4. Menghukum Pemohon untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.
471.000,- Empat ratus tujuh puluh satu ribu rupiah;
A. Kedudukan Anak Akibat Batalnya Perkawinan karena adanya Pemalsuan Identitas
Pernikahan merupakan institusi agung untuk mengikat dua insan berlawanan jenis dalam satu ikatan keluarga. Secara sederhana, pernikahan dapat
pula dipahami sebagai jalan legal untuk memenuhi hajat biologis, persetubuhan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan ajaran Islam.
Sebuah perkawinan yang sah tentunya akan mengahasilkan anak yang sah, jika proses pembuahan dan lahirnya seorang anak dalam sebuah perkawinan yang
sah. Kehadiran seorang anak merupakan salah satu anugerah yang telah diberikan oleh Allah kepada pasangan suami isteri. Oleh karenanya seorang anak
mempunyai hak-hak atas orang tuanya, seperti mendapatkan kasih sayang dari orang tua, mendapat biaya pendidikan dan pengasuhan, mendapat harta dari kedua
orang tuanya bahkan ketentuan dan kepastian nasab. Kajian mengenai kedudukan anak merupakan hal yang sangat mendasar
bagi kehidupan manusia. Anak menurut hukum dibedakan menjadi dua, yaitu: 1.
Anak Sah; 2.
Anak Tidak Sah. Menurut Pasal 250 KUHPerdata dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang dimaksud dengan anak sah adalah anak- anak yang dilahirkan sepanjang perkawinan, atau dengan kata lain dapat diartikan
sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah adalah jalan satu-satunya dalam tanggungjawab terhadap keturunan, baik
Universitas Sumatera Utara
dari segi nafkah yang wajib, bimbingan, pendidikan maupun warisan.
92
Dilihat dari kedudukannya, anak sah mempunyai kedudukan tertentu terhadap keluarga.
Orang tua berkewajiban atas nafkah hidup, pendidikan, pengawasan dan budi pekerti sampai ia dewasa.
Sedangkan anak tidak sah tidak dijelaskan secara eksplisit dalam pasal- pasal KUHPerdata maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tetapi secara
penafsiran anak tidak sah dapat diartikan sebagai anak yang dilahirkan oleh seorang wanita yang tidak terikat dalam suatu perkawinan yang sah dengan
seorang laki-laki. Perbedaan kedudukan anak dalam hukum ini terdapat unsur yang sangat
menentukan, yaitu perkawinan. Anak tidak sah pada dasarnya adalah keturunan yang kelahirannya tidak didasarkan atas suatu perkawinan yang sah. Anak tidak
sah dalam arti luas meliputi anak luar kawin, anak zina,dan anak sumbang. Sedangkan dalam arti sempit yang dimaksud dengan anak tidak sah terbatas pada
anak luar kawin saja. Masing-masing perbedaan anak tidak sah ini menurut KUHPerdata memiliki akibat yang berbeda.
a. Anak luar kawin
Anak luar kawin yang disebut juga anak tidak sah dalam arti sempit adalah anak yang dilahirkan dari hasil hubungan antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan yang kedua-duanya tidak terikat perkawinan dengan orang lain dan tidak ada larangan untuk saling menikahi;
b. Anak zina
Anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan luar nikah antara
92
Fuad mohd Fakhruddin, Masalah Anak Dalam Hukum Islam Anak Kandung, Anak Tiri, Anak Angkat, Dan Anak Zina, CV Pediman Ilmu jaya, Jakarta, 1991, hal. 33
Universitas Sumatera Utara
seorang laki-laki dan seorang perempuan, dimana salah satu atau kedua- duanya terikat perkawinan dengan orang lain;
c. Anak sumbang
Anak sumbang adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya berdasarkan
undang-undang Pasal 31 KUHPerdata ada larangan untuk saling menikahi.
Menurut Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam Anak yang sah adalah: 1
Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah 2
Hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut.
