105 nama inisial T diberikan ganti rugi restitusi Rp. 150.000.000,- dan korban inisial E dan R menerima
masing-masing Rp. 50.000.000,-. Kasus TPPO yang diputus di PN CIbinong, atas nama terdakwa Bagja Kurniawan harus membayar restitusi kepada para korban masing-masing : RS sebesar Rp. 65.000.000,- R
sebesar Rp. 75.000.000,-S Rp. 90.000.000,- HS Rp. 85.000.000,- P sebesar Rp. 77.000.000,- Keterangan : belum inkracht. Kasus TPPO yang diputus di PN Batam, atas nama terdakwa Nelsen Burtelah harus
membayar restitusi kepada para korban masing-masing: NI sebesar Rp. 5.000.000,- F sebesar Rp. 10.000.000,- Keterangan : belum inkracht. Kasus TPPO yang diputus di PN Cibinong, atas nama
terdakwa Sunata harus membayar restitusi kepada para korban total sebesar Rp. 2.512.895.396,- Keterangan : belum inkracht
Sumber: LPSK Pers Rilis Desember 2016
6.3. Kompensasi bagi Korban
Praktik pemberian Kompensasi bagi korban selama ini merupakan praktik paling jarang diberikan kepada korban
57
. Praktis sejak lahirnya UU Pengadilan HAM dan UU Terorisme, hanya ada satu keputusan kompensasi lewat pengadilan yang berhasil dibayarkan pemerintah.
Pada 2016 seharusnya merupakan momen penting dalam hal implementasi hak-hak korban korban terorisme. Negara kita idealnya jauh lebih siap merespon penanganan korban. Dan seharusnya
hak-hak korban yang meninggal dunia maupun yang menjadi survivor dapat di implementasikan secara lebih baik. Intinya Indonesia seharusnya sudah belajar dari berbagai pengalaman masa lalu dalam hal
penanganan korban terorisme. Korban serangan terorisme seharusnya mendapat reparasi yang mencakup restitusi, pembayaran kompensasi dari Negara, bantuan medis, psikologis dan psikososial
termasuk hak hak rehabilitasi yang bersifat segera pasca perstiwa serangan terorisme terjadi. Bahkan kepada korban serangan terorisme harus mendapat hak-hak prosedural secara khusus, mereka berhak
di berikan informasi dan dokumentasi terkait dengan proses peradilan. Hak-hak ini telah tercakup baik dalam UU Terorisme dan UU Perlindungan Saksi dan Korban.
Tahun 2016 merupakan momen penting dimana implementasi kompensasi korban sebetulnya dapat diberikan kepada kasus serangan terorisme di Sarinah-Thamrin yang terjadi pada awal tahun
2016. Padahal dalam pengadilan serangan kasus JW Marriot majelis hakim PN Jakarta Selatan pernah memberikan kompensasi dalam putusannya, namun langkah ini justru diabaikan oleh Pengadilan kasus
terorisme Sarinah-Thamrin di PN Jakarta Barat, padahal Korban sudah mengajukan permohonan Kompensasi secara resmi.
Dalam pengadilan pada kasus JW Marriot, Majelis Hakim PN Jakarta Selatan pernah membuat terobosan dengan memberikan kompensasi dalam putusannya. Selain menjatuhkan vonis 10 tahun,
hakim juga memerintahkan negara, dalam hal ini Pemerintah Republik Indonesia untuk memberikan kompensasi kepada para korban ledakan JW Marriot. Nilai kompensasi yang diputus majelis bervariasi,
bagi mereka yang meninggal dunia 11 orang, maka ahli warisnya berhak mendapatkan kompensasi masing-masing Rp10 juta; bagi yang luka berat Rp 5 juta, dan untuk yang luka ringan Rp2,5 juta.
57
Hanya ada dua regulasi yang memandatkan pemberian Kompensasi bagi korban yakni : UU No. 31 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Korban, memberikan kompensasi bagi korban pelanggaran HAM berat, dan UU No. 15
tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang mengatur kompensasi bagi korban terorisme
106
Terobosan PN Hakim Jakarta Selatan dalam Pemberian Kompensasi Korban Terorisme JW Marriot di Tahun 2004
Awalnya Jaksa Penuntut berpendapat berdasarkan ketentuan Undang-Undang, korban akibat perbuatan terorisme bisa meminta kompensasi atau restitusi. Sayangnya, mekanisme pengajuannya belum jelas.
Menurut Widodo Supriyadi, Kasubdit Penuntutan pada Direktorat Penanganan HAM Kejaksaan Agung, saat itu. Peraturan yang diinginkan Jaksa adalah Peraturan Pemerintah PP yang menjelaskan
bagaimana tata cara pengajuan dan perhitungan kompensasi tersebut. Kehadiran peraturan pelaksanaan penting bagi jaksa sebagai dasar mengajukan permohonan kompensasi. Namun UU
terorisme sendiri tidak memberikan mandat pengaturan dalam bentuk PP.
