103 mekanisme bantuan medis, psikologis dan psikososial bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang
berat, korban tindak pidana terorisme, korban tindak pidana perdagangan orang, korban tindak pidana penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan berat.
Perlu diketahui dengan adanya UU No. 31 tahun 2014 maka bantuan medis, psikologis dan psikososial bisa di akses lebih luas oleh korban tindak pidana lainnya, berbeda dengan UU No 31 Tahun
2006 yang hanya memberikan bantuan terbatas bagi korban pelanggaran HAM berat. Namun karena mandeknya revisi atas PP 44 maka mau tidak mau akan mengganggu proses layanan bantuan bagi
korban yang menjadi tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan korban. Dan secara lebih luas akan membatasi akses korban tindak pidana di Indonesia. Padahal banyak korban sangat membutuhkan
layanan tersebut. ICJR mendorong agar Kementerian Hukum dan Ham dan LPSK segera mempercepat proses revisi dan membuka seluas-luasnya masukan dari publik untuk memperkuat hak-hak korban yang
telah diatur dalam UU tersebut.
6.1.2. Keputusan Menteri Keuangan soal Revisi Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015
Peraturan Pemerintah No. 92 Tahun 2015 yang merevisi PP No. 27 Tahun 1983 dengan menaikkan besaran ganti rugi bagi korban salah tangkap. Namun aturan ini masih belum efektif karena
harus menunggu penyesuaian dengan peraturan lainnya yang merupakan pelaksana dari Peraturan Pemerintah ini. Dalam Pasal 39C PP No. 92 Tahun 2015, dikatakan bahwa :
Pada saat Peratura Pemerintah ini mulai berlaku, ketentuan peraturan perundang-undangan yang merupakan pelaksanaan
dari Peraturan Pemerintah ini yang mengatur mengenai ganti kerugian wajib disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu paling lama 6 enam bulan terhitung sejak tanggal
Peratura Pe eri tah i i diu da gka .
Berdasarkan pasal tersebut, maka merujuk pada tanggal penetapan dan pengundangan PP ini yaitu pada 8 Desember 2015, maka seluruh penyesuaian ketentuan peraturan perundang-undangan
yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah ini harus dilakukan selambat-lambatnya pada 8 Juni 2016. Ada satu peraturan yang perlu direvisi terkait dengan PP tersebut, yaitu Keputusan Menteri
Keuangan No. 983KMK.011983 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti Kerugian KMK No. 983. KMK No. 983 ini telah lama menjadi mimpi buruk pencari keadilan karena mekanismenya berbelit dan
memiliki jangka waktu yang tidak pasti.
Setidaknya PP No. 92 Tahun 2015, telah mengatur jangka waktu pembayaran ganti kerugian yaitu selambat-lambatnya dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan
ganti kerugian diterima oleh Menteri. Jangka waktu 14 hari tersebut harus di tuangkan dalam revisi peraturan di Kementerian Keuangan agar pemberian ganti rugi bisa lebih efektif dan efisien. Menteri
Keuangan segera melakukan penyesuaian dan mengeluarkan aturan baru menggantikan KMK No. 983 ini.
6.2. Restitusi dan Ganti Rugi kepada Korban
Dalam Praktiknya, pemberian restitusi ini dapat dilakukan banyak pihak, baik inisiatif dari korban, jaksa penuntut umum maupun oleh LPSK. Hal ini dapat kita lihat dalam berbagai putusan di pengadilan
negeri.
104 Selama tahun 2015, fasilitas restitusi telah dijalankan kepada 256 dua ratus lima puluh enam
orang yang terdiri dari 234 dua ratus tiga puluh empat saksi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang, 15 lima belas saksi korban Tindak Pidana Penganiayaan, 3 tiga saksi Tindak Pidana Pembunuhan, 2
dua saksi korban Tindak Pidana Pemerkosaan, 1 satu saksi korban Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan 1 satu orang saksi korban Tindak Pidana Narkotika.