Sedangkan anak tidak sah juga tidak dijelaskan secara eksplisit dalam Hukum Islam , tetapi secara penafsiran anak tidak sah dapat diartikan sebagai
anak yang dilahirkan oleh seorang wanita yang tidak terikat dalam suatu perkawinan yang sah dengan seorang laki-laki. Secara garis besar anak juga
terbagi beberapa macam, diantaranya anak angkat, anak susuan dan anak tiri. Melalui wawancara yang dilakukan dengan Abdul Rahim, SH selaku
Hakim Pengadilan Agama Medan Kelas 1-A mengenai perkara Nomor Register : 767Pdt.G2013PA.TPI, terlebih dahulu ia menjelaskan mengenai perkara
tersebut. Dalam perkara tersebut memang pada awal pernikahan Termohon I Yon Hendri dan Termohon II Sulasmi telah fasidrusak, karena telah terjadi
pemalsuan identitas diri yang dilakukan oleh Termohon II dengan mengaku bahwa dirinya berstatus perawan padahal sebenarnya Termohon II berstatus
sebagai janda yang mana masa iddah Termohon II belum habis. Iddah adalah
Universitas Sumatera Utara
suatu masa yang dijalani oleh wanita yang diceraikan oleh suaminya dengan cerai thalak untuk mengetahui kebersihan rahimnya. Kalau sudah ada benih di dalam
rahimnya maka tidak boleh di nikahi oleh laki-laki lain. Waktu tunggu iddah bagi seorang janda yang apabila perkawinannya putus karena perceraian, waktu
tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 tiga kali suci atau sekurang- kurangnya 90 Sembilan puluh hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90
Sembilan puluh hari.
93
Dengan adanya pemalsuan identitas yang dilakukan oleh Termohon II maka perkawinan yang dilangsungkan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat
perkawinan dimana Termohon II berstatus janda yang mana masa Iddah termohon II belum habis. Sehingga Termohon I dan Termohon II melanggar larangan
perkawinan yang telah diatur di dalam Pasal 11 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa bagi seorang yang putus perkawinannya berlaku jangka
waktu tunggu. Jangka waktu tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Tahun 1975 Pasal 39. Di dalam Pasal 40 huruf a Kompilasi Hukum Islam juga mengatur
larangan perkawinan bagi seorang wanita yang masih berada dalam masa Iddah, yang jangka waktu tunggunya di atur di dalam Pasal 153 Kompilasi Hukum
Islam. Perkawinan tersebut dapat dibatalkan karena alasan pembatalan perkawinan terpenuhi yaitu pemalsuan identitas yang berupa pemalsuan status
isteri yang mengaku perawan padahal isteri tersebut sudah janda, yang mana pemalsuan identitas ini melanggar syarat administratif. Permohonan pembatalan
perkawinan Termohon I dan Termohon II diajukan setelah 5 bulan perkawinan mereka dilangsungkan, yang terhitung sejak tanggal 18 Juli 2013 mereka
93
Wawancara dengan Abdul Rahim selaku Hakim Pengadilan Agama Medan Kelas I-A tanggal 20 Mei 2016, di Pengadilan Agama Medan Kelas I-A.
Universitas Sumatera Utara
melangsungkan perkawinan dan permohonan pembatalan diajukan pada tanggal 18 desember 2013, yang diajukan oleh Penghulu KUA Kecamatan Bestari Said
kamaluddin.
94
Setelah pernikahan Termohon I dan Termohon II berlangsung mereka dikarunia anak yang beranama Olifia Salsabila, umur 3 bulan. Jika dihubungkan
dengan anak yang dilahirkan dari keduanya, menurut Abdul Rahim anak tersebut berkedudukan sebagai anak tidak sah anak luar perkawinan, karena anak yang
sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah dan hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri
tersebut. Hal ini diatur dalam Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
95
Menurut ilmu Fiqih status anak dapat dikatakan sebagai anak sah atau tidak sah jika dilihat dari segi usia kehamilan sampai melahirkan, apakah sudah
mencapai 180 hari6 bulan. Jika anak tersebut lahir atau tumbuh sepanjang perkawinan maka suami dari ibunya adalah bapaknya anak tersebut adalah anak
sah, dan apabila anak tersebut lahir sebelum waktu 180 hari6 bulan setelah akad nikah atau melakukan hubungan senggama, maka anak tersebut tidak dapat di
nasabkan kepada suami wanita tersebut jika wanita tersebut sudah menikah dengan laki-laki lain. Hal tersebut berarti dalam ilmu Fiqih diungkapkan bahwa
apabila seorang anak tumbuh sepanjang perkawinan dan dilahirkan setelah melewati 180 hari6 bulan, maka jelas anak tersebut disebut sebagai anak sah.
