101
BAB VI
KEBIJAKAN DAN IMPLEMENTASI HAK SAKSI DAN KORBAN DI INDONESIA TAHUN 2016
6.1 Pengantar
Dari segi legislasi, sepanjang tahun 2016 sediit sekali perkembangan yang menjanjikan terkait perlindungan dan hak-hak korban. Ada banyak Rencana Peraturan terkait hak-hak korban yang saat ini
berada dalam Kementerian Hukum dan HAM yang belum diselesaikan yakni revisi atas PP 44 Tahun 2008 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban. Revisi PP ini dianggap terlambat, karena
UU yang memandatkannya yakni UU No 31 Tahun 2014 terkait revisi UU perlindungan saksi dan korban telah terbit hampir 1,5 tahun lalu.
Demikian juga Rancangan Peraturan Presiden Tentang Hak Anak Korban Dan Anak Saksi dan Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Pemberian Restitusi Anak, kedua rancangan belum
diselesaikan. Sedangkan Kementerian Keuangan Negara memiliki kewajiban menuntaskan revisi Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian berdasarkan mandat dari
Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015 yang sebenarnya jatuh tempo pada Tanggal 8 Juni 2016.
Satu satu regulasi yang cukup diapresiasi adalah Peraturan MA Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. Perma ini disahkan oleh pemerintah lewat
Kemenkumham Tanggal 29 desember 2016. Lahirnya perma ini maka ada regulasi baru yang mengisi kekosongan penanganan perkara pidana terkait korporasi, khususnya pembayaran restitusi Pasal 20.
Pengaturan pembayaran restitusi korban oleh korporasi merupakan penguatan yang sangat signifikan bagi perlindungan hak-hak korban kejahatan.
Dari segi implementasi perlindungan saksi korban, secara nasional, perkembangan di tahun 2016 yang terlihat berada dalam lingkup kewenangan LPSK, di tahun 2016 ini, di LPSK tercatat sebanyak
1720 permohonan perlindungan yang masuk, dan ada sebanyak 836 pemohonan yang diputuskan diterima oleh Rapat Paripurna di tahun 2016. Walaupun di tahun 2016 ini LPSK masih memberikan
perlindungan kepada terlindung di tahun-tahun sebelumnya sebanyak 1695 terlindung. Sehingga jumlah keseluruhan terlindung sampai saat ini yaitu sebanyak 2.531 terlindung. Dari 2.531 terlindung,
berdasarkan Jenis Layanan yang diberikan oleh LPSK yaitu Perlindungan Fisik, Layanan Medis, Psikologis, Psikososial, Restitusi, Kompensasi dan lain-lain Tahun 2016.
Tabel 6.1. Data Terlindung LPSK Berdasarkan Jenis Kasus Yang Dihadapi No
Jenis Tindak Pidana Jumlah Terlindung
1 Korupsi
163 orang
102 2
TPPO 165 orang
3 Penganiayaan
105 orang 4
Kek.seksual 76 orang
5 Penggelapan Pajak
1 orang 6
Pidum 145 orang
7 PHB
1829 orang 8
Terorisme 47 orang
Total 2.531 orang
Tabel 6.2. Data Berdasarkan Jenis Layanan Yang Diberikan Oleh LPSK
No Jenis Tindak
Pidana Jumlah
Terlindung Jenis Layanan
Jumlah Layanan
Hak Prosedural
Fisik Medis
Psikologis Restitu
si Kompe
nsasi
1 Korupsi
163 orang 113
35 -
- -
- 148
2 TPPO
165 orang 170
7 15
13 150
- 355
3 Penyiksaan
105 orang 110
35 15
16 3
- 179
4 Kekerasan
seksual 76 orang
70 32
15 48
2 -
167 5
Penggelapan Pajak
1 orang 1
- -
- -
- 1
6 Pidum
145 orang 141
88 14
20 6
- 269
7 PHB
1829 orang
1755 130
- 1888
8 Terorisme
47 orang 37
23 9
100
Total 2531
orang 605
197 1851
250 9
3107
Tidak ada satupun catatan secara nasional terkait implementasi perlindungan saksi dan korban di Indonesia selain yang dilakukan oleh LPSK. ICJR masih mendorong lembaga-lembaga yang memiliki
mandat perlindungan saksi dan korban untuk melaporkan dan mengintegrasikan data-data perlindungan saksi dan korban di Indonesia. Khususnya kepada lembaga dan kementerian terkait yang selama ini
memiliki tugas pokok dan fungsi tupoksi khusus bagi saksi atau korban. Seperti KPP dan PA, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, KPAI dan lain sebagainya. Laporan tersebut penting untuk
mendukung langkah-langkah secara nasional terkait saksi dan korban.
