Saran Beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai saran sehubungan dengan Latar Belakang

2. Kewajiban atas pemeliharaan dan pemberian nafkah terhadap anak yang perkawinan orang tuanya dibatalkan dalam perkara Nomor Register : 767Pdt.G2013PA.TPI adalah kewajiban ibunya dan keluarga ibunya karena anak tersebut merupakan anak luar perkawinan yang hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Meskipun perkawinan mereka sudah dibatalkan jika Termohon I mengetahui bahwa anak tersebut adalah anaknya, secara kasih sayang Termohon I juga dapat memberikan nafkah terhadap anak yang dilahirkan dalam perkawinan antara Termohon I dan Termohon II, walaupun Termohon I tidak memiliki hubungan nasab dengan anaknya, ia hanya sebagai ayah biologis dari anak tersebut. 3. Akibat hukum pembatalan perkawinan mempunyai dampak hukum terhadap suami isteri yaitu diantara keduanya dianggap tidak pernah terjadi perkawinan, dan setelah adanya putusan pengadilan maka sejak saat itu tidak ada lagi ikatan antara suami isteri, baik itu mengenai hak dan kewajibannya sebagai suami isteri. Akibat pembatalan ini juga tidak berlaku surut terhadap anak, harta bersama dan pihak ketiga dalam perkawinan.

B. Saran Beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai saran sehubungan dengan

penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Sebaiknya sebelum melangsungkan perkawinan calon suami maupun calon isteri harus secara cermat meneliti mengenai status diri masing- masing pihak, untuk mencegah terjadinya kesalahan, kepalsuan, atau kecacatan baik ketika sebelum pernikahan maupun setelah pernikahan. Universitas Sumatera Utara 2. Pegawai Pencatat Nikah seharusnya lebih hati-hati dan teliti dalam memeriksa syarat-syarat perkawinan. Hal ini untuk menghindari terjadinya perkawinan yang dilakukan dengan tidak memenuhi syarat dan berkibat perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Universitas Sumatera Utara 18 BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

A. Perkawinan 1. Pengertian perkawinan

Perkawinan dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kawin, yang kemudian diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”. Istilah yang sama dengan kata kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an” menjadi pernikahan. Perkawinan atau pernikahan diartikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan bersuami isteri. 15 Istilah “nikah” berasal dari bahasa arab, sedangkan menurut istilah bahasa Indonesia adalah “perkawinan”. Dewasa ini kerapkali dibedakan antara “nikah” dengan “kawin”, akan tetapi pada prinsipnya antara pernikahan dan perkawinan hanya berbeda di dalam menarik akar kata saja. Apabila ditinjau dari segi hukum nampak jelas bahwa pernikahan atau perkawinan adalah aqad yang bersifat luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suami isteri dan dihalalkannya hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga yang penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni, keadaan ini lazim disebut keluarga sakinah. 16 Suatu perkawinan adalah salah satu lembaga kemasyarakatan yang paling tua, dan paling pertama sekali diatur oleh aturan hukum sejak dahulu kala, di 15 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2004, hal. 453 16 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2015, hal. 36 Universitas Sumatera Utara samping lembaga-lembaga lainnya seperti jual beli, sewa menyewa dan sebagainya. Berbeda dengan lembaga jual beli dan sebagainya, perkawinan itu adalah suatu lembaga dimana hubungan antar dua jenis manusia yang berlainan itu begitu penting dan senantiasa, sedangkan lembaga lainnya tadi hanya bersifat insidentil atau sementara. 17 Di Indonesia hukum perkawinan secara otentik telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah ditegaskan mengenai pengertian perkawinan, yaitu: “Pekawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari pengertian tersebut jelaslah terlihat bahwa dalam perkawinan memiliki dua aspek, yaitu: 1. Aspek formil hukum Hal ini dinyatakan dalam kalimat “ikatan lahir bathin”, artinya bahwa perkawinan di samping mempunyai nilai ikatan lahir secara tampak, juga mempunyai ikatan bathin yang dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan dan ikatan bathin ini merupakan inti dari perkawinan itu. 18 “Ikatan lahir-bathin” dimaksudkan bahwa perkawinan itu tidak hanya cukup dengan adanya “ikatan lahir” atau “ikatan bathin” saja, tetapi harus kedua- 17 Rusdi Malik, memahami Undang-Undang Perkawinan, Universitas Trisakti, Jakarta, 2009, hal. 2 18 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008,hal. 103 Universitas Sumatera Utara duanya. Suatu “ikatan lahir” adalah ikatan yang dapat dilihat. Mengungkapkan adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama, sebagai suami isteri, dengan kata lain dapat disebut “hubungan formil”. 19 Hubungan formil ini nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya, maupun bagi orang lain atau masyarakat. 20 Sebaliknya, Suatu “ikatan Bathin” adalah merupakan hubungan yang tidak formil, suatu ikatan yang tidak dapat dilihat. Walau tidak nyata, tapi ikatan itu harus ada. Karena tanpa adanya ikatan bathin, ikatan lahir akan menjadi rapuh. Hal ini seyogyanya dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan. Dalam tarap permulaan untuk mengadakan perkawinan, ikatan bathin ini diawali oleh adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama. Selanjutnya dalam hidup bersama itu, tercermin dari adanya kerukunan. Seterusnya ikatan bathin akan merupakan inti ikatan lahir.terjalinnya ikatan lahir dan ikatan bathin, merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. 21 2. Aspek sosial keagamaan Dengan disebutkannnya membentuk keluarga dan berdasarkan ketuhanan yang maha esa, artinya perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan kerohanian, sehingga bukan saja unsur jasmani tapi unsur bathin berperan penting. 22 Penjelasan ditegaskan lebih rinci bahwa sebagai Negara yang berdasarkan 19 K. Wantjik Saleh,, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1976, hal. 14 20 Ibid, hal. 15 21 Ibid 22 Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hal. 104 Universitas Sumatera Utara Pancasila, dimana sila yang pertama adalah ketuhanan yang maha esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agamakerohanian. 23 Dengan demikian pengertian perkawinan sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki unsur-unsur, yaitu: 1 Adanya seorang pria dan wanita; 2 Ikatan lahir dan batin; 3 Adanya tujuan tertentu yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal. 4 Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 24

2. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan pada dasarnya adalah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendidik sebuah kehidupan rumah tangga yang damai dan tenteram. Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputuskan begitu saja. 25 Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan kebutuhan rohaniah. Yang termasuk kebutuhan jasmaniah, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan 23 Sudarsono, Op.Cit., hal. 9 24 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Hukum Perdata: Hukum Orang Keluarga, USU Press, Medan, 2011, hal. 40 25 Ibid, hal. 43 Universitas Sumatera Utara yang termasuk kebutuhan rohaniah seperti seorang anak yang berasal dari darah daging mereka sendiri. 26 Keluarga bahagia dan kekal adalah cita-cita bagi kedua calon suami isteri. Kata “bahagia” adalah abstrak dan merupakan puncak tertinggi yang ingin dicapai oleh kedua belah pihak. Dari awal harus sudah ada kemauan yang kuat untuk hidup bahagia dan bukan hidup susah. Bahagia dalam arti materil dan immaterial menjadi suatu kepuasan dalam keluarga. Bahagia juga dapat dilihat dari aspek ekonomi, sosial dan kultur, tidak akan dikatakan bahagia suatu keluarga jika tidak ditopang dengan ekonomi yang memadai, misalnya memiliki rumah, kendaraan, cukup pangan, biaya pendidikan, biaya sosial, dan sebagainya. Bahagia harus pula diukur dengan potensi individu dan kolektif suami isteri, sehingga ukurannya sangat relatif, tetapi yang paling umum bahagia adalah jika rumah tangga yang dijalani dari awal sampai akhir sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan serta biaya pendidikan anak-anak, tidak mengalami keretakan atau kegoncangan yang mengarah kepada bubarnya perkawinan. Perkawinan besifat kekal, artinya diharapkan bahwa perkawinan harus berlangsung seumur hidup kecuali salah satu meninggal dunia. Hal ini juga berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputus begitu saja. Karena itu, tidak diperkenankan perkawinan yang hanya dilangsungkan untuk sementara waktu saja seperti kawin kontrak. Pemutusan perkawinan dengan perceraian hanya diperbolehkan dalam keadaan 26 Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hal. 109 Universitas Sumatera Utara yang sangat terpaksa. 27 Kekal juga mengisyaratkan bahwa bersikap hati-hati pada saat memilih calon suami-isteri, karena suami atau isteri bukan seperti benda yang dipakai untuk kepentingan sesaat. Selanjutnya dalam rumusan perkawinan itu dinyatakan dengan tegas bahwa pembentukan keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti perkawinan harus didasarkan pada agama dan kepercayaan. Ketuhanan yang maha esa merupakan warna lain dan sekaligus pembeda dari karakter perkawinan menurut KUH Perdata. Setiap manusia Indonesia diyakini mempunyai sikap hidup untuk ber tuhan sesuai dengan agamanya. Dengan unsur ketuhanan yang melandasi suatu perkawinan semakin jelas bahwa perkawinan bukanlah urusan duniawi saja melainkan urusan religius. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terlihat bahwa perkawinan tidak hanya dipandang berdasarkan persoalan materi, melainkan merujuk paham religius. Tujuan perkawinan bukan bersifat sementara, melainkan untuk kekal dan abadi, hidup bahagia kecuali putus hubungan karena kematian. 28 Menurut agama Islam, perintah religius merupakan sunnah rasulullah. Keberadaan unsur Ketuhanan dalam sebuah perkawinan bukan saja peristiwa itu merupakan perjanjian yang sakral melainkan sifat pertanggungjawaban hukumnya jauh lebih penting yaitu pertanggungjawaban kepada tuhan sang pencipta Allah SWT. Dengan adanya unsur ketuhanan, maka hilanglah pandangan yang mengatakan bahwa perkawinan adalah urusan manusia semata-mata. 29 27 Ridwan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, PT Alumni, Bandung, 2004, hal. 62 28 Ibid, hal. 42 29 Ibid, hal. 44 Universitas Sumatera Utara Sel anjutnya dijelaskan bahwa “untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materil”. Bentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal jelas yang dimaksud berdasarkan ajaran agama yang dianut masyarakat Indonesia seperti ajaran Islam, Kristen, Katolik, dan Hindu-Budha. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agamakerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahirjasmani, tetapi unsur batinrohani juga mempunyai peranan yang penting. Pembentukan keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, dimana pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua. Dengan demikian yang menjadi tujuan perkawinan menurut perundangan adalah untuk kebahagiaan suami isteri, untuk mendapatkan keturunan dan menegakkan keagamaan, dalam kesatuan keluarga yang bersifat parental ke-orangtua-an. 30

3. Asas-asas Perkawinan

Cita hukum suatu undang-undang yang merupakan refleksi normatif dari keinginan masyarakatnya terletak pada jantungnya hukum tersebut. Dalam ilmu hukum jantung hukum lebih dikenal dengan sebutan asas hukum. Asas-asas hukum perkawinan tidak dicantumkan secara tegas dalam batang tubuh Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan melainkan diletakkan dalam penjelasan umum undang-undang tersebut. Kedudukan asas hukum perkawinan 30 Ibid, hal. 21 Universitas Sumatera Utara ini adalah sebagai jantungnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Tanpa ada asas-asas hukum perkawinan, maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi kaku pelaksanaannya. 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah ditentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut: a. Asas perkawinan kekal Setiap perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Artinya, perkawinan hendaknya seumur hidup. Hanya dengan perkawinan kekal saja dapat membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing- masing dapat mengembangkan kepribadiannnya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. 32 b. Asas perkawinan menurut hukum agama atau kepercayaan agamanya Perkawinan hanya sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Artinya, perkawinan akan dianggap sah bilamana perkawinan itu dilakukan menurut hukum agama atau kepercayaan agama yang dianut oleh calon mempelai. Prinsip ini mengedepankan keseimbangan agama sebagai dasar untuk melakukan perkawinan. Kedua calon mempelai harus seagama atau seiman, kecuali hukum agamanya atau 31 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit., hal. 45 32 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal. 115 Universitas Sumatera Utara kepercayaannya itu menentukan lain. Prinsip ini dapat di jumpai dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan yang menentukan, bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. c. Asas perkawinan terdaftar Tiap-tiap perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu akan dianggap mempunyai kekuatan hukum bilamana dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkawinan yang dicatat tidak mempunyai kekuatan hukum menurut Undang-Undang Perkawinan. Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan yang menentukan, bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang dimuat dalam daftar pencatatan. 33 d. Asas perkawinan monogami Undang-Undang Perkawinan menganut asas monogami relatif, bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri, dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami dalam waktu yang bersamaan. Artinya, dalam waktu yang bersamaan, seorang suami atau isteri dilarang untuk menikah dengan wanita atau pria lain. Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan yang 33 Ibid Universitas Sumatera Utara menyatakan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang isteri hanya boleh mempunyai seorang suami. Sebagai perbandingan bahwa KUH Perdata menganut asas monogami absolut yang tercantum dalam Pasal 27 yang mengatakan dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan hanya satu orang laki- laki sebagai suaminya. 34 e. Poligami Sebagai Pengecualian Dalam hal tertentu perkawinan poligami diperkenankan sebagai pengecualian perkawinan monogami, sepanjang hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih seorang isteri, meskipun dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan bila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan. Hal ini ditegaskan dalam pasal 3 ayat 2 dan pasal 4 serta 5 Undang-Undang Perkawinan. f. Asas Tidak Menegnal Poliandri Undang-Undang Perkawinan melalui Pasal 3 ayat 1 tidak membolehkan adanya perkawinan poliandri, dimana seorang wanita hanya memiliki seorang suami pada waktu yang bersamaan. Hikmah utama perkawinan poliandri dilarang, untuk menjaga kemurnian keturunan, jangan sampai bercampur aduk dan kepastian hukum seorang anak, karena anak sejak dilahirkan bahkan dalam keadaan tertentu walaupun masih dalam kandungan telah berkedudukan sebagai pembawa hak, sehingga perlu mendapat perlindungan dan kepastian 34 Ibid Universitas Sumatera Utara hukum. Dalam hukum waris Islam, seorang anak yang masih ada dalam kandungan yang kemudian lahir dalam keadaan hidup berhak mendapat bagian penuh apabila ayahnya meninggal dunia biarpun dia masih janin dalam kandungan. g. Perkawinan didasarkan pada kesukarelaan atau kebebasan berkehendak Untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, setiap perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua belah pihak, calon mempelai laki- laki dan calon mempelai wanita. Perkawinan merupakan salah satu hak asasi manusia, oleh karena itu suatu perkawinan harus didasarkan pada kerelaan masing-masing pihak untuk menjadi suami isteri, untuk saling menerima dan saling melengkapi satu sama lainnya, tanpa ada suatu paksaan dari pihak manapun juga. Perkawinan yang tanpa disadari oleh persetujuan kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan dapat dijadikan alasan pembatalan perkawinan. Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan yang menentukan, bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Persetujuan secara sukarela ini sesungguhnya tampak pada saat diadakannya peminangan atau pelamaran terlebih dahulu oleh calon mempelai laki-laki terhadap calon mempelai wanita untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak. h. Keseimbangan hak dan kedudukan suami isteri Hak dan kedudukan suami isteri dalam kehidupan rumah tangga maupun masyarakat seimbang. Suami isteri dapat melakukan perbuatan hukum dalam kerangka hubungan hukum tertentu. Suami berkedudukan sebagai kepala Universitas Sumatera Utara rumah tangga dan isteri berkedudukan sebagai ibu rumah tangga. Dalam memutuskan segala sesuatu, maka dirundingkan secara bersama-sama antara suami isteri. Prinsip ini lebih lanjut dijabarkan dalam Pasal 31 Undang- Undang Perkawinan. i. Asas Mempersukar Perceraian Sejalan dengan tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia, kekal, dan sejahtera maka Undang-Undang Perkawinan menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian. Perceraian hanya dapat dilakukan apabila ada alasan-alasan tertentu dan harus dilakukan di depan sidang pengadilan setelah hakim atau juru pendamai tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Prisip ini ditegaskan lebih lanjut dalam Pasal 39 Undang-Undang Perkawinan. Demikian pula hukum perkawinan Islam menganganggap perceraian sebagai “pintu darurat” dan ini baru dapat dilakukan setelah proses tertentu, karena perkawinan tidak saja berkaitan dengan persoalan hukum belaka, tetapi juga berkaitan dengan refleksi moral kemanusiaan. Perkawinan hanya akan terwujud bila sebelum adanya kesepakatan kedua belah pihak dan dilakukan secara baik. demikian pula perceraian juga harus dilakukan secara baik. Asas-asas atau prinsip-prinsip perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah pembentukan keluarga bahagia dan kekal. Perkawinan yang sah menurut masing-masing agamanya, pencatatan perkawinan, asas monogami terbuka, prinsip calon suami isteri sudah masak jiwa Universitas Sumatera Utara raganya, batas umur perkawinan, perceraian dipersulit, kedudukan suami isteri seimbang. 35

4. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan

Sebagai salah satu perbuatan hukum, perkawinan mempunyai akibat hukum. Adanya akibat hukum ini penting sekali hubungannya dengan sahnya perbuatan hukum itu. Suatu perkawinan yang menurut hukum dianggap tidak sah umpamanya, maka anak yang lahir dari perkawinan itu akan merupakan anak yang tidak sah. 36 Terkait dengan sahnya suatu perkawinan, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan: a. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya; b. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pernyataan di atas juga dijelaskan kembali pada bagian penjelasan Pasal 2 Undang- Undang Perkawinan yaitu “dengan perumusan Pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang- Undang Dasar 1945”. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. 37 Jadi perkawinan yang sah jika terjadi perkawinan antar agama, adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika 35 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukm Perorangan Kekeluargaan Di Indonesia, Sinargrafita, Jakarta, 2006, hal. 264-26 36 K. Wantjik Saleh, Op.Cit., hal. 15 37 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit, hal. 51 Universitas Sumatera Utara perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Islam, kemudian dilakukan lagi menurut hukum Kristen danatau Hukum HinduBudha, maka perkawinan itu menjadi tidak sah, demikian sebaliknya. 38 Pasal 2 ayat 2 juga harus dibaca senafas dan tidak boleh difragmentaris dengan ayat 1 nya, walaupun ayat 2 tidak membicarakan sahnya perkawinan tetapi juga memiliki fungsi yang menguatkan secara administratif. Memang suatu perkawinan dikatakan sah bukan ditentukan oleh aspek administratifnya melainkan ditentukan oleh faktor substantifnya dalam ayat 1 yaitu agama dan kepercayaannya. Jadi, ada pembedaan namun tidak bisa dipisahkan. Perkawinan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan memiliki aspek perdata dan aspek administratif. Aspek perdata membicarakan fungsi substasi dan aspek pendaftaran membicarakan fungsi administratif. Fungsi yang terakhir adalah untuk kejelasan dan kepastian hukum tentang adanya bukti perkawinan yang sudah dilakukan oleh suami isteri bagi masyarakat dan negara. 39 Syarat perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting, sebab suatu perkawinan yang dilakukan dengan tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang, maka perkawinan tersebut dapat diancam dengan pembatalan atau dapat dibatalkan. Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, meliputi syarat-syarat materil maupun formil, yaitu: 1. Syarat materiil Syarat materiil disebut juga dengan syarat inti atau internal, yaitu syarat 38 Hilman Hadikusuma, Op,Cit., hal. 11 39 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit, hal. 52 Universitas Sumatera Utara yang menyangkut pribadi para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan dan izin-izin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang. 40 Syarat-syarat materiil, diatur dalam Pasal 6 sd 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dapat dibedakan lagi dalam syarat materiil yang absolutmutlak dan syarat materiil yang relatifnisbi. 41 a Syarat materiil absolut adalah syarat mengenai pribadi seorang yang harus di indahkan untuk perkawinan pada umumnya. 42 Syarat materiil absolut ini meliputi: 1 Batas umur minimum pria 19 tahun dan untuk wanita 16 tahun Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam hal penyimpangan dari batas umur tersebut dapat meminta dispensasi kepada pengadilan. 2 Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian atau persetujuan antara kedua calon mempelai Pasal 6 ayat 1 . 3 Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun harus mendapat ijin kedua orang tua Pasal 6 ayat 2. Apabila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka ijin dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam 40 Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hal. 110. 41 Komariah, Edisi Revisi Hukum Perdata, UMM Press, Malang, 2008, hal. 44 42 Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hal. 110 Universitas Sumatera Utara keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. Jika ada perbedaan pendapat antara kedua orang tua, orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya dan walinya, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang seharusnya memberikan ijin sebagaimana dimaksud di atas. Menurut Pasal 6 ayat 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, ketentuan tentang pihak-pihak yang berwenang memberikan ijin tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. 43 b Syarat materil yang relatifnisbi, merupakan syarat yang melarang perkawinan antara seorang dengan seorang yang tertentu, yaitu: a Larangan kawin antara orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, yakni hubungan kekeluargaan karena darah dan perkawinan, yang ditentukan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974: 1.1 Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau pun ke atas. 1.2 Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antar 43 Komariah, Op.Cit., hal. 45 Universitas Sumatera Utara saudara, antar seorang dengan orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 1.3 Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibubapak tiri. 1.4 Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibipaman susuan. 1.5 Berhubugan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemanakan dan isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih dari Seorang. 1.6 Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. b Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali seorang suami yang oleh pengadilan diijinkan untuk poligami karena telah memenuhi alasan-alasan dan syarat-syarat ditentukan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. c Larangan kawin bagi suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Larangan kawin seperti Pasal 10 tersebut sama dengan larangan kawin yang ditentukan dalam Pasal 33 KUHPerdata ayat 2 yang Universitas Sumatera Utara menentukan bahwa perceraian setelah yang kedua kalinya antara orang-orang yang sama, adalah terlarang. Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mngakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain. d Seorang wanita yang putus perkawinannya dilarang kawin lagi sebelum habis jangka tunggu Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 44 2. Syarat formil Syarat formil atau syarat lahir eksternal adalah syarat yang berhubungan dengan tata cara atau formalitas yang harus dipenuhi sebelum proses perkawinan. 45 Syarat formil ini meliputi: a. Pemberitahuan akan dilangsungkannya perkawinan oleh calon mempelai baik secara lisan maupun tertulis kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 10 sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan Pasal 3 dan 4 PP Nomor 9 Tahun 1975. b. Pengumuman oleh pegawai pencatat dengan menempelkannya pada tempat yang disediakan di Kantor Pencatatan Perkawinan. Maksud 44 Ibid, hal. 47 45 Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hal. 111 Universitas Sumatera Utara pengumuman itu adalah untuk memberikan kesempatan kepada orang yang mempunyai pertalian dengan calon suamiisteri itu atau pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan misalnya kejaksaan untuk menentang perkawinan itu kalau ada ketentuan undang-undang yang melanggar. Pengumuman tersebut dilaksanakan setelah pegawai pencatat meneliti syarat-syarat dan surat-surat kelengkapan yang harus dipenuhi oleh calon mempelai. Perkawinan tidak boleh dilangsungkan sebelum melewati hari ke 10 setelah di umumkan Pasal 10 PP Nomor 9 Tahun 1975. 46

5. Larangan perkawinan

Undang-Undang Perkawinan menentukan beberapa larangan untuk melangsungkan perkawinan yang dimuat dalam Pasal 8, 9, dan pasal 10, kiranya dapat digolongkan menjadi 7 macam, yaitu: a. Karena adanya hubungan darah: 1 Perkawinan antara keluarga sedarah dalam garis keturunan ke bawah maupun ke atas Pasal 8a; 2 Perkawinan antara keluarga sedarah dalam garis keturunan menyamping yaitu antar saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, antar seorang dengan sudara nenek Pasal 8b. b. Karena adanya hubungan semenda: Perkawinan antara keluarga semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibubapak tiri Pasal 8c. c. Karena adanya hubungan susuan: 46 Komariah, Op.Cit., hal. 48 Universitas Sumatera Utara Perkawinan antara orang tua susuan, anak susuan dan bibipaman susuan Pasal 8d. d. Karena hubungan dalam perkawinan poligami: Perkawinan antara seorang suami dengan saudara isteri, bibi atau kemanakan isteri Pasal 8e. e. Karena larangan agama Perkawinan antara orang-orang yang oleh agamanya dilarang Pasal 8f f. Karena masih terikat dalam perkawinan: Perkawinan seseorang yang masih terikat dalam perkawinan Pasal 9. g. Karena bercerai kedua kali: Perkawinan antara bekas suami dan bekas isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu yang bersangkutan tidak menentukan lain Pasal 10. Larangan yang terakhir ini diberi penjelasan bahwa ketentuan ini dimaksud untuk mencegah tindakan kawin cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benarbenar saling menghargai satu sama lain. 47

