2. Kewajiban  atas  pemeliharaan  dan  pemberian  nafkah  terhadap  anak  yang
perkawinan  orang  tuanya  dibatalkan  dalam  perkara  Nomor  Register  : 767Pdt.G2013PA.TPI  adalah  kewajiban  ibunya  dan  keluarga  ibunya
karena  anak  tersebut  merupakan  anak  luar  perkawinan  yang  hanya memiliki  hubungan  nasab  dengan  ibunya  dan  keluarga  ibunya.  Meskipun
perkawinan mereka sudah dibatalkan jika Termohon I mengetahui bahwa anak tersebut adalah anaknya, secara kasih sayang Termohon I juga dapat
memberikan  nafkah  terhadap  anak  yang  dilahirkan  dalam  perkawinan antara Termohon I dan Termohon II, walaupun Termohon I tidak memiliki
hubungan nasab dengan anaknya, ia hanya sebagai ayah biologis dari anak tersebut.
3. Akibat  hukum  pembatalan  perkawinan  mempunyai  dampak  hukum
terhadap  suami  isteri  yaitu  diantara  keduanya  dianggap  tidak  pernah terjadi perkawinan, dan setelah adanya putusan pengadilan maka sejak saat
itu  tidak  ada  lagi  ikatan  antara  suami  isteri,  baik  itu  mengenai  hak  dan kewajibannya  sebagai  suami  isteri.  Akibat  pembatalan  ini  juga  tidak
berlaku  surut  terhadap  anak,  harta  bersama  dan  pihak  ketiga  dalam perkawinan.
B. Saran Beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai saran sehubungan dengan
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1.
Sebaiknya  sebelum  melangsungkan  perkawinan  calon  suami  maupun calon  isteri  harus  secara  cermat  meneliti  mengenai  status  diri  masing-
masing  pihak,  untuk  mencegah  terjadinya  kesalahan,  kepalsuan,  atau kecacatan baik ketika sebelum pernikahan maupun setelah pernikahan.
Universitas Sumatera Utara
2. Pegawai  Pencatat  Nikah  seharusnya  lebih  hati-hati  dan  teliti  dalam
memeriksa syarat-syarat perkawinan. Hal ini untuk menghindari terjadinya perkawinan  yang  dilakukan  dengan  tidak  memenuhi  syarat  dan  berkibat
perkawinan tersebut dapat dibatalkan.
Universitas Sumatera Utara
18
BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM PERKAWINAN MENURUT UNDANG-
UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN
A.  Perkawinan 1.  Pengertian perkawinan
Perkawinan  dalam  bahasa  Indonesia,  berasal  dari  kata  kawin,  yang kemudian  diberi  imbuhan  awalan  “per”  dan  akhiran  “an”.  Istilah  yang  sama
dengan kata kawin ialah nikah, apabila diberi imbuhan awalan “per” dan akhiran “an”  menjadi  pernikahan.  Perkawinan  atau  pernikahan  diartikan  sebagai
perjanjian antara laki-laki dan perempuan bersuami isteri.
15
Istilah “nikah” berasal dari bahasa arab, sedangkan menurut istilah bahasa Indonesia  adalah  “perkawinan”.  Dewasa  ini  kerapkali  dibedakan  antara  “nikah”
dengan  “kawin”,  akan  tetapi  pada  prinsipnya  antara  pernikahan  dan  perkawinan hanya berbeda di dalam menarik akar kata saja. Apabila ditinjau dari segi hukum
nampak jelas bahwa pernikahan atau perkawinan adalah aqad yang bersifat luhur dan suci antara laki-laki dan perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai
suami  isteri  dan  dihalalkannya  hubungan  seksual  dengan  tujuan  mencapai keluarga yang penuh kasih sayang, kebajikan dan saling menyantuni, keadaan ini
lazim disebut keluarga sakinah.
16
Suatu perkawinan adalah salah satu lembaga kemasyarakatan yang paling tua, dan paling pertama sekali diatur oleh aturan hukum sejak dahulu kala, di
15
WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2004, hal. 453
16
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2015, hal. 36
Universitas Sumatera Utara
samping  lembaga-lembaga  lainnya  seperti  jual  beli,  sewa  menyewa  dan sebagainya.  Berbeda  dengan  lembaga  jual  beli  dan  sebagainya,  perkawinan  itu
adalah  suatu  lembaga  dimana  hubungan  antar  dua  jenis  manusia  yang  berlainan itu begitu penting dan senantiasa, sedangkan lembaga lainnya tadi hanya bersifat
insidentil atau sementara.
17
Di  Indonesia  hukum  perkawinan  secara  otentik  telah  diatur  di  dalam Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan.    Di  dalam  Pasal  1
Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan  telah  ditegaskan mengenai pengertian perkawinan, yaitu:
“Pekawinan ialah  ikatan  lahir  bathin antara  seorang  pria  dengan  seorang wanita  sebagai  suami  isteri  dengan  tujuan  untuk  membentuk  keluarga
rumah  tangga  yang  bahagia  dan  kekal  berdasarkan  Ketuhanan  Yang Maha Esa”.
Dari  pengertian  tersebut  jelaslah  terlihat  bahwa  dalam  perkawinan memiliki dua aspek, yaitu:
1. Aspek formil hukum
Hal  ini  dinyatakan  dalam  kalimat  “ikatan  lahir  bathin”,  artinya  bahwa perkawinan di samping mempunyai nilai ikatan lahir secara tampak, juga
mempunyai  ikatan  bathin  yang  dapat  dirasakan  terutama  oleh  yang bersangkutan dan ikatan bathin ini merupakan inti dari perkawinan itu.
18
“Ikatan  lahir-bathin”  dimaksudkan  bahwa  perkawinan  itu  tidak  hanya cukup dengan adanya “ikatan lahir” atau “ikatan bathin” saja, tetapi harus kedua-
17
Rusdi  Malik,  memahami  Undang-Undang  Perkawinan,  Universitas  Trisakti,  Jakarta, 2009, hal.  2
18
Titik  Triwulan  Tutik,  Hukum  Perdata  Dalam  Sistem  Hukum  Nasional,  Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008,hal. 103
Universitas Sumatera Utara
duanya.  Suatu  “ikatan  lahir”  adalah  ikatan  yang  dapat  dilihat.  Mengungkapkan adanya  suatu  hubungan  hukum  antara  seorang  pria  dan  wanita  untuk  hidup
bersama,  sebagai  suami isteri,  dengan  kata  lain  dapat  disebut  “hubungan
formil”.
19
Hubungan  formil  ini  nyata,  baik  bagi  yang  mengikatkan  dirinya, maupun bagi orang lain atau masyarakat.
20
Sebaliknya, Suatu “ikatan Bathin” adalah merupakan hubungan yang tidak formil,  suatu  ikatan  yang  tidak  dapat  dilihat.  Walau  tidak  nyata,  tapi  ikatan  itu
harus  ada.  Karena  tanpa  adanya  ikatan  bathin,  ikatan  lahir  akan  menjadi  rapuh. Hal  ini  seyogyanya  dapat  dirasakan  terutama  oleh  yang  bersangkutan.  Dalam
tarap  permulaan  untuk  mengadakan  perkawinan,  ikatan  bathin  ini  diawali  oleh adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk hidup bersama. Selanjutnya dalam
hidup  bersama  itu,  tercermin  dari  adanya  kerukunan.  Seterusnya  ikatan  bathin akan  merupakan  inti  ikatan  lahir.terjalinnya  ikatan  lahir  dan  ikatan  bathin,
merupakan  fondasi  dalam  membentuk  dan  membina  keluarga  yang  bahagia  dan kekal.
21
2. Aspek sosial keagamaan
Dengan  disebutkannnya  membentuk  keluarga  dan  berdasarkan  ketuhanan yang maha esa, artinya perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali
dengan  kerohanian,  sehingga  bukan  saja  unsur  jasmani  tapi  unsur  bathin berperan penting.
22
Penjelasan ditegaskan lebih rinci bahwa sebagai Negara yang berdasarkan
19
K. Wantjik Saleh,, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1976, hal. 14
20
Ibid, hal. 15
21
Ibid
22
Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hal. 104
Universitas Sumatera Utara
Pancasila,  dimana  sila  yang  pertama  adalah  ketuhanan  yang  maha  esa,  maka perkawinan  mempunyai  hubungan  yang  erat  sekali  dengan  agamakerohanian.
23
Dengan demikian pengertian perkawinan sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal  1  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan  memiliki
unsur-unsur, yaitu: 1
Adanya seorang pria dan wanita; 2
Ikatan lahir dan batin; 3
Adanya tujuan tertentu yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal. 4
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
24
2.  Tujuan Perkawinan
Tujuan  perkawinan  pada  dasarnya  adalah  untuk  memperoleh  keturunan yang  sah  dalam  masyarakat,  dengan  mendidik  sebuah  kehidupan  rumah  tangga
yang  damai  dan  tenteram.  Di  dalam  Pasal  1  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun 1974  tentang  Perkawinan  dikatakan  bahwa  yang  menjadi  tujuan  perkawinan
sebagai  suami  isteri  adalah  untuk  membentuk  keluarga  rumah  tangga  yang bahagia  dan  kekal  berdasarkan  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa.  Ini  berarti  bahwa
perkawinan  dilangsungkan  bukan  untuk  sementara  atau  untuk  jangka  waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya,
dan tidak boleh diputuskan begitu saja.
25
Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu  kebutuhan  jasmaniah  dan  kebutuhan  rohaniah.    Yang  termasuk  kebutuhan
jasmaniah, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan
23
Sudarsono, Op.Cit., hal. 9
24
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Hukum Perdata: Hukum Orang  Keluarga, USU Press, Medan, 2011, hal. 40
25
Ibid, hal. 43
Universitas Sumatera Utara
yang  termasuk  kebutuhan  rohaniah  seperti  seorang  anak  yang  berasal  dari  darah daging mereka sendiri.
26
Keluarga bahagia dan kekal adalah cita-cita bagi kedua calon suami isteri. Kata “bahagia” adalah abstrak dan merupakan puncak tertinggi yang ingin dicapai
oleh  kedua  belah  pihak.  Dari  awal  harus  sudah  ada  kemauan  yang  kuat  untuk hidup bahagia dan bukan hidup susah. Bahagia dalam arti materil dan immaterial
menjadi  suatu  kepuasan  dalam  keluarga.  Bahagia  juga  dapat  dilihat  dari  aspek ekonomi, sosial dan kultur, tidak akan dikatakan bahagia suatu keluarga jika tidak
ditopang  dengan  ekonomi  yang  memadai,  misalnya  memiliki  rumah,  kendaraan, cukup pangan, biaya pendidikan, biaya sosial, dan sebagainya. Bahagia harus pula
diukur  dengan  potensi  individu  dan  kolektif  suami  isteri,  sehingga  ukurannya sangat  relatif,  tetapi  yang  paling  umum  bahagia  adalah  jika  rumah  tangga  yang
dijalani dari awal sampai akhir sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan  serta  biaya  pendidikan  anak-anak,  tidak  mengalami  keretakan  atau
kegoncangan yang mengarah kepada bubarnya perkawinan. Perkawinan  besifat  kekal,  artinya  diharapkan  bahwa  perkawinan  harus
berlangsung seumur hidup kecuali salah satu meninggal dunia. Hal ini juga berarti bahwa  perkawinan  dilangsungkan  bukan  untuk  sementara  atau  untuk  jangka
waktu  yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputus begitu saja. Karena itu, tidak diperkenankan perkawinan
yang hanya dilangsungkan untuk sementara waktu saja seperti kawin kontrak. Pemutusan perkawinan dengan perceraian hanya diperbolehkan dalam keadaan
26
Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hal. 109
Universitas Sumatera Utara
yang sangat terpaksa.
