BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Pada bab ini akan diuraikan mengenai kesimpulan dan saran yang berkaitan dengan hasil penelitian. Pada bagian pertama akan berisi rangkuman hasil
penelitian yang dibuat berdasarkan analisa, interpretasi dan pembahasan. Pada bagian akhir akan dikemukakan saran-saran yang mungkin berguna bagi
penelitian yang akan datang dengan tema yang sama.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa data dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan mengenai hasil penelitian, yaitu:
1. Terdapat hubungan yang signifikan antara regulasi emosi dengan
kebahagiaan pada lansia dengan nilai r sebesar 0.540 dan p0.05 yang menunjukkan adanya hubungan yang positif, dimana semakin tinggi
regulasi emosi yang dimiliki seseorang, maka semakin tinggi pula kebahagiaan yang dimilikinya. Nilai r juga menunjukkan bahwa kuatnya
hubungan antara kedua variabel berada dalam kategori sedang. 2.
Nilai koefisien determinasi R yang diperoleh dari hubungan antara regulasi emosi dengan kebahagiaan pada lansia sebesar 0.291. hal ini
menunjukkan bahwasanya variabel kebahagiaan bisa dijelaskan dengan variabel regulasi emosi sebesar 29.1, sedangkan sisanya sebesar 70.9
dijelaskan oleh variabel lain.
Universitas Sumatera Utara
3. Terdapat hubungan yang signifikan antara regulasi emosi dengan masing-
masing komponen kebahagiaan, dimana nilai r sebesar 0.420 dengan p0.05 pada komponen kognitif dan nilai r sebesar 0.520 dengan p0.05
pada komponen afektif. Hal ini menunjukkan bahwsanya komponen afektif emosi positif memiliki korelasi yang lebih besar terhadap regulasi
emosi pada lansia dibandingkan komponen kognitif. 4.
Variabel regulasi emosi bisa menjelaskan komponen kognitif kebahagiaan sebesar 18. Sedangkan untuk komponen afektif kebahagiaan bisa
dijelaskan oleh regulasi emosi sebesar 26.
B. Saran 1. Saran Metodologis
Berdasarkan hasil penelitian, bagi pihak-pihak yang berminat dengan penelitian yang sejenis atau untuk mengembangkan penelitian lebih jauh,
hendaknya memperhatikan hal-hal berikut : 1.
Penelitian yang menggunakan sampel lansia sebaiknya membuat alat ukur dengan bentuk dikotomi, karena ada beberapa lansia yang mengalami
kesulitan jika diberikan alat ukur yang berbentuk skala Likert dan hal ini juga nantinya akan mempermudah peneliti dalam mengambil data.
2. Jika sampel yang digunakan adalah lansia, sebaiknya alat ukurnya terdiri
dari aitem tidak lebih dari 40, karena lansia mudah merasa lelah dan bosan dalam mengisinya.
Universitas Sumatera Utara
3. Melihat lebih jauh seberapa besar pengaruh regulasi emosi terhadap
kebahagiaan pada lansia karena hasil penelitian ini hanya menunjukkan hubungan antara dua variabel, tanpa mengetahui seberapa besar pengaruh
regulasi emosi terhadap kebahagiaan. 4.
Melakukan riset lebih lanjut mengenai kebahagiaan pada lansia dengan menggunakan metode kualitatif. Sehingga bisa ditemukan hasil yang lebih
mendalam, yaitu komponen kognitif dan afektif yang manakah yang cenderung mempengaruhi kebahagiaan lansia.
2. Saran Praktis
Peneliti memberikan saran praktis bagi lansia, masyarakat umum, dan pemerintah.
1. Bagi lansia, agar berusaha untuk mengatur keadaan perasaan dan respon
terhadap pemicu emosi, karena berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan bahwa kemampuan mengatur perasaan dan respon terhadap pemicu emosi
berkaitan positif dengan kebahagiaan pada lansia. 2.
Bagi masyarakat, agar mulai menerapkan pola hidup sehat dalam kehidupannya untuk persiapan diri sebelum menjelang masa lansia.
Karena kesehatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kebahagiaan pada lansia.
