dengan demikian semiotika mempelajari hakikat tentang keberadaan suatu tanda. Analisis semiotika ini merupakan sebuah ikhtiar untuk merasakan sesuatu yang aneh, yang perlu dipertanyakan lebih lanjut ketika kita membaca suatu wacana maupun secara visual ketika menonton televisi. Analisis ini berupaya untuk menguak dan menemukan makna dari hal yang tersembunyi sekalipun. Suatu tanda menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna (meaning) ialah hubungan antara suatu objek atau idea suatu tanda (LittleJohn, 1996:64).

Menelaah dengan menggunakan pendekatan semiotika ini tidak terlepas dari peranan pembaca sendiri. Jika hendak ingin menerapkan tanda-tanda bahasa, maka


(22)

huruf, kata, bahkan kalimat, tidak memiliki arti pada dirinya sendiri. Tanda-tanda itu hanya mengemban arti dalam kaitannya dengan pembaca. Pembaca itu sendirilah yang menghubungkan tanda dengan apa yang ditandakan sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang bersangkutan. Hal ini bisa terlihat dalam proses komunikasi melalui karya sastra. Misalnya dalam karya sastra kerap diperhatikan hubungan sintaksis antara tanda-tanda (strukturalisme) dan hubungan antara tanda serta apa yang ditandakan (semantik). Hal ini juga berlaku bagi proses komunikasi melalui media manapun, karena keseluruhan faktor dalam proses komunikasi dan pemahamannya mempengaruhi dan ikut menentukan sikap pembaca (Sobur, 2004: 17).

Bisa dilihat dari media yang sedang digunakan saat ini. Media massa khususnya, menawarkan beragam isi didalamnya. Isi media tersebut pada hakikatnya adalah suatu konstruksi realitas dengan menggunakan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Bahasa tersebut tidak hanya sebagai alat merepresentasikan realitas, tetapi juga menentukan relief seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa tentang realitas yang dikonstruksikan. Dengan kata lain, setiap upaya “menceritakan” sebuah peristiwa, keadaan, benda, atau apapun, pada hakikatnya adalah usaha mengkonstruksikan realitas (Sobur, 2004:88). Hal tersebut dapat kita lihat dalam iklan, cerpen, poster, komik, film, kartun, bahkan games secara visual. Semua hal tersebut memungkinkan terjadinya “tanda”, yang dapat membentuk suatu proses signifikasi yang menggunakan tanda serta menghubungkan objek dan interpretasi.

2.2.1.1. Semiotika Roland Barthes

Teori semiotika tidak bisa terlepas dari satu sosok yang juga banyak menggambil peran terhadap kajian studi ini. Ia adalah salah satu orang yang ahli dalam bidang persoalan semiotika dan dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang paling gigih mempraktikkan model linguistik serta semiologi Saussure. Ia juga merupakan salah seorang kritikus sastra perancis yang ternama, dan Ia hadir dengan gagasan yang dikembangkannya dari gagasan-gagasan Saussuren serta mengkajinya lebih luas lagi (Sobur, 2004:63). Dialah Roland Barthes. Ia mengembangkan dua tingkatan pertandaan yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu denotasi dan konotatif. Dua konsep ini lah


(23)

sebagai kunci dari analisisnya. Tidak hanya sampai pada tataran dua konsep tanda saja, Barthes juga melihat peranan yang aktif dari pembaca atau pengguna. Ia juga melihat dari sudut pembaca sendiri. Dalam studinya ini, Barthes menggangap peran pembaca dalam memberi makna terhadap tanda tersebut merupakan peran yang tidak kalah penting, karena dari keaktifan pembaca dalam memaknai tanda tersebut, akan memunculkan suatu pengertian yang baru yang lebih jelas.

Denotasi adalah tingkatan pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukan pada realitas, yang menghasilkan makna eksplisit, langsung dan pasti. Makna denotasi dalam hal ini adalah makna pada apa yang tampak dan makna apa yang dijelaskan dalam kamus. Harimurti Kridalaksana mendefenisikan denotasi sebagai makna sebuah atau sekelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi sesuatu serta bersifat objektif, karena dapat berlaku secara umum. Sebagai contoh, di dalam kamus, kata melati berarti menunjukkan pada sejenis bunga (Sobur, 2004:263). Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang didalamnya beroperasi makna tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti, yang berartinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan. Konotasi merupakan suatu interaksi yang muncul ketika sign (tanda) bertemu dengan perasaan pembaca atau emosi pembaca atau pengguna dan nilai-nilai budaya mereka (Birowo, 2004:57).

Dalam hal ini konotasi akan menghasilkan suatu makna yang berbeda jika bersentuhan dengan ruang lingkup perasaan, dan pikiran yang ditimbulkan pada penulis, penonton, ataupun pendengar serta bersifat subjektif atau emosional. Dengan kata lain, konotasi dapat dimaknai sebagai makna “leksikal + X” (Sobur, 2004:263). Misalnya kata Amplop. Secara denotasi atau makna dalam kamus yang sebenarnya, amplop diartikan dengan makna sebuah sampul yang berfungsi sebagai tempat mengisi surat, yang akan disampaikan kepada orang lain atau kantor, instansi, ataupun perusahaan lainnya. Tetapi jika kata Amplop ditambah dengan kalimat, “Beri saja beliau Amplop, agar urusanmu segera beres”, dapat berubah maknanya menjadi “Berilah beliau uang”. Kata Amplop sudah berubah makna menjadi konotatif, yang mengarah ke pengertian uang suap atau sogokan.


(24)

Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa denotasi menduduki sistem tataran ataupun signifikasi tingkat pertama, sedangkan konotasi menduduki sistem tataran tingkat kedua yang dibangun diatas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Memang kalau dilihat dari defenisi denotasi yang telah dijelaskan diatas, pada umumnya banyak orang akan beranggapan, bahwa denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harafiah, makna yang sesungguhnya, bahkan tak jarang juga disebut sebagai referensi atau acuan. Makna yang biasanya juga mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang diucapkan. Akan tetapi, dalam ranah semiologi Roland Barthes, denotasi lebih dikenal dengan sistem signifikasi tingkat pertama, yang lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Hal ini dikatakan karena, makna yang melekat pada denotasi adalah makna yang bersifat umum dan seperti seadanya saja, tidak menggali ‘tanda’ secara dalam. Sehingga apa yang diucapkan, apa yang terlihat, apa yang dibaca dari suatu tanda, itu lah yang mewakili makna didalamnya, tanpa melihat adanya suatu konstruksi makna.