27
Kekal juga mengisyaratkan bahwa bersikap hati-hati pada saat memilih calon suami-isteri, karena suami atau isteri bukan seperti benda yang
dipakai untuk kepentingan sesaat. Selanjutnya  dalam  rumusan  perkawinan  itu  dinyatakan  dengan  tegas
bahwa  pembentukan  keluarga  rumah  tangga  yang  bahagia  dan  kekal berdasarkan  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa.  Hal  ini  berarti  perkawinan  harus
didasarkan  pada  agama  dan  kepercayaan.  Ketuhanan  yang  maha  esa  merupakan warna  lain  dan  sekaligus  pembeda  dari  karakter  perkawinan  menurut  KUH
Perdata.  Setiap  manusia  Indonesia  diyakini  mempunyai  sikap  hidup  untuk  ber tuhan  sesuai  dengan  agamanya.  Dengan  unsur  ketuhanan  yang  melandasi  suatu
perkawinan  semakin  jelas  bahwa  perkawinan  bukanlah  urusan  duniawi  saja melainkan urusan religius.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terlihat bahwa perkawinan  tidak  hanya  dipandang  berdasarkan  persoalan  materi,  melainkan
merujuk paham religius. Tujuan perkawinan bukan bersifat sementara, melainkan untuk kekal dan abadi, hidup bahagia kecuali putus hubungan karena kematian.
28
Menurut  agama  Islam,  perintah  religius  merupakan  sunnah  rasulullah. Keberadaan  unsur  Ketuhanan  dalam  sebuah  perkawinan  bukan  saja  peristiwa itu
merupakan perjanjian yang sakral melainkan sifat pertanggungjawaban hukumnya jauh lebih penting yaitu pertanggungjawaban kepada tuhan sang pencipta Allah
SWT.  Dengan  adanya  unsur  ketuhanan,  maka  hilanglah  pandangan  yang mengatakan  bahwa  perkawinan  adalah  urusan  manusia  semata-mata.
29
27
Ridwan Syahrani,  Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, PT Alumni, Bandung, 2004, hal. 62
28
Ibid, hal. 42
29
Ibid, hal. 44
Universitas Sumatera Utara
Sel anjutnya dijelaskan bahwa “untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan
melengkapi  agar  masing-masing  dapat  mengembangkan  kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materil”.
Bentuk  keluarga  rumah  tangga  yang  bahagia  dan  kekal  jelas  yang dimaksud  berdasarkan  ajaran  agama    yang  dianut  masyarakat  Indonesia  seperti
ajaran  Islam,  Kristen,  Katolik,  dan  Hindu-Budha.  Sebagaimana  dijelaskan  dalam Pasal  1  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan  bahwa
perkawinan  mempunyai  hubungan  yang  erat  sekali  dengan  agamakerohanian, sehingga  perkawinan  bukan  saja  mempunyai  unsur  lahirjasmani,  tetapi  unsur
batinrohani juga mempunyai peranan yang penting. Pembentukan  keluarga  yang  bahagia  itu  erat  hubungannya  dengan
keturunan,  dimana  pemeliharaan  dan  pendidikan  anak-anak  menjadi  hak  dan kewajiban orang tua. Dengan demikian yang menjadi tujuan perkawinan menurut
perundangan  adalah  untuk  kebahagiaan  suami  isteri,  untuk  mendapatkan keturunan  dan  menegakkan  keagamaan,  dalam  kesatuan  keluarga  yang  bersifat
parental ke-orangtua-an.
30
3.  Asas-asas Perkawinan
Cita  hukum  suatu  undang-undang  yang  merupakan  refleksi  normatif  dari keinginan  masyarakatnya  terletak  pada  jantungnya  hukum  tersebut.  Dalam  ilmu
hukum  jantung  hukum  lebih  dikenal  dengan  sebutan  asas  hukum.  Asas-asas hukum perkawinan tidak dicantumkan secara tegas dalam  batang tubuh Undang-
Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan  melainkan  diletakkan  dalam penjelasan  umum  undang-undang  tersebut.  Kedudukan  asas  hukum  perkawinan
30
Ibid, hal. 21
Universitas Sumatera Utara
ini  adalah  sebagai  jantungnya  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang Perkawinan.  Tanpa  ada  asas-asas  hukum  perkawinan,  maka  Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi kaku pelaksanaannya.
31
Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan  telah ditentukan prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu
yang  berhubungan  dengan  perkawinan  yang  telah  disesuaikan  dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Asas-asas atau prinsip-prinsip yang tercantum
dalam undang-undang ini adalah sebagai berikut: a.
Asas perkawinan kekal Setiap  perkawinan  bertujuan  untuk  membentuk  keluarga  yang  bahagia  dan
kekal.  Artinya,  perkawinan  hendaknya  seumur  hidup.  Hanya  dengan perkawinan kekal saja dapat membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Untuk  itu  suami  isteri  perlu  saling  membantu  dan  melengkapi,  agar  masing- masing  dapat  mengembangkan  kepribadiannnya  membantu  dan  mencapai
kesejahteraan spiritual dan material.
32
b. Asas perkawinan menurut hukum agama atau kepercayaan agamanya
Perkawinan  hanya  sah  bilamana  dilakukan  menurut  hukum  masing-masing agamanya  dan  kepercayaannya.  Artinya,  perkawinan  akan  dianggap  sah
bilamana  perkawinan  itu  dilakukan  menurut  hukum  agama  atau  kepercayaan agama  yang  dianut  oleh  calon  mempelai.  Prinsip  ini  mengedepankan
keseimbangan  agama  sebagai  dasar  untuk  melakukan  perkawinan.    Kedua calon mempelai harus seagama atau seiman, kecuali hukum agamanya atau
31
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit., hal. 45
32
C.S.T. Kansil  dan  Christine S.T. Kansil, Modul  Hukum Perdata  Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal. 115
Universitas Sumatera Utara
kepercayaannya itu menentukan lain. Prinsip ini dapat di jumpai dalam Pasal 2 ayat  1  Undang-Undang  Perkawinan  yang  menentukan,  bahwa  perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya   dan kepercayaannya itu.
c. Asas perkawinan terdaftar
Tiap-tiap  perkawinan  yang  dilakukan  menurut  hukum  masing-masing agamanya  dan  kepercayaannya  itu  akan  dianggap  mempunyai  kekuatan
hukum  bilamana  dicatat  menurut  peraturan  perundang-undangan  yang berlaku. Perkawinan yang dicatat tidak mempunyai kekuatan hukum  menurut
Undang-Undang  Perkawinan.  Prinsip  ini  ditegaskan  dalam  Pasal  2  ayat  2 Undang-Undang  Perkawinan  yang  menentukan,  bahwa  tiap-tiap  perkawinan
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan  tiap-tiap  perkawinan  adalah  sama  halnya  dengan  pencatatan
peristiwa-peristiwa  penting  dalam  kehidupan  seseorang,  misalnya  kelahiran, kematian  yang  dinyatakan    dalam  surat-surat  keterangan,  suatu  akte  resmi
yang dimuat dalam daftar pencatatan.
33
d. Asas perkawinan monogami
Undang-Undang  Perkawinan  menganut  asas  monogami  relatif,  bahwa  pada asasnya  dalam  suatu  perkawinan  seorang  pria  hanya  boleh  mempunyai
seorang  isteri,  dan  seorang  wanita  hanya  boleh  mempunyai  seorang  suami dalam waktu yang bersamaan. Artinya, dalam waktu yang bersamaan, seorang
suami atau isteri dilarang untuk menikah dengan wanita atau pria lain. Prinsip ini  ditegaskan  dalam  Pasal  3  ayat  1  Undang-Undang  Perkawinan  yang
33
Ibid
Universitas Sumatera Utara
menyatakan bahwa pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh  mempunyai  seorang  isteri.  Seorang  isteri  hanya  boleh  mempunyai
seorang  suami.  Sebagai  perbandingan  bahwa  KUH  Perdata  menganut  asas monogami  absolut  yang  tercantum  dalam  Pasal  27  yang  mengatakan  dalam
waktu  yang  sama  seorang  laki-laki  hanya  diperbolehkan  mempunyai  satu orang perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan hanya satu orang laki-
laki sebagai suaminya.
34
e. Poligami Sebagai Pengecualian
Dalam hal tertentu perkawinan poligami diperkenankan sebagai pengecualian perkawinan monogami, sepanjang hukum dan agama dari  yang bersangkutan
mengizinkannya.  Namun  demikian  perkawinan  seorang  suami  dengan  lebih seorang  isteri,  meskipun  dikehendaki  oleh  pihak-pihak  yang  bersangkutan,
hanya  dapat  dilakukan  bila  dipenuhi  berbagai  persyaratan  tertentu  dan diputuskan  oleh  pengadilan.  Hal  ini  ditegaskan  dalam  pasal  3  ayat  2  dan
pasal 4 serta 5 Undang-Undang Perkawinan. f.
Asas Tidak Menegnal Poliandri Undang-Undang  Perkawinan  melalui  Pasal  3  ayat  1  tidak  membolehkan
adanya perkawinan poliandri, dimana seorang wanita hanya memiliki seorang suami    pada  waktu  yang  bersamaan.  Hikmah  utama  perkawinan  poliandri
dilarang, untuk menjaga kemurnian keturunan, jangan sampai bercampur aduk dan  kepastian  hukum  seorang  anak,  karena  anak  sejak  dilahirkan  bahkan
dalam keadaan tertentu walaupun masih dalam kandungan telah berkedudukan sebagai pembawa hak, sehingga perlu mendapat perlindungan dan kepastian
34
Ibid
Universitas Sumatera Utara
hukum.  Dalam  hukum  waris  Islam,  seorang  anak  yang  masih  ada  dalam kandungan  yang  kemudian  lahir  dalam  keadaan  hidup  berhak  mendapat
bagian penuh apabila ayahnya meninggal dunia biarpun dia masih janin dalam kandungan.
g. Perkawinan didasarkan pada kesukarelaan atau kebebasan berkehendak
Untuk  membentuk  rumah  tangga  yang  bahagia  dan  kekal,  setiap  perkawinan harus  didasarkan  pada  persetujuan  kedua  belah  pihak,  calon  mempelai  laki-
laki dan calon mempelai wanita. Perkawinan merupakan salah satu hak asasi manusia,  oleh  karena  itu  suatu  perkawinan  harus  didasarkan  pada  kerelaan
masing-masing pihak untuk menjadi  suami isteri, untuk saling menerima dan saling  melengkapi  satu  sama  lainnya,  tanpa  ada  suatu  paksaan  dari  pihak
manapun juga. Perkawinan yang tanpa disadari oleh persetujuan kedua belah pihak  yang  melangsungkan  perkawinan  dapat  dijadikan  alasan  pembatalan
perkawinan.  Prinsip  ini  ditegaskan  dalam  Pasal  6  ayat  1  Undang-Undang Perkawinan  yang  menentukan,  bahwa  perkawinan  harus  didasarkan  atas
persetujuan kedua calon mempelai. Persetujuan  secara  sukarela  ini  sesungguhnya  tampak  pada  saat  diadakannya
peminangan  atau  pelamaran  terlebih  dahulu  oleh  calon  mempelai  laki-laki terhadap calon mempelai wanita untuk mengetahui apakah kedua belah pihak
setuju untuk melaksanakan perkawinan atau tidak. h.
