Implementasi dan Kebijakan Pemidanaan Situasi Penggunaan Instrumen Hukum Pidana Dalam Perkara Perkara Tertentu

118 BAB VII PENUTUP

7.1. Implementasi dan Kebijakan Pemidanaan

1. Kelebihan penghuni di Rumah Tahanan Rutan dan Lembaga Pemasyarakatan Lapas sudah dalam tahap darurat. Data terakhir menunjukkan bahwa kelebihan penghuni sudah lebih dari 72 dari kapasitas terpasang. Situasi ini telah menyebabkan situasi rawan di Rutan dan Lapas. Hal ini juga tidak terlepas dari pendekatan kebijakan pidana yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR. 2. Dalam kasus – kasus dimana pidana mati dijatuhkan, sikap keras pemerintah dalam upaya memerangi narkotika juga telah meningkatkan jumlah terdakwa yang dituntut dan diputus dengan pidana mati di sepanjang 2016. Namun, persoalan penerapan prinsip peradilan yang adil dalam kasus – kasus hukuman mati tetap mencuat. 3. Paska pemberlakuan Qanun Jinayat di Aceh, ICJR memantau terjadi peningkatan penggunaan hukuman cambuk. Hukuman cambuk juga tidak hanya dikenakan kepada warga Aceh yang beragama Islam akan tetapi juga dilaksanakan terhadap warga Aceh yang bukan beragama Islam. Penerapan hukuman cambuk juga telah membawa dampak fisik dan psikis bagi para terpidana. 4. Pemberlakukan Perppu No 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juga menjadi sorotan khususnya mengenai respon penanganan terhadap kejahatan seksual dalam bentuk hukuman kebiri kimia. ICJR menilai kebijakan ini adalah kebijakan yang salah secara norma karena mengandung banyak pertentangan dengan kewajiban – kewajiban internasional dalam bidang hak asasi manusia khususnya dengan Kovensi Anti Penyiksaan. Dalam pandangan ICJR, kebijakan ini merupakan respon pemerintah yang dikeluarkan tanpa kajian dan analisis yang mendalam tentang kejahatan seksual khususnya terhadap anak.

7.2. Situasi Penggunaan Instrumen Hukum Pidana Dalam Perkara Perkara Tertentu

1. Salah satu topik yang dicatat oleh ICJR adalah gejala over kriminalisasi, terutama untuk Tindak Pidana Kesusilaan. Saat ini, selain di persidangan Mahkamah Konstitusi juga ada pembahasan Rancangan KUHP di DPR mengenai tindak pidana zina. Tindak pidana zina ini ingin diperluas menjadi delik biasa dari yang asalnya adalah delik aduan. Meski pembahasan mengenai topik ini di DPR masih dalam posisi ditunda, namun Mahkamah Konstitusi memproses perkara permohonan pengujian Pasal 284, Pasal 285 dan Pasal 292 KUHP. Apabila dikabulkan, maka perluasan tindak pidana kesusilaan ini akan berdampak langsung pada tingginya angka penghukuman dan memperbesar jumlah pelaku tindak pidana. Ini akan berimbas langsung kepada kewajiban Negara terkait kebijakan penal, memperbanyak fasilitas dalam proses pengadilan, penegakan hukum dan Lapas. Kondisi ini juga akan mengakibatkan berubahnya prioritas kebijakan kriminal Indonesia. 2. Penggunaan pasal–pasal pidana penghinaan di dunia siber juga meningkat pada 2016. Peningkatan ini dicatat tidak hanya oleh LBH Pers, akan tetapi juga SAFENET dan juga Direktorat Cyber Bareskrim Mabes Polri. Paska revisi UU ITE, ICJR melihat tidak ada perubahan berarti adalam penanganan pidana penghinaan di dunia siber. ICJR juga mengkuatirkan peningkatan beban kinerja dan sumber daya dari aparat penegak hukum untuk menangani pidana penghinaan di dunia siber. 119 3. Kasus–kasus penyebaran kebencian di dunia siber juga mulai marak digunakan. ICJR setidaknya melihat terjadi kenaikan baik dalam proses penegakkan hukum ataupun proses penuntutan di Pengadilan. Namun ICJR juga mencatat, bahwa kasus-kasus yang menggunakan pasal-pasal penyebaran kebencian dalam UU ITE umumnya terfokus kepada penyebaran kebencian agama, dan belum pernah digunakan terkait kasus-kasus penyebar kebencian berbasis ras dan etnis. 4. Pasal–pasal makar di KUHP kembali marak digunakan. Penggunaan pasal makar dengan tafsir yang berbeda –beda menimbulkan persoalan dalam implementasinya. Makar sejatinya berasal dari kata Aa slag atau serangan yang dalam KUHP lalu diterjemahkan sebagai makar. Pe ggu aa kata Makar se agai pe ak aa dari Aa slag a g ditafsirka er eda-beda telah dengan nyata menimbulkan ketidakpastian hukum dan telah mengakibatkan adanya ketidakjelasan penggunaan Pasal Makar dalam peradilan pidana. Bahwa dalam berbagai dakwaan yang diajukan oleh Jaksa, Makar kemudian tidak lagi dimaknai sebagai suatu Serangan. Perkembangan pembahasan pasal –pasal makar di R KUHP di DPR juga tidak mendalam. Tafsir yang lebih tegas terhadap kata makar diperlukan untuk tidak mudah mencederai kebebasan berekspresi.

7.3. Situasi Sistem Peradilan Pidana Indonesia