Sistem tataran kedua atau signifikasi tingkat dua yang disebut konotatif, lebih menyoroti dan melihat ada makna apa yang tersembunyi dari tanda tersebut, dan tak jarang juga, sistem kedua ini dipakai untuk mengguak hasil konstruksi dengan cermat. Pada sistem tataran kedua (konotatif) ini dibutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi dengan baik. Tanpa keaktifan dari pembaca makna konotatif ini akan sama halnya dengan makna denotatif, karena makna konotatif dibangun diatas sistem lain yang telah ada sebelumnya, dan jika bertemu dengan emosi, atau nilai-nilai dari dalam diri pembaca akan menghasilkan suatu makna yang baru, bahkan dapat melihat makna lebih jelas tanpa adanya suatu ketertutupan. Pemaknaan tataran kedua ini dibangun diatas bahasa sebagai sistem yang pertama (Sobur, 2004: 69).

Makna konotasi yang merupakan makna hasil dari stimulus dan respon dari nilai-nilai yang mengandung emosional juga sering diidentikkan dengan operasi ideologi, yang disebut sebagai mitos. Hal ini berfungsi untuk mengungkapkan serta memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Konotasi dapat digolongkan kedalam mitos karena, dalam mitos terdapat juga tiga pola dimensi penanda, petanda, dan tanda namun sebagai suatu sistem yang


(25)

unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemakna yang telah ada sebelumnya. Dengan kata lain, mitos tersebut juga termasuk sistem pemaknaan kedua (Sobur, 2004:71).

1 . Signifier

(Penanda)

2. Signified

(Petanda)

3. Denotative sign (tanda denotatif)

4. Connotative Signifier

(Penanda Konotatif)

5.Connotative Signified

(Petanda Konotatif)

6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)

Gambar. 2.1 Peta Tanda Roland Barthes Sumber : Sobur, 2004 :69

Barthes juga menciptakan peta tentang bagaimana tanda tersebut bekerja, yang merupakan perluasan dari studi Hjelmslev. Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaanya, dan hal inilah yang membedakan sekaligus menyempurnakan semiologi Saussure, yang dikenal dengan signifikasi dua tahap ( Two order of signification) (Sobur, 2004 :69). Barthes dalam membuat analisisnya juga menggunakan kode-kode atau unit-unit pembahasan yang membangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu (Sobur, 2004:65-66), yaitu:

1) Kode Hermeneutik

Kode Hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara


(26)

pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya di dalam cerita.

2) Kode Semik

Kode Semik atau kode konotatif banyak menawarkan beragam sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Barthes melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu.

3) Kode Simbolik

Kode Simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural atau tepatnya menurut konsep barthes, pascastruktural. Hal ini didasari pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan, baik dari tahap bunyi menjadi fenom dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf psikoseksual yang melalui proses. Misalnya, seorang anak belajar bahwa ibu dan ayahnya berbeda satu sama lain dan bahwa perbedaan ini juga membuat anak itu sama dengan satu diantara keduanya dan berbeda dari yang lain,atau pun pada taraf pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan yang secara mitologis dapat dikodekan. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik ini dapat dikodekan melalui istilah-istilah retoris seperti antitesis, yang merupakan simbol istimewa dalam sistem simbol barthes.

4) Kode Proaretik

Kode Proreatik sering juga disebut kode tindakan atau lakuan yang dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca setiap orang, artinya semua teks yang bersifat naratif. Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi dari terbukanya pintu sampai petualangan yang romantis. Pada praktiknya, Barthes menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mengenal kode lakuaan karena kita memahaminya. Pada kebanyakan fiksi, kita selalu mengharapakan lakuan di “isi” sampai lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks.

5) Kode Gnomik

Kode Gnomik sering juga disebut kode kultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, relaisme tradisional didefinisi oleh acuan teks ke apa yang sudah diketahui, rumusan suatu budaya atau sub budaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasi yang di atasnya para penulis bertumpu. Bukan hanya untuk membangun sistem klarifikasi unsur-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian yang paling meyakinkan, atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk buatan dan bukan tiruan dari yang nyata.


(27)

2.2.1.2 Mitos

Seperti pada penjelasan sebelumnya, dalam kerangka pemikiran Barthes, selain Ia fokus pada sasaran tanda denotasi dan konotasi, Ia juga sering mengidentikkan konotasi dalam ranah ideologi yang disebut Mitos. Barthes menempatkan ideologi dalam ranah mitos karena, menurutnya baik dalam ranah ideologi maupun mitos, hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif terjadi secara termotivasi. Dimana, Barthes memahami ideologi sebagai kesadaran palsu yang membuat orang hidup di dalam dunia imajiner dan ideal, meskipun realitas hidupnya yang sesungguhnya tidaklah demikian (Sobur, 2004:71). Mitos berasal dari bahasa Yunani, yaitu muthos, yang secara umum diartikan keirasionalan atau tahyul atau khayalan, bahkan sesuatu yang tak berada dalam kontrol kesadaran dan rasional manusia (Sobur, 2004:222). Mitos berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Mitos juga disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, karena dalam mitos pun terdapat tiga pola dimensi penanda, petanda, dan tanda yang juga dibangun oleh suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya. (Sobur, 2004:71).

Mitos menurut Barthes adalah sebuah kisah yang melaluinya sebuah budaya menjelaskan dan memahami beberapa aspek dari realitas. Mitos membantu kita untuk memaknai pengalaman-pengalaman kita dalam satu konteks budaya tertentu. Barthes juga berpendapat bahwa mitos, melayani fungsi ideologi naturalisasi. Artinya, mitos melakukan naturalisasi budaya, dengan kata lain, mitos membuat budaya dominan, nilai-nilai sejarah, kebiasaan dan keyakinan yang dominan terlihat ‘natural’, normal, abadi, masuk akal, objektif dan benar secara apa adanya (Birowo, 2004:60). Ideologi yang tercermin dalam mitos akan selalu ada selama kebudayaan itu ada dan merupakan suatu ekspresi budaya yang diwujudkan melalui berbagai kode yang merembes masuk ke dalam teks dalam bentuk penanda-penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan lain sebagainya (Sobur, 2004:71).

Di dalam mitos pula sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Misalnya, Bahasa Inggris yang kini telah menginternasional bahkan mewabah di Indonesia sendiri. Sekarang melamar pekerjaan saja memakai keahlian bahasa inggris, padahal di Negara Indonesia kita hanya bisa sedikit menemukan penduduk Inggris, tetapi seolah bahasa Inggris menjadi bahasa yang sangat penting buat kita,


(28)

bahkan seperti bahasa ibu. Dari contoh tersebut, bisa dilihat bagaimana bahasa inggris seperti ideologi naturalisasi yang hadir di Indonesia, yang hingga kini masih diyakini kebenarannya, bahwa bahasa inggris setara dengan bahasa ibu Indonesia, bahkan dianggap bahasa yang sangat penting untuk dipelajari. Dari segi jumlah, petanda lebih minim jumlahnya dari pada penandanya, sehingga mengakibatkan dalam praktiknya muncul sebuah konsep secara berulang-ulang dalam bentuk-bentuk berbeda. Bentuk-bentuk berbeda ini lah yang dipelajari dalam mitologi, karena adanya pengulangan konsep yang terjadi dalam berbagai bentuk (Sobur, 2004:71).