Keseimbangan hak dan kedudukan suami isteri Hak  dan  kedudukan  suami  isteri  dalam  kehidupan  rumah  tangga  maupun
masyarakat seimbang. Suami isteri dapat melakukan perbuatan hukum dalam kerangka  hubungan  hukum  tertentu.  Suami  berkedudukan  sebagai  kepala
Universitas Sumatera Utara
rumah  tangga  dan  isteri  berkedudukan  sebagai  ibu  rumah  tangga.  Dalam memutuskan  segala  sesuatu,  maka  dirundingkan  secara  bersama-sama  antara
suami  isteri.  Prinsip  ini  lebih  lanjut  dijabarkan  dalam  Pasal  31  Undang- Undang Perkawinan.
i. Asas Mempersukar Perceraian
Sejalan  dengan  tujuan  perkawinan  untuk membentuk  keluarga  yang  bahagia, kekal,  dan  sejahtera  maka  Undang-Undang  Perkawinan  menganut  prinsip
mempersukar terjadinya perceraian. Perceraian hanya dapat dilakukan apabila ada  alasan-alasan  tertentu  dan  harus  dilakukan  di  depan  sidang  pengadilan
setelah  hakim  atau  juru  pendamai  tidak  berhasil  mendamaikan  kedua  belah pihak.  Prisip  ini  ditegaskan  lebih  lanjut  dalam  Pasal  39  Undang-Undang
Perkawinan. Demikian  pula  hukum  perkawinan  Islam  menganganggap  perceraian  sebagai
“pintu  darurat”  dan  ini  baru  dapat  dilakukan  setelah  proses  tertentu,  karena perkawinan  tidak  saja  berkaitan  dengan  persoalan  hukum  belaka,  tetapi  juga
berkaitan  dengan  refleksi  moral  kemanusiaan.  Perkawinan  hanya  akan terwujud  bila  sebelum  adanya  kesepakatan  kedua  belah  pihak  dan  dilakukan
secara baik. demikian pula perceraian juga harus dilakukan secara baik. Asas-asas  atau  prinsip-prinsip  perkawinan  menurut  Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah pembentukan keluarga bahagia dan  kekal.  Perkawinan  yang  sah  menurut  masing-masing  agamanya,  pencatatan
perkawinan, asas monogami terbuka, prinsip calon suami isteri sudah masak jiwa
Universitas Sumatera Utara
raganya,  batas  umur  perkawinan,  perceraian  dipersulit,  kedudukan  suami  isteri seimbang.
35
4.  Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan
Sebagai  salah  satu  perbuatan  hukum,  perkawinan  mempunyai  akibat hukum.  Adanya  akibat  hukum  ini  penting  sekali  hubungannya  dengan  sahnya
perbuatan hukum itu. Suatu perkawinan yang menurut hukum dianggap tidak sah umpamanya,  maka  anak  yang  lahir  dari  perkawinan  itu  akan  merupakan  anak
yang tidak sah.
36
Terkait dengan sahnya suatu perkawinan, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan:
a. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya; b.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pernyataan di atas juga dijelaskan kembali pada bagian penjelasan Pasal 2 Undang-
Undang Perkawinan yaitu “dengan perumusan Pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu,
sesuai  dengan  Undang- Undang  Dasar  1945”.  Yang  dimaksud  dengan  hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu  termasuk perundang-undangan yang  berlaku  bagi  golongan    agamanya  dan  kepercayaannya  itu  sepanjang  tidak
bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.
37
Jadi  perkawinan  yang  sah  jika  terjadi  perkawinan  antar  agama,  adalah
perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon  suami  atau  agama  calon  isteri,  bukan  perkawinan  yang  dilaksanakan  oleh
setiap agama  yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika
35
Rachmadi  Usman,  Aspek-Aspek  Hukm  Perorangan    Kekeluargaan  Di  Indonesia, Sinargrafita, Jakarta, 2006, hal. 264-26
36
K. Wantjik Saleh, Op.Cit., hal. 15
37
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit, hal. 51
Universitas Sumatera Utara
perkawinan  telah  dilaksanakan  menurut  hukum  Islam,  kemudian  dilakukan  lagi menurut  hukum  Kristen  danatau  Hukum  HinduBudha,  maka  perkawinan  itu
menjadi tidak sah, demikian sebaliknya.
38
Pasal 2 ayat 2 juga harus dibaca senafas dan tidak boleh difragmentaris dengan  ayat  1  nya,  walaupun  ayat  2  tidak  membicarakan  sahnya  perkawinan
tetapi juga memiliki fungsi yang menguatkan secara administratif. Memang suatu perkawinan  dikatakan  sah  bukan  ditentukan  oleh  aspek  administratifnya
melainkan  ditentukan  oleh  faktor  substantifnya  dalam  ayat  1  yaitu  agama  dan kepercayaannya.  Jadi,  ada  pembedaan  namun  tidak  bisa  dipisahkan.  Perkawinan
dalam  Pasal  2  Undang-Undang  Perkawinan  memiliki  aspek  perdata  dan  aspek administratif. Aspek perdata membicarakan fungsi substasi dan aspek pendaftaran
membicarakan  fungsi  administratif.  Fungsi  yang  terakhir  adalah  untuk  kejelasan dan kepastian hukum tentang adanya bukti perkawinan yang sudah dilakukan oleh
suami isteri bagi masyarakat dan negara.
39
Syarat perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting, sebab suatu perkawinan yang dilakukan dengan tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan
dalam  undang-undang,  maka  perkawinan  tersebut  dapat  diancam  dengan pembatalan atau dapat dibatalkan.
Syarat-syarat perkawinan  yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, meliputi syarat-syarat materil maupun formil, yaitu:
1. Syarat materiil
Syarat materiil disebut juga dengan syarat inti atau internal, yaitu syarat
38
Hilman Hadikusuma, Op,Cit.,  hal. 11
39
Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit,  hal. 52
Universitas Sumatera Utara
yang  menyangkut  pribadi  para  pihak  yang  hendak  melangsungkan  perkawinan dan  izin-izin  yang  harus  diberikan  oleh  pihak  ketiga  dalam  hal-hal  yang
ditentukan oleh undang-undang.
40
Syarat-syarat  materiil,  diatur    dalam  Pasal  6  sd  11  Undang-Undang Nomor  1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan,  yang  dapat  dibedakan  lagi  dalam
syarat materiil yang absolutmutlak dan syarat materiil yang relatifnisbi.
41
a Syarat materiil absolut adalah syarat mengenai pribadi seorang yang harus
di indahkan untuk perkawinan pada umumnya.
42
Syarat materiil absolut ini meliputi:
1 Batas umur minimum pria 19 tahun dan untuk wanita 16 tahun  Pasal
7  ayat  1  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974.  Dalam  hal penyimpangan  dari  batas  umur  tersebut  dapat  meminta  dispensasi
kepada pengadilan. 2
Perkawinan  harus  didasarkan  atas  perjanjian  atau  persetujuan  antara kedua calon mempelai Pasal 6 ayat 1 .
3 Untuk  melangsungkan  perkawinan  seorang  yang  belum  mencapai
umur  21  dua  puluh  satu  tahun  harus  mendapat  ijin  kedua  orang  tua Pasal 6 ayat 2.
Apabila  salah  seorang  dari  kedua  orang  tua  telah  meninggal  dunia  atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka ijin dimaksud ayat
2  pasal  ini  cukup  diperoleh  dari  orang  tua  yang  mampu  menyatakan kehendaknya. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
40
Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hal. 110.
41
Komariah,  Edisi Revisi Hukum Perdata, UMM Press, Malang, 2008, hal. 44
42
Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hal. 110
Universitas Sumatera Utara
keadaan  tidak  mampu  untuk  menyatakan  kehendaknya,  maka  ijin  diperoleh  dari wali,  orang  yang  memelihara  atau  keluarga  yang  mempunyai  hubungan  darah
dalam  garis  keturunan  lurus  ke  atas  selama  mereka  masih  hidup  dan  dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
Jika ada perbedaan pendapat antara kedua orang tua, orang tua yang masih hidup  atau  orang  tua  yang  mampu  menyatakan  kehendaknya  dan  walinya,  atau
salah  seorang  atau  lebih  di  antara  mereka  tidak  menyatakan  pendapatnya,  maka pengadilan  dalam  daerah  hukum  tempat  tinggal  yang  akan  melangsungkan
perkawinan  atas  permintaan  orang  tersebut  dapat  memberikan  ijin  setelah  lebih dahulu  mendengar  orang-orang  yang  seharusnya  memberikan  ijin  sebagaimana
dimaksud di atas. Menurut  Pasal  6  ayat  6  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974,
ketentuan tentang pihak-pihak yang berwenang memberikan ijin tersebut berlaku sepanjang  hukum  masing-masing  agamanya  dan  kepercayaannya  itu  dari  yang
bersangkutan tidak menentukan lain.
43
b Syarat  materil  yang  relatifnisbi,  merupakan  syarat  yang  melarang
perkawinan antara seorang dengan seorang yang tertentu, yaitu: a  Larangan  kawin  antara  orang-orang  yang  mempunyai  hubungan
keluarga, yakni hubungan kekeluargaan karena darah dan perkawinan, yang ditentukan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974:
1.1 Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau pun ke atas.
1.2 Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antar
43
Komariah, Op.Cit., hal. 45
Universitas Sumatera Utara
saudara,  antar  seorang  dengan  orang  tua      dan  antara  seorang dengan saudara neneknya.
1.3  Berhubungan  semenda,  yaitu  mertua,  anak  tiri,  menantu  dan ibubapak tiri.
1.4  Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibipaman susuan.
1.5  Berhubugan  saudara  dengan  isteri  atau  sebagai  bibi  atau kemanakan dan isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
Seorang. 1.6  Mempunyai  hubungan  yang  oleh  agamanya  atau  peraturan  lain
yang berlaku dilarang kawin. b  Seorang  yang  masih  terikat  tali  perkawinan  dengan  orang  lain  tidak
dapat  kawin  lagi,  kecuali  seorang  suami  yang  oleh  pengadilan diijinkan  untuk  poligami  karena  telah  memenuhi  alasan-alasan  dan
syarat-syarat  ditentukan  Pasal  9  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun 1974.
c Larangan kawin bagi suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan  yang  lain  dan  bercerai  lagi  untuk  kedua  kalinya,  sepanjang
hukum  masing-masing  agamanya  dan  kepercayaannya  itu  dari  yang bersangkutan tidak menentukan lain Pasal 10 Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974. Larangan kawin seperti Pasal 10 tersebut sama dengan larangan  kawin
yang  ditentukan  dalam  Pasal  33  KUHPerdata  ayat  2  yang
Universitas Sumatera Utara
menentukan  bahwa  perceraian  setelah  yang  kedua  kalinya  antara orang-orang yang sama, adalah terlarang.
Oleh  karena  perkawinan  mempunyai  maksud  agar  suami  dan  isteri dapat  membentuk  keluarga  yang  kekal,  maka  suatu  tindakan  yang
mngakibatkan  putusnya  suatu  perkawinan  harus  benar-benar  dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak.
Ketentuan  ini  dimaksudkan  untuk  mencegah  tindakan  kawin-cerai berulang  kali,  sehingga  suami  maupun  isteri  benar-benar  saling
menghargai satu sama lain. d  Seorang  wanita  yang  putus  perkawinannya  dilarang  kawin  lagi
sebelum  habis  jangka  tunggu  Pasal  11  Undang-Undang  Nomor  1 Tahun 1974.
44
2.   Syarat formil Syarat formil atau syarat lahir eksternal adalah syarat yang berhubungan
dengan  tata  cara  atau  formalitas  yang  harus  dipenuhi  sebelum  proses perkawinan.
45
Syarat formil ini meliputi: a.
Pemberitahuan  akan  dilangsungkannya  perkawinan  oleh  calon  mempelai baik  secara  lisan  maupun  tertulis  kepada  pegawai  pencatat  di  tempat
perkawinan akan dilangsungkan, dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 10 sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan Pasal 3 dan 4
PP Nomor 9 Tahun 1975. b.
Pengumuman  oleh  pegawai  pencatat  dengan  menempelkannya  pada tempat  yang  disediakan  di  Kantor  Pencatatan  Perkawinan.  Maksud
44
Ibid, hal. 47
45
Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hal. 111
Universitas Sumatera Utara
pengumuman  itu  adalah  untuk  memberikan  kesempatan  kepada  orang yang mempunyai pertalian dengan calon suamiisteri itu atau pihak-pihak
lain yang mempunyai kepentingan misalnya kejaksaan untuk menentang perkawinan itu kalau ada ketentuan undang-undang yang melanggar.
Pengumuman  tersebut  dilaksanakan  setelah  pegawai  pencatat  meneliti syarat-syarat  dan  surat-surat  kelengkapan  yang  harus  dipenuhi  oleh  calon
mempelai.  Perkawinan  tidak  boleh  dilangsungkan  sebelum  melewati  hari ke 10 setelah di umumkan Pasal 10 PP Nomor 9 Tahun 1975.
46
5.  Larangan perkawinan
Undang-Undang  Perkawinan  menentukan  beberapa  larangan  untuk melangsungkan perkawinan yang dimuat dalam Pasal 8, 9, dan pasal 10, kiranya
dapat digolongkan menjadi 7 macam, yaitu: a.