Sedangkan bagi anak yang dilahirkan sebelum mencapai 180 hari6 bulan maka
94
Wawancara dengan Abdul Rahim selaku Hakim Pengadilan Agama Medan Kelas I-A tanggal 20 Mei 2016, di Pengadilan Agama Medan Kelas I-A.
95
Wawancara dengan Abdul Rahim selaku Hakim Pengadilan Agama Medan Kelas I-A tanggal 20 Mei 2016, di Pengadilan Agama Medan Kelas I-A.
Universitas Sumatera Utara
anak tersebut bukan merupakan anak sah atau suami dapat melakukan pengingkaran atas status anak tersebut.
96
Menurut Abdul Rahim selaku Hakim Pengadilan Agama Medan Kelas 1- A jika dihubungkan dengan perkara Nomor Register:767Pdt.G2013PA.TPI ,
maka kedudukan anak tersebut bukanlah anak sah anak luar perkawinan, karena anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah, sedangkan perkawinan orang tuanya Termohon I dan Termohon II telah rusak dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat melangsungkan perkawinan,
yang mana telah melanggar larangan perkawinan dan terjadinya pemalsuan identitas, sehingga perkawinan Termohon I dan Termohon II dibatalkan. Anak
tersebut juga dilahirkan sebelum mencapai 180 hari6 bulan, sedangkan perkawinan Termohon I dan termohon II masih berlangsung selama 5 bulan.
Dapat terjadi kemungkinan anak yang dilahirkan tersebut merupakan anak dari suami pertama Termohon I, karena saat Termohon I dan Termohon II
melangsungkan perkawinan, Termohon I masih dalam masa Iddah yang belum habis.
97
Kedudukan anak tentunya bersentuhan dengan hak-hak anak terhadap orang tuanya. Anak mempunyai hak yang bersifat asasi, sebagaimna yang dimiliki
oleh orang dewasa, hak asasi manusia. Ikatan kekeluargaan dapat menimbulkan berbagai hubungan. Apabila perkawinan melahirkan seorang anak dengan orang
tuanya menimbulkan persoalan sehingga dirasakan adanya aturan-aturan hukum yang mengatur tentang hubungan antara mereka. Aturan-aturan hukum antara
96
Wawancara dengan Abdul Rahim selaku Hakim Pengadilan Agama Medan Kelas I-A tanggal 20 Mei 2016, di Pengadilan Agama Medan Kelas I-A.
97
Wawancara dengan Abdul Rahim selaku Hakim Pengadilan Agama Medan Kelas I-A tanggal 20 Mei 2016, di Pengadilan Agama Medan Kelas I-A.
Universitas Sumatera Utara
keduanya bersentuhan erat dengan konsep hak dan kewajiban antara orang tua kepada anaknya atau sebaliknya.
Sebagai generasi penerus bangsa dan penerus keturunan keluarga, hendaknya kelahiran seorang anak dihasilkan atas perkawinan yang sah.
Perkawinan yang sah akan menghasilkan keturunan yang sah anak sah, dan keturunan yang sah akan menghasilkan generasi yang baik. Anak sah yaitu
seorang anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, secara langsung ia dinasabkan kepada bapaknya, ia pun kemudian mendapatkan semua
hak dari bapaknya. Kelahiran anak merupakan peristiwa hukum. Dengan resminya seorang anak menjadi anggota keluarga melalui garis Nasab
keturunan, ia berhak mendapatkan berbagai macam hak dan mewarisi harta ayah dan ibunya.