Berdasarkan rekap data 2016, adapun restitusi yang telah berhasil difasilitasi oleh LPSK hingga masuk dalam putusan pengadilan adalah sebanyak 152 kasus dengan total restitusi yang masuk dalam
putusan pengadilan sebesar Rp. 3.205.229.396. Dari seluruh yang pengajuan restitusi yang masuk dalam putusan pengadilan, karena ketidakmampuan para pelaku untuk membayar restitusi, sehingga di tahun
2016 yang dapat dieksekusi pembayarannya hanya sebesar Rp. 1.008.634.000.
Tabel 6.3. Data Layanan Restitusi Yang Diberikan Oleh LPSK 2016-2015
No Jenis Tindak Pidana
Jumlah Layanan Restitusi 2016
Jumlah Layanan Restitusi 2015
1 TPPO
150 234
2 Penyiksaan
3 -
3 Kekerasan seksual
2 2
4 Pidum
6 -
5 Penganiayaan
- 15
6 Pembunuhan
- 3
7 Narkotika
- 1
7 KDRT
- 1
Total 161
256
Rekap data ICJR
Putusan Restitusi dalam Beberapa Kasus yang di tangani LPSK 2016
Dalam kasus Benjina
56
, LPSK juga membantu pengurusan pengajuan restitusi bagi para korban yang menghasilkan putusan bahwa para terdakwa diwajibkan membayar restitusi kepada para saksi korban
ABK yang total keseluruhannya mencapai Rp.773.300.000. Namun ada terdakwa menyatakan bahwa tidak sanggup membayar restitusi sebesar Rp.335.300.000,-. Sehingga total restitusi yang akan
diserahkan kepada saksi dan korban sebesar Rp.438.000.000,-. Saat ini uang pembayaran restitusi tersebut akan dibayarkan melalui transfer ke rekening Kejaksaan Negeri Dobo dan selanjutnya bersama-
sama dengan LPSK akan memberikan secara langsung kepada para ABK yang berhak mendapatkannya.Sampai saat ini LPSK masih berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung RI terkait
penyerahan uang ganti rugi dari terdakwa kepada saksi dan korban. Mengingat kendala geografis dan administrasi dimana korban berasal dari Myanmar.
Selain kasus Benjina ada beberapa capaian dalam memfasilitasi korban untuk mengajukan restitusi antara lain: Kasus TPPO Mesir, terdakwa 1 atas nama inisial I telah membayar Rp. 10.200.000,- dan A
masih dalam proses persidangan terdakwa sudah bersedia akan memberikan restitusi dengan kisaran jumlah 25.134.000,- Korban atas nama inisial T. Kasus KDRT dengan terdakwa Ivan Haz, korban atas
56
Dalam Kasus Benjina, 13 tiga belas orang warga negara Myanmar yang merupakan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang di Benjina, Maluku.
105 nama inisial T diberikan ganti rugi restitusi Rp. 150.000.000,- dan korban inisial E dan R menerima
masing-masing Rp. 50.000.000,-. Kasus TPPO yang diputus di PN CIbinong, atas nama terdakwa Bagja Kurniawan harus membayar restitusi kepada para korban masing-masing : RS sebesar Rp. 65.000.000,- R
sebesar Rp. 75.000.000,-S Rp. 90.000.000,- HS Rp. 85.000.000,- P sebesar Rp. 77.000.000,- Keterangan : belum inkracht. Kasus TPPO yang diputus di PN Batam, atas nama terdakwa Nelsen Burtelah harus
membayar restitusi kepada para korban masing-masing: NI sebesar Rp. 5.000.000,- F sebesar Rp. 10.000.000,- Keterangan : belum inkracht. Kasus TPPO yang diputus di PN Cibinong, atas nama
terdakwa Sunata harus membayar restitusi kepada para korban total sebesar Rp. 2.512.895.396,- Keterangan : belum inkracht
Sumber: LPSK Pers Rilis Desember 2016
6.3. Kompensasi bagi Korban