Karena adanya hubungan darah: 1
Perkawinan antara keluarga sedarah dalam garis keturunan ke bawah maupun ke atas Pasal 8a;
2 Perkawinan  antara  keluarga  sedarah  dalam  garis  keturunan
menyamping yaitu antar saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, antar seorang dengan sudara nenek Pasal 8b.
b. Karena adanya hubungan semenda:
Perkawinan antara keluarga semenda yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibubapak tiri Pasal 8c.
c. Karena adanya hubungan susuan:
46
Komariah, Op.Cit., hal. 48
Universitas Sumatera Utara
Perkawinan  antara  orang  tua  susuan,  anak  susuan  dan  bibipaman  susuan Pasal 8d.
d. Karena hubungan dalam perkawinan poligami:
Perkawinan  antara  seorang  suami  dengan  saudara  isteri,  bibi  atau kemanakan isteri Pasal 8e.
e. Karena larangan agama
Perkawinan antara orang-orang yang oleh agamanya dilarang Pasal 8f f.
Karena masih terikat dalam perkawinan: Perkawinan seseorang yang masih terikat dalam perkawinan Pasal 9.
g. Karena bercerai kedua kali:
Perkawinan  antara  bekas  suami  dan  bekas  isteri  yang  telah  cerai  kawin lagi  satu  dengan  yang  lain  dan  bercerai  lagi  untuk  kedua  kalinya,
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu yang bersangkutan tidak menentukan lain Pasal 10.
Larangan  yang  terakhir  ini  diberi  penjelasan  bahwa  ketentuan  ini dimaksud  untuk  mencegah  tindakan  kawin  cerai  berulang  kali,  sehingga  suami
maupun isteri benarbenar saling menghargai satu sama lain.
47
6.  Akibat hukum dari perkawinan
A. Hak dan kewajiban suami isteri
Sebagai  suatu  hubungan  hukum,  perkawinan  menimbulkan  hak  dan kewajiban  suami  isteri.
Yang  dimaksud  dengan  “hak”  ialah  sesuatu  yang merupakan  milik  atau  dapat  dimiliki  oleh  suami  atau  isteri  yang  timbul  karena
perkawinannya. Sedangkan yang dimaksud dengan “kewajiban” ialah suatu yang
47
K. Wantjik Saleh, Op.Cit.,  hal. 27
Universitas Sumatera Utara
harus dilakukan atau iadakan oleh suami atau isteri untuk memenuhi hak dan dari pihak lain.
48
Hak  dan  kewajiban  suami  isteri  dalam  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun 1974  tentang  Perkawinan  diatur  dalam  Pasal  30  sd  34  yang  menentukan  secara
garis besar sebagai berikut :
49
a. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat; b.
Suami  isteri  wajib  saling  cinta mencintai,  hormat  menghormati,  setia dan saling memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain;
c. Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kewajiban suami
dalam  kehidupan  rumah  tangga  dan  pergaulan    hidup  bersama  dalam masyarakat;
d. Suami isteri sama-sama berhak untuk melakukan perbuatan hukum;
e. Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri  ibu rumah tangga. Suami
wajib  melindungi  isterinya  dan  memberikan  segala  sesuatu  keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannnya, dan isteri wajib
mengurus rumah tangga dengan sebaik-baiknya; f.
Suami  isteri  harus  mempunyai  tempat  kediaman  yang  tetap,  yang ditentukan secara bersama.
Jika  suami  isteri  melalaikan  kewajibannya,  maka  masing-masing  dapat menuntut  terhadap  pihak  lain  dengan  cara  mengajukan  gugatan  kepada
Pengadilan.  Hak  kewajiban  suami  isteri  yang  diatur  dalam  Undang-Undang
48
Riduan syahrani, Op.Cit., hal. 90
49
Ibid
Universitas Sumatera Utara
Perkawinan  diatas  pada  dasarnya  mengandung  persamaan  dengan  hak  dan kewajiban yang diatur dalam hukum Islam.
50
B. Harta benda dalam perkawinan
Harta  benda  dalam  perkawinan  dalam  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun 1974 tentang Perkawinan diatur pada Pasal 35 sd 37.
Pasal 35 disebutkan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi  harta  bersama.  Sedangkan  harta  bawaan  masing-masing  suami  isteri,
serta  harta  benda  yang  diperoleh  masing-masing  sebagai  hadiah  atau  warisan, adalah  di  bawah  penguasaan  masing-masing,  kecuali  ditentukan  lain  yaitu
dijadikan  harta  bersama.  Untuk  menentukan  hal  lain  ini,  suami  isteri  dapat mengadakan
“perjanjian  perkawinan”  yang  dibuat  secara  tertulis  dan  disahkan oleh  Pegawai  Pencatat  Perkawinan    pada  waktu  atau  sebelum  perkawinan
dilangsungkan.  Perjanjian  perkawinan  ini  tidak  boleh  melanggar  batas-batas hukum,  agama  dan  kesusilaan.  Selama  perkawinan  berlangsung  perjanjian
tersebut  tidak  dapat  diubah,  kecuali  bila  suami  isteri  yang  bersangkutan  sepakat untuk mengubahnya, tetapi dengan tidak merugikan pihak ketiga Pasal 29.
Mengenai  harta  bersama,  suami  maupun  isteri  dapat  mempergunakannya dengan persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan mengenai harta bawaan, suami
atau  isteri  mempunyai  hak  sepenuhnya  untuk  mempergunakan  harta  bawaannya masing-masing tanpa perlu persetujuan dari pihak lain Pasal 36.
Adanya  hak  suami  dan  isteri  untuk  mempergunakan  atau  memakai  harta bersama  dengan  persetujuan  kedua  belah  pihak  secara timbal  balik  adalah  sudah
sewajarnya  mengingat  bahwa  hak  dan  kedudukan  isteri  adalah  seimbang  dengan
50
Ibid, hal. 91
Universitas Sumatera Utara
hak  dan  kedudukan  suami  dalam  kehidupan  rumah  tangga  dan  pergaulan  hidup bersama  dalam  masyarakat  dimana  masing-masing  berhak  untuk  melakukan
perbuatan hukum Pasal 31.
51
Syarat “persetujuan”  kedua  belah  pihak  dalam  mempergunakan  harta
bersama  tersebut  harus  diartikan  sedemikian  rupa,  dimana  tidak  semua  hal mengenai penggunaan harta bersama itu diperlukan persetujuan secara tegas dari
kedua belah pihak. Dalam beberapa hal tertentu persetujuan kedua belah pihak ini harus  dianggap  ada  sebagai  persetujuan  diam-diam.  Misalnya  dalam
mempergunakan harta bersama untuk keperluan hidup sehari-hari. Selanjutnya,  dalam  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang
Perkawinan  ditentukan,  apabila  perkawinan  putus,  maka  harta  bersama  diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan
“hukumnya” masing- masing itu adalah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.
52
Jadi  dalam  hal  ini  Undang-Undang  Perkawinan  tidak  memberikan pengaturan  tersendiri,  melainkan  menunjuk  kepada  hukum  agama,  hukum  adat
dan  hukum-hukum  lain  yang  berlaku  bagi  suami  isteri  yang  bersangkutan. Sehingga  dengan  demikian  pengaturannya  seperti  keadaan  semula  sebelum
Undang-Undang Perkawinan. C.
Kedudukan anak Meskipun  menurut  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang
Perkawinan  memperoleh  anak  keturunan  tidak  dijadikan  tujuan  perkawinan,
tetapi tentang anak tetap dipandang sebagai hal yang cukup penting, satu dan lain
51
Ibid, hal. 92
52
Ibid
Universitas Sumatera Utara
hal karena ini mempunyai kaitan erat dengan pewarisan, sehingga tentang anak ini diatur secara khusus  dalam Pasal 42 sd 44 dan Pasal 55.
Anak  yang  sah  adalah  anak  yang  dilahirkan  dalam  atau  sebagai  akibat perkawinan yang sah Pasal 42. Hal ini berarti bahwa anak yang lain di luar
perkawinan  yang  sah  bukanlah anak  yang  sah.  Ini  membawa  konsekuensi  dalam bidang  pewarisan.  Sebab  anak  yang  dilahirkan  di  luar  perkawinan  hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya Pasal  43. Dengan  demikian  anak  yang  lahir  di  luar  perkawinan  itu  hanya  dapat
mewarisi harta benda  yang ditinggalkan ibunya dan keluarga ibunya, tetapi tidak dapat  mewarisi  harta  benda  yag  ditinggalkan  ayahnya.  Dengan  kata  lain,  anak
yang  lahir  di  luar  perkawinan  tersebuat  hanyalah  menjadi  ahli  waris  ibunya  dan keluarga ibunya, tetapi tidak menjadi ahli waris ayahnya dan keluarga ayahnya.
Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan isterinya, bilamana  ia  dapat  membuktikan  bahwa  isterinya  telah  berbuat  zina  dan  anak  itu
akibat  daripada  perzinahan  tersebut.  Pengadilan  memberikan  keputusan  tentang sah  tidaknya    anak  atas  permintaan  yang  berkepentingan  dengan  lebih  dahulu
mewajibkan yang berkepentingan mengucapkan sumpah Pasal 44.
53
Selanjutnya  mengenai  asal  usul  anak    Pasal  55  Undang-Undang Perkawinan menentukan :
1. Asal-usul  anak  hanya  dapat  dibuktikan  dengan  akta  kelahiran  yang
autentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang; 2.
Bila  akte  kelahiran  tersebut  dalam  ayat  1  pasal ini tidak  ada,  maka pengadilan  dapat  mengeluarkan  penetapan  tentang  asal-usul  seorang
53
Ibid, hal. 93
Universitas Sumatera Utara
anak  setelah  diadakan  pemeriksaan  yang  teliti  berasarkan  bukti-bukti yang memiliki syarat;
3. Atas  dasar  pengadilan  tersebut  ayat  2  pasal  ini,  maka  instansi
pencatat  kelahiran  yang  ada  dalam  daerah  hukum  Pengadilan  yang bersangkutan  menegeluarkan  akta  kelahiran  bagi  anak  yang
bersangkutan. D.
Hak dan kewajiban antara orang tua dan anak Apabila  suatu  perkawinan  memperoleh  keturunan  anak,  maka
perkawinan  tersebut  tidak  hanya  menimbulkan  hak  dan  kewajiban  antara  suami dan  isteri,  tetapi  juga  menimbulkan  hak  dan  kewajiban  antara  suami  isteri  yang
bersangkutan  sebagai  orang  tua  dan  anak-anaknya.  Hak  dan  kewajiban  antara orang  tua  dan anaknya  ini  dalam  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974 tentang
Perkawinan diatur pada Pasal 45 sd 49. Pasal  45  ditentukan  bahwa  kedua  orang  tua  wajib  memelihara  dan
mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya, sampai anak itu kawin atau dapat berdiri  sendiri.  Kewajiban  ini  berlaku  terus  meskipun  perkawinan  antara  kedua
orang tua itu putus. Disamping kewajiban untuk memelihara dan mendidik tersebut, orang tua
juga menguasai anaknya yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan  perkawinan.  Kekuasaan  orang  tua  ini  meliputi  juga  untuk
mewakili  anak  yang  belum  dewasa  itu  dalam  melakukan    perbuatan  hukum  di dalam dan di luar pengadilan Pasal 47.
54
Meskipun demikian, kekuasaan orang tua dan batasnya yaitu tidak boleh
54
Ibid, hal. 94
Universitas Sumatera Utara
memindahkan  hak  atau  menggadaikan  barang-barang  tatap  milik  anaknya  yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali
apabila kepentingan anak itu menghendakinya Pasal 48. Kekuasaan salah seorang atau kedua orang tua terhadap anaknya dapat
dicabut untuk waktu tertentu, apabila ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya atau berkelakuan buruk sekali. Pencabutan kekuasaan orang tua terhadap
seorang  anaknya,  dilakukan  dengan  keputusan  pengadilan  atas  permintaan  orang tua yang lain, keluarga dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah
dewasa atau pejabat yang berwenang. Kekuasaan orang tua yang dicabut ini tidak termasuk  kekuasaan  sebagai  wali  nikah.  Meskipun  orang  tua  dicabut
kekuasaannya,  tetapi  mereka  masih  berkewajiban  untuk  memberi  biaya pemeliharaan anaknya tersebut Pasal 49.