Namun dalam hal kompensasi ini, majelis Hakim PN Jakarta Selatan yang menyidangkan terdakwa kasus terorisme punya sikap berbeda. Jika jaksa masih menunggu peraturan pelaksanaan, tidak demikian
halnya dengan hakim. Majelis hakim PN Jakarta Selatan dipimpin Sri Mulyani telah membuat terobosan hukum dengan berpatokan pada tugas hakim untuk menemukan hukum rechtsvinding. Dalam perkara
tindak pidana terorisme pengeboman Hotel JW Marriot, dalam putusannya Majelis Hakim menghukum Masrizal alias Tohir selama 10 tahun penjara. Selain menjatuhkan vonis 10 tahun, hakim juga
memerintahkan negara, dalam hal ini Pemerintah Republik Indonesia untuk memberikan kompensasi kepada para korban peledakan hotel. Nilai kompensasi yang diputus majelis bervariasi. Bagi mereka
yang meninggal dunia 11 orang, maka ahli warisnya berhak mendapatkan kompensasi masing-masing Rp10 juta; bagi yang luka berat Rp 5 juta, dan untuk yang luka ringan Rp2,5 juta.
Putusan Kompensasi ini akhirnya diimplementasikan oleh Kementerian Sosial RI lewat mekanisme bantuan sosial korban bencana sosial. Pada 2009
– 2010, berdasarkan catatan ICJR, Direktorat Bantuan Sosial menggelontorkan bantuan kepada 23 orang korban ledakan JW Marriot dengan nilai yang
bervariasi sesuai Putusan PN Jakarta Selatan. Memang dari segi jumlah korban yang mendapat bantuan dan nilai financial yang diberikan masih kecil, dan pembayarannya juga terlalu lama dan dianggap kurang
memenuhi kebutuhan dasar korban Terorisme. Namun mekanisme pemberian kompensasi bagi korban terorisme dalam kasus ini penting dijadikan preseden dalam pengadilan. Bahkan menurut ICJR inilah
satu satunya preseden pemberian kompensasi bagi korban di Indonesia yang berhasil diimplementasikan oleh Negara.
Sebagian dari para korban kasus Thamrin memang telah mengakses bantuan medis dan psikologis dan psikososial yang difasilitasi oleh Negara. Namun untuk hak-hak lainnya dalam kerangka hak reparasi,
hak-hak korban Thamrin justru diabaikan. Hak Restitusi tidak mungkin diberikan karena tidak ada pelaku yang akan mau membayarnya, sedangkan hak kompensasi justru diabaikan oleh Pengadilan. PN Jakarta
Barat, tidak menyambut permohonan korban, tak satupun putusan pengadilan dalam terdakwa terorisme Thamrin yang memberikan kompensasi terhadap korban. Padahal korban sudah mengajukan
permohonan Kompensasi secara resmi lewat Lembaga perlindungan saksi dan Korban LPSK.
Sebelumnya pada September 2016, LPSK telah melakukan koordinasi dengan Satgas Tindak Pidana Terorisme dan Lintas Negara Kejaksaan Agung terkait persidangan pelaku bom Thamrin. Dalam
koordinasi tersebut, LPSK menyampaikan permohonan kompensasi yang diajukan oleh para korban. Atas permohonan tersebut, rencananya pihak Jaksa Penuntut akan mengajukan permintaan kompensasi
dalam surat tuntutan requisitoir. Berdasarkan hasil koordinasi tersebut, maka LPSK pun menyusun
107 permohonan kompensasi para korban dan akan menyerahkannya ke Jampidum cq. Kepala Satgas Tindak
Pidana Terorisme dan Lintas Negara. Tercatat ada 9 permohonan kompensasi dengan jumlah sebesar Rp 1.390.777.000 yang diajukan korban bom Thamrin lewat LPSK. Permohonan kompensasi itu seharusnya
dimasukkan dalam surat tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum, namun Jaksa hanya membacakan permohonan kompensasi dari LPSK di Pengadilan. Akibatnya Pengadilan mengabaikan permohonan
kompensasi itu karena tidak menjadi bagian dari surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Putusan ini bertolak belakang dari preseden pada Putusan Pengadilan dalam kasus terorisme JW Marriot.
Ada 9 permohonan kompensasi yang diajukan korban bom Thamrin lewat LPSK yang sudah dibacakan pada saat persidangan tuntutan karena permohonan kompensasi akhirnya tidak dimasukkan
dalam tuntutan, pembacaan tersebut dilakukan saat persidangan tuntutan terhadap terdakwa Fahrudin di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, dengan total kompensasi yang diajukan sebesar Rp. 1.390.777.000
seharusnya dapat dikabulkan. Namun hakim dalam putusan tersebut akhirnya tidak memasukkan pemberian kompensasi kepada korban serangan Thamrin dalam putusannya. Padahal menurut ICJR,
putusan persidangan kasus terorisme Thamrin ini seharusnya menjadi momentum otoritas terkait untuk memenuhi hak korban.
6.4. Pelaku Yang Bekerjasama Justice Collaborator