3. Bagi pemerintah, untuk meningkatkan fasilitas kesehatan bagi lansia.
Karena kesehatan merupakan salah satu faktor yang penting bagi kebahagiaan pada lansia dan menyediakan kegiatan-kegiatan yang bisa
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan kemampuan mengatur perasaan dan respon terhadap pemicu emosi bagi lansia dan masyarakat, seperti pelatihan dan ceramah
agama.
Universitas Sumatera Utara
BAB II LANDASAN TEORI
A. Lansia 1. Definisi Lansia
Menurut Hurlock 1999 lanjut usia merupakan individu yang sering ditandai dengan perubahan fisik dan mengalami berbagai permasalahan
psikologis. Perubahan fisik termasuk perubahan dalam penampilan, perubahan pada sistem organ dalam, perubahan pada sistem syaraf, dan perubahan
kemampuan seksual. Sedangkan permasalahan psikologis menurut Munandar 2001 muncul bila lansia tidak berhasil menemukan jalan keluar masalah yang
timbul sebagai akibat dari proses menua, seperti rasa tersisih, tidak dibutuhkan lagi, ketidakikhlasan menerima kenyataan seperti penyakit yang tidak kunjung
sembuh, dan kematian pasangan.
Papalia dkk 2008 membagi lansia kedalam tiga kelompok. Pertama, lansia muda young old yaitu lansia yang biasanya sehat dan aktif dan secara umum
dinisbahkan kepada usia antara 65 sampai 74 tahun. Kedua, lansia tua old old yaitu merujuk kepada kelompok minoritas yang lemah terlepas dari kronologis
usia dan berusia antara 75 sampai 84 tahun. Ketiga, Lansia tertua oldest old yaitu berusia 85 tahun ke atas, berkecendrungan lebih besar lemah dan tidak bugar
serta memilki kesulitan dalam mengelola aktivitas keseharian. Sedangkan
Menurut Hurlock 1999 usia enampuluhan biasanya dipandang sebagai pemisah antara usia madya dan usia lanjut. Hal ini juga sesuai dengan dokumen
Universitas Sumatera Utara
pelembagaan lanjut usia dalam kehidupan bangsa yang diterbitkan oleh departemen sosial bahwa manusia lanjut usia adalah seseorang yang berusia 60
tahun atau lebih Fatimah, 2010. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa lanjut usia merupakan
seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih yang sering ditandai mengalami berbagai perubahan fisik dan permasalahan psikologis.
2. Tugas Perkembangan Lansia
Sebagian besar tugas perkembangan lansia lebih banyak berkaitan dengan kehidupan pribadi seseorang daripada kehidupan orang lain. Berikut ini
merupakan tugas-tugas perkembangan lansia yang dikemukakan oleh Havighurst dalam Hurlock, 1999:
1. Menyesuaikan diri dengan menurunnya kekuatan fisik dan kesehatan
Perubahan kondisi fisik terjadi pada lansia dan sebagian besar perubahan itu terjadi kearah yang memburuk, proses dan kecepatannya sangat
berbeda untuk masing-masing individu walaupun usianya sama. 2.
Menyesuaikan diri dengan masa pensiun dan berkurangnya penghasilan keluarga
Kondisi-kondisi tertentu dapat membantu penyesuaian diri terhadap masa pensiun, sedangkan kondisi lain dapat menghambat penyesuaian.
Sikap lansia terhadap pensiun pasti mempunyai pengaruh yang besar terhadap penyesuaian.
Universitas Sumatera Utara
3. Menyesuaikan diri dengan kematian pasangan hidup
Penyesuaian terhadap kematian pasangan sangat sulit bagi pria maupun wanita usia lanjut, karena pada masa ini semua penyesuaian semakin
sulit dilakukan. Penyesuaian terhadap kematian pasangan berbeda antara pria dan wanita. Bila pria kehilangan istrinya, segera setelah pensiun
kejadian ini akan menambah kesulitannya dalam menyesuaikan diri terhadap masa pensiun. Sedangkan pada wanita, penyesuaian diri
seringkali terasa sulit karena berkurangnya pendapatan yang sering diartikan pindah kedalam kehidupan lebih kecil atau lingkungan yang
kurang diinginkan, misalnya tinggal dengan anak yang sudah menikah, atau hidup dalam suatu lembaga penyantunan.