6. Akibat hukum dari perkawinan

A. Hak dan kewajiban suami isteri Sebagai suatu hubungan hukum, perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban suami isteri. Yang dimaksud dengan “hak” ialah sesuatu yang merupakan milik atau dapat dimiliki oleh suami atau isteri yang timbul karena perkawinannya. Sedangkan yang dimaksud dengan “kewajiban” ialah suatu yang 47 K. Wantjik Saleh, Op.Cit., hal. 27 Universitas Sumatera Utara harus dilakukan atau iadakan oleh suami atau isteri untuk memenuhi hak dan dari pihak lain. 48 Hak dan kewajiban suami isteri dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur dalam Pasal 30 sd 34 yang menentukan secara garis besar sebagai berikut : 49 a. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat; b. Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan saling memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain; c. Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat; d. Suami isteri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum; e. Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri ibu rumah tangga. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannnya, dan isteri wajib mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya; f. Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, yang ditentukan secara bersama. Jika suami isteri melalaikan kewajibannya, maka masing-masing dapat menuntut terhadap pihak lain dengan cara mengajukan gugatan kepada Pengadilan. Hak kewajiban suami isteri yang diatur dalam Undang-Undang 48 Riduan syahrani, Op.Cit., hal. 90 49 Ibid Universitas Sumatera Utara Perkawinan diatas pada dasarnya mengandung persamaan dengan hak dan kewajiban yang diatur dalam hukum Islam. 50 B. Harta benda dalam perkawinan Harta benda dalam perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur pada Pasal 35 sd 37. Pasal 35 disebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sedangkan harta bawaan masing-masing suami isteri, serta harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing, kecuali ditentukan lain yaitu dijadikan harta bersama. Untuk menentukan hal lain ini, suami isteri dapat mengadakan “perjanjian perkawinan” yang dibuat secara tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan. Perjanjian perkawinan ini tidak boleh melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila suami isteri yang bersangkutan sepakat untuk mengubahnya, tetapi dengan tidak merugikan pihak ketiga Pasal 29. Mengenai harta bersama, suami maupun isteri dapat mempergunakannya dengan persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan, suami atau isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk mempergunakan harta bawaannya masing-masing tanpa perlu persetujuan dari pihak lain Pasal 36. Adanya hak suami dan isteri untuk mempergunakan atau memakai harta bersama dengan persetujuan kedua belah pihak secara timbal balik adalah sudah sewajarnya mengingat bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan 50 Ibid, hal. 91 Universitas Sumatera Utara hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat dimana masing-masing berhak untuk melakukan perbuatan hukum Pasal 31. 51 Syarat “persetujuan” kedua belah pihak dalam mempergunakan harta bersama tersebut harus diartikan sedemikian rupa, dimana tidak semua hal mengenai penggunaan harta bersama itu diperlukan persetujuan secara tegas dari kedua belah pihak. Dalam beberapa hal tertentu persetujuan kedua belah pihak ini harus dianggap ada sebagai persetujuan diam-diam. Misalnya dalam mempergunakan harta bersama untuk keperluan hidup sehari-hari. Selanjutnya, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ditentukan, apabila perkawinan putus, maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan “hukumnya” masing- masing itu adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya. 52 Jadi dalam hal ini Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan pengaturan tersendiri, melainkan menunjuk kepada hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lain yang berlaku bagi suami isteri yang bersangkutan. Sehingga dengan demikian pengaturannya seperti keadaan semula sebelum Undang-Undang Perkawinan. C. Kedudukan anak Meskipun menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memperoleh anak keturunan tidak dijadikan tujuan perkawinan, tetapi tentang anak tetap dipandang sebagai hal yang cukup penting, satu dan lain 51 Ibid, hal. 92 52 Ibid Universitas Sumatera Utara hal karena ini mempunyai kaitan erat dengan pewarisan, sehingga tentang anak ini diatur secara khusus dalam Pasal 42 sd 44 dan Pasal 55. Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah Pasal 42. Hal ini berarti bahwa anak yang lain di luar perkawinan yang sah bukanlah anak yang sah. Ini membawa konsekuensi dalam bidang pewarisan. Sebab anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya Pasal 43. Dengan demikian anak yang lahir di luar perkawinan itu hanya dapat mewarisi harta benda yang ditinggalkan ibunya dan keluarga ibunya, tetapi tidak dapat mewarisi harta benda yag ditinggalkan ayahnya. Dengan kata lain, anak yang lahir di luar perkawinan tersebuat hanyalah menjadi ahli waris ibunya dan keluarga ibunya, tetapi tidak menjadi ahli waris ayahnya dan keluarga ayahnya. Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan isterinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berbuat zina dan anak itu akibat daripada perzinahan tersebut. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah tidaknya anak atas permintaan yang berkepentingan dengan lebih dahulu mewajibkan yang berkepentingan mengucapkan sumpah Pasal 44. 53 Selanjutnya mengenai asal usul anak Pasal 55 Undang-Undang Perkawinan menentukan : 1. Asal-usul anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang; 2. Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat 1 pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang 53 Ibid, hal. 93 Universitas Sumatera Utara anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berasarkan bukti-bukti yang memiliki syarat; 3. Atas dasar pengadilan tersebut ayat 2 pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan menegeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan. D. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak Apabila suatu perkawinan memperoleh keturunan anak, maka perkawinan tersebut tidak hanya menimbulkan hak dan kewajiban antara suami dan isteri, tetapi juga menimbulkan hak dan kewajiban antara suami isteri yang bersangkutan sebagai orang tua dan anak-anaknya. Hak dan kewajiban antara orang tua dan anaknya ini dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur pada Pasal 45 sd 49. Pasal 45 ditentukan bahwa kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya, sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua itu putus. Disamping kewajiban untuk memelihara dan mendidik tersebut, orang tua juga menguasai anaknya yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan. Kekuasaan orang tua ini meliputi juga untuk mewakili anak yang belum dewasa itu dalam melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan Pasal 47. 54 Meskipun demikian, kekuasaan orang tua dan batasnya yaitu tidak boleh 54 Ibid, hal. 94 Universitas Sumatera Utara memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tatap milik anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya Pasal 48. Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua terhadap anaknya dapat dicabut untuk waktu tertentu, apabila ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya atau berkelakuan buruk sekali. Pencabutan kekuasaan orang tua terhadap seorang anaknya, dilakukan dengan keputusan pengadilan atas permintaan orang tua yang lain, keluarga dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang. Kekuasaan orang tua yang dicabut ini tidak termasuk kekuasaan sebagai wali nikah. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, tetapi mereka masih berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan anaknya tersebut Pasal 49. Sebaliknya,anak tidak hanya mempunyai hak terhadap orang tuanya, tetapi juga mempunyai kewajiban. Kewajiban anak yang utama terhadap orang tuanya adalah menghormati dan menaati kehendak yang baik dari orang tuanya. Bilamana anak telah dewasa, ia wajib memelihara orang tuanya sebaik-baiknya menurut kemampuannya. Bahkan, anak juga berkewajiban untuk memelihara keluarga dalan garis lurus ke atas, bila mereka ini memerlukan bantuan Pasal 46. Dengan demikian, terlihat adanya hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua orang tua dengan anak-anaknya. E. Perwalian Perwalian dalam Undang-Undang Nomor 1Tahun 1974 diatur pada Pasal 50 sd 54. Akan tetapi, juga mempunyai kaitan yang erat dengan Pasal 48 dan 49 yang mengatur tentang kekuasaan orang tua dan pembatasannya. 55 55 Ibid, hal. 95 Universitas Sumatera Utara Pasal 49 ditentukan bahwa kekuasaan salah seorang dari orang tua dapat dicabut dengan keputusan Pengadilan atas permintaan orang tua lain. Ketentuan Pasal 49 ini dapat ditafsirkan, bahwa menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan kekuasaan orang tua terhadap anak dapat dijalankan hanya oleh seorang dari kedua orang tua si anak, perwalian hanyalah ada bilamana terhadap seseorang atau beberapa orang anak tiidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya sama sekali. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 50 ayat 1 yang menyatakan : “anak yang belum mencapai 18 delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali” Dengan demikian maka putusnya perkawinan antara kedua orang tua, meninggalnya salah seorang dari kedua orang tua dan dicabutnya kekuasaan salah seorang dari kedua orang tua, tidak dengan sendirinya mengakibatkan anak berada di bawah kekuasaan wali. Kecuali apabila dalam putusnya perkawinan, kedua orang tua telah menyerahkan anaknya di bawah kekuasaan wali. Atau kedua orang tua meninggal dunia atau kedua orang tua dicabut kekuasaannya terhadap anaknya, maka dengan sendirinya anak berada di bawah kekuasaan wali. Perwalian itu tidak hanya mengenai diri pribadi anak yang bersangkutan, tetapi juga mengenai harta bendanya. Wali dapat ditunjuk oleh salah seorang dari kedua orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal, baik dengan surat wasiat maupun dengan lisan dihadapan 2 orang saksi. Wali sedapat mungkin diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikir sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik Pasal 51 ayat 1 dan Universitas Sumatera Utara 2. Ketentuan ini sudah sewajarnya karena wali memikul kewajiban-kewajiban tertentu seperti tersebut di bawah ini, yang kiranya hanya dapat dilaksanakan oleh orang yang penuh tanggung jawab. 56 1. Wali wajib megurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu; 2. Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu; 3. Wali bertanggung jawab tentang harta tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannnya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya; 4. Wali tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anak yang berada di bawah perwaliannya, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Wali yang telah mnyebabkan kerugian terhadap harta benda anak yang berada di bawah kekuasannya, atas tuntutan anak tersebut atau keluarganya melalui pengadilan, dapat dihukum untuk mengganti kerugian tersebut. Seperti halnya kekusaan orang tua terhadap anaknya dapat dicabut dengan keputusan Pengadilan, maka kekuasaan wali terhadap anak di bawah perwaliannya juga dapat dicabut dengan keputusan Pengadilan, baik atas permintaan orang tuanya kalau masih hidup maupun keluarga dalam garis lurus 56 Ibid, hal. 96 Universitas Sumatera Utara ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, karena melalaikan kewajibannya sebagai wali atau berkelakuan buruk sekali Pasal 53 jo 49. Apabila seorang wali di cabut kekuasaannya sebagai wali, maka pengadilan menunjuk orang lain sebagai penggantinya. Orang tua yang dicabut kekuasannya terhadap anaknya membawa akibat yang berbeda dengan wali yang telah dicabut kekuasaannya sebagai wali. Orang tua kendatipun dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberikan biaya pemeliharaan anaknya. Sedangkan wali yang dicabut kekuasaannya sebagai wali, tidak lagi bertanggung jawab terhadap pemeliharaan dan pendidikan anak yang berada di bawah kekuasaannya. 57 Selain berakhirnya perwalian karena dicabut oleh pengadilan, perwalian juga berakhir bilamana anak yang berada di bawah perwalian tersebut telah dewasa berumur 18 tahun atau melangsungkan perkawinan.

