Situasi Legislasi dan Kebijakan Hukum Pidana

4 Situasi hukum acara pidana juga menyoroti mekanisme Praperadilan dan Kebijakan Baru dalam Perma 4 Tahun 2016 tentang Praperadilan. Sejak 18 April 2016 Mahkamah Agung MA telah mengeluarkan Peraturan MA Perma No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan. Dengan terbitnya Perma ini, maka mengajukan PK atas putusan perkara praperadilan kini dilarang. Perma larangan PK perkara praperadilan ini menjadikan setiap perkara praperadilan tidak bisa diajukan kasasi, PK, termasuk banding. Institute for Criminal Justice Reform ICJR melihat Mahkamah Agung dalam Perma telah mencoba menjaga kesatuan hukum dalam menghadapi perkembangan hukum mengenai praperadilan. Namun Perma ini belum cukup komprehensif dalam mengatur soal Praperadilan. Perma Praperadilan ini seharusnya mengakomodir seluruh masalah Praperadilan termasuk kondisi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21PUU-XII2014. Demikian pula soal Peninjauan kembali PK. Problem Peninjauan Kembali dalam SEMA No 7 Tahun 2014. Di tahun 2016 Mahkamah Konstitusi kembali mengeluarkan dua putusan yang menghilangkan pembatasan Peninjauan Kembali kasus Pidana, yaitu Putusan MK No. 66PUU-XIII2015 dan Putusan MK No. 45PUU-XIII2015. Dua putusan ini mengukuhkan kembali putusan MK No. 34PUU- XI2013, tanggal 6 Maret 2014 dan menggugurkan dasar hukum Pembatasan SEMA No 7 Tahun 2014 yang pada intinya menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali atas dasar ditemukannya bukti baru hanya dapat diajukan satu kali. Menurut ICJR Pengaturan pembatasan PK melalui SEMA tidak tepat, selain pada dasarnya SEMA 7 Tahun 2014 ini merupakan bentuk pembangkangan terhadap Konstitusi, ternyata MA juga telah menggunakan pertimbangan dengan Pasal dalam Undang – Undang yang telah dinyatakan tidak belaku sepanjang terkait dengan pembatasan PK lebih dari satu kali dalam kasus Pidana melalui Putusan MK Putusan MK No. 66PUU-XIII2015 dan Putusan MK No. 45PUU-XIII2015. Atas dasar itu, maka menurut ICJR, MA harus segera mencabut SEMA 7 Tahun 2014.

