52
4.4 Mekanisme Praperadilan dan Kebijakan Baru dalam Perma 4 Tahun 2016 Soal Praperadilan
Sejak 18 April 2016 Mahkamah Agung MA telah mengeluarkan Peraturan MA Perma No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Dengan terbitnya Perma ini,
maka mengajukan PK atas putusan perkara praperadilan kini dilarang. Perma larangan PK perkara praperadilan ini menjadikan setiap perkara praperadilan tidak bisa diajukan kasasi, PK termasuk
banding. Menurut MA hal ini untuk menghindari kesimpangsiuran berbagai pendapat tentang boleh atau tidak pengajuan PK perkara praperadilan. Perma ini juga berisi tentang objek perkara apa yang saat
ini dapat diajukan praperadilan, khususnya pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21PUU- XII2014, yang memperluas objek praperadilan menjadi melingkupi pula sah tidaknya penyitaan,
penggeledahan, dan penetapan tersangka.
Institute for Criminal Justice Reform ICJR melihat Mahkamah Agung dalam Perma telah mencoba menjaga kesatuan hukum dalam menghadapi perkembangan hukum mengenai praperadilan. Namun
Perma ini belum cukup komprehensif dalam mengatur soal Praperadilan. Perma Praperadilan ini seharusnya mengakomodir seluruh masalah Praperadilan termasuk kondisi pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 21PUU-XII2014.
ICJR merekomendasikan lebih lanjut beberapa pengaturan yang lebih rigid soal praperadilan yang
mencakup: Pertama, masalah terkait kepastian jangka waktu pelaksanaan Praperadilan. Saat ini tidak ada pengaturan lanjutan terkait jangka waktu Praperadilan. Antara praktik dan norma hukum terjadi
disparitas yang cukup tinggi terkait jangka waktu pelaksanaan Praperadilan.
Kedua, masih dibutuhkan Pengaturan khusus terkait dengan hukum acara dalam Praperadilan.
Secara umum Pengaturan mengenai hukum acara Praperadilan di dalam KUHAP kurang memadai dan tidak jelas, sehingga dalam praktiknya hakim banyak menggunakan pendekatan asas-asas hukum acara
perdata. Akibatnya, seringkali muncul kontradiksi diantara dua hukum acara tersebut, yang tentunya melahirkan situasi ketidakpastian hukum dan tidak menguntungkan bagi tersangka dalam
memanfaatkan mekanisme Praperadilan. Mekanisme pengajuan praperadilan memang tidak secara tegas dan rinci diatur dalam KUHAP.
MA harusnya memberikan perhatian khusus atas praktik hukum acara yang terjadi dalam Praperadilan. Ketidakpastian antara penggunaan hukum acara pidana atau hukum acara perdata dalam
persidangan Praperadilan, harus diminimalisasi dengan hukum acara yang lebih pasti, termasuk prosedur-prosedur hukum acaranya maupun standar hukum pembuktian Praperadilan penahanan;
termasuk Ketidakjelasan siapa pihak yang dibebankan untuk membuktikan dalam praperadilan tersebut, termasuk pula soal ruang lingkup pembuktian 2 dua alat bukti yang sah.
Ketiga, perlu pengawasan secara umum terhadap praktik Praperadilan, ketersediaan informasi
yang saat ini ada tidak signifikan baik dari akses informasi maupun laporan terkait praktik Praperadilan ini di tiap pengadilan; dan keempat perbaikan manajemen perkara Praperadilan di tingkat PN. Sistem
manajemen yang saat ini ada umumnya harus dibenahi Permasalahan lain yang mengemuka dalam praktik Praperadilan adalah terkait dengan mekanisme beracara yang dipakai dalam sidang Praperadilan
hingga kini belum menemui kata sepakat, apakah memakai mekanisme peradilan pidana, peradilan perdata atau memiliki mekanisme sendiri yang berbeda dari dua mekanisme peradilan sebelumnya.
53
4.5 Problem Peninjauan Kembali dalam SEMA No. 7 Tahun 2014