Situasi Sistem Peradilan Pidana Indonesia

119 3. Kasus–kasus penyebaran kebencian di dunia siber juga mulai marak digunakan. ICJR setidaknya melihat terjadi kenaikan baik dalam proses penegakkan hukum ataupun proses penuntutan di Pengadilan. Namun ICJR juga mencatat, bahwa kasus-kasus yang menggunakan pasal-pasal penyebaran kebencian dalam UU ITE umumnya terfokus kepada penyebaran kebencian agama, dan belum pernah digunakan terkait kasus-kasus penyebar kebencian berbasis ras dan etnis. 4. Pasal–pasal makar di KUHP kembali marak digunakan. Penggunaan pasal makar dengan tafsir yang berbeda –beda menimbulkan persoalan dalam implementasinya. Makar sejatinya berasal dari kata Aa slag atau serangan yang dalam KUHP lalu diterjemahkan sebagai makar. Pe ggu aa kata Makar se agai pe ak aa dari Aa slag a g ditafsirka er eda-beda telah dengan nyata menimbulkan ketidakpastian hukum dan telah mengakibatkan adanya ketidakjelasan penggunaan Pasal Makar dalam peradilan pidana. Bahwa dalam berbagai dakwaan yang diajukan oleh Jaksa, Makar kemudian tidak lagi dimaknai sebagai suatu Serangan. Perkembangan pembahasan pasal –pasal makar di R KUHP di DPR juga tidak mendalam. Tafsir yang lebih tegas terhadap kata makar diperlukan untuk tidak mudah mencederai kebebasan berekspresi.

7.3. Situasi Sistem Peradilan Pidana Indonesia

1. Dalam catatan ICJR, sepanjang 2016, terjadi 19 kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. 4 tersangka diantaranya bahkan meninggal dunia diduga akibat penyiksaan. Pelaku penyiksaan masih didominasi oleh Kepolisian, disusul oleh TNI dan Sipir Lembaga Pemasyarakatan. Sejalan dengan itu, maka mayoritas penyiksaan terjadi di kantor-kantor Polisi dan tempat penahanan atau pada saat melakukan proses penyidikan. Tahun 2016 juga menjadi tahun yang sangat penting dalam melakukan evaluasi pada penanganan kasus terorisme. Tercatat, Densus 88 disebutkan dalam 5 kasus penyiksaan yang tercatat pada 2016. Kasus Siyono yang tewas pada saat penyidikan yang dilakukan oleh Densus 88 sangat menyita perhatian sepanjang tahun, kemudian ada juga kasus penyiksaan yang melibatkan anak dibawah umur serta kasus salah tangkap yang juga dalam kasus terorisme dan melibatkan Densus 88. Meski ada inisitatif regulasi untuk mencegah penyiksaan namun ada rencana regulasi lain yang justru mendukung dilanggengkannya penyiksaan seperti RUU Pemberantasan Terorisme. 2. Meski Indonesia telah memiliki UU No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, namun masih banyak tantangan yang dihadapi yang salah satunya adalah mengenai belum tersedianya berbagai peraturan pelaksana yang dimandatkan dalam UU tersebut. Hal lain yang menjadi pokok perhatian adalah berbagai lembaga baru yang dibentuk berdasarkan UU seperti Lembaga Pembinaan Khusus Anak LPKA dan Lembaga Penempatan Anak Sementara LPAS belum tersedia secara merata di Indonesia. Pemenjaraan juga masih menjadi jenis putusan pidana terbanyak yang dijatuhkan oleh Pengadilan. Meski tersedia dan telah diatur dengan baik, namun penggunaan tindakan ataupun pemidanaan alternatif di luar penjara belum terlalu signifikan digunakan. 3. Pada 2016, Mahkamah Konstitusi MK telah merevisi ketentuan penyadapan berdasarkan Putusan No. 20PUU-XIV2016 tertanggal 7 September 2016 terkait dengan Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 dan Pasal 44 huruf b UU No 8 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik UU ITE, serta Pasal 26A UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Putusan Mahkamah Konstitusi ini akan mengubah status dari informasi elektronik dan dokumen elektronik dalam penegakan hukum pidana dimana seluruh informasi elektronikdokumen elektronik yang dapat menjadi bukti harus diperoleh berdasarkan prosedur sesuai Pasal 31 ayat 3 UU ITE, di luar itu maka informasi elektronikdokumen elektronik tidak diperbolehkan sebagai bukti. Terlepas dari implikasi 120 positinya terutama terkait dengan penyadapan, namun dibutuhkan pengaturan ulang terkait dengan kedudukan informasi dan dokumen elektronik khususnya yang didapat dari kegiatan perekaman, penyadapan, ataupun intersepsi. 4. Pada akhir 2016, Mahkamah Agung MA akhirnya menerbitkan Peraturan MA Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. Perma ini telah mengatur beberapa hal krusial pertama defenisi soal korporasi kedua, ruang lingkup tanggungjawab korporasi dan ketiga hukum acara saat korporasi menjadi tersangka atau terdakwa, dan keempat hukuman pidana bagi korporasi. Sebagai pengaturan bersifat transisi, Perma ini dibutuhkan untuk mengisi kekosongan hukum. Namun pengaturan yang utuh juga masih diperlukan untuk diatur baik di dalam KUHP ataupun di dalam KUHAP di masa depan. 5. Sejak 18 April 2016 Mahkamah Agung MA telah mengeluarkan Peraturan MA Perma No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Dengan terbitnya Perma ini, maka mengajukan PK atas putusan perkara praperadilan kini dilarang. Namun Perma ini belum cukup komprehensif dalam mengatur soal Praperadilan. Perma Praperadilan ini seharusnya mengakomodir seluruh masalah Praperadilan terutama pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21PUU-XII2014. Kebutuhan pengaturan secara komprehensif ini diperlukan setidaknya untuk mengatur tiga hal soal jangka waktu, hukum acara, dan pengawasan atas putusan praperadilan. 6. Pasca keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34PUU-XI2013 yang tidak lagi membatasi pengajuan Peninjauan Kembali, Mahkamah Agung lalu meresponnya dengan mengeluarkan SEMA No 7 Tahun 2014 yang melarang pengajuan PK lebih dari 1 kali. Lahirnya SEMA ini didorong oleh keinginan kuat pemerintah untuk mempercepat proses eksekusi terhadap para terpidana mati. Lahirnya SEMA No 7 Tahun 2014 juga dianggap sebagai bagian dari pembangkangan terhadap UUD 1945.

7.4. Legislasi dan Kebijakan Hukum Pidana 2016