B. Pembatalan perkawinan 1. Pengertian pembatalan perkawinan

Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami-isteri sesudah dilangsungkan akad nikah. Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat-syarat Pasal 22-28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ini berarti bahwa perkawinan itu batal karena tidak terpenuhinya syarat-syarat yang dimaksud, namun jika perkawinan itu telah terlanjur terlaksana, maka perkawinan itu dapat dibatalkan. Istilah “batal”-nya perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal nietig tersebut. Batal berarti 57 Ibid, hal. 97 Universitas Sumatera Utara Nietig zonder kracht tidak ada kekuatan zonder waarde tidak ada nilai. Dapat dibatalkan berarti nietig verklaard, sedang; absolut nietig adalah kebatalan mutlak, berarti sejak semula tidak pernah terjadi perkawinan. 58 Istilah dapat dibatalkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, berarti dapat di fasidkan, jadi relatif nietig. Jadi perkawinan dapat dibatalkan berarti suatu perkawinan sudah terjadi dapat dibatalkan jika para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pembatalan perkawinan merupakan tindakan putusan pengadilan yang menyatakan bahwa ikatan perkawinan yang telah dilakukan itu tidak sah, akibatnya ialah bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada. Menurut Soedaryo Soimin “pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang terjadi dengan tanpa memenuhi syarat-syarat sesuai undang-u ndang”. “Pembatalan perkawinan adalah tindakan putusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan itu tidak sah, akibatnya ialah bahwa perkawinan itu dianggap tidak pernah ada”. 59 Perihal pembatalan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor l Tahun 1974 pengaturannya termuat dalam Bab VI, pada Pasal 22 sampai dengan Pasal 28 yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam Bab VI Pasal 37 dan 38. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan: “Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat- syarat untuk melangsungkan perkawinan”. 58 Martiman Prodjohamidjojo,Op.Cit., hal. 25 59 Muchlis Marwan dan Thoyib Mangkupranoto, Hukum Islam II, Buana Cipta, Surakarta, 1986, hal. 2 Universitas Sumatera Utara Dalam penjelasannya disebutkan; “Pengertian „dapat‟ pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain”. Jadi tegasnya pengadilan dalam memutus permohonan pembatalan perkawinan ini harus selalu memperhatikan ketentuan agamanya dari mereka yang perkawinannya dimintakan pembatalannya. Bagaimanapun jika mnurut ketentuan agama perkawinan itu sebagai sah, Pengadilan tidak dapat membatalkan perkawinan itu. Adapun pengadilan yang berkuasa untuk membatalkan perkawinan yaitu: Pengadilan yang daerah kekuasaannya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri. Bagi mereka yang beragama Islam dilakukan di Pengadilan Agama sedangkan bagi mereka yang beragama non Islam di Pengadilan Negeri. Saat mulai berlakunya pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Nomor l Tahu n 1974 yang menyatakan bahwa: “batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan”. Keputusan ini tidak ada upaya hukum lagi untuk naik banding atau kasasi. Akibatnya kembali ke posisi semula sebelum terjadinya perkawinan atau perkawinan dianggap tidak pernah ada.

2. Alasan pembatalan perkawinan

Ketika menjalankan suatu bahtera perkawinan tidak terlepas dari permasalahan yang timbul bukan hanya dari pihak intern namun juga dapat Universitas Sumatera Utara berasal dari pihak ekstern yang dimungkinkan akan berakhir dalam suatu perceraian. Namun di samping dari berakhirnya perkawinan dengan jalan perceraian, dikarenakan beberapa hal putusnya hubungan perkawinan juga dapat disebabkan adanya pembatalan perkawinan. Baik di dalam hukum Islam maupun hukum negara terjadinya suatu pembatalan perkawinan dibenarkan sebagai suatu bentuk berakhirnya hubungan antara suami-isteri. Terdapat beberapa alasan yang dapat diajukan untuk pembatalan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dimuat dalam Pasal 26 dan 27 adalah : a. Perkawinan yang dilangsungkan dihadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang; b. Wali nikah yang melakukan perkawinan itu tidak sah; c. Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 dua orang saksi; d. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum; e. Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.

3. Pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan

Permohonan pembatalan perkawinan hanya boleh diajukan oleh pihak yang berhak yang disebut dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu: a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri; b. Suami atau isteri; c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; Universitas Sumatera Utara d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat 2 Pasal 16 Undang-Undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Pengertian dari pejabat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23 huruf d tersebut adalah pejabat yang berwenang untuk melakukan pencegahan perkawinan karena tidak dipenuhinya ketentuan-ketentuan dalam Pasal 17 ayat 1, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Selanjutnya Pasal 26 ayat 1 menentukan bahwa perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 dua orang saksi, dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri. Kemudian Pasal 26 ayat 2 menentukan bahwa hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat 1 tersebut gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus di perbaharui supaya sah. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 26 tersebut, maka hak untuk membatalkan perkawinan oleh para keluaga dalam garis lurus ke atas dari suami atau isteri dan hak dari jaksa tetap tidak dapat gugur. Hak tersebut gugur hanya bagi suami atau isteri saja, sedangkan hak membatalkan bagi pihak lain tetap tidak gugur. Selanjutnya Pasal 27 menentukan bahwa seorang suami atau isteri dapat Universitas Sumatera Utara mengajukan permohonan pembatalan apabila : 1 Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum; 2 Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. Khusus dalam hubungan suami isteri, seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, dalam hal perkawinan itu dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum atau apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. Yang dimaksud salah sangka disini bukannya salah sangka mengenai identitas seseorang, pangkat, kedudukan, kekayaan dan sebagainya melainkan salah sangka mengenai diri suami isteri. Bilamana dalam jangka waktu 6 enam bulan setelah tidak adanya ancaman lagi atau salah sangka itu menyadari dirinya, masih tetap hidup sebagai suami isteri dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan pembatalan, maka haknya itu gugur. 60 Bahwa sesuatu yang dibatalkan itu pastilah sudah terlaksana. Oleh karena itu dapat dikatakan juga bahwa pelaksanaan pembatalan perkawinan itu diajukan sesudah perkawinan dilaksanakan. Tetapi hak untuk mengajukan permohonan pembatalan yang diberikan kepada seorang suami atau isteri terbatas hanya selama 6 bulan saja, Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa : “apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 enam bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak 60 Riduan syahrani, Op.Cit., hal. 89 Universitas Sumatera Utara mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur”. Apa yang dimaksud dengan kata di bawah ancaman yang melanggar hukum sesungguhnya juga belum jelas, melanggar hukum yang mana hukum pidana, hukum adat, atau hukum agama. Tidak jelas sebaiknya yang dijadikan ukuran adalah adalah bentuk dan sifat ancamannya yang patut dikategorikan dengan perbuatan dengan kekerasan yang menakutkan dengan menguunakan atau tanpa senjata, sehingga suami atau isteri terpaksa melakukan perkawinan. Sedangkan mengenai salah sangka mngenai diri suami atau isteri, hendaknya ditafsirkan tubuh luar dan tubuh dalam atau penyakit cacat tubuh. Jalan mengatasinya agar tidak terjadi salah sangka, maka ketika perkawinan dilangsungkan antara kedua mempelai didekatkan duduknya atau diperkenalkan tubuh dan rupanya terlebih dahulu oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Yang dimaksud salah sangka disini bukan mengenai identitas seseorang, pangkat, kedudukan, kekayaan dan sebagainya, melainkan mengenai diri suamiisteri. 61

4. Tata cara pembatalan perkawinan

Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan ke pengadilan Pengadilan Agama bagi muslim dan Pengadilan Negeri bagi non-muslim di dalam daerah hukum dimana perkawinan telah dilangsungkan atau di tempat tinggal pasangan suami-isteri. Atau bisa juga di tempat tinggal salah satu dari pasangan baru tersebut. Tata cara mengajukan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara mengajukan gugatan perceraian Pasal 38 ayat 2 61 Arso Sostroatmojo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Bulan Bintang, Jakarta, 1981, hal. 69 Universitas Sumatera Utara Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Hal-hal yang berhubungan dengan pemanggilan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal 20 sd Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. 62 Prosedur atau tata cara yang harus dilakukan untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan yaitu antara lain: a. Pengajuan gugatan. Surat permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama yang meliputi: 1 Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan; 2 Pengadilan dalam daerah hukum di tempat tinggal kedua suami isteri; 3 Pengadilan dalam daerah hukum di tempat kediaman suami; 4 Pengadilan dalam daerah hukum di tempat kediaman isteri. Surat permohonan tersebut dibuat secara tertulis atau lisan, pemohon bisa datang sendiri atau diwakilkan kepada orang lain yang akan bertindak sebagai kuasanya. Surat permohonan yang telah dibuat oleh pemohon disertai lampiran yang terdiri dari: a Fotocopy tanda penduduk. b Surat keterangan atau pengantar dari kelurahan bahwa pemohon benar-benar penduduk setempat. c Surat keterangan tentang hubungan pihak yang dimohonkan pembatalan perkawinan dengan pihak pemohon. 62 Riduan syahrani, Op.Cit., hal. 89 Universitas Sumatera Utara d Kutipan akta nikah. b. Penerimaan perkara. Surat permohonan harus didaftar terlebih dahulu oleh panitera, SKUM atau Surat Kuasa untuk Membayar yang di dalamnya telah ditentukan berapa jumlah uang muka yang harus dibayar, lalu pemohon membayar panjar biaya perkara setelah itu pemohon menerima kuitansi asli. Surat permohonan yang telah dilampiri kuitansi dan surat-surat yang berhubungan dengan permohonan tersebut diproses dan dilakukan pencatatan dan diberi nomor perkara. Pemohon tinggal menunggu panggilan sidang. c. Pemanggilan. Panggilan sidang secara resmi disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan atau kuasa sahnya, bila tidak dijumpai disampaikan melalui LurahKepala Desa yang bersangkutan. Panggilan selambat-lambatnya sudah diterima oleh pemohon 3 tiga hari sebelum sidang dibuka. Dalam menetapkan tenggang waktu antara pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut perlu diperhatikan. Pemanggilan tersebut harus dilampiri salinan surat permohonan. d. Persidangan. Hakim harus sudah memeriksa permohonan pembatalan perkawinan selambat-lambatnya 30 tiga puluh hari setelah diterimanya berkassurat permohonan tersebut. Pengadilan Agama akan memutuskan untuk mengadakan sidang jika terdapat alasan-alasan seperti yang tercantum Universitas Sumatera Utara dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Bab IV Pasal 22 sampai dengan Pasal 27. e. Putusan. Putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka panitera berkewajiban untuk : 1 Mengirimkan satu salinan putusan Pengadilan kepada Pegawai Pencatat di tempat pembatalan perkawinan terjadi dan Pegawai Pencatat mendaftarkan putusan pembatalan perkawinan dalam sebuah daftar yang dipergunakan untuk itu. 2 Memberikan putusan yang telah dilegalisir oleh Pengadilan Agama sebagai surat bukti telah terjadi pembatalan perkawinan kepada para pihak. 3 Mengirimkan satu salinan putusan Pengadilan kepada Pegawai Pencatat tempat perkawinan dilangsungkan kemudian dicatat pada bagian pinggir dari daftar catatan perkawinan. Selain itu pengajuan pembatalan perkawinan memiliki batas waktu. Untuk perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum atau pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri, pengajuan pembatalan perkawinan itu dibatasi hanya dalam kurun waktu enam bulan setelah perkawinan terjadi. Apabila sampai lebih dari enam bulan suamiisteri masih hidup bersama sebagai suami isteri, maka hak untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan bagi suamiisteri dianggap gugur Pasal 27 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

5. Akibat hukum pembatalan perkawinan

Universitas Sumatera Utara Perkawinan yang dibatalkan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetap mempunyai akibat hukum, baik terhadap suamiisteri dan anak-anaknya maupun terhadap pihak ketiga sampai pada saat pernyataan pembatalan itu. Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat dilangsungkannya perkawinan. Akibat hukum yang ditimbulkan karena adanya pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa keputusan tidak berlaku surut terhadap: a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; b. Suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bilamana pembatalan perkawinan didasarkan atas perkawinan yang lain yang terdahulu; c. Orang ketiga lainnya tidak termasuk sub a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan, mempunyai hukum tetap. 63

C. Pemalsuan identitas 1. Pengertian pemalsuan identitas

Pemalsuan adalah proses pembuatan, beradaptasi, meniru atau benda, statistik, atau dokumen-dokumen, dengan maksud untuk menipu. 64 Pemalsuan 63 R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 2002, hal. 87 64 https:id.wikipedia.orgwikiPemalsuan, diakses pada tanggal 02 Mei 2016 Pukul 11.00 WIB. Universitas Sumatera Utara berasal dari kata dasar “Palsu” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah tiruan. 65 Pemalsuan juga dapat berarti tidak sahnya suatu ijazah, surat keterangan, uang, dan sebagainya, jadi Pemalsuan adalah proses, cara atau perbuatan memalsu, dan pemalsu adalah orang yang memalsu. Perbuatan pemalsuan baru dikenal di dalam suatu masyarakat yang sudah maju, dimana data-data tertentu dipergunakan untuk mempermudah lalu lintas hubungan di dalam masyarakat. Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran norma yaitu kebenaran atau kepercayaan dan ketertiban masyarakat. Kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat kejahatan pemalsuan adalah berupa kejahatan yang di dalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas sesuatu objek yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya. 66 Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya. 67 Pengertian identitas adalah tanda pengenal tanda asal usul seseorang. Perbuatan pemalsuan merupakan suatu jenis pelanggaran terhadap dua norma dasar: a. Kebenaran kepercayaan yang pelanggarannya dapat tergolong dalam kelompok kejahatan penipuan. b. Ketertiban masyarakat, yang pelanggarannya tergolong dalam kelompok kejahatan terhadap negaraketertiban masyarakat. 68 Perbuatan pemalsuan dapat digolongkan pertama-tama dalam kelompok 65 WJS. Poerwadarminta, Op.Cit., hal. 622 66 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Pemalsuan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 2 67 Ibid, hal. 99. 68 Ahmad Sukardja, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2008, hal. 9 Universitas Sumatera Utara kejahatan “Penipuan” sehingga tidak semua perbuatan adalah pemalsuan. Perbuatan pemalsuan tergolong kelompok kejahatan penipuan apabila seseorang memberikan gambaran tentang sesuatu gambaran atas barang seakan-akan asli atau benar, sedangkan sesungguhnya atau kebenaran tersebut tidak dimilikinya. Karena gambaran data ini orang lain mempercayai bahwa keadaan yang digambarkan atas barangsuratdata tersebut adalah benar atau asli. Pemalsuan terhadap tulisandata terjadi apabila isinya atau datanya tidak benar.