4. Membentuk hubungan dengan orang-orang yang seusia
Pada lanjut usia, mereka membangun ikatan dengan anggota dari kelompok usia mereka, untuk menghindari kesepian akibat ditinggalkan
anak yang tumbuh besar dan masa pensiun. 5.
Membentuk pengaturan kehidupan fisik yang memuaskan Bagi mereka yang tidak mempersiapkan diri secara psikis dan ekonomis
untuk menghadapi berbagai perubahan yang akan terjadi di hari tua, seringkali akan mengalami trauma dalam melakukan penyesuaian
tersebut. 6.
Menyesuaikan diri dengan peran sosial secara luwes Perubahan peran seringkali menyulitkan dan membangkitkan emosi.
Semakin besar perubahan tersebut dan semakin berkurang prestige yang
Universitas Sumatera Utara
diperoleh dari peran baru, maka semakin besar penolakan terhadap perubahan peran. Individu akan merasa terganggu jika dipaksa oleh
lingkungan untuk melakukan perubahan peran.
B. Kebahagiaan 1. Definisi Kebahagiaan
Diener dkk. dalam Snyder Lopez, 2002 menyatakan kebahagiaan adalah evaluasi kognitif dan afektif seseorang terhadap hidupnya. Evaluasi kognitif
terjadi ketika individu melakukan evaluasi seberapa memuaskan kehidupannya secara keseluruhan life satisfaction atau pada aspek-aspek tertentu dari
kehidupannya domain satisfaction seperti pernikahan, pekerjaan, kesehatan, dll. Sedangkan evaluasi afektif terjadi ketika individu melakukan evaluasi terhadap
emosi yang dirasakannya, dimana meliputi perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan. Jadi, orang yang bahagia adalah orang yang puas terhadap
domain-domain tertentu dari kehidupannya dan juga puas secara keseluruhan, dan lebih banyak mengalami emosi positif dibanding emosi negatif dalam hidupnya.
Sedangkan menurut Lyubomirsky Hoyer Roodin, 2009 orang yang bahagia adalah orang yang mempersepsikan, mengingat, dan menginterpretasikan
peristiwa dengan cara yang lebih positif daripada individu yang tidak bahagia. Menurut kamus umum, kebahagiaan adalah keadaan sejahtera dan kepuasan
hati, yaitu kepuasan yang menyenangkan yang timbul bila kebutuhan dan harapan tertentu individu terpenuhi. Hal ini tidak sama dengan perasaan senang euphoria,
yang menunjukkan tidak ha nya keadaan puas tetapi juga “rasa fly” yang tidak
Universitas Sumatera Utara
terdapat dalam kepuasan hidup atau kebahagiaan dalam Hurlock, 1999. Menurut Shaver dan Freedman dalam Hurlock, 1999 kebahagiaan lebih merupakan
masalah bagaimana individu memandang keadaannya dan bukan apa keadaan itu, jadi kebahagiaan banyak bergantung pada sikap menerima dan menikmati
keadaan orang lain dan apa yang dimilikinya, mempertahankan keseimbangan antara harapan dan prestasi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan adalah kepuasan seorang individu pada domain-domain tertentu dan keseluruhan dari
kehidupannya dengan sikap menerima dan menikmati keadaannya dengan pikiran yang positif, dan intensitas emosi positif lebih cenderung dirasakan dibanding
emosi negatif.
2. Komponen-Komponen Kebahagiaan
Diener Eid Larsen, 2008; Biswas-Diener Dean, 2007 menyatakan bahwa kebahagiaan memiliki dua komponen yang berbeda yaitu
1. Komponen kognitif yaitu meliputi life satisfaction dan domain
satisfaction, dianggap sebagai komponen kognitif karena keduanya melakukan proses evaluasi terhadap kehidupan. Hal ini terjadi ketika
individu berfikir seberapa memuaskan kehidupannya secara keseluruhan life satisfaction atau berdasarkan aspek tertentu didalam kehidupannya
domain satisfaction seperti kesehatan, keluarga, keuangan, pekerjaan, teman sebaya, waktu luang, dan diri sendiri.
