Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan Perkawinan 1. Pengertian perkawinan

raganya, batas umur perkawinan, perceraian dipersulit, kedudukan suami isteri seimbang. 35

4. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan

Sebagai salah satu perbuatan hukum, perkawinan mempunyai akibat hukum. Adanya akibat hukum ini penting sekali hubungannya dengan sahnya perbuatan hukum itu. Suatu perkawinan yang menurut hukum dianggap tidak sah umpamanya, maka anak yang lahir dari perkawinan itu akan merupakan anak yang tidak sah. 36 Terkait dengan sahnya suatu perkawinan, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan: a. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya; b. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pernyataan di atas juga dijelaskan kembali pada bagian penjelasan Pasal 2 Undang- Undang Perkawinan yaitu “dengan perumusan Pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang- Undang Dasar 1945”. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. 37 Jadi perkawinan yang sah jika terjadi perkawinan antar agama, adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika 35 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukm Perorangan Kekeluargaan Di Indonesia, Sinargrafita, Jakarta, 2006, hal. 264-26 36 K. Wantjik Saleh, Op.Cit., hal. 15 37 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit, hal. 51 Universitas Sumatera Utara perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Islam, kemudian dilakukan lagi menurut hukum Kristen danatau Hukum HinduBudha, maka perkawinan itu menjadi tidak sah, demikian sebaliknya. 38 Pasal 2 ayat 2 juga harus dibaca senafas dan tidak boleh difragmentaris dengan ayat 1 nya, walaupun ayat 2 tidak membicarakan sahnya perkawinan tetapi juga memiliki fungsi yang menguatkan secara administratif. Memang suatu perkawinan dikatakan sah bukan ditentukan oleh aspek administratifnya melainkan ditentukan oleh faktor substantifnya dalam ayat 1 yaitu agama dan kepercayaannya. Jadi, ada pembedaan namun tidak bisa dipisahkan. Perkawinan dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan memiliki aspek perdata dan aspek administratif. Aspek perdata membicarakan fungsi substasi dan aspek pendaftaran membicarakan fungsi administratif. Fungsi yang terakhir adalah untuk kejelasan dan kepastian hukum tentang adanya bukti perkawinan yang sudah dilakukan oleh suami isteri bagi masyarakat dan negara. 39 Syarat perkawinan merupakan suatu hal yang sangat penting, sebab suatu perkawinan yang dilakukan dengan tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam undang-undang, maka perkawinan tersebut dapat diancam dengan pembatalan atau dapat dibatalkan. Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, meliputi syarat-syarat materil maupun formil, yaitu: 1. Syarat materiil Syarat materiil disebut juga dengan syarat inti atau internal, yaitu syarat 38 Hilman Hadikusuma, Op,Cit., hal. 11 39 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Op.Cit, hal. 52 Universitas Sumatera Utara yang menyangkut pribadi para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan dan izin-izin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang. 40 Syarat-syarat materiil, diatur dalam Pasal 6 sd 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dapat dibedakan lagi dalam syarat materiil yang absolutmutlak dan syarat materiil yang relatifnisbi. 41 a Syarat materiil absolut adalah syarat mengenai pribadi seorang yang harus di indahkan untuk perkawinan pada umumnya. 42 Syarat materiil absolut ini meliputi: 1 Batas umur minimum pria 19 tahun dan untuk wanita 16 tahun Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dalam hal penyimpangan dari batas umur tersebut dapat meminta dispensasi kepada pengadilan. 2 Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian atau persetujuan antara kedua calon mempelai Pasal 6 ayat 1 . 3 Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 dua puluh satu tahun harus mendapat ijin kedua orang tua Pasal 6 ayat 2. Apabila salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka ijin dimaksud ayat 2 pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam 40 Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hal. 110. 41 Komariah, Edisi Revisi Hukum Perdata, UMM Press, Malang, 2008, hal. 44 42 Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hal. 110 Universitas Sumatera Utara keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. Jika ada perbedaan pendapat antara kedua orang tua, orang tua yang masih hidup atau orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya dan walinya, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan ijin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang seharusnya memberikan ijin sebagaimana dimaksud di atas. Menurut Pasal 6 ayat 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, ketentuan tentang pihak-pihak yang berwenang memberikan ijin tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. 