Dengan demikian hubungan antara orang tua dengan anaknya tidak akan terputus sampai kapanpun, meskipun hubungan perkawinan kedua orang tuanya
putus, tetap saja ayah ibunya berkewajiban memberikan kasih sayang kepadanya dan juga berkewajiban memberikan pemenuhan hidup anaknya sampai ia dewasa.
Lain halnya jika status anak yang dilahirkan adalah anak luar perkawinan atau anak tidak sah, ia hanya mendapatkan pemenuhan hak dari pihak ibunya dan
keluarga ibunya sebab hubungan nasabnya sudah terputus dan hanya dinasabkan kepada ibu dan keluarga ibu sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 43 ayat
1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya.
Universitas Sumatera Utara
B. Kewajiban Orang Tua atas Pemeliharaan dan Pemberian Nafkah setelah terjadinya Pembatalan Perkawinan
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat- syarat untuk melangsungkan perkawinan atau telah terjadi pelanggaran ketentuan
baik rukun maupun syarat sah perkawinan. Anak dalam pemaknaan umum mendapatkan perhatian tidak saja dalam bidang ilmu pengetahuan akan tetapi
ditelaah dalam disiplin ilmu yang lain yang memberikan pengertian anak secara luas, seperti dari sisi pandang agama, hukum, dan secara disiplin ilmu lainnya.
Artinya yang dibatalkan itu adalah dimana sejak perkawinan tersebut dilangsungkan yaitu ketika terjadi akad nikahnya antara suami isteri yang
perkawinannya dibatalkan tersebut sebelum adanya anak dan sesudah adanya anak dan ketika adanya keputusan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang
terlahir di dalamnya.
98
Kelahiran anak sebagai peristiwa hukum yang terjadi karena hubungan suami isteri membawa konsekuensi beberapa hak dan kewajiban secara timbal
balik antara orang tua sebagai kewajiban, dan sebaliknya orang tua juga mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh anak. Anak memperoleh hak untuk
pemeliharaan dalam kehidupan yang layak, jaminan kesehatan, sandang pangan, papan, pendidikan yang memadai dari orang tua baik berlaku dalam masa
perkawinan atau sesudah perkawinan itu terputus atau dibatalkan oleh hukum. Dalam hal ini dengan alasan apapun, anak tidak dapat dikesampingkan,
sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 19 74 tentang Perkawinan pasal 28 ayat 1 dan ayat 2 huruf a berbunyi :
98
Wawancara dengan Abdul Rahim selaku Hakim Pengadilan Agama Medan Kelas I-A tanggal 20 Mei 2016, di Pengadilan Agama Medan Kelas I-A.
Universitas Sumatera Utara
1. Batalnya suatu perkawinan dimulai sejak keputusan Pengadilan
mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
2. Keputusan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut. Melalui wawancara yang dilakukan oleh penulis dengan Abdul Rahim
selaku Hakim Pengadilan Agama Medan Kelas 1-A mengenai perkara Nomor Register : 767Pdt.G2013PA.TPI, Pemeliharaan dan pemberian nafkah terhadap
anak baik itu dalam masa perkawinan maupun setelah terjadi perpisahan karena perceraian maupun pembatalan perkawinan, merupakan suatu kewajiban bagi
orang tua terhadap anak. Sehubungan dengan kewajiban orang tua terhadap anaknya walaupun perkawinan antara orang tuanya telah putus tetapi kewajiban
orang tua terhadap anaknya tetap harus dilaksanakan sampai anak-anak tersebut dewasa.
99
Dalam perkara Nomor Register : 767Pdt.G2013PA.TPI, kewajiban pemeliharaan dan pemberian nafkah terhadap anak tersebut adalah kewajiban
ibunya dan keluarga ibunya, karena anak tersebut merupakan anak luar perkawinan, dimana anak tersebut hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya
dan keluarga ibunya, meskipun perkawinan mereka sudah dibatalkan jika Termohon I mengetahui bahwa anak tersebut adalah anaknya, secara kasih sayang
Termohon I juga dapat memberikan nafkah terhadap anak yang dilahirkan dalam perkawinan antara Termohon I dan Termohon II, walaupun Termohon I tidak
memiliki hubungan nasab dengan anaknya, ia hanya sebagai ayah biologis dari anak tersebut.
