Dalam penjelasannya disebutkan; “Pengertian „dapat‟ pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal,
bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain”.
Jadi tegasnya pengadilan dalam memutus permohonan pembatalan perkawinan ini harus selalu memperhatikan ketentuan agamanya dari mereka
yang perkawinannya dimintakan pembatalannya. Bagaimanapun jika mnurut ketentuan agama perkawinan itu sebagai sah, Pengadilan tidak dapat membatalkan
perkawinan itu. Adapun pengadilan yang berkuasa untuk membatalkan perkawinan yaitu:
Pengadilan yang daerah kekuasaannya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri. Bagi
mereka yang beragama Islam dilakukan di Pengadilan Agama sedangkan bagi mereka yang beragama non Islam di Pengadilan Negeri. Saat mulai berlakunya
pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Nomor l Tahu
n 1974 yang menyatakan bahwa: “batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum dimulai setelah keputusan
pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan”. Keputusan ini tidak ada upaya hukum lagi untuk
naik banding atau kasasi. Akibatnya kembali ke posisi semula sebelum terjadinya perkawinan atau perkawinan dianggap tidak pernah ada.
2. Alasan pembatalan perkawinan
Ketika menjalankan suatu bahtera perkawinan tidak terlepas dari permasalahan yang timbul bukan hanya dari pihak intern namun juga dapat
Universitas Sumatera Utara
berasal dari pihak ekstern yang dimungkinkan akan berakhir dalam suatu perceraian. Namun di samping dari berakhirnya perkawinan dengan jalan
perceraian, dikarenakan beberapa hal putusnya hubungan perkawinan juga dapat disebabkan adanya pembatalan perkawinan. Baik di dalam hukum Islam maupun
hukum negara terjadinya suatu pembatalan perkawinan dibenarkan sebagai suatu bentuk berakhirnya hubungan antara suami-isteri.
Terdapat beberapa alasan yang dapat diajukan untuk pembatalan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dimuat dalam
Pasal 26 dan 27 adalah : a.
Perkawinan yang dilangsungkan dihadapan pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang;
b. Wali nikah yang melakukan perkawinan itu tidak sah;
c. Perkawinan dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 dua orang saksi;
d. Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum;
e. Ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai diri
suami atau isteri.
3. Pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan
Permohonan pembatalan perkawinan hanya boleh diajukan oleh pihak yang berhak yang disebut dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yaitu: a.
Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
Universitas Sumatera Utara
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat 2 Pasal 16 Undang-Undang ini
dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu
putus. Pengertian dari pejabat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 23 huruf d
tersebut adalah pejabat yang berwenang untuk melakukan pencegahan perkawinan karena tidak dipenuhinya ketentuan-ketentuan dalam Pasal 17 ayat 1, Pasal 8,
Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Selanjutnya Pasal 26 ayat 1 menentukan bahwa perkawinan yang
dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 dua orang
saksi, dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri. Kemudian Pasal 26
ayat 2 menentukan bahwa hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat 1 tersebut gugur apabila mereka telah hidup
bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus
di perbaharui supaya sah. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 26 tersebut, maka hak untuk
membatalkan perkawinan oleh para keluaga dalam garis lurus ke atas dari suami atau isteri dan hak dari jaksa tetap tidak dapat gugur. Hak tersebut gugur hanya
bagi suami atau isteri saja, sedangkan hak membatalkan bagi pihak lain tetap tidak gugur.
Selanjutnya Pasal 27 menentukan bahwa seorang suami atau isteri dapat
Universitas Sumatera Utara
mengajukan permohonan pembatalan apabila : 1
Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum; 2
Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
Khusus dalam hubungan suami isteri, seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan, dalam hal perkawinan itu
dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum atau apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau
isteri. Yang dimaksud salah sangka disini bukannya salah sangka mengenai identitas seseorang, pangkat, kedudukan, kekayaan dan sebagainya melainkan
salah sangka mengenai diri suami isteri. Bilamana dalam jangka waktu 6 enam bulan setelah tidak adanya
ancaman lagi atau salah sangka itu menyadari dirinya, masih tetap hidup sebagai suami isteri dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan pembatalan, maka
haknya itu gugur.
60
Bahwa sesuatu yang dibatalkan itu pastilah sudah terlaksana. Oleh karena itu dapat dikatakan juga bahwa pelaksanaan pembatalan perkawinan
itu diajukan sesudah perkawinan dilaksanakan. Tetapi hak untuk mengajukan permohonan pembatalan yang diberikan kepada seorang suami atau isteri terbatas
hanya selama 6 bulan saja, Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyebutkan bahwa : “apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6
enam bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak
60
Riduan syahrani, Op.Cit., hal. 89
Universitas Sumatera Utara
mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur”.
Apa yang dimaksud dengan kata di bawah ancaman yang melanggar hukum sesungguhnya juga belum jelas, melanggar hukum yang mana hukum
pidana, hukum adat, atau hukum agama. Tidak jelas sebaiknya yang dijadikan ukuran adalah adalah bentuk dan sifat ancamannya yang patut dikategorikan
dengan perbuatan dengan kekerasan yang menakutkan dengan menguunakan atau tanpa senjata, sehingga suami atau isteri terpaksa melakukan perkawinan.
Sedangkan mengenai salah sangka mngenai diri suami atau isteri, hendaknya ditafsirkan tubuh luar dan tubuh dalam atau penyakit cacat tubuh.
Jalan mengatasinya agar tidak terjadi salah sangka, maka ketika perkawinan dilangsungkan antara kedua mempelai didekatkan duduknya atau diperkenalkan
tubuh dan rupanya terlebih dahulu oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Yang dimaksud salah sangka disini bukan mengenai identitas seseorang, pangkat,
kedudukan, kekayaan dan sebagainya, melainkan mengenai diri suamiisteri.
61
4. Tata cara pembatalan perkawinan