43 b Syarat materil yang relatifnisbi, merupakan syarat yang melarang perkawinan antara seorang dengan seorang yang tertentu, yaitu: a Larangan kawin antara orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, yakni hubungan kekeluargaan karena darah dan perkawinan, yang ditentukan dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974: 1.1 Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau pun ke atas. 1.2 Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antar 43 Komariah, Op.Cit., hal. 45 Universitas Sumatera Utara saudara, antar seorang dengan orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 1.3 Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibubapak tiri. 1.4 Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibipaman susuan. 1.5 Berhubugan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemanakan dan isteri dalam hal seorang suami beristeri lebih dari Seorang. 1.6 Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. b Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali seorang suami yang oleh pengadilan diijinkan untuk poligami karena telah memenuhi alasan-alasan dan syarat-syarat ditentukan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. c Larangan kawin bagi suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain Pasal 10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Larangan kawin seperti Pasal 10 tersebut sama dengan larangan kawin yang ditentukan dalam Pasal 33 KUHPerdata ayat 2 yang Universitas Sumatera Utara menentukan bahwa perceraian setelah yang kedua kalinya antara orang-orang yang sama, adalah terlarang. Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu tindakan yang mngakibatkan putusnya suatu perkawinan harus benar-benar dapat dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain. d Seorang wanita yang putus perkawinannya dilarang kawin lagi sebelum habis jangka tunggu Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. 44 2. Syarat formil Syarat formil atau syarat lahir eksternal adalah syarat yang berhubungan dengan tata cara atau formalitas yang harus dipenuhi sebelum proses perkawinan. 45 Syarat formil ini meliputi: a. Pemberitahuan akan dilangsungkannya perkawinan oleh calon mempelai baik secara lisan maupun tertulis kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 10 sepuluh hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan Pasal 3 dan 4 PP Nomor 9 Tahun 1975. b. Pengumuman oleh pegawai pencatat dengan menempelkannya pada tempat yang disediakan di Kantor Pencatatan Perkawinan. Maksud 44 Ibid, hal. 47 45 Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hal. 111 Universitas Sumatera Utara pengumuman itu adalah untuk memberikan kesempatan kepada orang yang mempunyai pertalian dengan calon suamiisteri itu atau pihak-pihak lain yang mempunyai kepentingan misalnya kejaksaan untuk menentang perkawinan itu kalau ada ketentuan undang-undang yang melanggar. Pengumuman tersebut dilaksanakan setelah pegawai pencatat meneliti syarat-syarat dan surat-surat kelengkapan yang harus dipenuhi oleh calon mempelai. Perkawinan tidak boleh dilangsungkan sebelum melewati hari ke 10 setelah di umumkan Pasal 10 PP Nomor 9 Tahun 1975. 46

5. Larangan perkawinan

Dokumen yang terkait

Perkawinan Campuran Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Tentang Perkawinan

2 93 97

Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang NO. 1 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Pada Pengadilan Agama Medan)

3 123 72

Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Poligami Tanpa Izin Dan Kaitannya dengan Status Anak Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi di Pengadilan Agama Klas I-A Medan)

2 35 156

Anak luar nikah dalam undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974: analisis putusan MK tentang status anak luar nikah

0 3 86

Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Semarang)

0 18 159

Perkawinan Dibawah Umur Menurut Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (studi di Pengadilan Agama Klaten)

0 9 183

PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PEMALSUAN IDENTITAS (Studi Kasus Pengadilan Agama Surakarta) Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas (Studi kasus di Pengadilan Agama Surakarta).

0 1 19

PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PEMALSUAN IDENTITAS (Studi pada Pengadilan Agama Surakarta).

0 7 20

Akibat Hukum Adanya pembatalan perkawinan kedua yang perkawinannya tanpa izin istri pertama yang dilangsungkan menurut Hukum Agama berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

1 1 1

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN A. Pengertian Pembatalan Perkawinan A.1. Pengertian Pembatalan Perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 - Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang NO. 1 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Perkawina

0 0 19