39 Perlindungan Anak Indonesia KPAI, Ombudsman Republik Indonesia dan Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban LPSK menandatangani kesepakatan bersama MoU Mekanisme Pencegahan Nasional Bagi Pencegahan Penyiksaan, Penghukuman Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat.
Sampai saat ini nota ini belum menunjukkan hasilnya, belum ada laporan resmi yang signifikan atas kebijakan baru ini.
Di sisi lain, muncul beberapa legislasi yang justru melanggengkan situasi penyiksaan. RUU pemberantasan terorisme yang diusulkan pemerintah tahun 2016 telah membuka situasi yang
berpotensi terjadinya penyiksaan dengan menambah jangka waktu penangkapan incommunicado dan penahanan paling lama dalam sejarah hukum acara pidana Indonesia. Dalam RUU tersebut
Penangkapan incommunicado dan pencegahan dapat dilakukan selama 30 hari sedangkan penahanan 450 hari. RUU juga secara terang-terangan memberikan kewenangan bagi penyidik dan aparat penegak
hukum untuk menempatkan seseorang tanpa status jelas pada suatu tempat yang juga tidak diketahui. “e ara eksplisit, i i erupaka praktik legal dari pe aha a i o
u i ado di I do esia da dapat dipastikan akan menjadi lumbung kasus penyiksaan. Penahanan Incommunicado masih menjadi
persoalan penting di Indonesia, UU Terorisme dan UU Narkotik menjadi dua undang-undang utama yang mengakomodir masih maraknya penyiksaan dalam konteks Penahanan Incommunicado.
4.2 Problem Implementasi Sistem Peradilan Pidana Anak Juvenile Court
Sejak lahirnya UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak UU SPPA diharapkan model sistem peradilan pidana yang lebih ramah terhadap anak di Indonesia semakin baik. Tak heran
jika banyak pihak memberi harapan besar terhadap lahirnya UU SPPA ini. Namun sudah empat tahun berlalu sejak disahkan pada 30 Juli 2012, ternyata tantangan implementasi SPPA mulai terbukti.
Namun sayangnya regulasi pendukung dari UU SPPA sampai saat ini tak kunjung diselesaikan. Berdasarkan UU SPPA, Pemerintah diwajibkan untuk membuat enam materi dalam bentuk Peraturan
Pemerintah dan dua materi dalam bentuk Peraturan Presiden. Namun sampai saat ini peraturan pendukung masih belum semua tersedia. Pemerintah baru merampungkan subtansi dalam Peraturan
Pemerintah PP No 65 tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dan Penanganan Anak Yang Belum Berumur 12 Dua Belas Tahun dan Peraturan Presiden tentang Pelatihan Aparat Penegak
Hukum Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 175 Tahun 2014 Tentang Pendidikan Dan Pelatihan Terpadu Bagi Penegak Hukum Dan Pihak Terkait Mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak.
Tabel 4.2 Materi Peraturan Pelaksanaan SPPA No.
Perintah dalam UU SPPA
Peraturan Pelaksana Status
1. Pasal 15
Peraturan Pemerintah
mengenai pedoman
pelaksanaan proses Diversi, tata cara, dan koordinasi pelaksanaan Diversi.
tersedia
2. Pasal 21 ayat 6
Peraturan Pemerintah mengenai syarat dan tata cara pengambilan keputusan serta program pendidikan,
pembinaan, dan pembimbingan dalam hal Anak belum berumur 12 dua belas tahun melakukan atau
diduga melakukan tindak pidana . tersedia
3. Pasal 25 ayat 2
Peraturan Pemerintah mengenai pedoman register Belum tersedia
40
perkara Anak dan Anak korban
4. Pasal 71 ayat 5
Peraturan Pemerintah mengenai bentuk dan tata cara pelaksanaan pidana.
Belum tersedia
5. Pasal 82 ayat 4
Peraturan Pemerintah mengenai Tindakan yang dapat dikenakan kepada Anak
Belum tersedia
6. Pasal 94 ayat 4
Peraturan Pemerintah
mengenai tata
cara pelaksanaan koordinasi, pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan Belum tersedia
7. Pasal 90 ayat 2
Peraturan Presiden mengenai pelaksanaan hak Anak Korban dan Anak Saksi
Belum tersedia
8.