Sebaliknya,anak tidak hanya mempunyai hak terhadap orang tuanya, tetapi juga  mempunyai  kewajiban.  Kewajiban  anak  yang  utama  terhadap  orang  tuanya
adalah  menghormati  dan  menaati  kehendak  yang  baik  dari  orang  tuanya. Bilamana  anak  telah  dewasa,  ia  wajib  memelihara  orang  tuanya  sebaik-baiknya
menurut  kemampuannya.  Bahkan,  anak  juga  berkewajiban  untuk  memelihara keluarga dalan garis lurus ke atas, bila mereka ini memerlukan bantuan Pasal 46.
Dengan  demikian,  terlihat  adanya  hak  dan  kewajiban  secara  timbal  balik antara kedua orang tua dengan anak-anaknya.
E. Perwalian
Perwalian  dalam  Undang-Undang  Nomor  1Tahun  1974  diatur  pada  Pasal  50 sd  54.  Akan  tetapi,  juga  mempunyai  kaitan  yang  erat  dengan  Pasal  48  dan  49
yang mengatur tentang kekuasaan orang tua dan pembatasannya.
55
55
Ibid, hal. 95
Universitas Sumatera Utara
Pasal  49  ditentukan  bahwa  kekuasaan  salah  seorang  dari  orang  tua  dapat dicabut dengan keputusan Pengadilan atas permintaan orang tua lain. Ketentuan
Pasal 49 ini dapat ditafsirkan, bahwa menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974  Tentang  Perkawinan  kekuasaan  orang  tua  terhadap  anak  dapat  dijalankan
hanya  oleh  seorang  dari  kedua  orang  tua  si  anak,  perwalian  hanyalah  ada bilamana  terhadap  seseorang  atau  beberapa  orang  anak  tiidak  berada  di  bawah
kekuasaan orang tuanya sama sekali. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 50 ayat 1 yang menyatakan :
“anak  yang  belum  mencapai  18  delapan  belas  tahun  atau  belum  pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua,
berada di bawah kekuasaan wali” Dengan  demikian  maka  putusnya  perkawinan  antara  kedua  orang  tua,
meninggalnya salah seorang dari kedua orang tua dan dicabutnya kekuasaan salah seorang dari kedua orang tua, tidak dengan sendirinya mengakibatkan anak berada
di  bawah  kekuasaan  wali.  Kecuali  apabila  dalam  putusnya  perkawinan,  kedua orang tua telah menyerahkan anaknya di bawah kekuasaan wali. Atau kedua orang
tua  meninggal  dunia  atau  kedua  orang  tua  dicabut  kekuasaannya  terhadap anaknya, maka dengan sendirinya anak berada di bawah kekuasaan wali.
Perwalian itu tidak  hanya  mengenai  diri pribadi anak  yang  bersangkutan, tetapi juga mengenai harta bendanya. Wali dapat ditunjuk oleh salah seorang dari
kedua  orang  tua  yang  menjalankan  kekuasaan  orang  tua  sebelum  ia  meninggal, baik  dengan  surat  wasiat  maupun  dengan  lisan  dihadapan  2  orang  saksi.  Wali
sedapat mungkin diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain  yang  sudah dewasa,  berpikir  sehat,  adil,  jujur  dan  berkelakuan  baik  Pasal  51  ayat  1  dan
Universitas Sumatera Utara
2.  Ketentuan  ini  sudah  sewajarnya  karena  wali  memikul  kewajiban-kewajiban tertentu seperti tersebut di bawah ini, yang kiranya hanya dapat dilaksanakan oleh
orang yang penuh tanggung jawab.
56
1. Wali  wajib  megurus  anak  yang  di  bawah  penguasaannya  dan  harta
bendanya sebaik-baiknya
dengan menghormati
agama dan
kepercayaan anak itu; 2.
Wali  wajib  membuat  daftar  harta  benda  anak  yang  berada  di  bawah kekuasannya  pada  waktu  memulai  jabatannya  dan  mencatat  semua
perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu; 3.
Wali bertanggung jawab tentang harta tentang harta benda anak yang berada  di  bawah  perwaliannnya  serta  kerugian  yang  ditimbulkan
karena kesalahan atau kelalaiannya; 4.
Wali tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap  yang  dimiliki  anak  yang  berada  di bawah  perwaliannya,  kecuali
apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Wali yang telah mnyebabkan kerugian terhadap harta benda anak yang
berada  di  bawah  kekuasannya,  atas  tuntutan  anak  tersebut  atau keluarganya  melalui  pengadilan,  dapat  dihukum  untuk  mengganti
kerugian tersebut. Seperti halnya kekusaan orang tua terhadap anaknya dapat dicabut dengan
keputusan  Pengadilan,  maka  kekuasaan  wali  terhadap  anak  di  bawah perwaliannya  juga  dapat  dicabut  dengan  keputusan  Pengadilan,  baik  atas
permintaan orang tuanya kalau masih hidup maupun keluarga dalam garis lurus
56
Ibid, hal. 96
Universitas Sumatera Utara
ke  atas  dan  saudara  kandung  yang  telah  dewasa  atau  pejabat  yang  berwenang, karena  melalaikan  kewajibannya  sebagai  wali  atau  berkelakuan  buruk  sekali
Pasal 53 jo 49. Apabila seorang wali di cabut kekuasaannya sebagai wali, maka pengadilan menunjuk orang lain sebagai penggantinya.
Orang  tua  yang  dicabut  kekuasannya  terhadap  anaknya  membawa  akibat yang  berbeda  dengan  wali  yang  telah  dicabut  kekuasaannya  sebagai  wali.  Orang
tua  kendatipun  dicabut  kekuasaannya,  mereka  masih  tetap  berkewajiban  untuk memberikan  biaya  pemeliharaan  anaknya.  Sedangkan  wali  yang  dicabut
kekuasaannya  sebagai  wali,  tidak lagi  bertanggung  jawab  terhadap  pemeliharaan dan  pendidikan  anak  yang  berada  di  bawah  kekuasaannya.
57
Selain  berakhirnya perwalian karena dicabut oleh pengadilan, perwalian juga berakhir bilamana anak
yang  berada  di  bawah  perwalian  tersebut  telah  dewasa  berumur  18  tahun  atau melangsungkan perkawinan.
B.  Pembatalan perkawinan 1.  Pengertian pembatalan perkawinan
Pembatalan perkawinan adalah pembatalan hubungan suami-isteri sesudah dilangsungkan  akad  nikah.  Suatu  perkawinan  dapat  dibatalkan  apabila  tidak
memenuhi  syarat-syarat  Pasal  22-28  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974 tentang  Perkawinan,  ini  berarti  bahwa  perkawinan  itu  batal  karena  tidak
terpenuhinya  syarat-syarat  yang  dimaksud,  namun  jika  perkawinan  itu  telah
terlanjur terlaksana, maka perkawinan itu dapat dibatalkan.
Istilah  “batal”-nya  perkawinan  dapat  menimbulkan  salah  paham,  karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal nietig tersebut. Batal berarti
57
Ibid, hal. 97
Universitas Sumatera Utara
Nietig zonder kracht tidak ada kekuatan zonder waarde tidak ada nilai. Dapat dibatalkan  berarti  nietig  verklaard,  sedang;  absolut  nietig    adalah  kebatalan
mutlak, berarti sejak semula tidak pernah terjadi perkawinan.
58
Istilah  dapat dibatalkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,  berarti  dapat  di  fasidkan,  jadi  relatif  nietig.  Jadi  perkawinan  dapat
dibatalkan berarti suatu perkawinan sudah terjadi dapat dibatalkan jika para pihak tidak memenuhi syarat untuk melangsungkan perkawinan.
Pembatalan  perkawinan  merupakan  tindakan  putusan  pengadilan  yang menyatakan  bahwa  ikatan  perkawinan  yang  telah  dilakukan  itu  tidak  sah,
akibatnya  ialah  bahwa  perkawinan  itu  dianggap  tidak  pernah  ada.  Menurut Soedaryo Soimin “pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang terjadi dengan
tanpa  memenuhi  syarat-syarat  sesuai  undang-u ndang”.  “Pembatalan  perkawinan
adalah  tindakan  putusan  pengadilan  yang  menyatakan  bahwa  perkawinan  yang dilakukan  itu  tidak  sah,  akibatnya  ialah  bahwa  perkawinan  itu  dianggap  tidak
pernah ada”.
59
Perihal  pembatalan  perkawinan  dalam  Undang-Undang  Nomor  l  Tahun 1974  pengaturannya  termuat  dalam  Bab  VI,  pada  Pasal  22  sampai  dengan  Pasal
28 yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dalam Bab VI Pasal 37 dan 38.
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan: “Perkawinan  dapat  dibatalkan  apabila  para  pihak  tidak  memenuhi  syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan”.
58
Martiman Prodjohamidjojo,Op.Cit., hal. 25
59
Muchlis Marwan dan Thoyib Mangkupranoto, Hukum Islam II, Buana Cipta, Surakarta, 1986, hal. 2
Universitas Sumatera Utara
Dalam penjelasannya disebutkan; “Pengertian  „dapat‟  pada  pasal  ini  diartikan  bisa  batal  atau  bisa  tidak  batal,
bilamana  menurut  ketentuan  hukum  agamanya  masing-masing  tidak menentukan lain”.
Jadi  tegasnya  pengadilan  dalam  memutus  permohonan  pembatalan perkawinan  ini  harus  selalu  memperhatikan  ketentuan  agamanya  dari  mereka
yang  perkawinannya  dimintakan  pembatalannya.  Bagaimanapun  jika  mnurut ketentuan agama perkawinan itu sebagai sah, Pengadilan tidak dapat membatalkan
perkawinan itu. Adapun  pengadilan  yang  berkuasa  untuk membatalkan  perkawinan  yaitu:
Pengadilan  yang  daerah  kekuasaannya  meliputi  tempat  berlangsungnya perkawinan  atau  di  tempat  tinggal  kedua  suami  isteri,  suami  atau  isteri.  Bagi
mereka  yang  beragama  Islam  dilakukan  di  Pengadilan  Agama  sedangkan  bagi mereka  yang  beragama  non  Islam  di  Pengadilan  Negeri.  Saat  mulai  berlakunya
pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 28 ayat  1 Undang-Undang Nomor l Tahu
n 1974 yang menyatakan bahwa: “batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan  pengadilan  mempunyai  kekuatan  hukum  dimulai  setelah  keputusan
pengadilan  mempunyai  kekuatan  hukum  yang  tetap  dan  berlaku  sejak  saat berlangsungnya  perkawinan”.  Keputusan  ini  tidak  ada  upaya  hukum  lagi  untuk
naik banding atau kasasi. Akibatnya kembali ke posisi semula sebelum terjadinya perkawinan atau perkawinan dianggap tidak pernah ada.
2. Alasan pembatalan perkawinan
Ketika  menjalankan  suatu  bahtera  perkawinan  tidak  terlepas  dari permasalahan  yang  timbul  bukan  hanya  dari  pihak  intern  namun  juga  dapat
Universitas Sumatera Utara
berasal  dari  pihak  ekstern  yang  dimungkinkan  akan  berakhir  dalam  suatu perceraian.  Namun  di  samping  dari  berakhirnya  perkawinan  dengan  jalan
perceraian,  dikarenakan  beberapa  hal  putusnya  hubungan  perkawinan  juga  dapat disebabkan adanya pembatalan perkawinan. Baik di dalam hukum Islam maupun
hukum negara terjadinya suatu pembatalan perkawinan dibenarkan sebagai suatu bentuk berakhirnya hubungan antara suami-isteri.
Terdapat  beberapa  alasan  yang  dapat  diajukan  untuk  pembatalan perkawinan  dalam  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  yang  dimuat  dalam
Pasal 26 dan 27 adalah : a.