Universitas Sumatera Utara
2. Komponen afektif yaitu meliputi positive affect PA dan negative affect
NA, keduanya dianggap komponen afektif karena mencerminkan sejumlah perasaan senang dan tidak menyenangkan yang dialami
individu di dalam kehidupan mereka. Orang yang bahagia sering mengalami emosi yang positif, seperti rasa senang dan jarang mengalami
emosi yang negatif seperti rasa sedih, marah, dll.
3. Ciri-Ciri Orang yang Bahagia
Berikut ini merupakan ciri-ciri orang yang membedakan antara orang bahagia dengan yang lainnya yang ditemukan oleh para peneliti Biswas-Diener
dean, 2007 : 1.
Memiliki kesehatan yang baik Deborah Danner dan koleganya meneliti para biarawati melalui
pernyataan otobiografi pendek yang ditulis oleh biarawati. kemudian Danner menganalisis narasi untuk melihat ada atau tidak adanya kalimat
positif dan negatif. Hasilnya, peneliti menemukan bahwa biarawati yang memiliki nilai yang tinggi dalam mendeskripsikan diri secara positif
menunjukkan nilai yang tinggi dalam bertahan hidup dibanding rekan- rekannya. Salah satu hal yang membuat penelitian ini menggemparkan
adalah bahwasanya biarawati memiliki gaya hidup yang sama dan penelitian Danner ini adalah hanya salah satu contoh kuat dari manfaat
kesehatan terhadap kebahagiaan.
Universitas Sumatera Utara
2. Memiliki hubungan sosial yang bermanfaat
Diener dan Seligman menemukan bahwa orang yang bahagia cenderung memilki hubungan sosial yang bermanfaat. Mereka adalah orang yang
memiliki pernikahan yang baik, memiliki banyak teman yang bisa dipercaya, dan bertahan lama dengan bos mereka.
3. Menggunakan kebiasaan berpikir positif
Lyubomirsky menemukan perbedaan gaya berfikir antara orang yang bahagia dibanding yang lainnya. Hasilnya yaitu orang yang bahagia
kurang rentan terhadap refleksi diri perenungan, dan lebih kecil kemungkinannya untuk terlibat dalam perbandingan dengan teman
sebaya dan cenderung untuk menafsirkan peristiwa secara lebih positif.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebahagiaan
Berikut ini merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi kebahagiaan menurut Hurlcok 1999 yaitu :
a. Kesehatan
Kesehatan yang baik memungkinkan orang pada usia berapa pun melakukan apa yang hendak dilakukan. Sedangkan kesehatan yang buruk
atau ketidakmampuan fisik menjadi halangan untuk mencapai kepuasan bagi keinginan dan kebutuhan mereka, sehingga menimbulkan rasa tidak
bahagia.
Universitas Sumatera Utara
b. Daya tarik fisik
Daya tarik fisik menyebabkan individu dapat diterima dan disukai oleh masyarakat sehingga menyebabkan meraih prestasi yang lebih besar
daripada individu yang kurang memiliki daya tarik fisik. c.
Tingkat Otonomi Semakin besar tingkat otonomi yang dimiliki individu, maka semakin
besar kesempatan individu untuk bahagia. Hal ini ditemukan baik pada masa kanak-kanak maupun masa dewasa.
d. Kesempatan-kesempatan interaksi diluar keluarga
Orang akan merasa bahagia jika memiliki hubungan sosial dengan seseorang di luar lingkungannya, ketimbang apabila hubungan sosial
mereka terbatas pada anggota keluarga. e.
Jenis pekerjaan Semakin rutin sifat pekerjaan dan semakin sedikit kesempatan untuk
otonomi maka kepuasan seseorang terhadap pekerjaannya akan semakin berkurang.
f. Status kerja
Ketika seseorang berhasil melaksanakan suatu tugas, maka akan dikaitkan dengan prestise, sehingga menimbulkan kepuasan yang besar terhadap
pekerjaannya. g.