Pasal 92 ayat 4 Peraturan Presiden mengenai penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihanbagi penegak hukum dan pihak terkait secara terpadu
tersedia
Selain implementasi peraturan pelaksana yang belum optimal, salah satu permasalahan yang memprihatinkan adalah soal minimnya jumlah institusi baru pengganti tempat penangkapan dan
penahanan anak. UU SPPA telah mendorong lahirnya empat lembaga yakni LPKA, LPKS, RPKA dan LPAS. Pengganti tempat Penahanan, pembinaan dan Lapas anak, sebagaimana diamanatkan oleh UU SPPA.
Lembaga Pembinaan Khusus Anak LPKA adalah lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya sedangkan Lembaga Penempatan Anak Sementara LPAS adalah tempat sementara bagi Anak selama
proses peradilan berlangsung.
Tabel 4.3. Permasalahan 4 Empat Lembaga Implementasi UU SPPA
Lembaga Fungsi
Masalah Lembaga Pembinaan
Khusus Anak LPKA lembaga atau tempat Anak menjalani
masa pidananya usia 12-18 tahun 33 LPKA seluruh Indonesia yang terdiri
dari tujuh LPKA Klas I dan 26 LPKA Klas II-B
18 diantaranya
merupakan perubahan nomenklatur dari 18 Lapas
Anak yang telah ada selama ini. Adapun 15 LPKA untuk sementara
masih ditempatkan di lapasrutan dewasa
Lembaga Penyelenggaraan
Kesejahteraan Sosial LPKS
Tempat penitipan anak yang ditangkap jika belum ada ruang pelayanan khusus
anak. Tempat pembinaan anak di bawah 12 tahun
belum banyak tersedia di seluruh Indonesia
Lembaga Penempatan Anak Sementara LPAS
tempat sementara bagi Anak selama proses
peradilan berlangsung
pengganti Rutan bagi anak untuk usia 14 tahun -18 tahun
belum banyak tersedia di seluruh Indonesia
Ruang Pelayanan Khusus anak RPKA
tempat penitipan anak yang ditangkap 1×24 jam
Tidak semua polsek memiliki RPKA
41 Untuk anak yang berumur 14 sampai dengan 18 tahun yang berkonflik dengan hukum, UU SPPA
memandatkan penitipan anak di LPAS sebagai pengganti Rutan. Namun bila belum ada LPAS di wilayah yang bersangkutan, maka anak dapat dititipkan di LPKS. Sehingga untuk melindungi keamanan anak, UU
SPPA memerintahkan dapat dilakukan penempatan Anak di LPKS sementara sebagai pengganti LPAS. Masalahnya adalah, sampai saat ini LPAS dan LPKS belum banyak tersedia di seluruh Indonesia. Hanya
beberapa wilayah di tingkat propinsi saja yang mulai memliki LPAS. Namun hampir sama dengan kondisi LPAS maka jumlah LPKS pun tidak ada di setiap kabupaten. Akibatnya aparat penegak hukum seringkali
bingung ke mana anak yang bersangkutan akan di tempatkan, sehingga potensi menempatkan anak di Rutan dewasa terbuka lebar.
Sampai dengan Per Desember 2016, berdasarkan data yang didapat dari situs resmi Ditjen PAS, jumlah tahanan anak yang terdaftar di UPT yang dikelola Ditjen PAS di 33 Wilayah berjumlah 907
Tahanan Anak, angka ini tidak termasuk jumlah tahanan anak yang dikelola oleh Polisi dimana angkanya tidak tersedia dan tidak dapat diakses.