Mitos merupakan suatu wahana dimana suatu ideologi berwujud. Mitos dapat berangkai menjadi mitologi yang memainkan peranan penting dalam kesatuan-kesatuan budaya. Kita bisa menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang terdapat didalamnya (Sobur, 2004:129). Mitos ini sendiri tidak dibentuk melalui penyelidikan, tetapi melalui anggapan berdasarkan observasi kasar yang digeneralisasikan karena lebih banyak hidup didalam masyarakat. Sikap kita terhadap sesuatu ditentukan dengan mitos yang ada dalam diri kita. Mitos ini lah yang menyebabkan kita mempunyai prasangka tertentu terhadap sesuatu hal yang dinyatakan mitos (Wibowo, 2011:16-17). Mitos tidak hanya diciptakan dalam bentuk diskursus tertulis. Mitos ini tidak hanya berupa kata-kata lisan maupun tulisan, namun juga dalam berbagai bentuk lain atau campuran antara bentuk verbal dan nonverbal, seperti: Film, Komik, Video games, lukisan, fotografi, dan iklan. Semuanya dapat digunakan untuk menyampaikan pesan. Sama halnya dengan pendapat Barthes dalam simbolik komunikasi, mitos juga dapat diciptakan melalui produk sinema, fotografi, advertensi, olahraga, dan televisi (Sobur, 2004:208).

Dalam Sosiologi Durkheim, mitos merupakan suatu jenis tuturan yang hampir mirip dengan representasi kolektif. Barthes mengartikan mitos sebagai cara berpikir kebudayaan terhadap sesuatu, sebuah cara mengkonseptualisasi atau memahami sesuatu hal dan mitos tersebut merupakan serangkaian konsep yang saling berkaitan (Sudibyo, 2001:245). Mitos juga termasuk sistem komunikasi karena didalamnya terdapat suatu pesan. Maka, mitos bukanlah sebuah objek. Mitos lebih jauh lagi tidak ditentukan oleh objek atau materi (bahan) pesan yang disampaikan, melainkan oleh cara mitos tersebut disampaikan (Sobur, 2004:224).


(29)

2.2.2 Sensualitas Perempuan

Perempuan dan segala apa yang ada dalam dirinya kerap sekali menjadi pusat perhatian yang hangat dan menarik, terutama tentang apa yang Ia tampilkan melalui tubuh yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya. Tubuh perempuan kerap sekali bersahabat dengan istilah sensualitas. Dunia dewasa ini hadir dengan beragam konstruksinya terhadap tubuh perempuan itu sendiri. Tubuh perempuan bukan lagi menjadi miliknya sendiri, melainkan menjadi konsumsi oleh kepentingan banyak orang. Sensualitas itu sendiri diambil dari bahasa Inggris “Sensuality” yang berarti suatu keadaan atau kondisi dimana sesuatu hal dianggap sensual, baik secara fisik maupun tindakan yang mengarah kepada seksual atau kondisi yang menyentuh

kenikmatan tertentu

Kata sensualitas mengarah kepada akar kata ‘sense’ yang berarti indera. Sensualitas merupakan tataran imajinasi seksual individu terhadap objek yang dilihatnya. Imajinasi tersebut merupakan pengalaman menyenangkan, yang terjadi melalui penginderaan seseorang terhadap bentuk tubuh orang lain. Jennifer L.Hillman dalam bukunya ‘Clinical perspective on elderly sexuality”, menjelaskan pengalaman menyenangkan tersebuat akan menghasilkan sebuah kesenangan (pleasure) yang didapatkan melalui aktivitas seksual orang lain yang dirasakan melalui penginderaannya. Walaupun demikian, sensual tidak hanya didapatkan dengan mengikutserakan orang lain sebagi objek, tetapi juga bisa didapatkan melalui benda, gambar, suara yang bersentuhan langsung dengan penginderaannya.

Sensualitas bekerja dalam konteks yang ditentukan, dimana konteks tersebut mencakup lingkungan sosial, budaya, maupun opini publik. Dengan kata lain, sesuatu yang dapat dikatakan sensual merupakan apa yang selama ini disetujui oleh lingkungan sosial dan budaya dalam suatu lingkungan. Sensualitas perempuan kerap sekali dinilai berdasarkan tubuhnya dan bagaimana tubuh tersebut mengeluarkan daya tariknya. Daya tarik fisik muncul dari persepsi masyarakat yang memiliki latar belakang budaya terhadap ciri-ciri fisik individu yang dianggap menarik, indah, dan nyaman dipandang mata. Bahkan tak jarang, daya tarik fisik ini mempengaruhi daya

tarik seksual seseorang. Sehingga sensualitas pada dasarnya berawal dari

penginderaan seseorang terhadap sesuatu kemudian menjadi pleasure bagi mereka dan akhirnya dapat membangkitkan daya tarik seksual.


(30)

Tubuh perempuan secara fisik awalnya merupakan sebuah identitas yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, baik secara fungsi maupun konfigurasi anatominya. Tetapi disisi lain, tubuh perempuan menjadi sebuah masalah besar yang menggundang banyak orang untuk mengkonstruksinya berdasarkan latar belakang budaya yang mereka miliki masing-masing. Konstruksi yang terbentuk membuat posisi perempuan terhegemoni oleh dominasi laki-laki. Tubuh perempuan sering dianggap sebagai penggoda yang memaksa laki-laki untuk memangsanya.

Karena dari payudaranya ia meracuni kesusilaan dari kedua pahanya dan selangkangannya ia membuat lelaki tergiur memperkosa, dan dari tatapan serta bibirnya ia membuat jantung lelaki berdebar keras dan segera meninggalkan istri-istri mereka. Dari pernyataan tersebut mununjukkan bagaimana imanijasi laki-laki akan merangsang hasrat seksualnya bila melihat tubuh perempuan yang ditampilkan dengan menonjolkan daya tarik seksual perempuan tersebut. Selama bertahun-tahun peran perempuan di media digambarkan hanya sebagai seorang obyek seks atau

memiliki peran dalam hal domestik saja

Termasuk dalam dunia game, yang hampir sering menampilkan anime perempuan dengan wujud “penghibur”, melalui karakter perempuan, pakaian seksi, dan bentuk tubuh yang proporsional. Keindahan tubuh perempuan memang selalu menjadi daya tarik yang tak terbantahkan dikalangan laki-laki, sehingga membuat banyak orang sering sekali memasukkan unsur-unsur ini dalam media massa, hingga dunia game. Bahkan, daya tarik tersebut dijadikan sebagai potensi komersial yang pada ujungnya membuat perempuan menjadi sasaran eksploitasi. Tubuh perempuan seperti menciptakan visual pleasure bagi kaum laki-laki. Perempuan ditempatkan dalam posisi ‘objek’ yang bertugas sebagai pemuas kebutuhan laki-laki.