Perkawinan  yang  dilangsungkan  dihadapan  pegawai  pencatat perkawinan yang tidak berwenang;
b. Wali nikah yang melakukan perkawinan itu tidak sah;
c. Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 dua orang saksi;
d. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum;
e. Ketika  perkawinan  berlangsung  terjadi  salah  sangka  mengenai  diri
suami atau isteri.
3.  Pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan
Permohonan  pembatalan  perkawinan  hanya  boleh  diajukan  oleh  pihak yang berhak yang disebut dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yaitu: a.
Para  keluarga  dalam  garis  keturunan  lurus  ke  atas  dari  suami  atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
Universitas Sumatera Utara
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat 2 Pasal 16 Undang-Undang ini
dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap  perkawinan  tersebut,  tetapi  hanya  setelah  perkawinan  itu
putus. Pengertian  dari  pejabat  sebagaimana  ditentukan  dalam  Pasal  23  huruf  d
tersebut adalah pejabat yang berwenang untuk melakukan pencegahan perkawinan karena  tidak  dipenuhinya  ketentuan-ketentuan  dalam  Pasal  17  ayat  1,  Pasal  8,
Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Selanjutnya  Pasal  26  ayat  1  menentukan  bahwa  perkawinan  yang
dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah  yang  tidak  sah  atau  yang  dilangsungkan  tanpa  dihadiri  oleh  2  dua  orang
saksi, dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri. Kemudian Pasal 26
ayat  2  menentukan  bahwa  hak  untuk  membatalkan  oleh  suami  atau  isteri berdasarkan  alasan  dalam  ayat  1  tersebut  gugur  apabila  mereka  telah  hidup
bersama  sebagai  suami  isteri  dan  dapat  memperlihatkan  akte  perkawinan  yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus
di perbaharui supaya sah. Berdasarkan  ketentuan  dalam  Pasal  26  tersebut,  maka  hak  untuk
membatalkan perkawinan oleh para keluaga dalam garis lurus ke atas dari suami atau  isteri  dan  hak  dari  jaksa  tetap  tidak dapat  gugur.  Hak  tersebut  gugur  hanya
bagi suami atau isteri saja, sedangkan hak membatalkan bagi pihak lain tetap tidak gugur.
Selanjutnya Pasal 27 menentukan bahwa seorang suami atau isteri dapat
Universitas Sumatera Utara
mengajukan permohonan pembatalan apabila : 1
Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum; 2
Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
Khusus  dalam  hubungan  suami  isteri,  seorang  suami  atau  isteri  dapat mengajukan  permohonan  pembatalan  perkawinan,  dalam  hal  perkawinan  itu
dilangsungkan  di  bawah  ancaman  yang  melanggar  hukum  atau  apabila    pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau
isteri.  Yang  dimaksud  salah  sangka  disini  bukannya  salah  sangka  mengenai identitas  seseorang,  pangkat,  kedudukan,  kekayaan  dan  sebagainya  melainkan
salah sangka mengenai diri suami isteri. Bilamana  dalam  jangka  waktu  6  enam  bulan  setelah  tidak  adanya
ancaman lagi atau salah sangka itu menyadari dirinya, masih tetap hidup sebagai suami isteri dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan pembatalan, maka
haknya itu gugur.
60
Bahwa sesuatu yang dibatalkan itu pastilah sudah terlaksana. Oleh karena itu dapat dikatakan juga bahwa pelaksanaan pembatalan perkawinan
itu  diajukan  sesudah  perkawinan  dilaksanakan.  Tetapi  hak  untuk  mengajukan permohonan pembatalan yang diberikan kepada seorang suami atau isteri terbatas
hanya  selama  6  bulan  saja,  Pasal  27  ayat  3  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyebutkan bahwa : “apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6
enam  bulan  setelah  itu  masih  tetap  hidup  sebagai  suami  isteri,  dan  tidak
60
Riduan syahrani, Op.Cit., hal. 89
Universitas Sumatera Utara
mempergunakan  haknya  untuk  mengajukan  permohonan  pembatalan,  maka haknya gugur”.
Apa  yang  dimaksud  dengan  kata  di  bawah  ancaman  yang  melanggar hukum  sesungguhnya  juga  belum  jelas,  melanggar  hukum  yang  mana  hukum
pidana,  hukum  adat,  atau  hukum  agama.  Tidak  jelas  sebaiknya  yang  dijadikan ukuran  adalah  adalah  bentuk  dan  sifat  ancamannya  yang  patut  dikategorikan
dengan perbuatan dengan kekerasan yang menakutkan dengan menguunakan atau tanpa senjata, sehingga suami atau isteri terpaksa melakukan perkawinan.
Sedangkan  mengenai  salah  sangka  mngenai  diri  suami  atau  isteri, hendaknya  ditafsirkan  tubuh  luar  dan  tubuh  dalam  atau  penyakit  cacat  tubuh.
Jalan  mengatasinya  agar  tidak  terjadi  salah  sangka,  maka  ketika  perkawinan dilangsungkan antara kedua mempelai didekatkan duduknya atau diperkenalkan
tubuh  dan  rupanya  terlebih  dahulu  oleh  Pegawai  Pencatat  Perkawinan.  Yang dimaksud  salah  sangka  disini  bukan  mengenai  identitas  seseorang,  pangkat,
kedudukan, kekayaan dan sebagainya, melainkan mengenai diri suamiisteri.
61
4.  Tata cara pembatalan perkawinan
Permohonan  pembatalan  perkawinan  dapat  diajukan  ke  pengadilan Pengadilan  Agama  bagi  muslim  dan  Pengadilan  Negeri  bagi  non-muslim  di
dalam  daerah  hukum  dimana  perkawinan  telah  dilangsungkan  atau  di  tempat tinggal  pasangan  suami-isteri.  Atau  bisa  juga  di  tempat  tinggal  salah  satu  dari
pasangan baru tersebut. Tata  cara  mengajukan  permohonan    pembatalan  perkawinan  dilakukan
sesuai  dengan  tata  cara  mengajukan  gugatan  perceraian  Pasal  38  ayat  2
61
Arso  Sostroatmojo  dan  Wasit  Aulawi,    Hukum  Perkawinan  di  Indonesia,  Bulan Bintang, Jakarta, 1981, hal. 69
Universitas Sumatera Utara
Peraturan  Pemerintah  Nomor  9  Tahun  1975.  Hal-hal  yang  berhubungan  dengan pemanggilan dilakukan sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal 20 sd
Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
62
Prosedur  atau  tata  cara  yang  harus  dilakukan  untuk  mengajukan permohonan pembatalan perkawinan yaitu antara lain:
a. Pengajuan gugatan.
Surat  permohonan  pembatalan  perkawinan  diajukan  kepada  Pengadilan Agama yang meliputi:
1 Pengadilan  dalam  daerah  hukum  dimana  perkawinan
dilangsungkan; 2
Pengadilan  dalam  daerah  hukum  di  tempat  tinggal  kedua  suami isteri;
3 Pengadilan dalam daerah hukum di tempat kediaman suami;
4 Pengadilan dalam daerah hukum di tempat kediaman isteri.
Surat permohonan tersebut dibuat secara tertulis atau lisan, pemohon bisa datang  sendiri  atau  diwakilkan  kepada  orang  lain  yang  akan  bertindak
sebagai  kuasanya.  Surat  permohonan  yang  telah  dibuat  oleh  pemohon disertai lampiran yang terdiri dari:
a Fotocopy tanda penduduk.
b Surat  keterangan  atau  pengantar  dari  kelurahan  bahwa  pemohon
benar-benar penduduk setempat. c
Surat  keterangan  tentang  hubungan  pihak  yang  dimohonkan pembatalan perkawinan dengan pihak pemohon.
62
Riduan syahrani, Op.Cit., hal. 89
Universitas Sumatera Utara
d Kutipan akta nikah.
b. Penerimaan perkara.
Surat  permohonan  harus  didaftar  terlebih  dahulu  oleh  panitera,  SKUM atau  Surat  Kuasa  untuk  Membayar  yang  di  dalamnya  telah  ditentukan
berapa  jumlah  uang  muka  yang  harus  dibayar,  lalu  pemohon  membayar panjar  biaya  perkara  setelah  itu  pemohon  menerima  kuitansi  asli.  Surat
permohonan  yang  telah  dilampiri  kuitansi  dan  surat-surat  yang berhubungan  dengan  permohonan  tersebut  diproses  dan  dilakukan
pencatatan  dan  diberi  nomor  perkara.  Pemohon  tinggal  menunggu panggilan sidang.
c. Pemanggilan.
Panggilan  sidang  secara  resmi  disampaikan  kepada  pribadi  yang bersangkutan atau kuasa sahnya, bila tidak dijumpai disampaikan melalui
LurahKepala  Desa  yang  bersangkutan.  Panggilan  selambat-lambatnya sudah diterima oleh pemohon 3 tiga hari sebelum sidang dibuka. Dalam
menetapkan  tenggang  waktu  antara  pemanggilan  dan  diterimanya panggilan  tersebut  perlu  diperhatikan.  Pemanggilan  tersebut  harus
dilampiri salinan surat permohonan. d.
Persidangan. Hakim  harus  sudah  memeriksa  permohonan  pembatalan  perkawinan
selambat-lambatnya  30  tiga  puluh  hari  setelah  diterimanya  berkassurat permohonan  tersebut.  Pengadilan  Agama  akan  memutuskan  untuk
mengadakan  sidang  jika  terdapat  alasan-alasan  seperti  yang  tercantum
Universitas Sumatera Utara
dalam  ketentuan  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang Perkawinan Bab IV Pasal 22 sampai dengan Pasal 27.
e. Putusan.
Putusan  yang  telah  memperoleh  kekuatan  hukum  tetap,  maka  panitera berkewajiban untuk :
1 Mengirimkan  satu  salinan  putusan  Pengadilan  kepada  Pegawai
Pencatat  di  tempat  pembatalan  perkawinan  terjadi  dan  Pegawai Pencatat  mendaftarkan  putusan  pembatalan  perkawinan  dalam
sebuah daftar yang dipergunakan untuk itu. 2
Memberikan putusan yang telah dilegalisir oleh Pengadilan Agama sebagai  surat  bukti  telah  terjadi  pembatalan  perkawinan  kepada
para pihak. 3
Mengirimkan  satu  salinan  putusan  Pengadilan  kepada  Pegawai Pencatat tempat perkawinan dilangsungkan kemudian dicatat pada
bagian pinggir dari daftar catatan perkawinan. Selain itu pengajuan pembatalan perkawinan memiliki batas waktu. Untuk
perkawinan yang dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum atau pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami
atau  isteri,  pengajuan  pembatalan  perkawinan  itu  dibatasi  hanya  dalam  kurun waktu  enam  bulan  setelah  perkawinan  terjadi.  Apabila  sampai  lebih  dari  enam
bulan  suamiisteri  masih  hidup  bersama  sebagai  suami  isteri,  maka  hak  untuk mengajukan  permohonan  pembatalan  perkawinan  bagi  suamiisteri  dianggap
gugur Pasal 27 Undang-Undang  Nomor 1 Tahun 1974.
5.  Akibat hukum pembatalan perkawinan
Universitas Sumatera Utara
Perkawinan  yang  dibatalkan  menurut  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun 1974  tentang  Perkawinan  tetap  mempunyai  akibat  hukum,  baik  terhadap
suamiisteri  dan  anak-anaknya  maupun  terhadap  pihak  ketiga  sampai  pada  saat pernyataan  pembatalan  itu.  Pasal  28    ayat  1  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun
1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku
sejak saat dilangsungkannya perkawinan. Akibat  hukum  yang  ditimbulkan  karena  adanya  pembatalan  perkawinan
diatur  dalam  Pasal  28  ayat  2  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974.  Pasal  28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan
bahwa keputusan tidak berlaku surut terhadap: a.
Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; b.
Suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta  bersama,  bilamana  pembatalan  perkawinan  didasarkan  atas
perkawinan yang lain yang terdahulu; c.
Orang ketiga lainnya tidak termasuk sub a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan
tentang pembatalan, mempunyai hukum tetap.
63
C.  Pemalsuan identitas 1.  Pengertian pemalsuan identitas
Pemalsuan  adalah  proses  pembuatan,  beradaptasi,  meniru  atau  benda, statistik, atau dokumen-dokumen, dengan maksud untuk menipu.