Tabel 4.4. Jumlah Anak dalam Tahanan di Indonesia
Bulan Tahun Anak Laki-Laki
Anak Perempuan Total
Per Desember 2016 881
26 907
Per Januari 2016 683
14 697
Per Januari 2015 737
117 854
Per Januari 2014 1.792
51 1,843
Per Januari 2013 1.980
42 2,022
Per Januari 2012 2.081
64 2,145
Sumber : SDP data yang diperoleh ICJR
23
Sedangkan untuk jumlah Anak yang menjadi narapidana warga binaan per Desember 2016 berjumlah 2.320 Anak yang tersebar di 33 Wilayah di Indonesia. Ironisnya, tidak seluruh wilayah
memiliki LPAS dan LPKA. Sebagai perbandingan, sebelum berubah nomenklatur menjadi LPAS, jumlah Lapas Anak hanya tersebar di 17 Provinsi di Indonesia. Sehingga bisa dipastikan bahwa Anak yang
menjadi Tahanan ataupun Warga Binaan di daerah yang tidak memiliki Lapas Anak saat ini LPKA dan LPAS berada ditempat penahanan dan Lapas Dewasa.
Tabel 4.5.Jumlah Anak dalam LapasLPKA di Indonesia
Bulan Tahun Anak Laki-Laki
Anak Perempuan Total
Per Desember 2016 2,281
39 2,320
Per Januari 2016 2,179
38 2,217
Per Januari 2015 2,735
58 2,793
Per Januari 2014 3,030
57 3,087
Per Januari 2013 3,221
75 3,296
Per Januari 2012 3,218
82 3,300
Sumber : SDP data yang diperoleh ICJR
24 23
Lihat http:smslap.ditjenpas.go.idpublicgrlcurrentmonthlyyear2016month12 diakses pada 25 Januari 2017, Pukul 10.52 WIB.
42 Berdasarkan pengamatan ICJR, dalam praktik satu satunya solusi adalah menitipkan ke dinas
sosial di bawah kemensos, namun ada kesulitan pertama, tidak semua wilayah juga ada lembaga sosialnya. Kedua, jika terkait keamanan misalnya potensi anak lari dari tempat penitipan Polisi
setempat tidak bisa melakukan penjagaan setiap hari di dinas sosial, dan ada pula soal birokrasi pengamanan di Polri yang harus dilakukan, intinya untuk penempatan di dinas sosial belum ada
peraturan yang mewadahinya. Akibatnya anak-anak juga berpotensi dititipkan ke Rumah Tahanan, yang justru ditolak oleh UU SPPA.
Sebaliknya juga dalam praktik, dalam wilayah tersebut belum ada LPKS khusus penitipan anak yang berkonflik dengan hukum dibawah 12 tahun, maka akhirnya anak pun dititipkan juga ke LPKA yang
tersedia. Yang lebih problematik adalah bagaimana jika satu wilayah belum ada LPAS, dan LPKS dan RPKA maka bagi anak yang di tangkap terpaksa masuk Rutan Polisi. Akibatnya tidak terhindarkan kondisi
anak yang ditahan sejak penyidikan sampai dengan putusan pengadilan demi menjaga keamanan, karena tidak adanya lembaga yang diamanatkan oleh UU SPPA. Anak seharusnya tidak di masukkan ke
dalam Rutan, baik Rutan yang dikelola oleh Dirjen Lapas maupun Rutan yang dikelola Polri. Pelanggaran atas hal ini jelas bertentangan dengan perintah UU SPPA dan pelanggaran atas hak anak.
Kondisi tempat penahanan dan pembinaan anak bisa menjadi masalah serius dikemudian hari, sebab ternyata pemenjaraan pada Anak masih berpotensi besar terjadi. Sepintas apabila dilihat
berdasarkan tabel jumlah anak yang menjalankan pidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan angkanya berkurang semenjak UU SPPA berlaku, namun apabila dicermati, pasca pertengahan 2016, angka
pemidanaan berlahan merangkak naik.
Dalam Riset yang dilakukan ICJR pada 2016, berdasarkan 77 putusan yang melibatkan 91 Anak di empat Pengadilan Negeri se-DKI Jakarta, ditemukan fakta bahwa ternyata penggunaan pidana penjara
masih cukup tinggi. Penahanan anak juga masih sangat tinggi, anak yang masuk ke dalam proses persidangan umumnya ditahan, hanya ada 7 Anak yang tidak ditahan. Selebihnya dari data yang dapat
diidentifikasi, anak pasti dikenakan penahanan. Meskipun terdapat kemungkinan penahanan Anak ditangguhkan, namun tidak banyak Orang tua atau wali yang menggunakan penangguhan penahanan
untuk Anak.