(31)

2.3 Model Teoritis

Gambar. 2.3

Bagan Model Teoritik Penelitian Representasi Sensualitas Perempuan dalam Game Seven Sin

Objek Penelitian

Gambar Video Game Seven Sin level 1,2,3,dan 6

Semiotika Roland Barthes

1. Denotasi 2. Konotasi 3. Mitos

1. Representasi Sensualitas Perempuan dalam Game Seven Sin


(32)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu strategi yang digunakan secara menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian. Metode penelitian perlu dibedakan dari teknik pengumpulan data yang merupakan teknik yang lebih spesifik untuk memperoleh data (Soehartono, 2008:9). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif yang didasarkan pada penafsiran, dengan konsep-konsep yang umumnya tidak memberikan angka numerik, seperti etnometodologi atau jenis wawancara tertentu. Dalam penelitian ini ada dua hal yang ingin dicapai, yaitu: (1) menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut; dan (2) menganalisis makna yang ada di balik informasi, data dan proses suatu fenomena sosial itu. Berdasarkan tujuan yang kedua, peneliti menggunakan analisis semiotika untuk metode penelitian yang sifatnya memaparkan situasi ataupun peristiwa dengan melukiskan variabel satu demi satu (Rakhmat, 2006: 25).

Dalam kajian komunikasi, teknik penelitian dengan menggunakan analisis semiotika ini cenderung lebih banyak mengarah pada sumber penerimaan pesan. Teknik ini juga dikategorikan kedalam penelitian interpretatif dan subjektif, karena sangat mengandalkan kemampuan dan kecermatan peneliti dalam menafsirkan suatu tanda. Penelitian dengan menggunakan analisis semiotika ini selalu melibatkan dan menuntut daya pikir, pengalaman, budaya, dan emosi setiap manusia dalam pertemuaannya dengan suatu tanda. Maka penelitian ini memberi peluang yang besar bagi dibuatnya interpretasi-interpretasi alternatif. Pendekatan penelitian ini mengedepankan penyajian data secara terstruktur serta memberikan gambaran terperinci tentang objek penelitian dalam beberapa pesan komunikasi dalam bentuk tanda-tanda.

Dalam penelitian ini, analisis semiotika yang dipilih adalah semiotika Roland Barthes, yaitu penelitian yang mencari makna penanda, petanda dan


(33)

tanda-tanda semiotik yang ada, dengan signifikasi dua tahap (two order signification). Analisis dengan cara Semiotika Roland Barthes digunakan dalam penelitian ini, karena hal itu mampu memaknai tanda pada media visual seperti Video Game dan menekankan pada peran pembaca atau pengamat, baik secara denotasi dan konotasi. Hal ini didasari oleh, tanda tidak akan berdiri sendiri tanpa ada makna didalamnya, dalam hal ini peneliti ingin membongkar makna yang selama ini tersembunyi, khususnya dalam game seven sin ini dalam menggambarkan sosok seorang perempuan. Sekalipun sebuah tanda telah memiliki makna denotasi ataupun konotasi, tetapi tetap saja dibutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Analisis ini

menggunakan kode-kode komunikasi yang terdapat pada Video Game nantinya yang

akan dicari makna riil-nya (denotasi), kemudian hubungan antara satu tanda dengan tanda lainnya akan dicari makna tersirat di dalamnya (konotasi).

Penelitian ini juga menggunakan paradigma kritis, yang memandang realitas tidak ada yang benar-benar riil, karena realitas yang muncul sebenarnya adalah realitas semu yang terbentuk bukan melalui proses alami, tetapi oleh proses sejarah, kekuatan sosial, politik, dan ekonomi serta dibentuk manusia sendiri. Realitas tersebut dibentuk oleh kelompok-kelompok dominan, dengan cara manipulasi, mengkondisikan orang lain agar punya penafsiran dan pemaknaan seperti yang kelompok itu inginkan. Oleh karena itu, apa yang disebut realitas sering kali bukanlah realitas, melainkan hanya ilusi yang menyebabkan distorsi pengertian dalam masyarakat (Eriyanto, 2001:56).

3.2 Objek penelitian

Dalam penelitian ini objek yang akan diteliti adalah Game seven sin . Game ini dipilih karena, didalam game ini sangat banyak menampilkan tokoh atau karakter seorang perempuan dalam bentuk animasi dalam setiap levelnya. Game ini terdiri dari tujuh bagian (7 level), tetapi peneliti hanya meneliti dari level 1,2,3,dan 6, dikarenakan dalam level ini yang banyak terdapat tanda-tanda representasi sensualitas perempuan. Khusus untuk penelitian ini, yang dianalisis adalah semua hal yang berhubungan dengan penggambaran sosok sensualitas seorang perempuan, baik dari gambar atau animasi yang ditampilkan, kostum (pakaian), dan bagaimana Ia diperlakukan dalam adegan level 1,2,3, dan 6. Video game yang akan diteliti


(34)

diperoleh dari media youtube dan dari Video Game yang dimainkan peneliti melalui Komputer.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka penelitian tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar yang ditetapkan (Sugiyono, 2009 :224).

1. Studi Dokumen ( Document Research)

Penelitian dilakukan dengan menggumpulkan gambar-gambar dari video game seven sins dari level 1,2,3, dan 6, yang dianggap berkaitan dengan penelitian. Kemudian, peneliti mengamati secara langsung pada objek yang diteliti sehingga dapat memahami makna yang terkandung didalamnya. Objek penelitian dideskripsikan dan dianalisis dengan menggunakan semiotika Roland Barthes dengan melihat data primer dari Video Game Seven Sins yang sudah dikumpulkan melalui media youtube dan dari hasil screen shot melalui video game yang dimainkan peneliti langsung dari Komputer.

2. Studi Kepustakaan ( Library Research)

Penelitian dilakukan dengan cara mengumpulkan semua data yang berasal dari literatur serta bahan bacaan yang relevan dengan penelitian ini. Studi kepustakaan dalam penelitian ini menghasilkan berbagai data yang didapatkan dari buku-buku mengenai analisis semiotika, semiotika Roland Barthes, Feminisme, dan beberapa bacaan yang relevan serta mendukung penelitian. Selain itu juga beberapa artikel dan jurnal yang diambil dari internet .


(35)

3.4 Kerangka Analisis

Dalam penelitian ini unit analisis yang diambil berupa gambar animasi video game seven sins yang diperoleh dari media youtube dan hard copy video game seven sin. Gambar yang diambil dan diteliti dalam game ini diambil dari level 1,2,3, dan 6 yang didalamnya terdapat elemen yang menggambarkan sensualitas seorang perempuan, baik melalui gambar perempuan yang ditampilkan, kostum (pakaian), hingga teks pembicaraan selama game berlangsung. Kemudian penelitian ini selanjutnya dianalisis dengan menggunakan level tanda yang terdiri dari denotasi, konotasi, dan mitos berdasarkan konsep Roland Barthes. Hal ini dilakukan ini untuk

melihat bagaimana perempuan digambarkan dalam video game seven. Roland

Barthes menggunakan istilah two orders of signification. First order of signification adalah denotasi. Sedangkan konotasi adalah second order of signification.