99
Wawancara dengan Abdul Rahim selaku Hakim Pengadilan Agama Medan Kelas I-A tanggal 20 Mei 2016, di Pengadilan Agama Medan Kelas I-A.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya serta kewajiban
tersebut berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Pemeliharaan anak juga di atur di dalam Pasal 106 Kompilasi Hukum Islam, orang tua wajib merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa
atau di bawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan
keselamatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi serta orang tua bertanggaung jawab atas kerugian yang
ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut.
C. Akibat Pembatalan Perkawinan bagi Suami Isteri karena Adanya Pemalsuan Identitas di Pengadilan Agama Medan Kelas 1-A
Sebuah perkawinan dapat timbul masalah yang tidak diinginkan yang berupa putusnya perkawinan yang bisa berupa kematian, perceraian dan putusan
pengadilan. Putusnya perkawinan oleh putusan pengadilan berupa pembatalan perkawinan, apabila dalam sebuah perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan, salah satu alasan perkawinan dibatalkan adalah ketika perkawinan berlangsung terjadi salah sangka mengenai
diri suami atau isteri atau terjadinya pemalsuan identitas. Melalui wawancara yang dilakukan dengan Abdul Rahim selaku Hakim
Pengadilan Agama Medan Kelas 1-A mengenai perkara Nomor Register : 767Pdt.G2013PA.TPI, pembatalan perkawinan membawa akibat hukum
terhadap suami isteri, anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, harta
Universitas Sumatera Utara
bersama, dan pihak ketiga. Jika syarat-syarat dalam suatu perkawinan tidak terpenuhi, maka hal ini akan membawa akibat hukum terhadap status perkawinan
yang menjadi tidak sah karena seorang istri tersebut melakukan pemalsuan identitas. Akibat pembatalan bagi suami isteri, status suami isteri tersebut
menjadi kembali seperti sebelum adanya perkawinan. Status batalnya perkawinan akan berlaku setelah adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan
hukum tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Berdasarkan pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan disebutkan bahwa putusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut
Batalnya suatu perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak dari perkawinan orang tuanya yang telah dibatalkan perkawinannya oleh
putusan pengadilan.
2. Suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap
harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
Pembagian harta bersama untuk masing-masing pihak harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
3. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam uraian tersebut
sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. Jadi
segala perbuatan perdata atau perikatan yang diperbuat suami isteri sebelum pembatalan perkawinan tetap berlaku, dan harus dilaksanakan
oleh suami isteri tersebut, sehingga ketentuan ini bertujuan untuk melindungi pihak ketiga.
Akibat pembatalan perkawinan karena adanya pemalsuan identitas setelah adanya putusan pengadilan dan setelah buku nikah suami isteri ditarik kembali,
maka sejak saat itu tidak ada lagi ikatan antara suami isteri, baik itu mengenai hak dan kewajibannya sebagai suami isteri. Menurut Abdul Rahim selaku Hakim
Pengadilan Agama Medan Kelas 1-A mengenai harta bersama pada perkara Nomor Register : 767Pdt.G2013PA.TPI, karena perkawinan yang harmonis
Universitas Sumatera Utara
berlangsung 5 lima bulan jadi kemungkinan belum memperoleh harta bersama karena yang dinamakan harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh selama
perkawinan. Walaupun demikian bila harta bersama itu telah ada, maka keputusan penyelesaian mengenai harta bersama diserahkan pada suami isteri untuk
membagi secara adil sesuai ketentuan hukum masing-masing. Tetapi jarang sekali adanya harta bersama dalam pembatalan perkawinan karena permohonan
pembatalan perkawinan yang diajukan masih dalam jangka waktu yang relatif sebentar atau baru melangsungkan perkawinan.
