Tujuan Perkawinan Perkawinan 1. Pengertian perkawinan

Pancasila, dimana sila yang pertama adalah ketuhanan yang maha esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agamakerohanian. 23 Dengan demikian pengertian perkawinan sebagaimana yang telah diatur di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki unsur-unsur, yaitu: 1 Adanya seorang pria dan wanita; 2 Ikatan lahir dan batin; 3 Adanya tujuan tertentu yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal. 4 Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 24

2. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan pada dasarnya adalah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendidik sebuah kehidupan rumah tangga yang damai dan tenteram. Di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dikatakan bahwa yang menjadi tujuan perkawinan sebagai suami isteri adalah untuk membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ini berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu tertentu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputuskan begitu saja. 25 Suatu keluarga dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua kebutuhan pokok, yaitu kebutuhan jasmaniah dan kebutuhan rohaniah. Yang termasuk kebutuhan jasmaniah, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan 23 Sudarsono, Op.Cit., hal. 9 24 Tan Kamello dan Syarifah Lisa Andriati, Hukum Perdata: Hukum Orang Keluarga, USU Press, Medan, 2011, hal. 40 25 Ibid, hal. 43 Universitas Sumatera Utara yang termasuk kebutuhan rohaniah seperti seorang anak yang berasal dari darah daging mereka sendiri. 26 Keluarga bahagia dan kekal adalah cita-cita bagi kedua calon suami isteri. Kata “bahagia” adalah abstrak dan merupakan puncak tertinggi yang ingin dicapai oleh kedua belah pihak. Dari awal harus sudah ada kemauan yang kuat untuk hidup bahagia dan bukan hidup susah. Bahagia dalam arti materil dan immaterial menjadi suatu kepuasan dalam keluarga. Bahagia juga dapat dilihat dari aspek ekonomi, sosial dan kultur, tidak akan dikatakan bahagia suatu keluarga jika tidak ditopang dengan ekonomi yang memadai, misalnya memiliki rumah, kendaraan, cukup pangan, biaya pendidikan, biaya sosial, dan sebagainya. Bahagia harus pula diukur dengan potensi individu dan kolektif suami isteri, sehingga ukurannya sangat relatif, tetapi yang paling umum bahagia adalah jika rumah tangga yang dijalani dari awal sampai akhir sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan serta biaya pendidikan anak-anak, tidak mengalami keretakan atau kegoncangan yang mengarah kepada bubarnya perkawinan. Perkawinan besifat kekal, artinya diharapkan bahwa perkawinan harus berlangsung seumur hidup kecuali salah satu meninggal dunia. Hal ini juga berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu yang direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau selama-lamanya, dan tidak boleh diputus begitu saja. Karena itu, tidak diperkenankan perkawinan yang hanya dilangsungkan untuk sementara waktu saja seperti kawin kontrak. Pemutusan perkawinan dengan perceraian hanya diperbolehkan dalam keadaan 26 Titik Triwulan Tutik, Op.Cit., hal. 109 Universitas Sumatera Utara yang sangat terpaksa. 27 Kekal juga mengisyaratkan bahwa bersikap hati-hati pada saat memilih calon suami-isteri, karena suami atau isteri bukan seperti benda yang dipakai untuk kepentingan sesaat. Selanjutnya dalam rumusan perkawinan itu dinyatakan dengan tegas bahwa pembentukan keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti perkawinan harus didasarkan pada agama dan kepercayaan. Ketuhanan yang maha esa merupakan warna lain dan sekaligus pembeda dari karakter perkawinan menurut KUH Perdata. Setiap manusia Indonesia diyakini mempunyai sikap hidup untuk ber tuhan sesuai dengan agamanya. Dengan unsur ketuhanan yang melandasi suatu perkawinan semakin jelas bahwa perkawinan bukanlah urusan duniawi saja melainkan urusan religius. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terlihat bahwa perkawinan tidak hanya dipandang berdasarkan persoalan materi, melainkan merujuk paham religius. Tujuan perkawinan bukan bersifat sementara, melainkan untuk kekal dan abadi, hidup bahagia kecuali putus hubungan karena kematian. 28 Menurut agama Islam, perintah religius merupakan sunnah rasulullah. Keberadaan unsur Ketuhanan dalam sebuah perkawinan bukan saja peristiwa itu merupakan perjanjian yang sakral melainkan sifat pertanggungjawaban hukumnya jauh lebih penting yaitu pertanggungjawaban kepada tuhan sang pencipta Allah SWT. Dengan adanya unsur ketuhanan, maka hilanglah pandangan yang mengatakan bahwa perkawinan adalah urusan manusia semata-mata. 29 27 Ridwan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, PT Alumni, Bandung, 2004, hal. 62 28 Ibid, hal. 42 29 Ibid, hal. 44 Universitas Sumatera Utara Sel anjutnya dijelaskan bahwa “untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materil”. Bentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal jelas yang dimaksud berdasarkan ajaran agama yang dianut masyarakat Indonesia seperti ajaran Islam, Kristen, Katolik, dan Hindu-Budha. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agamakerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahirjasmani, tetapi unsur batinrohani juga mempunyai peranan yang penting. Pembentukan keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, dimana pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua. Dengan demikian yang menjadi tujuan perkawinan menurut perundangan adalah untuk kebahagiaan suami isteri, untuk mendapatkan keturunan dan menegakkan keagamaan, dalam kesatuan keluarga yang bersifat parental ke-orangtua-an. 30

3. Asas-asas Perkawinan

Dokumen yang terkait

Perkawinan Campuran Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Tentang Perkawinan

2 93 97

Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang NO. 1 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Pada Pengadilan Agama Medan)

3 123 72

Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan Poligami Tanpa Izin Dan Kaitannya dengan Status Anak Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi di Pengadilan Agama Klas I-A Medan)

2 35 156

Anak luar nikah dalam undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974: analisis putusan MK tentang status anak luar nikah

0 3 86

Pembatalan Perkawinan Dan Akibat Hukumnya Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus Di Pengadilan Agama Semarang)

0 18 159

Perkawinan Dibawah Umur Menurut Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan (studi di Pengadilan Agama Klaten)

0 9 183

PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PEMALSUAN IDENTITAS (Studi Kasus Pengadilan Agama Surakarta) Pembatalan Perkawinan Karena Pemalsuan Identitas (Studi kasus di Pengadilan Agama Surakarta).

0 1 19

PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA PEMALSUAN IDENTITAS (Studi pada Pengadilan Agama Surakarta).

0 7 20

Akibat Hukum Adanya pembatalan perkawinan kedua yang perkawinannya tanpa izin istri pertama yang dilangsungkan menurut Hukum Agama berdasarkan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

1 1 1

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBATALAN PERKAWINAN A. Pengertian Pembatalan Perkawinan A.1. Pengertian Pembatalan Perkawinan menurut Undang-undang No.1 Tahun 1974 - Pembatalan Perkawinan Menurut Undang-Undang NO. 1 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Perkawina

0 0 19