Tatanan pertama mencakup penanda dan petanda yang mengarah kepada suatu tanda atau objek ,yang berarti tahap realitas eksternal atau makna penting nyata dari sebuah tanda atau objek itu sendiri. Dalam hal ini denotasi sering disebut dengan makna yang sebenarnya dan makna yang digeneralisasi. Sedangkan signifikasi tahap kedua (second order of signification) menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya, yang disebut sebagai konotasi. Penelitian juga ditinjau dari segi mitos, yang juga sering disebut signifikasi tahap kedua. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang sudah mempunyai suatu dominasi. Menurut Barthes, mitos dan ideologi merupakan kerja pemaknaan dengan menaturalkan interpretasi tertentu dari individu yang khas secara historis. Mitos dapat menjadikan pandangan dunia tertentu, tampak tak terbantahkan karena alamiah atau ditakdirkan Tuhan. Mitos memberikan tindakan historis suatu justifikasi alamiah, dan menjadikan berbagai peristiwa yang tidak terduga menjadi abadi.


(36)

3.5 Teknik Analisis Data

Penelitian ini akan diteliti dengan menggunakan teknik dan aspek dari pendekatan kerangka analisis Roland barthes, Signifikasi dua tahap (two order signification), denotasi dan konotasi.

1. Tataran Denotatif

Setiap objek penelitian dipaparkan sesuai dengan yang terdapat pada Video Game Seven Sin dari level 1,2,3,dan 6, dan terbatas pada gambar yang menampilkan sensualitas perempuan saja. Kemudian setiap adegan gambar dari setiap level permainan akan dipecah menjadi beberapa gambar yang berbeda, dan kemudian akan dipilih gambar yang akan dianalisis yang sesuai dengan topik yang hendak diteliti. Dalam video tersebut berisi beberapa cerita yang berbeda dan terdiri dari gambar, teks dan tanda-tanda lainnya seperti kostum serta karakter yang dibentuk, yang

akan menjelaskan makna secara eksplisit. Selanjutnya makna yang berada

pada tataran denotasi ini akan berkembang dan menghasilkan representasi tertentu pada tahap konotasi.

2. Tataran Konotasi

Pada tataran ini akan dideskripsikan penggunaan makna implisit pada objek penelitian sesuai dengan alur cerita yang terdapat pada Video Game Seven Sins. Bagaimana gambar diperlakukan dengan mengombinasikan berbagai sudut pandang (angel), dan fokus, sehingga dapat menghasilkan suatu makna.

Dalam penelitian ini peneliti menempatkan diri sebagai posisi fasilitator yang akan menafsirkan tanda-tanda maupun pesan dalam Video Game Seven Sin yang diperoleh dari media youtube dan hasil sreen shot langsung dari video game yang dimainkan langsung peneliti serta akan dideskripsikan ketika menyampaikan analisisnya. Dalam meneliti Video Game Seven Sin ini, peneliti menggunakan cara-cara sebagai berikut :

1. Video Game Seven Sins dari level 1,2,3,dan 6, peneliti dapatkan dengan men-download game tersebut, kemudian memainkannya sendiri, lalu video


(37)

tersebut di-sreen shot langsung dari video game yang peneliti mainkan melalui Komputer, untuk mendapatkan gambar-gambar yang mendukung penelitian.

2. Ada dua aspek penting yang menjadi fokus perhatian utama yaitu Aspek visual berupa penggambaran tokoh perempuan yang ditampilkan secara animasi, baik dari kostum yang digunakan hingga bagaimana perempuan diperlakukan dalam game tersebut. Aspek kedua berupa audio yang berupa sound dari video tersebut, gaya bahasa dan pilihan kata yang digunakan dalam Video Game Seven Sins baik secara verbal maupun non verbal.

3. Dalam penelitian ini, peneliti akan memilah tiap scene yang terdiri dari beberapa gambar yang berbeda dan kemudian akan diteliti secara eksplisit dan implisit makna yang terkandung dalam setiap scene pada video game tersebut.


(38)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Objek yang akan diteliti pada penelitian ini adalah sebuah game yang bernama Seven Sin yang dibuat oleh perusahaan Monte Cristo. Penelitian dilakukan pada beberapa level yang menampilkan tokoh perempuan dalam video game Seven Sin, yaitu level 1,2,3, dan 6. Peneliti fokus pada gambar-gambar maupun adegan yang didalamnya ada bagian yang merepresentasikan bagaimana sisi sensualitas seorang perempuan, dengan melihat tanda-tanda maupun simbol-simbol yang mewakili sisi sensualitas perempuan, aspek visual seperti gambar animasi perempuan ditampilkan, kostum yang digunakan dan aspek audio berupa pembicaraan yang berlangsung yang melibatkan tokoh perempuan, gaya bahasa serta pemilihan kata yang dipakai. Meskipun demikian, peneliti tidak melepaskan peran dari semua bagian dalam game seven sin, walaupun ada beberapa gambar atau adegan yang tidak memiliki hubungan terhadap representasi sensualitas perempuan, karena peneliti menganggap bahwa peran dari setiap bagian tersebut tetap penting untuk mendukung peneliti mengerti bagaimana alur cerita dan melihat secara keseluruhan bagaiman game ini merepresentaikan sensualitas seorang perempuan dalam setiap levelnya.

Penelitian ini akan melihat dan menganalisis tanda-tanda yang ada didalam setiap gambar yang ditampilkan dengan menggunakan analisis Semiologi Roland Barthes, dengan menggunakan makna denotatif dan makna konotasi yang muncul dalam setiap gambar dalam video game seven sin, untuk melihat penggambaran game ini terhadap sisi sensualitas perempuan dan bagaimana sisi sensualitas ini diperlakukan. Penelitian berbau semiotika sering sekali dianggap tidak bebas nilai atau sangat subjektif. Hal ini terjadi karena dalam penelitian semiotika, peran pembaca atau peneliti sangat mempengaruhi hasil dari penelitian. Hal ini juga yang disadari oleh peneliti. Penelitian yang dilakukan peneliti akan bersifat subjektif, karena peran dari peneliti sangat mempengaruhi representasi dan analisis makna yang akan disajikan. Penilaian tersebut akan dipengaruhi oleh kebudayaan, cara


(39)

pandang dan pemikiran yang dianut si peneliti sendiri, yang sering disebut dengan mitos. Oleh karena itu lah, dalam analisis semiologi Roland Barthes tidak bisa terlepas dari yang namanya mitos. Mitos merupakan bagian dari tataran kedua dari signifikasi dua tahap yang disampaikan oleh Barthes. Mitos cenderung dikaitkan dengan makna konotatif, karena dibutuhkan keaktifan peneliti dalam menafsirkan tanda, melalui nilai-nilai yang dianutnya, baik kebudayaan, keyakinan, cara pandang, bahkan pemikiran dalam menganalisis suatu hal. Makna-makna yang diperoleh dari hasil analisis melalui makna denotatif, konotatif dan mitos akan disimpulkan dengan mengarahkan hasil dari tataran makna tersebut dan akhirnya bisa dilihat bagaimana developer game ini merepresentasikan sensualitas seorang perempuan.