100
Suatu pembatalan perkawinan akan berakibat putusnya hubungan suami isteri yang pernah menjalin ikatan perkawinan. Perkawinan yang dilaksanakan
adalah tidak sah dan perkawinannya tersebut menjadi putus sehingga hubungan suami isteri di antara keduanya menjadi tidak sah dan haram untuk melakukan
persetubuhan, bagi para pihak yang dibatalkan perkawinannya kembali ke status semula karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada.
Berdasarkan Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, disebutkan bahwa putusan pembatalan perkawinan tidak
berlaku surut terhadap: a.
Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut Batalnya perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak dari perkawinan
orang tuanya yang dibatalkan. Berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur mengenai kewajiban orang tua dengan
anak dimana kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak mereka dengan sebaik-baiknya serta kewajiban tersebut berlaku sampai anak itu kawin
100
Wawancara dengan Abdul Rahim S.H selaku Hakim Pengadilan Agama Medan Kelas I-A tanggal 20 Mei 2016, di Pengadilan Agama Medan Kelas I-A.
Universitas Sumatera Utara
atau dapat berdiri sendiri dan kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tuanya putus.
b. Suami atau isteri yang bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadapa harta
bersama bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
Berdasarkan Pasal 35 ayat 1 dan Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan disebutkan bahwa harta bersama
adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat betindak atas persetujuan kedua
belah pihak. Terhadap ketentuan harta bersama ini berlaku ketentuan bahwa jika terjadi perceraian hidup maka masing-masing duda dan janda berhak mendapat
sebagian atau separuh dari harta bersama mereka. Jadi putusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap suami atau isteri yang bertindak dengan
itikad baik akan tetap memperoleh hak-haknya yang diperoleh dari perkawinan yang dibatalkan tersebut seperti haknya dalam suatu perkawinan yang sah.
c. Orang-orang pihak ketiga termasuk dalam uraian tersebut sepanjang mereka
memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Menurut Abdul Rahim selaku Hakim Pengadilan Agama Medan Kelas 1- A jika dihubungkan dengan perkara Nomor Register : 767Pdt.G2013PA.TPI,
karena perkawinan yang harmonis dalam perkara tersebut berlangsung hanya 5 lima bulan kemudian dibatalkan, kemungkinan membuat perjanjian dengan
pihak ketiga ada bila Termohon I dan Termohon II melakukan ikatan perjanjian dengan Pihak Ketiga. Untuk itu mereka harus tetap menyelesaikan kewajiban
Universitas Sumatera Utara
mereka, walaupun perkawinan telah putus.
101
Sebab untuk pihak ketiga dalam hal ini tetap mendapatkan perlindungan hukum dengan segala perbuatan perdata dan
perikatan yang dibuat bersama suami isteri tersebut sebelum terjadinya pembatalan perkawinan adalah tetap berlaku, sehingga ikatan-ikatan perjanjian
yang sah tetap dapat dilaksanakan dan suami isteri tersebut harus tetap melaksanakan isi dari perikatan tersebut dengan pihak ketiga.
Sebagai contoh: A dan B adalah pasangan suami isteri membeli sebuah kendaraan kepada C Penjual dengan harga Rp.24.000.000,- yang dibayar secara
kredit kepada C, sedangkan perjanjian pembayarannya diangsur 12 dua belas kali dan dibayar perbulan, tetapi baru mendapat 5 lima kali angsuran sehingga
masih kurang 7 bulan, sedangkan pernikahan mereka sudah putus, walaupun begitu pembayaran harus tetap dilunasi karena itu merupakan hak bagi pihak
ketiga. Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi hak-hak orang lain agar tidak
dirugikan, sebab jika ketentuan pembatalan tersebut berlaku surut terhadap pihak ketiga maka perjanjian keperdataan misalnya perjanjian jual beli yang dibuat
sebelum adanya pembatalan perkawinan tersebut dianggap tidak pernah ada dan hal ini yang mengakibatkan pihak ketiga mengalami kerugian.
101
Wawancara dengan Abdul Rahim selaku Hakim Pengadilan Agama Medan Kelas I-A tanggal 20 Mei 2016, di Pengadilan Agama Medan Kelas I-A.
Universitas Sumatera Utara
110
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan