Situasi Hukum Acara Peradilan Pidana 2016

3 gunakan untuk tuduhan perbuatan-perbuatan yang semakin luas kategorinya. Di sisi lain minimnya pembahasan pasal makar dalam RKUHP yang dilakukan oleh DPR di tahun 2016.

1.4. Situasi Hukum Acara Peradilan Pidana 2016

Situasi Hukum Acara Peradilan Pidana 2016 dapat dilihat dari masih mengemukan praktek penyiksaan dalam penegakan hukum, masih gamangnya Implementasi UU Sistem Peradilan Pidana Anak juvenile court, prosedur penyadapan dalam hukum acara pidana yang belum baku, mekanisme praperadilan dan kebijakan baru dalam Perma 4 tahun 2016 dan problem peninjauan kembali dalam SEMA No 7 Tahun 2014. Praktek Penyiksaan dalam Sistem Peradilan Indonesia pada 2016 masih belum berhasil melakukan pencegahan dan penanganan atas kasus-kasus penyiksaan, termasuk lemahnya sistem hukum melawan praktek penyiksaan. Sampai dengan saat ini pemerintah Indonesia bahkan lalai melaporkan situasi dan perkembangan pencegahan penyiksaan di Indonesia ke forum PBB yang jatuh tempo sejak 2011. Dalam catatan ICJR, sepanjang 2016, terjadi 19 kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sesuai dengan Pasal 1 Konvensi Anti Penyiksaan. Dari 19 Kasus tersebut, 4 tersangka meninggal dunia diduga akibat penyiksaan. Pelaku penyiksaan masih didominasi oleh Kepolisian, disusul oleh TNI dan Sipir Lembaga Pemasyarakatan. Sejalan dengan itu, maka mayoritas penyiksaan terjadi di kantor-kantor Polisi dan tempat penahanan atau pada saat melakukan proses penyidikan. Problem Implementasi Sistem Peradilan Pidana Anak juvenile Court walaupun sudah empat tahun berlalu sejak disahkan UU SPPA pada 30 Juli 2012, ternyata tantangan implementasi SPPA mulai terbukti. Regulasi pendukung dari UU SPPA sampai saat ini memang tak kunjung diselesaikan. implementasi peraturan pelaksana yang belum optimal, salah satu permasalahan yang memprihatinkan adalah soal minimnya jumlah institusi baru pengganti tempat penangkapan dan penahanan anak. Prosedur Penyadapan dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia juga belum baik. Di tahun 2016, Mahkamah Konstitusi MK telah merevisi ketentuan penyadapan berdasarkan Putusan No. 20PUU- XIV2016 tertanggal 7 September 2016 terkait dengan Pasal tentang Pasal 5 ayat 1 dan ayat 2 dan Pasal 44 huruf b UU No 8 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik UU ITE, serta Pasal 26A UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka dibutuhkan pengaturan kembali tentang kedudukan bukti elektronik dan prosedur perolehannya dalam sistem peradilan pidana Indonesia. Putusan MK maupun UU ITE pasca revisi masih menyamakan pengertian intersepsi, penyadapan, dan perekaman elektronik seperti UU ITE sebelum revisi. Isu Pertanggungjawaban Korporasi dalam Perkara Pidana juga mengemuka dengan Lahirnya Perma No 13 tahun 2016 dan tantangannya pada akhir tahun 2016. Mahkamah Agung MA akhirnya menerbitkan Peraturan MA Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi. Perma ini kemudian disahkan oleh pemerintah lewat Kemenkumham tanggal 29 desember 2016. Dengan lahirnya Perma ini maka ada regulasi baru yang mengisi kekosongan penanganan perkara pidana terkait korporasi. Instititute for Criminal Justiuce Reform ICJR sangat mendukung langkah- langkah dalam mengatur tata cara penegakan hukum terkait pertanggungjawaban korporasi dalam pengadilan pidana. Kekosongan regulasi ini jelas mengakibatkan munculnya tantangan dalam memeriksa perkara pidana Korporasi. 4 Situasi hukum acara pidana juga menyoroti mekanisme Praperadilan dan Kebijakan Baru dalam Perma 4 Tahun 2016 tentang Praperadilan. Sejak 18 April 2016 Mahkamah Agung MA telah mengeluarkan Peraturan MA Perma No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Dengan terbitnya Perma ini, maka mengajukan PK atas putusan perkara praperadilan kini dilarang. Perma larangan PK perkara praperadilan ini menjadikan setiap perkara praperadilan tidak bisa diajukan kasasi, PK, termasuk banding. Institute for Criminal Justice Reform ICJR melihat Mahkamah Agung dalam Perma telah mencoba menjaga kesatuan hukum dalam menghadapi perkembangan hukum mengenai praperadilan. Namun Perma ini belum cukup komprehensif dalam mengatur soal Praperadilan. Perma Praperadilan ini seharusnya mengakomodir seluruh masalah Praperadilan termasuk kondisi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21PUU-XII2014. Demikian pula soal Peninjauan kembali PK. Problem Peninjauan Kembali dalam SEMA No 7 Tahun 2014. Di tahun 2016 Mahkamah Konstitusi kembali mengeluarkan dua putusan yang menghilangkan pembatasan Peninjauan Kembali kasus Pidana, yaitu Putusan MK No. 66PUU-XIII2015 dan Putusan MK No. 45PUU-XIII2015. Dua putusan ini mengukuhkan kembali putusan MK No. 34PUU- XI2013, tanggal 6 Maret 2014 dan menggugurkan dasar hukum Pembatasan SEMA No 7 Tahun 2014 yang pada intinya menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali atas dasar ditemukannya bukti baru hanya dapat diajukan satu kali. Menurut ICJR Pengaturan pembatasan PK melalui SEMA tidak tepat, selain pada dasarnya SEMA 7 Tahun 2014 ini merupakan bentuk pembangkangan terhadap Konstitusi, ternyata MA juga telah menggunakan pertimbangan dengan Pasal dalam Undang – Undang yang telah dinyatakan tidak belaku sepanjang terkait dengan pembatasan PK lebih dari satu kali dalam kasus Pidana melalui Putusan MK Putusan MK No. 66PUU-XIII2015 dan Putusan MK No. 45PUU-XIII2015. Atas dasar itu, maka menurut ICJR, MA harus segera mencabut SEMA 7 Tahun 2014.

1.5. Situasi Legislasi dan Kebijakan Hukum Pidana