Peneliti dalam penelitian ini akan mencari literatur-literatur, buku, dan referensi lain yang dapat membantu peneliti dalam meneliti makna sensualitas perempuan dalam game. Peneliti juga memanfaatkan media lain, seperti youtube, untuk membantu mengumpulkan gambar video game seven sin, serta melakukan screen shot langsung dari video game seven sin ketika peneliti memainkan langsung game ini di Komputer. Game seven sin ini langsung dimainkan oleh peneliti sebagai pemain, dimana peneliti akan menganalisis terlebih dahulu penampilan dan kostum perempuan yang dikonstruksikan oleh developer game ini, kemudian akan menganalisis bagaimana sensualitas perempuan tersebut digambarkan melalui alur cerita dalam setiap level game seven sin ini.

Peneliti juga akan membongkar makna yang selama ini tersirat didalamnya. Makna yang didapatkan dari apa yang ditampilkan game ini, diperoleh dari komunikasi yang dibentuk oleh developer game dalam setiap adegan dalam setiap level. Komunikasi yang terjadi dapat dilihat melalui komunikasi verbal maupun non verbal yang developer game ciptakan sendiri. Komunikasi verbal yang terjadi dalam game ini dapat dilihat dari bagaimana developer game mengungkapkan secara langsung gambaran sensualitas perempuan, dengan bahasanya sendiri, melalui komunikasi interpersonal (antarpersonal) yang terjadi antar setiap tokoh dalam setiap levelnya. Dalam komunikasi ini pesan disampaikan secara langsung oleh komunikator kepada komunikan. Komunikasi interpersonal (antarpersonal) yang disoroti adalah komunikasi yang terjadi antara tokoh animasi berwujud seorang laki-laki dan perempuan.


(40)

Melalui komunikasi ini, pesan yang dibentuk oleh developer game akan lebih mudah untuk dianalisis peneliti, dari bagaimana dua tokoh dalam setiap adegan berkomunikasi, apa yang mereka bicarakan, hingga apa makna dibalik pembicaraan mereka yang mengarah pada penggambaran sensualitas perempuan. Salah satu contoh perkataan yang diucapkan oleh salah seorang tokoh laki-laki dalam level pertama kepada lawan bicaranya yang merupakan seorang perempuan, yaitu It's so rare to see such a perfect proportioned woman” yang berarti sangat langka untuk melihat tubuh perempuan yang sangat proporsional dan sempurna. Kutipan percakapan ini disertai dengan gerakan tubuh perempuan yang sibuk memamerkan payudaranya yang besar dan badannya yang langsing bagaikan gitar spanyol. Dari kutipan pembicaraan diatas, terlihat bahwa sisi sensualitas perempuan dikonstruksikan berdasarkan penilaian laki-laki melalui daya tarik fisik dan apa yang ditampilkan dalam tubuhnya. Perempuan dianggap punya tubuh sempurna dan proposional, jika bertubuh langsing tanpa lemak dan payudara yang besar.

Komunikasi intrapersonal juga menggambil peran dalam merepresentasikan sisi sensualitas seorang perempuan dalam game ini. Komunikasi Intrapersonal adalah proses komunikasi yang terjadi dengan diri sendiri, dimana hal ini terjadi karena adanya suatu objek yang sedang diamatinya dan merangsang panca indra bahkan pemikirannya untuk memberi arti pada objek tersebut (Cangara, 1998:30-31). Developer game seven sin ini memasukkan unsur komunikasi intrapersonal melalui avatar pemain dalam game seven sin. Avatar atau gambar animasi pemain hanya diwakilkan oleh tokoh seorang laki-laki. Tokoh laki-laki ini akan mendeskripsikan sendiri setiap tokoh perempuan yang ditampilkan dalam setiap level. Hal ini dapat dilihat dari gaya bahasa yang ditampilkan developer game, yang mengarah pada pemikirannya, ketika melihat sosok perempuan sedang berdiri dihadapannya. Komunikasi intrapersonal terjadi saat pemain yang diwakilkan dalam animasi laki-laki mendekati seorang perempuan, maka akan keluar secara otomatis, deskripsi tentang karakteristik dan sisi sensualitas perempuan yang sedang berdiri dihadapannya, bahkan bisa melalui komunikasi intrapersonal ini akan membuahkan sebuah tindakan bagaiman Ia memperlakukan sisi sensualitas tersebut.

Hal ini menunjukkan, adanya proses komunikasi intrapersonal yang terjadi pada laki-laki tersebut ketika Ia menemukan sebuah “objek” dan merangsangnya


(41)

untuk memberi penilaian terhadap “objek” tersebut. Pesan yang diperoleh dari komunikasi intrapersonal yang dibangun oleh developer game ini semakin mempermudah peneliti dalam melihat sudut pandang developer game dalam menilai sensualitas perempuan. Developer game ini juga menampilkan bentuk komunikasi non verbal. Komunikasi nonverbal yang terjadi dalam game ini terjadi hampir bersamaan dengan komunikasi verbal. Walaupun demikian, komunikasi nonverbal lebih mendominasi tampilan pada game ini.

Komunikasi nonverbal ini adalah acuan penting yang digunakan peneliti untuk mengklasifikasikan bagian mana yang menggambarkan sensualitas perempuan, baik dari pakaian, gaya rambut, gerak-gerik saat komunikasi berlangsung, ekspresi, suara musik, cara berjalan, bahkan perasaan yang dimunculkan dari setiap tokoh perempuan. Dan dari komunikasi nonverbal inilah peneliti dapat menangkap pesan dari sebuah makna akan sensualitas perempuan yang dikonstruksi oleh developer game.