Kondisi kehidupan Kondisi kehidupan akan memungkinkan seseorang untuk berinteraksi
dengan orang-orang lain baik di dalam keluarga maupun dengan teman-
Universitas Sumatera Utara
teman dan tetangga di dalam masyarakat, sehingga cenderung memperbesar kebahagiaannya.
h. Pemilikan harta benda
Pemilikan harta benda bukan dalam arti memiliki benda itu yang mempengaruhi kebahagiaan, melainkan cara orang merasakan pemilikan
itu. i.
Keseimbangan antara harapan dan pencapaian Jika harapan yang dimiliki individu tersebut realistis, maka orang tersebut
akan puas dan bahagia jika tujuannya tercapai. j.
Penyesuaian emosional Orang-orang yang bahagia mudah menyesuaikan diri dengan baik dan
jarang mengungkapkan perasaan-perasaan negatif seperti takut, marah, dan iri hati daripada mereka yang tidak bahagia.
k. Sikap terhadap periode usia tertentu
Pengalaman bahagia yang akan dialami pada usia tertentu sebagian ditentukan oleh pengalaman-pengalamannya sendiri bersama orang lain
semasa kanak-kanak pada usia itu dan sebagian oleh stereotip budaya. l.
Realisme dari konsep-diri Orang-orang yang yakin bahwa kemampuannya lebih besar dari yang
sebenarnya akan merasa tidak bahagia apabila tujuan mereka tidak tercapai. ketidakbahagiaan mereka dipertajam oleh perasaan tidak mampu
dan oleh keyakinan bahwa mereka tidak dimengerti dan diperlakukan kurang adil.
Universitas Sumatera Utara
m. Realisme dari konsep-konsep peran
Orang-orang akan cenderung mengangankan peran yang akan dimainkan pada usia mendatang. Apabila peran yang baru itu tidak sesuai dengan
harapan mereka, maka mereka merasa tidak bahagia kecuali jika mereka mau menerima kenyataan peran yang baru itu.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kebahagiaan yang dikemukakan oleh Hurlock 1999 tersebut juga diperkuat oleh Carr 2004 yaitu kesehatan,
pekerjaan, kekayaan, dan persahabatan. Berikut ini merupakan penjelasan lebih rinci yang mempengaruhi kebahagiaan yang dikemukakan oleh Carr 2004 :
a. Kepribadian
Studi Kepribadian mengenai kebahagiaan menunjukkan bahwa orang- orang bahagia dan tidak bahagia memiliki profil kepribadian yang khas,
misalnya dalam budaya Barat orang yang bahagia adalah extrovert, optimis, memiliki harga diri yang tinggi dan internal locus of control,
sebaliknya orang yang tidak bahagia cenderung memiliki tingkat neurotisisme yang tinggi.
b. Faktor budaya
Menurut Triandis, faktor budaya dan sosial-politik juga memainkan peran penting dalam menentukan kebahagiaan. Dalam studi lintas budaya telah
ditemukan hubungan antara kesejahteraan subjektif dalam demokrasi yang stabil tanpa penindasan politik dan konflik militer, juga budaya di mana
ada kesetaraan sosial memiliki tingkat kesejahteraan subjektif yang lebih tinggi, dan dalam budaya individualis kesejahteraan subjektif lebih baik
Universitas Sumatera Utara
daripada budaya kolektivis. Kebahagiaan juga berkaitan dengan ciri penting dari institusi pemerintahan. kebahagiaan lebih tinggi di negara-
negara yang makmur, di negara-negara yang institusi publik berjalan secara efisien, dan di mana terdapat hubungan yang memuaskan antara
warga dan anggota birokrasi. c.
