Remaja dan Masyarakat Transisi

xxviii yang menyatakan bahwa tingkah laku mastrubasi onani paling sering terjadi pada anak berusia 13-15 tahun. 5. Johan Amos Comenius mengungkapkan tentang teori pendidikan berwawasan perkembangan development centered theory of education, dimana usia 18-24 tahun sebagai masa pendidikan tinggi universitas dan pengembaraan travel untuk mengembangkan fakultas yang dikehendaki faculty of will.

3. Remaja dan Masyarakat Transisi

Keadaan masyarakat transisi oleh Emile Durkheim dikatakan akan membawa individu anggota masyarakat dalam keadaan anomie atau normlessness yaitu suatu sistem sosial dimana tidak ada petunjuk atau pedoman buat tingkah laku. Kebiasaan- kebiasaan dan aturan-aturan yang biasa berlaku tiba-tiba tidak berlaku lagi, akibatnya adalah individualisme dimana individu-individu bertindak hanya menurut kepentingannya masing-masing. Merton mengembangkan gagasan Durkheim, yang mengatakan bahwa keadaan anomie berawal dari suatu situasi sosial kondisi objektif, juga menunjuk kepada manusia yang ambivalent tidak jelas nilai yang dianutnya dan ambiguous tidak jelas bentuk kelakuannya dalam masyarakat juga tidak konsisten. Akibatnya ada manusia-manusia yang betingkah laku conform yaitu menerima nilai tujuan umum dari suatu kebudayaan dan norma aturan-aturan khusus dari lembaga masyarakat tertentu. Akan tetapi selanjutnya Merton mengatakan bahwa disamping mereka bersifat conform terhadap nilai dan norma, ada orang-orang yang menentang bertingkah laku deviant atau menyimpang nilai atau norma. xxix Tingkah laku menentang ini oleh Merton digolongkan ke dalam 4 empat jenis, yaitu : 1. Innovation , yaitu tingkah laku yang menyetujui nilai tetapi menentang norma. Individu termasuk remaja jenis inilah yang barangkali banyak kita jumpai. Mereka tidak melakukan sesuatu yang menentang nilai-nilai umum masyarakat, tetapi mereka melakukan sesuatu yang bertentangan dengan norma masyarakat setempat. Tingkah laku inovasi ini tidak selamanya negatif. 2. Ritualism , yaitu tingkah laku yang menolak nilai-nilai tetapi menerima norma 3. Retreatism , yaitu reaksi nonkonformis jenis ini oleh Merton dinyatakan sebagai pengingkaran terhadap nilai maupun norma. Bentuk reaksinya adalah pelarian diri dari nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku. Pelarian diri itu bisa berupa tingkah laku penyalahgunaan obat atau minuman keras, misalnya atau tingkah laku mengasingkan diri, atau bahkan bunuh diri. 4. Rebellion , sama halnya dengan retreatism, rebellion atau pemberontakan ini juga menolak nilai dan norma. Tetapi berbeda dari pelarian diri, pemberontakan justru menerima nilai dan norma yang lain, yang berasal dari luar masyarakat di mana individu yang bersangkutan tinggal. Berbeda dari inovasi, pelaku-pelaku pemberontakan tidak menemukan sendiri nilai dan norma yang dijadikannya alternatif, melainkan mengadopsi dari luar orang lain atau masyarakat lain. Sarlito W.S, 2003 xxx

B. Mahasiswa

Mahasiswa menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah pelajar perguruan tinggi, sedang mahasiswi adalah mahasiswa wanita. Kampus menjadi tempat untuk mereka menimba ilmu dengan berbagai aktivitasnya, jika seorang murid diajar oleh seorang guru maka disini kita menemukan seorang dosen sebagai guru dari seorang mahasiswa. Pertama maraknya tradisi kampusuniversitasperguruan tinggi di Indonesia baru lahir pada tahun 1950-an kala Indonesia baru merdeka dan harus melewati fase pergolakan politik dan revolusi fisik. Para founding fathers kita menempuh pendidikan di luar negeri Belanda. Baru pasca politik etislah pendidikan dalam negeri mendapatkan perhatian ekstra. Pada fase ini kuat dugaan kampus-kampus masih steril dari kegiatan seks yang menyimpang dari mahasiswa itu sendiri. Pada era 50 – 70-an, hanya segelintir anak bangsa saja yang bisa menikmati bangku pekuliahan, sehingga selama masa-masa itu, bangku kuliah steril dari istilah prostitusi. Akselerasi pertumbuhan perguruan tinggi dengan pesat terjadi antara dekade 80-an. Kampus-kampus perguruan tinggi negeri dan swasta bertebaran dimana-mana dan mencapai puncaknya pada awal tahun 90-an Wijayanto, 2003. xxxi

C. Seksualitas

1. Pengertian