Dalam berkomunikasi tidak bisa terlepas dari bahasa. Komunikasi verbal maupun nonverbal pastilah selalu menggunakan bahasa, baik lisan, tulisan, maupun isyarat. Bahasa yang digunakan oleh pembuat game ini tidak sekedar pengungkapan nyata maksud dari developer game, namun ada banyak pemaparan yang mengharuskan peneliti melihat lebih dalam lagi makna yang dikehendaki dari developer game. Bahasa yang digunakan oleh developer game disini adalah bagaimana Ia berusaha menampilkan dan mencoba menciptakan suatu konstruksi akan sensualitas perempuan dan bagaimana sensualitas itu diresponi oleh lawan jenisnya. Ia membentuk suatu konstruksi tubuh perempuan yang selalu digambarkan dengan wujud yang sempurna dan bagian-bagian sensitif tubuhnya yang mengeluarkan makna yang mengiurkan. Bahkan muncul sebuah realisme palsu bahwa sisi sensulitas tersebut adalah objek seks laki-laki. Hal ini didapati dari setiap pola dalam membangun karakter dan citra seorang perempuan hampir di setiap levelnya, tidak pernah terlepas dari seks dan alat pemuas kebutuhan laki-laki. Developer game berusaha menggambarkan bahwa perempuan dalam game ini senang diperlakukan seperti itu dan tidak memberi perlawanan sedikitpun, ketika laki-laki itu berhasil mengetahui sisi sensitifitas setiap perempuan itu.


(1)

5.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti mencoba mengajukan beberapa saran yang kiranya dapat menjadi masukan yang bermanfaat yaitu :

1. Saran dalam kaitan penelitian, semiotika merupakan penelitian yang menuntut keaktifan peneliti dalam memaknai dan mencari mitos apa yang berkembang dibalik suatu tanda. Hendaknya para peneliti-peneliti lain yang ingin melakukan analisis semiotika harus menambah wawasan sebanyak-banyaknya dengan membaca buku, jurnal, sampai berdiskusi dengan orang yang dianggap dapat memberi tambahan pengetahuan mengenai objek analisisnya agar kajian mendalam dapat dicapai.

2. Saran dalam kaitan akademis, sebaiknya para peneliti lain yang ingin melakukan kajian semiotika mempelajari mengenai paradigma krits. Paradigma ini memberikan ruang bagi semiotika yang tidak hanya melakukan kajian tanda sebagai teks tetapi juga mengaitkan dengan konteks dibaliknya melalui cara berpikir kritis seorang peneliti. Kritis dalam paradigma ini berarti proses berpikir kritisnya dengan melihat struktur kekuasaan yang menindas sebuah golongan bahkan merugikan. Dan peneliti juga berharap agar, mahasiswa lebih dibekali dengan ilmu semiotika melalui materi kuliah yang lebih mendalam, agar saat melakukan penelitian ini peneliti sudah memiliki sedikit bekal.

3. Saran dalam kaitan praktis, Agar orang tidak mudah terpengaruh dengan apa yang dilihatnya lalu menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang general. Perlu dilakukan pengamatan apakah benar seperti itu atau tidak. Perlu peran semua pihak dalam mengatasi perkembangan game yang didalamnya terdapat konstruksi nilai-nilai amoral. Peran orang tua yang harus mendampingi anak-anaknya yang belum cukup umur dalam memilih game yang mereka jadikan sebagai sarana bermain. Peran pemerintah yang harus gesit dan peka dengan perkembangan jaman yang sudah menyerang pemikiran masyarakat, khususnya kaum muda bahkan anak dibawah umur tidak lagi dengan video porno tetapi video game yang awalnya dianggap hanya sebagai hiburan. Seharusnya pemerintah memberikan perhatian untuk memperketat jalur masuknya game-game luar yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan


(2)

Indonesia, mungkin dengan membuat Undang-undang yang mengatur peredaran gamedan tidak memandang remeh kekuatan video game yang bisa menghancurkan moral bangsa.

5.3 Implikasi Teoritis

Implikasi teori adalah bagian dimana peneliti dapat melihat sejauh mana peneliti menggambarkan teori yang digunakan mampu menjawab penelitian yang sedang diteliti dan sejauh mana teori itu mendukung serta membantu peneliti untuk melakukan penelitian. Berdasarkan hasil penelitian, kajian studi semiotika Roland Barthes telah berhasil mendapatkan makna tanda-tanda dan mitos yang telah dibangun dalam video game seven sin yang berkaitan dengan penggambaran sisi sensualiats. Dalam penelitian ini digunakan teori Signifikasi Dua Tahap Roland Barthes, yaitu menggabungkan konsep denotasi dan konotasi serta tidak mengabaikan peran peneliti sendiri yang sangat banyak mempengaruhi penafsiran tanda-tanda tersebut.

Selama ini ada kecenderungan melihat Video game hanyalah sebagai sebuah permainan biasa yang bertujuan sebagai penghibur dan penghilang stress. Melalui penelitian ini ditegaskan bahwa Video game memiliki pengaruh untuk menguatkan atau meleburkan suatu pandanga. Dimana Video game mengalami pergerakan fungsi dari sebuah alat permainan dan penghibur, menjadi media komunikasi yang didalamnya menjadi sarana untuk menyalurkan stigma-stigma negatif untuk merusak mental dan moral masyarakat, khususnya kaula muda yang merupakan Agent of change. Video game disadari atau tidak secara perlahan-lahan akan menjadi senjata untuk mengkudeta suatu bangsa, sehingga menjadi bangsa yang terjajah.

Sistem yang digunakan dengan cara mengikat kaum muda, yang masih dalam masa ingin tahu, mencoba segalanya dan yang akan menjadi calon penerus bangsa kedalam konstruksi video game yang sangat buruk bahkan merusak mental kaum muda. Sehingga ketika kaum muda hancur, maka secara otomatis Negara tersebut akan muda dihancurkan. Adegan-adegan dalam video game termasuk dalam komunikasi visual, dimana setiap komunikasi apapun jenisnya pasti mengandung pesan yang ingin disampaikan. Para developer game dan publisher game kemungkinan besar menyadari hal ini dan menjadikannya sebagai jalan masuk untuk


(3)

mendapatkan perhatian masyarakat. Video game yang didalamnya terdapat konstruksi nilai-nilai amoral tidak bisa dianggap remeh, sebab disadari atau tidak pengaruh terpaan media ini akan mempengaruhi pola pikir dan cara bertindak seseorang.

5.4 Praktis

Secara praktis agar baik developer game atau publisher game dapat mempertimbangkan isi dari video game buatan mereka. Perusahaan game yang memang fokus dalam pembuatan game sebaiknya memposisikan diri dengan menghasilkan game-game yang berkualitas sesuai dengan tingkatan umur yang akan memainkannya. Tidak hanya sekedar mencari profit, tetapi mengutamakan kualitas yang dapat membangun kearah yang lebih baik. Produk-produk game yang telah dirancang sedemikian rupa, ketika dilepaskan ke pasar pasti akan mengalami perjalanan yang panjang hingga sampai ketangan para gamers. Disinilah salah satu peran perusahaan game untuk mengatur akses perjalana video game dengan baik dan benar, sehingga tidak akan ada pembajakan game hingga orang dengan mudah mendapatkan game-game ini melalui internet maupun kaset bajakan yang dijual dipasaran.