Pernikahan Menurut Myers, orang yang menikah lebih bahagia daripada orang yang
belum menikah, yang bercerai, berpisah atau tidak pernah menikah. Ada dua penjelasan hubungan antara kebahagiaan dan pernikahan, pertama,
bahwa orang yang lebih bahagia menikah dikarenakan mereka lebih menarik sebagai pasangan daripada orang yang tidak bahagia. Kedua,
pernikahan menganugerahkan berbagai manfaat, misalnya menyediakan keintiman psikologis dan fisik, bisa memiliki anak dan membangun
rumah, memiliki peran sosial sebagai pasangan dan orang tua, dan menegaskan identitas dan memperoleh cucu.
d. Hubungan kekerabatan
hubungan yang mendukung antara orangtua, anak, saudara kandung, dan anggota keluarga meningkatkan dukungan sosial bagi semua anggota
keluarga. Dukungan sosial dapat meningkatkan kebahagiaan, dan dari sudut pandang evolusioner hal ini sudah terprogram untuk mendapatkan
kebahagiaan dari
kontak kita
dengan jaringan
kekerabatan. Mempertahankan kontak dengan anggota keluarga dapat meningkatkan
dukungan sosial dan ini tidak hanya membawa kebahagiaan tetapi juga
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan fungsi sistem kekebalan tubuh, mengurangi kemungkinan kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan anak.
e. Persahabatan
Menurut Argyle, mempertahankan hubungan dekat dan erat ditemukan berkorelasi dengan kebahagiaan. Sebagai contoh, dalam sebuah studi
ditemukan orang yang paling bahagia sekitar 10 persen dari 222 mahasiswa, dan hal ini dikaitkan dengan kehidupan sosial. Ada tiga alasan
terkait hubungan antara persahabatan dengan kebahagiaan. Pertama, orang-orang bahagia mungkin lebih sering dipilih sebagai teman karena
mereka adalah orang yang lebih menarik daripada orang yang tidak bahagia. Mereka juga membantu orang lain lebih dari orang-orang depresi
yang berfokus pada diri sendiri dan kurang dalam bersikap altruisme. Kedua, persahabatan memenuhi kebutuhan afiliasi dan sebagainya,
sehingga membuat kita merasa senang dan puas. Ketiga, persahabatan yang erat memberikan dukungan sosial.
f. Agama
Menurut Myers, ada hubungan antara kebahagiaan dan keterlibatan dalam kegiatan keagamaan di North studi Amerika, dimana orang-orang yang
terlibat dalam agama mungkin lebih bahagia daripada yang lain karena berbagai alasan, Pertama, agama menyediakan sistem kepercayaan yang
jelas yang memungkinkan orang untuk menemukan makna hidup dan harapan untuk masa depan. Sistem kepercayaan agama memungkinkan
beberapa dari kita untuk membuat rasa kemalangan, stres dan kerugian tak
Universitas Sumatera Utara
terelakkan yang terjadi selama siklus hidup dan untuk bersikap optimis tentang kehidupan setelah kematian di mana kesulitan-kesulitan ini akan
diselesaikan. Kedua, keterlibatan dan kehadiran rutin di pelayanan keagamaan dan menjadi bagian dari komunitas agama menyediakan
dukungan sosial bagi individu. Ketiga, keterlibatan dalam agama sering dikaitkan dengan gaya hidup sehat secara fisik dan psikologis ditandai
dengan kesetiaan perkawinan, perilaku prososial bukan kriminalitas, kesederhanaa dalam makan dan minum, dan komitmen untuk bekerja
keras. g.
Kekayaan Profesor Ed Diener menemukan bahwa orang-orang di negara-negara
ekonomi yang kurang beruntung memiliki nilai yang rendah untuk kebahagiaan, hal ini terbukti dari korelasi kebahagiaan dan kekayaan
sekitar r = 0,6 yang ditemukan di seluruh negara. Tingkat kebahagiaan yang rendah di Rusia dan Turki dan tinggi di Irlandia, Kanada, Denmark
dan Swiss. Hal ini mungkin karena orang-orang di negara-negara miskin tidak puas bahwa mereka tidak punya kemewahan yang mereka tahu dari
media yang tersedia di negara-negara yang lebih makmur. h.