6.1.1. Revisi PP 44 Tahun 2008 tentang Kompensasi Restitusi dan Rehabilitasi Korban
Peraturan pemerintah No 44 Tahun 2009 sangat penting untuk direvisi karena terjadinya perubahan dalam UU mengenai perlindungan saksi dan korban. Perubahan ini paling tidak mencakup 3
hal yang substansi. Pertama, soal mekanisme kompensasi bagi korban pelanggaran HAM berat dan korban terorisme. Kedua, mekanisme restitusi bagi korban tindak pidana. Ketiga adalah revisi atas
103 mekanisme bantuan medis, psikologis dan psikososial bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang
berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat.
Perlu diketahui dengan adanya UU No. 31 tahun 2014 maka bantuan medis, psikologis dan psikososial bisa di akses lebih luas oleh korban tindak pidana lainnya, berbeda dengan UU No 31 Tahun
2006 yang hanya memberikan bantuan terbatas bagi korban pelanggaran HAM berat. Namun karena mandeknya revisi atas PP 44 maka mau tidak mau akan mengganggu proses layanan bantuan bagi
korban yang menjadi tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan korban. Dan secara lebih luas akan membatasi akses korban tindak pidana di Indonesia. Padahal banyak korban sangat membutuhkan
layanan tersebut. ICJR mendorong agar Kementerian Hukum dan Ham dan LPSK segera mempercepat proses revisi dan membuka seluas-luasnya masukan dari publik untuk memperkuat hak-hak korban yang
telah diatur dalam UU tersebut.
6.1.2. Keputusan Menteri Keuangan soal Revisi Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015
Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015 yang merevisi PP No. 27 Tahun 1983 dengan menaikkan besaran ganti rugi bagi korban salah tangkap. Namun aturan ini masih belum efektif karena
harus menunggu penyesuaian dengan peraturan lainnya yang merupakan pelaksana dari Peraturan Pemerintah ini. Dalam Pasal 39C PP No. 92 Tahun 2015, dikatakan bahwa :
Pada saat Peratura Pemerintah ini mulai berlaku, ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan
dari Peraturan Pemerintah ini yang mengatur mengenai ganti kerugian wajib disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu paling lama 6 enam bulan terhitung sejak tanggal
Peratura Pe eri tah i i diu da gka .
Berdasarkan pasal tersebut, maka merujuk pada tanggal penetapan dan pengundangan PP ini yaitu pada 8 Desember 2015, maka seluruh penyesuaian ketentuan peraturan perundang-undangan
yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah ini harus dilakukan selambat-lambatnya pada 8 Juni 2016. Ada satu peraturan yang perlu direvisi terkait dengan PP tersebut, yaitu Keputusan Menteri
Keuangan No. 983KMK.011983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian KMK No. 983. KMK No. 983 ini telah lama menjadi mimpi buruk pencari keadilan karena mekanismenya berbelit dan
memiliki jangka waktu yang tidak pasti.
Setidaknya PP No. 92 Tahun 2015, telah mengatur jangka waktu pembayaran ganti kerugian yaitu selambat-lambatnya dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan
ganti kerugian diterima oleh Menteri. Jangka waktu 14 hari tersebut harus di tuangkan dalam revisi peraturan di Kementerian Keuangan agar pemberian ganti rugi bisa lebih efektif dan efisien. Menteri
Keuangan segera melakukan penyesuaian dan mengeluarkan aturan baru menggantikan KMK No. 983 ini.
6.2. Restitusi dan Ganti Rugi kepada Korban