Game harus dimainkan sesuai dengan tingkatan umur. Seperti yang sering terjadi, banyak akses yang mempermudah untuk mendapatkan game-game yang didalamnya banyak konten-konten dewasa dan konstruksi sesuatu hal. Peredaran game illegal ini akan mempengaruhi pola pikir masyarakat. Orang-orang sering mempersepsi dari apa yang dilihatnya tanpa melakukan verifikasi apakah memang seperti itu atau tidak, bahkan tidak dapat menghindari terpaan media yang begitu kuat mengrogoti pemikirannya. Gambaran yang “diteriakkan” video game ini nantinya dapat terinternalisasi dalam diri gamers sehingga membuatnya bersikap seperti apa yang ditampilkan dalam game ini. Akan muncul begitu banyak stereotip terhadap tubuh perempuan bahkan kesalahan yang paling fatalnya adalah tingkat kriminalitas akan perkosaan dan pelecehan seksual akan semakin meningkat. Akibat terpaan media game yang “memaksa” gamers untuk mengaplikasikan apa yang dilihatnya dalam permainan tersebut.

Mengingat kemungkinan ini akan terjadi, maka sebaiknya pemilihan bahasa verbal dan gambar yang akan dikomunikasikan melalui adegan atau gambar


(4)

sebaiknya dipertimbangkan melalui berbagai aspek agar efek yang ditimbulkan memberi kebaikan baik kepada segala pihak. Apalagi video game biasanya diproduksi memiliki tingkat permainan dengan durasi yang tidak singkat dan dapat dimainkan secara berulang-ulang dimanapun serta kapanpun, maka kemungkinan akan menimbulkan efek yang juga harus diperhatikan.

Efek yang timbul dari konstruksi yang dibentuk tidak boleh dipandang sebelah mata, terlebih konstruksi yang dilakukan menyangkut suatu karakter sebuah golongan atau gender. Oleh karena itu, diperlukan peran berbagai pihak untuk meredam stigma buruk tersebut dengan membentengi diri dengan media literasi yang baik dan nilai-nilai agama yang kuat. Menjadi orang-orang yang melek media dan kritis terhadap apa yang media visual seperti video game sajikan ketengah kehidupan sosial dan tidak dengan mudah masuk dalam perangkap sistem ekonomi perusahaan game yang ingin meraup keuntungan dengan mengkambing-hitamkan sebuah golongan atau gender.


(5)

Daftar Referensi

Berger, Arthur Asa 2000. Media Aanalysis Technique. Second edition. Alih Bahasa Setio Budi HH. Yogyakarta, Universitas Atma Jaya.

Birowo, Antonius.M,2004. Metode Penelitian Komunikasi. Yogyakarta: Gitanyali. Bungin, Burhan. 2008. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus

Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Gruop.

Cangara, Hafied. 2006. Pengantar ilmu komunikasi. Jakarta: PT raja grafindo persada

Daulay, Harmona.2007. Perempuan dalam Kemelut Gender. Medan: USU Perss Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS

Yogyakarta

Fiske, Jhon.1990. Introduction to communication studies. Second edition. London:Methuen &Co. ltd

Griffin, Emory. A, 2000. A First Look at Communication Theory (Fourth Edition). McGraw Hill, New York.

Kriyantono,Rachmat.2006. Teknik Praktis Riset Komunikasi : Disertai Contoh praktis riset media, public relation, advertising, komunikasi organisasi, komunikasi pemasaran. Jakarta: Putra Grafika.

Littlejhon, Stephen W. 1996. Theories of Human Communication. Fifth edition. Belmont, California: Wadsworth Publishing Company.

Martinet, Jeanne.2010. Semiologi: Kajian Teori Tanda Saussuran. Terjemahan oleh Stephanus aswar. Yogyakarta: Jalasutra.

Morrisan & Andy Cory Wardani. 2009. Teori Komunikasi. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Piliang,Yasraf Amir. 2004. Posrealitas Realitas Kebudayaan dalam era Postmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra

Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana,

Analisis Semiotika, dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.


(6)

Sudibyo, Agus.2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKIS Soehartono, Irawan.2008. Metode Penelitian Sosial: Suatu Teknik Penelitian Bidang

Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung :Remaja

Rosdakarya.

Sugihastuti, Itsna Hadi Saptiawan. 2007. Gender & Inferioritas Perempuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sugiyono, Dr.Prof.2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabet.

Wibowo, Indiwan.2011.Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Sumber lain

Maret 2013, pukul 11.00 WIB.

tanggal 2 maret 2013, pukul 21.00 WIB.

2013, pukul 10.00 WIB

WIB

tanggal 24 September 2013, pukul 11.00 WIB

tanggal 24 September 2013, pukul 11.00 WIB

Mariana Amiruddin, “Media Hancurkan Persepsi Tubuh

Perempuan”,www.yjp.go.id. ( diakses pada 4 Desember 2012 )

Desi miherlina, Konsep Dosa Menurut Pandangan Agama Kristen Katolik dan Islam

(Studi Komparatif).


Dokumen yang terkait

REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN PADA IKLAN POMPA AIR SHIMIZU DI TELEVISI (Studi Semiotika Tentang Representasi Sensualitas Perempuan Pada Iklan Pompa Air Shimizu di Televisi).

2 14 115

REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN PADA IKLAN POMPA AIR SHIMIZU DI TELEVISI.

13 62 115

REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM IKLAN AXE (Studi semiotik representasi sensualitas perempuan dalam iklan axe versi axe effect di televisi).

6 11 197

REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM IKLAN KONDOM SUTRA VERSI GOYANG KAMASUTRA JULIA PEREZ ( Studi Semiotika Tentang Representasi Sensualitas Perempuan Dalam Iklan Kondom Sutra Versi Goyang Kamasutra Julia Perez Di Televisi ).

10 42 86

Representasi Sensualitas dalam Iklan Par

0 0 12

REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM IKLAN KONDOM SUTRA VERSI GOYANG KAMASUTRA JULIA PEREZ ( Studi Semiotika Tentang Representasi Sensualitas Perempuan Dalam Iklan Kondom Sutra Versi Goyang Kamasutra Julia Perez Di Televisi )

0 0 22

REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN DALAM IKLAN AXE (Studi semiotik representasi sensualitas perempuan dalam iklan axe versi axe effect di televisi) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Program Studi Ilmu Komu

0 0 107

REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN PADA IKLAN POMPA AIR SHIMIZU DI TELEVISI

0 0 16

REPRESENTASI SENSUALITAS PEREMPUAN PADA IKLAN POMPA AIR SHIMIZU DI TELEVISI (Studi Semiotika Tentang Representasi Sensualitas Perempuan Pada Iklan Pompa Air Shimizu di Televisi)

0 1 99

BAB I PENDAHULUAN - REPRESENTASI SENSUALITAS DALAM IKLAN “COOLANT JUS BELIMBING” (Studi Deskripstif Kualitatif Representasi Sensualitas Perempuan Dalam Iklan Coolant Jus Belimbing di Televisi)

0 0 7