Kesehatan Penilaian subjektif terhadap kesehatan pribadi berkorelasi dengan
kebahagiaan. Penilaian subjektif lebih dipengaruhi oleh ciri-ciri kepribadian
dan strategi
penanggulangan, seperti
penyangkalan dibandingkan dengan tujuan kesehatan fisik. Orang tinggi pada
Universitas Sumatera Utara
neurotisisme mungkin mengeluh dari kesehatan yang buruk dan belum dapat dinilai sebagai sehat fisik oleh dokter mereka. Sebaliknya, orang
yang dianggap sakit oleh dokter dapat melaporkan merasa cukup baik karena mereka menolak bahwa fisik mereka sakit.
i. Pekerjaan
Menurut Argyle, Status pekerjaan berhubungan dengan kebahagiaan, orang-orang yang bekerja lebih bahagia daripada mereka yang
menganggur, dan orang-orang yang bekerja secara profesional dan memiliki keahlian lebih bahagia daripada mereka yang tidak. Hal ini
mungkin karena pekerjaan dapat memberikan stimulus bagi orang untuk menemukan kesenangan, kesempatan untuk memenuhi dorongan rasa
ingin tahu dan pengembangan keterampilan, berkembangnya jaringan dukungan sosial, dan mendapatkan identitas diri.
j. Pendidikan
Menurut Diener, tingkat pendidikan berkorelasi positif dengan kebahagiaan dan hubungan ini sangat kuat untuk kelompok berpenghasilan
rendah di negara maju dan populasi di negara-negara miskin. Hal ini mungkin karena di negara-negara terbelakang pendidikan memberikan
manfaat yang lebih besar. Di negara-negara terbelakang, orang yang berpendidikan rendah kemungkinan tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar
dibandingkan dengan mereka yang berpendidikan, dimana mereka bisa mendapatkan uang yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka,
seperti makanan dan tempat tinggal.
Universitas Sumatera Utara
5. Kebahagiaan pada Lansia
Studi lintas budaya menemukan bahwa kebahagiaan pada lansia cenderung lebih tinggi daripada tahap perkembangan lainnya, hal ini dikaitkan dengan emosi
positif yang secara reguler dialami oleh lansia. Emosi positif seringkali dikaitkan dengan kesehatan, hal ini dibuktikan pada penelitian yang menggunakan subjek
sebanyak 851 orang dari komunitas pensiun, menemukan bahwa ada dua prediktor terkuat dalam kesehatan pada lansia yaitu emosi positif dan aktifitas.
Myers juga menemukan bahwa lansia yang skor kebahagiaannya tinggi adalah mereka yang memiliki kesehatan yang baik dalam Hoyer dan Roodin, 2009.
Kesehatan yang baik memungkinkan orang pada usia berapa pun melakukan apa yang hendak dilakukan, sedangkan kesehatan yang buruk atau ketidakmampuan
fisik menjadi halangan untuk mencapai kepuasan bagi keinginan dan kebutuhan mereka sedemikian rupa, sehingga menimbulkan rasa tidak bahagia Hurlcok,
1999.
C. Kesehatan 1. Definisi Kesehatan
Cavanaugh dkk. 2006 mendefinisikan kesehatan sebagai tidak adanya keadaan fisik yang akut dan kronis atau penyakit mental dan gangguan.
Sedangkan menurut Sarafino 2011 kesehatan diartikan sebagai keadaan
kesejahteraan fisik, mental, dan sosial yang positif, yang bervariasi sepanjang kontinum, bukan hanya sekedar tidak adanya cedera atau penyakit. Dengan
Universitas Sumatera Utara
demikian dapat disimpulkan bahwa kesehatan adalah kesejahteraan secara fisik, mental, dan sosial yang bervariasi sepanjang kontinum.
2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kesehatan
a. Regulasi emosi
Snyder dan Lopez 2006 mengatakan bahwasanya regulasi emosi merupakan hal yang penting bagi individu, karena ketika individu tidak
mampu dalam meregulasi emosi maka akan meningkatkan resiko terhadap masalah kesehatan.
b. Dukungan sosial
Sarafino 2011 mengemukakan bahwa dukungan sosial dapat mengurangi stress, dan bermanfaat bagi kesehatan. Hal ini juga diperkuat oleh hasil
penelitian yang menemukan bahwa tekanan darah selama bekerja lebih rendah bagi pekerja yang memiliki dukungan sosial tinggi daripada
mereka yang kurang mendapat dukungan. c.