1.5. Situasi Legislasi dan Kebijakan Hukum Pidana

Situasi Legislasi dan Kebijakan Hukum Pidana 2016 dapat dilihat dari Legislasi dan Kebijakan Hukum Pidana 2016 yang di bahas di DPR dan inisiatif-inisiatif untuk regulasi pidana lainnya yakni Pembahasan Pembahasan R KUHP, Pembahasan RUU Terorisme, Inisiatif Penyusunan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual PKS dan Kebijakan dan Implementasi Hak Saksi dan Korban di Indonesia. Pembahasan R KUHP sebelumnya telah dibahas di Panitia Kerja Komisi III DPR RI sejak tahun 2015. Karena materi yang begitu luas dan jumlah aturan yang sangat banyak, DPR menargetkan pembahasan diselesaikan pada tahun 2017. Di tahun 2016, pembahasan Rancangan KUHP kembali dimulai dengan pembahasan Buku I Pasal 89 hukuman mati pada tanggal 18 Januari 2016 sampai pembahasan Buku II Pasal 505 mengenai Perjudian pada tanggal 14 Desember 2016. Jadi pada tahun 2016, DPR telah berhasil membahas Buku I dari R KUHP, dengan jumlah 129 pasal dan mulai membahas Buku II dari Pasal 219 sampai denganPasal 505 KUHP 286 pasal dari total jumlah pasal di Buku II. Pembahasan Buku I RKUHP oleh Panitia Kerja Panja RKUHP Komisi III DPR dan Pemerintah di tahun 2016, dilaksanakan pada tanggal 18 Januari 2016 hingga 25 Juli 2016. Pembahasan pada tahun 2016 dimulai dengan pembahasan dan kesepakatan DIM 360 Pasal 89 s.d. Pasal 92 RKUHP mengenai ketentuan Hukuman Mati dalam KUHP hingga DIM 730 Bab XVI Ketentuan Penutup Pasal 218 Buku ke I RKUHP. Beberapa hal krusial terkait pembahasan R KUHP di tahun 2016 ialah persoalan Hukuman Mati, Pertanggungjawaban Pidana kaitannya dengan Penyandang Disabilitas Penggunaan Pidana Penjara yang Meningkat, meningkatnya Tindak Pidana terkait Proteksi Negara dalam Pembahasan Buku II RKUHP. Makin Menguatnya Intervensi Negara Dalam Pasal-Pasal Kesusilaan di RKUHP. 5 Pembahasan RUU Terorisme 2016 juga dilakukan untuk merespon peristiwa bom dan serangan di kawasan Sarinah, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, pada 14 Januari 2016. Pemerintah melakukan langkah- langkah kebijakan terkait politik hukum nasional, dengan mengajukan revisi UU No 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dengan kebijakan baru yang lebih menitikberatkan pada upaya preventif. Maka pada akhir Januari 2016, Pemerintah kemudian memfinalkan RUU Pemberantasan Terorisme dan di Februari 2016 pemerintah menyerahkan naskah rancangan tersebut kepada DPR secara terbatas. ICJR melihat ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan dalam RUU Terorisme, yaitu mengenai rumusan tindak pidana baru, hukuman mati, upaya paksa aparat penegak hukum dan minimnya hak-hak korban. Selanjutnya, lanjutan atas pembahasan RUU Minuman Beralkohol yang dilakukan tertutup. Pada tahun 2015, DPR telah membentuk Panitia Khusus untuk membahas RUU Larangan Minuman Beralkohol RUU Larangan Minol, sebuah RUU yang menjadi usul inisiatif DPR RI. Pada 22 Juni 2015 Badan Legislasi Baleg mengadakan Rapat Pleno Pleno yang membahas laporan Panitia Kerja Rancangan Undang-Undang Larangan Minuman Beralkohol RUU LMB. Pembahasan RUU ini di tahun 2016 sangat tertutup. Institute for Criminal Justice Reform ICJR meminta agar Pemerintah dan DPR berhati – hati dalam membahas RUU Larangan Minol. Pembahasan yang baik dan berdasarkan riset yang mendalam terhadap RUU Larangan Minol ini akan mencegah terjadinya inflasi peraturan pidana yang tidak perlu atau kriminalisasi. Inflasi aturan pidana saat ini sedang terjadi dan di masa depan secara faktual telah menyebabkan beban pembiayaan Negara dan juga beban ekonomi bagi masyarakat Indonesia. Selanjutnya mengenai terbentuknya Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Iniiatif penyusunan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual PKS adalah satu upaya untuk menghadirkan perlindungan komprehensif bagi korban kekerasan dan korban kekerasan seksual, Komnas Perempuan menyusun draft RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual RUU PKS yang dibangun sejak tahun 2014. Revisi Baru UU ITE UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE, juga dapat dikatakan setengah hati karena dari awal pemerintah memang memiliki banyak kepentingan mengenai penegakan hukum ITE terkait dengan kebebasan berekspresi. Perubahan yang dilakukan terkait UU ITE ini hanyalah melegitimasi kepentingan pemerintah agar sikap kritis masyarakat Indonesia dikekang dengan menambahkan kewenangan-kewenangan baru. Semua revisi lebih banyak memberikan kewenangan baru kepada pemerintah. Sedari awal ICJR menyatakan kekecewaan yang mendalam terutama terkait proses pembahasan RUU Perubahan UU ITE yang selalu tertutup dari pantauan masyarakat. Dalam pantauan ICJR, tidak ada satupun sidang – sidang pembahasan RUU Perubahan UU ITE yang dinyatakan terbuka oleh Pimpinan Komisi dan Panja Fraksi, dan hal ini merupakan kemunduran dan mencederai semangat dari para pimpinan DPR untuk membuat DPR yang modern, transparan, dan akuntabel.

1.6. Kebijakan dan Implementasi Hak Saksi dan Korban di Indonesia