64
Pemalsuan
63
R. Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan Di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 2002, hal. 87
64
https:id.wikipedia.orgwikiPemalsuan,  diakses  pada  tanggal  02  Mei  2016  Pukul 11.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
berasal dari kata dasar “Palsu” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya adalah  tiruan.
65
Pemalsuan  juga  dapat  berarti  tidak  sahnya  suatu  ijazah,  surat keterangan,  uang,  dan  sebagainya,  jadi  Pemalsuan  adalah  proses,  cara  atau
perbuatan memalsu, dan pemalsu adalah orang yang memalsu. Perbuatan pemalsuan baru dikenal di dalam suatu masyarakat yang sudah
maju,  dimana  data-data  tertentu  dipergunakan  untuk  mempermudah  lalu  lintas hubungan  di  dalam  masyarakat.  Perbuatan  pemalsuan  merupakan  suatu  jenis
pelanggaran norma yaitu kebenaran atau kepercayaan dan ketertiban masyarakat. Kejahatan mengenai pemalsuan atau disingkat kejahatan pemalsuan adalah berupa
kejahatan  yang  di  dalamnya  mengandung  unsur  keadaan  ketidakbenaran  atau palsu atas sesuatu objek yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar
adanya  padahal  sesungguhnya  bertentangan  dengan  yang  sebenarnya.
66
Palsu artinya tidak benar atau bertentangan dengan keadaan yang sebenarnya.
67
Pengertian  identitas  adalah  tanda  pengenal    tanda  asal  usul  seseorang. Perbuatan  pemalsuan  merupakan  suatu  jenis  pelanggaran  terhadap  dua  norma
dasar: a.
Kebenaran kepercayaan yang pelanggarannya dapat tergolong dalam kelompok kejahatan penipuan.
b. Ketertiban  masyarakat,  yang  pelanggarannya  tergolong  dalam
kelompok kejahatan terhadap negaraketertiban masyarakat.
68
Perbuatan pemalsuan dapat digolongkan pertama-tama dalam kelompok
65
WJS. Poerwadarminta, Op.Cit., hal. 622
66
Adami  Chazawi,  Kejahatan  Terhadap  Pemalsuan,  Raja  Grafindo  Persada,  Jakarta, 2001, hal. 2
67
Ibid, hal. 99.
68
Ahmad Sukardja,  Problematika  Hukum Islam  Kontemporer, Pustaka  Firdaus, Jakarta, 2008, hal.  9
Universitas Sumatera Utara
kejahatan  “Penipuan”  sehingga  tidak  semua  perbuatan  adalah  pemalsuan. Perbuatan  pemalsuan  tergolong  kelompok  kejahatan  penipuan  apabila  seseorang
memberikan  gambaran  tentang  sesuatu  gambaran  atas  barang  seakan-akan  asli atau  benar,  sedangkan  sesungguhnya  atau  kebenaran  tersebut  tidak  dimilikinya.
Karena  gambaran  data  ini  orang  lain  mempercayai  bahwa  keadaan  yang digambarkan  atas  barangsuratdata  tersebut  adalah  benar  atau  asli.  Pemalsuan
terhadap tulisandata terjadi apabila isinya atau datanya tidak benar.
2.  Pemalsuan identitas dalam perkawinan
Pemalsuan identitas atau biasa disebut dengan manipulasi identitas terdiri dari  dua  suku  kata  yakni  manipulasi  dan  identitas.  Manipulasi  merupakan  kata
serapan  yang  berasal  dari  bahasa  Inggris yaitu  “manupilation”  yang  berarti
“penyalahgunaan atau penyelewengan”.
69
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, manipulasi diartikan sebagai upaya kelompok atau perseorangan untuk
mempengaruhi  perilaku  sikap  dan  pendapat  orang  lain  tanpa  orang  itu menyadarinya.
70
Definisi  identitas  dalam  Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia mengandung  arti  ciri-ciri,  keadaan  khusus  seseorang,  jati  diri.  Definisi  lain  dari
identitas yakni persamaan, tanda-tanda, ciri-ciri.
71
Jadi  dapat  disimpulkan  bahwa  manipulasi  identitas  dalam  perkawinan adalah upaya penyelewengan atau penyimpangan yang dilakukan seseorang untuk
memalsukan  data-data  baik  berupa  status,  tada-tanda,  ciri-ciri  maupun  keadaan
69
John M Echols Dan Hasan Shadily,  Kamus Inggris Indonesia, PT. Gramedia, Jakarta, 2000, hal. 372
70
Departemen  Pendidikan    Nasional,  Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia,  Balai  Pustaka, Jakarta, 2005, hal. 712
71
Santoso  Ananda  Dan  A.R  Al-Hanif,  Kamus  Lengkap  Bahasa  Indonesia,  Penerbit Alumni, Surabaya, 2000, hal. 157
Universitas Sumatera Utara
khusus  seseorang  atau  jati  diri  yang  dinilai  sebagai  suatu  tindak  pidana  berupa kebohongan kepada pejabat Negara yang tujuannya untuk bisa melangsungkan
perkawinan.  Manipulasi  dapat  terdiri  dari  berbagai  macam  diantaranya  adalah manipulasi nama, usia, alamat, agama bahkan status.
Pemalsuan  merupakan  salah  satu  bentuk  perbuatan  yang  disebut  sebagai kejahatan  yaitu  sebagai  suatu  perbuatan  yang  sifatnya  bertentangan  dengan
kepentingan  hukum.
72
Kejahatan  yang  serupa  dengan  penipuan  adalah  kejahatan memperdaya  yang  lain,  termasuk  melalui  penggunaan  benda  yang  diperoleh
melalui  pemalsuan.  Menyalin,  pengganda,  dan  mereproduksi  tidak  dianggap sebagai  pemalsuan,  meskipun  mungkin  mereka  nanti  dapat  menjadi  pemalsuan
selama mengetahui dan berkeinginan untuk tidak dipublikasikan. Pemalsuan  identitas  atau  penyalahgunaan  kartu  pengenal  ini  dapat  saja
terjadi, karena pada saat ini sudah terlalu banyak pemohon KTP, Akta Kelahiran, ataupun kartu pengenal lainnya. Tujuan kejelasan identitas adalah adanya kejelasan
hukum  terhadap  orang  atau  individu  demi  menjaga  hak  dan  kewajibannya  dalam hukum  dan  juga  sebagai  perlindungan  hukum  bagi  individu  tersebut.  Usaha
pemberian perlindungan terhadap individu maka dibutuhkan identitas yang jelas yang mana identitas tersebut dicatatkan dalam dokumen kependudukan.
Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan  memang  tidak mengatur sanksi pidana bagi suamiisteri yang melakukan pemalsuan identitas dalam
perkawinan.  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan  hanya mengatur  pembatalan  perkawinan,  jika  para  pihak  tidak  memenuhi  syarat-syarat
perkawinan. Pemalsuan akta dalam perkawinan atau pemalsuan surat yang dilakukan
72
Adami Chazawi, Op.Cit., hal. 6
Universitas Sumatera Utara
oleh  sesorang  merupakan  suatu  tindak  pidana  yang  diatur  dalam  Buku  II  KUHP adalah suatu tindak pidana yang dapat dikenakan sanksi suatu tindak pidana yang di
dalamnya  mengandung  unsur  keadaan  ketidakbenaran  atau  palsu  atas  suatu  obyek yang sesuatunya itu tampak dari luar seolah-olah benar adanya padahal sesungguhnya
bertentangan dengan yang sebenarnya. Ditinjau  dari  segi  yuridis  pemalsuan  surat  perkawinan  mempunyai  dua
kemungkinan  yaitu  perkawinan  yang  dilaksanakan  berdasarkan  surat  palsu  dapat dimintakan pembatalannya dan apabila tidak dimintakan pembatalannya  maka status
perkawinan tetap sah. Dengan demikian dapat diketahui konsekuensi pemalsuan surat perkawinan  itu  adalah  kejahatan  yang  terjadi  dalam  lapangan  hukum  perdata  yang
diakhiri  dengan  hukum  pidana  yaitu  melanggar  ketentuan  Pasal-Pasal  dalam  KUH. Pidana sebagaimana tercantum dalam Pasal 253, 264, 266, 267, 268, 269, 270, 271,
274, 275 dan ditambah dengan Pasal 242 tentang sumpah palsu dan keterangan palsu. Pemalsuan  identitas  tidak  akan  terjadi  apabila  perkawinan  dilaksanakan
dengan  mengikuti  prosedur  yang  berlaku.  Perkawinan  yang  baik  adalah  perkawinan yang  dilakukan  antara  pria  dan  wanita  yang  sama  akidah,  akhlak  dan  tujuannya,  di
samping  cinta  dan  ketulusan  hati.  Di  bawah  naungan  keterpaduan  itu,  kehidupan suami  isteri akan tentram, penuh cinta dan  kasih sayang, keluarga akan bahagia dan
anak-anak  akan  sejahtera.  Dalam  pandangan  Islam,  kehidupan  keluarga  seperti  itu tidak  akan  terwujud  secara  sempurna  kecuali  jika  suami  isteri  berpegang  teguh
melaksanakan  ajaran  Islam.  Jika  agama  keduanya  berbeda,  maka  akan  timbul berbagai  kesulitan  dalam  keluarga  dan  dalam  proses  perizinan  pernikahannya  akan
dipersulit.  Selain  itu  pula  akan  menemukan  kesulitan  dalam  pelaksanaan  ibadah, pendidikan anak, pembinaan tradisi keagamaan, dan lain-lain.
73
73
Ahmad Sukardja, Op.Cit., hal.10
Universitas Sumatera Utara
3.  Faktor-Faktor  penyebab  terjadinya  pemalsuan  Iientitas  dalam perkawinan
Masalah  pemalsuan  surat  perkawinan  disebabkan  oleh  beberapa  faktor yaitu  faktor  disiplin  dan  mental  serta  faktor  sosial.
74
Faktor  penyebab  terjadinya kejahatan pemalsuan identitas dalam perkawinan ini adalah faktor disiplin hukum.
Dalam  hal  pemalsuan  identitas  dalam  perkawinan  ini,  di  mana  seseorang  yang mempunyai tujuan tertentu yang  secara illegal akan menggunakan segala macam
cara atau membuat identitas palsu atau tidak ada rasa tanggungjawab tugas  yang diberikan kepadanya.
Ada beberapa penyebab terjadinya pemalsuan identitas dalam perkawinan, yaitu:
a. Sikap  mental  buruk  pelaku  yang  pada  dasarnya  ingin  mengeruk
keuntungan  yang  sebanyak-banyaknya  hanya  untuk  kepentingan sendiri;
b. Masih  kurangnya  pengetahuan  sebagian  anggota  masyarakat  tentang
perkawinan  berikut  peraturan  pelaksanaannya  dan  peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku serta hukum munakahat;
c. Masih  kurangnya  tertib  pelaksanaan  administrasi  NTCR,  akibat
kurangnya pengetahuan  dan  kemampuan  teknis  para  petugas  atau  Pegawai
Pencatat Nikah PPN dan wakilnya; d.
Kurang  mantapnya  koordinasi  diantara  pejabat  petugas  pelaksanan NTCR yang berwenang menanganinya;
74
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Pustaka Setia, Bandung. 2000, hal. 187
Universitas Sumatera Utara
e. Belum sepenuhnya diterapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang  Perkawinan  dan  peraturan  pelaksanaannya,  termasuk munakahat belum merata di kalangan masyarakat dan instansi-instansi
yang mengakibatkan kurangnya hukum; f.
Adanya keinginan berpoligami tanpa harus diketahui oleh isterinya dan memudahkannya tanpa harus meminta izin dari pengadilan.
75
Salah  satu  faktor  perkawinan  itu  dapat  dibatalkan  apabila  terjadi pemalsuan  identitas  diri  terhadap  suami  atau  isteri  yang  melangsungkan
perkawinan.  Pemalsuan  tersebut  dapat  berupa  status,  usia,  maupun  agama. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur pembatalan
perkawinan karena pemalsuan identitas yaitu pada Pasal 27 yang berbunyi: 1.
Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan  apabila  perkawinan  dilangsungkan  di  bawah  ancaman
melanggar hukum; 2.
Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan  apabila  pada  waktu  melangsungkan  perkawinan  terjadi
salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
75
Ahmad  Rofiq,  Hukum  Islam  Di  Indonesia,  PT  Raja  Grafindo  Pesada,  Jakarta,  2003, hal. 111
Universitas Sumatera Utara
1
BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan  di  alam  dunia  berkembang  biak.
1
Perkawinan  merupakan  kebutuhan hidup  seluruh  umat  manusia,  sejak  zaman  dahulu  hingga  kini.  Perkawinan
merupakan  masalah  yang  aktual  untuk  dibicarakan  di  alam  maupun  di  luar peraturan.  Berkenaan  dengan  perkawinan  akan  timbul  hubungan  antara  suami-
isteri  dan  kemudian  dengan  lahirnya  anak-anak,  menimbulkan  hubungan  hukum antara  orang  tua  dengan  anak-anak  mereka.  Dari  perkawinan  mereka  memiliki
harta kekayaan, dan menimbulkan hubungan hukum dengan antar mereka  dengan harta kekayaan tersebut.
2
Aturan tata-tertib perkawinan sudah ada sejak masyarakat sederhana yang dipertahankan anggota-anggota masyarakat dan para pemuka masyarakat adat dan
atau  para  pemuka  agama.  Aturan  tata  tertib  itu  terus  berkembang  maju  dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan pemerintahan dan di dalam suatu negara.
Di  Indonesia  aturan  tata-tertib  perkawinan  sudah  ada  sejak  zaman  kuno,  sejak zaman Sriwijaya, Majapahit, sampai masa kolonial Belanda dan sampai Indonesia
telah merdeka. Bahkan aturan perkawinan itu sudah tidak saja menyangkut warga negara asing karena bertambah luasnya pergaulan bangsa Indonesia.
3
1
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2007, hal. 1
2
Martiman  Prodjohamidjojo,  Hukum  Perkawinan  Indonesia,  Indonesia  Legal  Center Publishing, Jakarta, 2007, hal. 1
3
Hilman Hadikusuma, Op.Cit., hal. 1
Universitas Sumatera Utara
Perkawinan  menurut  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai  suami  isteri  dengan  tujuan  untuk  membentuk  keluarga  rumah  tangga yang  bahagia  dan  kekal  berdasarkan  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa.  Suatu
perkawinan yang sah merupakan sarana untuk mencapai cita-cita membina rumah tangga  yang  bahagia,  dimana  suami-isteri  serta  anak-anak  dapat  hidup  secara
tentram  dan  bahagia.  Selain  itu  perkawinan  bukan  saja  merupakan  kepentingan dari orang yang melangsungkannya, tetapi juga merupakan kepentingan keluarga
dan masyarakat. Pasal  2  ayat  1  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang
Perkawinan  menetapkan  bahwa  perkawinan  adalah  sah,  apabila  dilakukan menurut  hukum  masing-masing  agamanya  dan  kepercayaannya  itu.  Berdasarkan
Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka perkawinan  benar-benar  diakui  sah  apabila  telah  dilaksanakan  sesuai  dengan
ketentuan  agamanya  dan  kepercayaannya.  Kata  “hukum  masing-masing agamanya” berarti hukum yang berlaku dari salah satu agama itu masing-masing
bukan berarti “hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut oleh  kedua  mempelai  atau  keluarganya.
4
Apabila  suatu  perkawinan  yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan agama dan kepercayaannya itu, dengan
sendirinya menurut hukum perkawinan belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.
5
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
4
Ibid., hal. 25
5
C.  S.  T.  Kansil,  Pengantar  Ilmu  Hukum  dan  Tata  Hukum  Indonesia,  Balai  Pustaka, Jakarta, 1989, hal. 227
Universitas Sumatera Utara
menyebutkan  bahwa  :  “Perkawinan  dapat  dibatalkan  apabila  para  pihak  tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan.” Menurut isi Pasal 22 tersebut  maka  perkawinan  yang  dilangsungkan  dengan  tidak  memenuhi  syarat-
syarat  yang  telah  ditetapkan  oleh  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang Perkawinan  sebagaimana  tersebut  dalam  Pasal  6  sampai  dengan  Pasal  12
mengenai syarat-syarat
perkawinan, dapat
dimintakan pembatalan
perkawinannya.
6
Hak  untuk  minta  kebatalan  dari  suatu  perkawinan  itu  hanya  diberikan kepada  beberapa  orang  tertentu  saja.  Orang  ini  dapat  mempergunakan  haknya
untuk  minta  kebatalan  dari  suatu  perkawinan,  tapi  kalau  tidak  maka  perkawinan dapat berlangsung terus dengan sah.
7
Berdasarkan  ketentuan  Pasal  23  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974 tentang  Perkawinan  dinyatakan  bahwa  yang  dapat  mengajukan  pembatalan
perkawinan adalah: 1.
Para  keluarga  dalam  garis  keturunan  lurus  ke  atas  dari  suami  atau isteri;
2. Suami atau isteri;
3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
4. Pejabat yang ditunjuk berdasarkan Pasal 16 ayat 2 dan setiap orang
yang  mempunyai  kepentingan  hukum  secara  langsung  terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Bagaimanapun ketatnya pengawasan kemungkinan terjadi perkawinan
6
Ibid
7
Ali  Afandi,  Hukum  Waris  Hukum  Keluarga  Hukum  Pembuktian  Menurut  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata BW, PT Bina Aksara, Jakarta, 1986, hal. 117
Universitas Sumatera Utara
yang  dilarang  oleh  hukum  dapat  saja  terjadi.  Sudah  selayaknya  perkawinan  itu dapat  dibatalkan  oleh  karena  tidak  ada  manfaatnya.  Adanya  larangan  soal
pembatalan  dapat  diajukan  lewat  pengadilan,  agar  suatu  perkawinan  tertentu  sah atau batal.
Alasan-alasan  yang  dapat  diajukan  untuk  pembatalan  perkawinan  dalam Undang-Undang  No.1  Tahun  1974  yang  dimuat  dalam  Pasal  26  dan  Pasal  27
adalah: 1.
Perkawinan  yang  dilangsungkan  dihadapan  pegawai  pencatat perkawinan yang tidak berwenang,
2. Wali nikah yang melakukan perkawinan  itu tidak sah,
3. Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 dua orang saksi,
4. Perkawinan  dilangsungkan  di  bawah  ancaman  yang  melangggar
hukum, 5.
Ketika  perkawinan  berlangsung  terjadi  salah  sangka  mengenai  diri suami atau isteri.
Untuk  alasan  pembatalan  perkawinan  karena  ketika  perkawinan berlangsung  terjadi  salah  sangka  mengenai  diri  suami  atau  isteri  pembatalan
perkawinannya  dapat  diajukan  oleh  suami  atau  isteri.  Tapi  dengan  syarat  bahwa dalam  jangka  waktu  enam  bulan  setelah  tidak  adanya  ancaman  lagi  atau  yang
bersalah sangka itu menyadari dirinya, masih tetap hidup sebagai suami isteri dan tidak  menggunakan  haknya  untuk  mengajukan  permohonan  pembatalan,  maka
haknya itu gugur. Misalnya kekeliruan terhadap suami atau isteri yang dikawinkan itu,  identitas  suami  berbeda  dengan  yang  diketahui  oleh  isteri  atau  sebaliknya,
yang sering disebut dengan pemalsuan identitas. Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan  tidak
menjelaskan  secara  rinci  tentang  pembatalan  perkawinan  karena  pemalsuan identitas. Pemalsuan identitas tidak akan terjadi apabila pernikahan dilaksanakan
dengan  mengikuti  prosedur  yang  berlaku.  Motif  memalsukan  identitas  itu  tidak
Universitas Sumatera Utara
hanya  dalam  proses  mengganti  dari  sudah  menikah  menjadi  lajang  atau  janda menjadi  gadis,  adapula  kasus  yang  mengganti  agama  Kristen  menjadi  agama
Islam terkait tujuan yang ingin dipermudah. Batalnya  suatu  perkawinan  dimulai  setelah  keputusan  pengadilan  yang
sudah  mempunyai  hukum  yang  pasti  dan  berlaku  sejak  saat  berlangsungnya perkawinan.  Perkawinan  yang  dibatalkan  menurut  undang-undang  tetap
mempunyai  akibat  hukum,  baik  terhadap  suamiisteri  dan  anak-anaknya  maupun pihak  ketiga  sampai  pada  saat  pernyataan  pembatalan  itu.
8
Dalam  Pasal  42 Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan,  disebutkan  bahwa
anak  yang  sah  adalah  anak  yang  dilahirkan  dalam  atau  sebagai  akibat  dari perkawinan yang sah.
Perkawinan  yang  sah  merupakan  penentu  bagi  sah  atau  tidaknya  seorang anak.  Sedangkan  perkawinan  adalah    sah,  apabila  dilakukan  menurut  hukum
masing-masing  agamanya  dan  kepercayaannya  itu,  sebagaiman  yang  diatur  di dalam  Pasal  2  ayat  1  Undang-Undang  Nomor  1  Tahun  1974  tentang
Perkawinan. Anak  merupakan  generasi  muda  yang  akan  meneruskan  cita-cita  luhur
bangsa,  calon-calon  pemimpin  bangsa  di  masa  mendatang  dan  sebagai  sumber harapan  bagi  generasi  terdahulu,  perlu  mendapatkan  kesempatan  seluas-luasnya
untuk  tumbuh  dan  berkembang  dengan  wajar  baik  secara  rohani,  jasmani,  dan sosial.  Anak  memiliki  hubungan  keperdataan  yang  sangat  erat  dengan  orang
tuanya, yang tidak dapat diganggu gugat oleh hubungan lain dari manapun. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak ada
8
Komariah, Hukum Perdata, Umm Press, Malang,  2008, hal. 53
Universitas Sumatera Utara
mengatur  secara  rinci  dan  jelas  tentang  bagaimana    kedudukan  anak  serta kewajiban  orang  tua  atas  pemeliharaan  dan  pemberian  nafkah  akibat  pembatalan
perkawinan,  karena  dianggapnya  sebuah  perkawinan  tidak  pernah  terjadi. Sementara  Peraturan  Pemerintah  Nomor  9  Tahun  1975  tentang  Peraturan
Pelaksanaan  Undang-Undang  Perkawinan  hanya  mengatur  mengenai  mekanisme atau tata cara pengajuan permohonan pelaksanaan pembatalan perkawinan.
Oleh karena dianggapnya sebuah perkawinan tidak pernah terjadi sebagai konsekuensi  hukum  dari  pembatalan  perkawinan  tersebut,  maka  timbul  suatu
masalah yakni mengenai, bagaimana kedudukan anak akibat batalnya perkawinan dan  bagaimana  kewajiban  orang  tua  atas  pemeliharaan  dan  pemberian  nafkah
setelah terjadinya pembatalan perkawinan. Dalam  skripsi  ini  penulis  melakukan  analisis  terhadap  perkara  Nomor
Register  :  767Pdt.G2013PA.TPI  Pengadilan  Agama  Tanjungpinang  dengan melakukan wawancara kepada hakim Pengadilan Agama Medan Kelas I-A untuk
mengetahui  pendapat  hakim  terhadap  akibat  pembatalan  perkawinan  karena adanya pemalsuan identitas dan kaitannya dengan kedudukan anak  dalam perkara
Nomor  Register  :  767Pdt.G2013PA.TPI  yang  dilaksanakan  di  Pengadilan Agama Tanjungpinang tersebut.
Berdasarkan  uraian-uraian  di  atas,  penulis  tertarik  untuk  mengangkat skripsi  yang  berjudul  :  akibat  pembatalan  perkawinan  karena  adanya  pemalsuan
identitas  dan  kaitannya  dengan  kedudukan  anak  menurut  Undang-Undang  No.1 Tahun  1974  Tentang  Perkawinan  studi  pada  Pengadilan  Agama  Medan  Kelas-
IA.
B.  Permasalahan