Sejalan dengan itu, tempat penahanan dan pidana anak masih menjadi masalah serius, minimnya lembaga dan infrastruktur tempat penahanan dan pidana Anak masih menjadi persoalan berarti dalam
putusan, termasuk ketika Hakim menempatkan Anak pada tempat pembinaan yang tidak terdaftar. Tempat penahanan Anak juga bervariasi. Tempat tertinggi penahanan Anak berada di Rutan Rumah
Tahanan Negara, tidak jelas secara spesifik dimana Rutan ini berada. Selain tempat penahanan yang dikelola negara, Anak juga ditempatkan di Panti Sosial milik Dinas Sosial, terdapat 1 Anak yang
ditempatkan di Panti Sosial pada masa penahanan. Selain itu juga terdapat 3 Anak yang menjadi tahanan Kota.
Kembali merujuk riset ICJR, pemenjaraan masih menjadi jenis putusan terbesar dari Hakim, penggunaan tindakan ataupun pemidanaan alternatif di luar penjara belum terlalu signifikan digunakan.
Pada dasarnya hakim bisa menjatuhkan tindakan atau pidana pada Anak. Hanya 15 Anak yang diberikan tindakan, 13 diantaranya dikembalikan pada orang tua, lalu masing-masing sebanyak 1
menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Sejalan dengan penuntutan, Pemidanaan masih sangat melekat
24
Lihat http:smslap.ditjenpas.go.idpublicgrlcurrentmonthlyyear2016month12 diakses pada 25 Januari 2017, Pukul 11.01 WIB.
43 pada sistem peradilan pidana Anak. Penjara masih menjadi pilihan utama bagi Hakim, 56 Anak
ditempatkan dalam Penjara. Catatan menarik timbul dari pemidanaan Denda, meskipun SPPA sudah mengatakan Anak tidak
boleh dijatuhi pidana denda, namun masih ada 8 putusan yang mencantumkan pidana denda bagi anak. Dengan 7 kasus yang dijatuhi denda, rata-rata jumlah denda berkisar di angka Rp. 514.000.000.
Khusus untuk kasus anak sebagai pengguna narkotik, Polisi, Jaksa dan Hakim belum sepenuhnya menempatkan anak sebagai korban Narkotik, dalam kondisi anak terkonfirmasi dan teridentifikasi
sebagai pengguna, pidana tertinggi masih penjara bukan tindakan. Mayoritas anak dijatuhi pidana, 37 dijatuhi pidana penjara, 18 dikenai pidana pelatihan kerja. Terdapat 18 Anak yang akhirnya
dikembalikan ke orang tua, hanya 9 atau satu kasus dimana anak direhabilitasi medis.
2017 nampaknya masih akan menjadi tahun dimana implementasi UU SPPA berjalan lamban. Meski begitu, perlu mendorong pemerintah untuk segera dengan fokus dan bermutu nengeluarkan
peraturan pelaksana UU SPPA. Pemerintah juga harus mempercepat realisasi dan optimalisasi infrastruktur serta sumber daya manusia khususnya apgakum dalam lingkup peradilan pidana Anak.
Perlu juga untuk mengantisipasi meningkatnya jumlah Anak yang dipidana penjara. Meskipun secara keseluruhan jumlah Anak yang dipidana penjara menurun, namun di akhir 2016, angkanya mulai
merangkak naik. Atas dasar itu, penting untuk kembali mengingatkan aparat penegak hukum pentingnya perspektif perlindungan Anak dan kepentingan terbaik bagi anak dalam penanganan kasus pidana, agar
Anak tidak dengan mudah dimasukkan dalam proses pidana.
4.3 Pentingnya Membakukan Prosedur Penyadapan dalam Hukum Acara Pidana