2. Pemalsuan identitas dalam perkawinan

Pemalsuan identitas atau biasa disebut dengan manipulasi identitas terdiri dari dua suku kata yakni manipulasi dan identitas. Manipulasi merupakan kata serapan yang berasal dari bahasa Inggris yaitu “manupilation” yang berarti “penyalahgunaan atau penyelewengan”. 69 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, manipulasi diartikan sebagai upaya kelompok atau perseorangan untuk mempengaruhi perilaku sikap dan pendapat orang lain tanpa orang itu menyadarinya. 70 Definisi identitas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengandung arti ciri-ciri, keadaan khusus seseorang, jati diri. Definisi lain dari identitas yakni persamaan, tanda-tanda, ciri-ciri. 71 Jadi dapat disimpulkan bahwa manipulasi identitas dalam perkawinan adalah upaya penyelewengan atau penyimpangan yang dilakukan seseorang untuk memalsukan data-data baik berupa status, tada-tanda, ciri-ciri maupun keadaan 69 John M Echols Dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta, 2000, hal. 372 70 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hal. 712 71 Santoso Ananda Dan A.R Al-Hanif, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Penerbit Alumni, Surabaya, 2000, hal. 157 Universitas Sumatera Utara khusus seseorang atau jati diri yang dinilai sebagai suatu tindak pidana berupa kebohongan kepada pejabat Negara yang tujuannya untuk bisa melangsungkan perkawinan. Manipulasi dapat terdiri dari berbagai macam diantaranya adalah manipulasi nama, usia, alamat, agama bahkan status. Pemalsuan merupakan salah satu bentuk perbuatan yang disebut sebagai kejahatan yaitu sebagai suatu perbuatan yang sifatnya bertentangan dengan kepentingan hukum. 72 Kejahatan yang serupa dengan penipuan adalah kejahatan memperdaya yang lain, termasuk melalui penggunaan benda yang diperoleh melalui pemalsuan. Menyalin, pengganda, dan mereproduksi tidak dianggap sebagai pemalsuan, meskipun mungkin mereka nanti dapat menjadi pemalsuan selama mengetahui dan berkeinginan untuk tidak dipublikasikan. Pemalsuan identitas atau penyalahgunaan kartu pengenal ini dapat saja terjadi, karena pada saat ini sudah terlalu banyak pemohon KTP, Akta Kelahiran, ataupun kartu pengenal lainnya. Tujuan kejelasan identitas adalah adanya kejelasan hukum terhadap orang atau individu demi menjaga hak dan kewajibannya dalam hukum dan juga sebagai perlindungan hukum bagi individu tersebut. Usaha pemberian perlindungan terhadap individu maka dibutuhkan identitas yang jelas yang mana identitas tersebut dicatatkan dalam dokumen kependudukan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memang tidak mengatur sanksi pidana bagi suamiisteri yang melakukan pemalsuan identitas dalam perkawinan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur pembatalan perkawinan, jika para pihak tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan. Pemalsuan akta dalam perkawinan atau pemalsuan surat yang dilakukan 72 Adami Chazawi, Op.Cit., hal. 6 Universitas Sumatera Utara oleh sesorang merupakan suatu tindak pidana yang diatur dalam Buku II KUHP adalah suatu tindak pidana yang dapat dikenakan sanksi suatu tindak pidana yang di dalamnya mengandung unsur keadaan ketidakbenaran atau palsu atas suatu obyek yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya bertentangan dengan yang sebenarnya. Ditinjau dari segi yuridis pemalsuan surat perkawinan mempunyai dua kemungkinan yaitu perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan surat palsu dapat dimintakan pembatalannya dan apabila tidak dimintakan pembatalannya maka status perkawinan tetap sah. Dengan demikian dapat diketahui konsekuensi pemalsuan surat perkawinan itu adalah kejahatan yang terjadi dalam lapangan hukum perdata yang diakhiri dengan hukum pidana yaitu melanggar ketentuan Pasal-Pasal dalam KUH. Pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 253, 264, 266, 267, 268, 269, 270, 271, 274, 275 dan ditambah dengan Pasal 242 tentang sumpah palsu dan keterangan palsu. Pemalsuan identitas tidak akan terjadi apabila perkawinan dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang berlaku. Perkawinan yang baik adalah perkawinan yang dilakukan antara pria dan wanita yang sama akidah, akhlak dan tujuannya, di samping cinta dan ketulusan hati. Di bawah naungan keterpaduan itu, kehidupan suami isteri akan tentram, penuh cinta dan kasih sayang, keluarga akan bahagia dan anak-anak akan sejahtera. Dalam pandangan Islam, kehidupan keluarga seperti itu tidak akan terwujud secara sempurna kecuali jika suami isteri berpegang teguh melaksanakan ajaran Islam. Jika agama keduanya berbeda, maka akan timbul berbagai kesulitan dalam keluarga dan dalam proses perizinan pernikahannya akan dipersulit. Selain itu pula akan menemukan kesulitan dalam pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pembinaan tradisi keagamaan, dan lain-lain. 73 73 Ahmad Sukardja, Op.Cit., hal.10 Universitas Sumatera Utara

3. Faktor-Faktor penyebab terjadinya pemalsuan Iientitas dalam perkawinan

Masalah pemalsuan surat perkawinan disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor disiplin dan mental serta faktor sosial. 74 Faktor penyebab terjadinya kejahatan pemalsuan identitas dalam perkawinan ini adalah faktor disiplin hukum. Dalam hal pemalsuan identitas dalam perkawinan ini, di mana seseorang yang mempunyai tujuan tertentu yang secara illegal akan menggunakan segala macam cara atau membuat identitas palsu atau tidak ada rasa tanggungjawab tugas yang diberikan kepadanya. Ada beberapa penyebab terjadinya pemalsuan identitas dalam perkawinan, yaitu: a. Sikap mental buruk pelaku yang pada dasarnya ingin mengeruk keuntungan yang sebanyak-banyaknya hanya untuk kepentingan sendiri; b. Masih kurangnya pengetahuan sebagian anggota masyarakat tentang perkawinan berikut peraturan pelaksanaannya dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku serta hukum munakahat; c. Masih kurangnya tertib pelaksanaan administrasi NTCR, akibat kurangnya pengetahuan dan kemampuan teknis para petugas atau Pegawai Pencatat Nikah PPN dan wakilnya; d. Kurang mantapnya koordinasi diantara pejabat petugas pelaksanan NTCR yang berwenang menanganinya; 74 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Setia, Bandung. 2000, hal. 187 Universitas Sumatera Utara e. Belum sepenuhnya diterapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya, termasuk munakahat belum merata di kalangan masyarakat dan instansi-instansi yang mengakibatkan kurangnya hukum; f. Adanya keinginan berpoligami tanpa harus diketahui oleh isterinya dan memudahkannya tanpa harus meminta izin dari pengadilan. 75 Salah satu faktor perkawinan itu dapat dibatalkan apabila terjadi pemalsuan identitas diri terhadap suami atau isteri yang melangsungkan perkawinan. Pemalsuan tersebut dapat berupa status, usia, maupun agama. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas yaitu pada Pasal 27 yang berbunyi: 1. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman melanggar hukum; 2. Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu melangsungkan perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. 75 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, PT Raja Grafindo Pesada, Jakarta, 2003, hal. 111 Universitas Sumatera Utara 1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. 1 Perkawinan merupakan kebutuhan hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan merupakan masalah yang aktual untuk dibicarakan di alam maupun di luar peraturan. Berkenaan dengan perkawinan akan timbul hubungan antara suami- isteri dan kemudian dengan lahirnya anak-anak, menimbulkan hubungan hukum antara orang tua dengan anak-anak mereka. Dari perkawinan mereka memiliki harta kekayaan, dan menimbulkan hubungan hukum dengan antar mereka dengan harta kekayaan tersebut. 2 Aturan tata-tertib perkawinan sudah ada sejak masyarakat sederhana yang dipertahankan anggota-anggota masyarakat dan para pemuka masyarakat adat dan atau para pemuka agama. Aturan tata tertib itu terus berkembang maju dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan pemerintahan dan di dalam suatu negara. Di Indonesia aturan tata-tertib perkawinan sudah ada sejak zaman kuno, sejak zaman Sriwijaya, Majapahit, sampai masa kolonial Belanda dan sampai Indonesia telah merdeka. Bahkan aturan perkawinan itu sudah tidak saja menyangkut warga negara asing karena bertambah luasnya pergaulan bangsa Indonesia. 3 1 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal. 1 2 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2007, hal. 1 3 Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hal. 1 Universitas Sumatera Utara Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Suatu perkawinan yang sah merupakan sarana untuk mencapai cita-cita membina rumah tangga yang bahagia, dimana suami-isteri serta anak-anak dapat hidup secara tentram dan bahagia. Selain itu perkawinan bukan saja merupakan kepentingan dari orang yang melangsungkannya, tetapi juga merupakan kepentingan keluarga dan masyarakat. Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Berdasarkan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka perkawinan benar-benar diakui sah apabila telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agamanya dan kepercayaannya. Kata “hukum masing-masing agamanya” berarti hukum yang berlaku dari salah satu agama itu masing-masing bukan berarti “hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut oleh kedua mempelai atau keluarganya. 4 Apabila suatu perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan agama dan kepercayaannya itu, dengan sendirinya menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan. 5 Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 4 Ibid., hal. 25 5 C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal. 227 Universitas Sumatera Utara menyebutkan bahwa : “Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat- syarat untuk melangsungkan perkawinan.” Menurut isi Pasal 22 tersebut maka perkawinan yang dilangsungkan dengan tidak memenuhi syarat- syarat yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana tersebut dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 12 mengenai syarat-syarat perkawinan, dapat dimintakan pembatalan perkawinannya. 6 Hak untuk minta kebatalan dari suatu perkawinan itu hanya diberikan kepada beberapa orang tertentu saja. Orang ini dapat mempergunakan haknya untuk minta kebatalan dari suatu perkawinan, tapi kalau tidak maka perkawinan dapat berlangsung terus dengan sah. 7 Berdasarkan ketentuan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan adalah: 1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri; 2. Suami atau isteri; 3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; 4. Pejabat yang ditunjuk berdasarkan Pasal 16 ayat 2 dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Bagaimanapun ketatnya pengawasan kemungkinan terjadi perkawinan 6 Ibid 7 Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BW, PT Bina Aksara, Jakarta, 1986, hal. 117 Universitas Sumatera Utara yang dilarang oleh hukum dapat saja terjadi. Sudah selayaknya perkawinan itu dapat dibatalkan oleh karena tidak ada manfaatnya. Adanya larangan soal pembatalan dapat diajukan lewat pengadilan, agar suatu perkawinan tertentu sah atau batal. Alasan-alasan yang dapat diajukan untuk pembatalan perkawinan dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang dimuat dalam Pasal 26 dan Pasal 27 adalah: 1. Perkawinan yang dilangsungkan dihadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, 2. Wali nikah yang melakukan perkawinan itu tidak sah, 3. Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 dua orang saksi, 4. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melangggar hukum, 5. Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. Untuk alasan pembatalan perkawinan karena ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri pembatalan perkawinannya dapat diajukan oleh suami atau isteri. Tapi dengan syarat bahwa dalam jangka waktu enam bulan setelah tidak adanya ancaman lagi atau yang bersalah sangka itu menyadari dirinya, masih tetap hidup sebagai suami isteri dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya itu gugur. Misalnya kekeliruan terhadap suami atau isteri yang dikawinkan itu, identitas suami berbeda dengan yang diketahui oleh isteri atau sebaliknya, yang sering disebut dengan pemalsuan identitas. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menjelaskan secara rinci tentang pembatalan perkawinan karena pemalsuan identitas. Pemalsuan identitas tidak akan terjadi apabila pernikahan dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang berlaku. Motif memalsukan identitas itu tidak Universitas Sumatera Utara hanya dalam proses mengganti dari sudah menikah menjadi lajang atau janda menjadi gadis, adapula kasus yang mengganti agama Kristen menjadi agama Islam terkait tujuan yang ingin dipermudah. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan yang sudah mempunyai hukum yang pasti dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Perkawinan yang dibatalkan menurut undang-undang tetap mempunyai akibat hukum, baik terhadap suamiisteri dan anak-anaknya maupun pihak ketiga sampai pada saat pernyataan pembatalan itu. 8 Dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah merupakan penentu bagi sah atau tidaknya seorang anak. Sedangkan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sebagaiman yang diatur di dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Anak merupakan generasi muda yang akan meneruskan cita-cita luhur bangsa, calon-calon pemimpin bangsa di masa mendatang dan sebagai sumber harapan bagi generasi terdahulu, perlu mendapatkan kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani, dan sosial. Anak memiliki hubungan keperdataan yang sangat erat dengan orang tuanya, yang tidak dapat diganggu gugat oleh hubungan lain dari manapun. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak ada 8 Komariah, Hukum Perdata, Umm Press, Malang, 2008, hal. 53 Universitas Sumatera Utara mengatur secara rinci dan jelas tentang bagaimana kedudukan anak serta kewajiban orang tua atas pemeliharaan dan pemberian nafkah akibat pembatalan perkawinan, karena dianggapnya sebuah perkawinan tidak pernah terjadi. Sementara Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan hanya mengatur mengenai mekanisme atau tata cara pengajuan permohonan pelaksanaan pembatalan perkawinan. Oleh karena dianggapnya sebuah perkawinan tidak pernah terjadi sebagai konsekuensi hukum dari pembatalan perkawinan tersebut, maka timbul suatu masalah yakni mengenai, bagaimana kedudukan anak akibat batalnya perkawinan dan bagaimana kewajiban orang tua atas pemeliharaan dan pemberian nafkah setelah terjadinya pembatalan perkawinan. Dalam skripsi ini penulis melakukan analisis terhadap perkara Nomor Register : 767Pdt.G2013PA.TPI Pengadilan Agama Tanjungpinang dengan melakukan wawancara kepada hakim Pengadilan Agama Medan Kelas I-A untuk mengetahui pendapat hakim terhadap akibat pembatalan perkawinan karena adanya pemalsuan identitas dan kaitannya dengan kedudukan anak dalam perkara Nomor Register : 767Pdt.G2013PA.TPI yang dilaksanakan di Pengadilan Agama Tanjungpinang tersebut. Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis tertarik untuk mengangkat skripsi yang berjudul : akibat pembatalan perkawinan karena adanya pemalsuan identitas dan kaitannya dengan kedudukan anak menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan studi pada Pengadilan Agama Medan Kelas- IA.

B. Permasalahan

Dokumen yang terkait

Perkawinan Campuran Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Tentang Perkawinan

2 93 97

Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang NO. 1 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Pada Pengadilan Agama Medan)

3 123 72

Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Poligami Tanpa Izin Dan Kaitannya dengan Status Anak Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi di Pengadilan Agama Klas I-A Medan)

2 35 156

Anak luar nikah dalam undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974: analisis putusan MK tentang status anak luar nikah

0 3 86

Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Semarang)

0 18 159

Perkawinan Dibawah Umur Menurut Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (studi di Pengadilan Agama Klaten)

0 9 183

PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PEMALSUAN IDENTITAS (Studi Kasus Pengadilan Agama Surakarta) Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas (Studi kasus di Pengadilan Agama Surakarta).

0 1 19

PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PEMALSUAN IDENTITAS (Studi pada Pengadilan Agama Surakarta).

0 7 20

Akibat Hukum Adanya pembatalan perkawinan kedua yang perkawinannya tanpa izin istri pertama yang dilangsungkan menurut Hukum Agama berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

1 1 1

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN A. Pengertian Pembatalan Perkawinan A.1. Pengertian Pembatalan Perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 - Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang NO. 1 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Perkawina

0 0 19