Religiusitas Agama ditemukan memiliki kaitan dengan kesehatan. Hal ini didasarkan
dari hasil penelitian yang menemukan bahwasanya aktivitas keagamaan yang rutin dilaksanakan bisa mengurangi tingkat kematian hingga 25
dalam Papalia, Old, Fredman, 2008.
Universitas Sumatera Utara
D. Regulasi Emosi 1. Definisi Regulasi Emosi
Gross dalam Kring Sloan, 2010 mendefinisikan regulasi emosi sebagai proses dimana individu mempengaruhi emosi yang mereka miliki, ketika mereka
memilikinya dan bagaimana mereka mengekspresikan emosi. Gratz dan Roemer dalam Kring Sloan, 2010 juga menambahkan bahwa regulasi emosi juga
meliputi kesadaran, pemahaman, dan penerimaan dari emosi, serta kemampuan untuk mengontrol perilaku dalam konteks tekanan emosional. Regulasi emosi
sangat penting dalam fungsi adaptif individu, karena tingkat regulasi emosi yang rendah terkait dengan tidak terkontrol, perilaku destruktif, perilaku agresi,
prososial rendah dan kerentanan terhadap efek dari emosi negatif dan penolakan sosial, sedangkan tingginya kadar regulasi emosi memiliki efek yang berlawanan
Snyder, Simpson, Hughes, 2006. Regulasi emosi merupakan kemampuan untuk mengatur keadaan perasaan
dan respon terhadap pemicu emosi Ekerdt, 2002. Seseorang dapat mengatur emosinya dengan menghindari situasi yang menimbulkan emosi, yaitu dengan
strategi kognitif seperti denial atau intellectualization atau dengan strategi lainnya.
Menurut Dodge dalam Garber Dodge, 1991 regulasi emosi merupakan proses di mana aktivasi dalam satu domain respon berfungsi untuk mengubah atau
mengatur aktivasi di domain respon lain. Domain yang terkait adalah domain respon perilaku, pengalaman, dan fisiologis. Dodge dalam Kring Sloan
berpendapat bahwa dalam memahami bagaimana seseorang mengkoordinasikan
Universitas Sumatera Utara
respon ini merupakan cara kita untuk mulai memahami regulasi emosi. Sebagai contoh, seorang wanita dengan gangguan obsesif kompulsif mulai merasa
jantungnya berdetak cepat karena memikirkan kompor yang ditinggalkannya di dapur, kemudian ia memeriksa kompor berulang kali, hal ini dilakukan untuk
mengurangi reaksi fisiologis terhadap kecemasan. Dalam Hal ini perilaku regulasi emosi terjadi ketika munculnya perasaan kecemasan awal dan ia berusaha
mengurangi respon fisiologis dari kecemasan melalui tindakan. Eisenberg dan Spinrad dalam Kring Sloan, 2010 mendefinisikan
regulasi diri sebagai proses memulai, mempertahankan, mengatur, atau mengubah timbulnya, intensitas, atau durasi keadaan perasaan internal dan emosi terkait
motivasi dan proses fisiologis, seringkali untuk mencapai tujuan seseorang. Menurut Eisenberg regulasi emosi digunakan untuk adaptasi biologis atau sosial
dan untuk mencapai tujuan. Thompson dalam Kring Sloan, 2010 mengatakan bahwa regulasi emosi
terdiri dari proses ekstrinsik dan intrinsik yang bertanggung jawab untuk memantau, mengevaluasi, dan memodifikasi reaksi emosi, terutama ciri mereka
yang intensif dan temporal, untuk mencapai tujuan seseorang. Emosi dikelola melalui pengaruh ekstrinsik pengasuh diawal kehidupan atau orang lain serta
usaha orang itu sendiri. Emosi anak dan toleransi dibentuk oleh pengalaman- pengalaman dari regulasi emosi ekstrinsik.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi ialah suatu proses intrinsik dan ekstrinsik yang dapat mengontrol serta
menyesuaikan emosi yang muncul pada tingkat intensitas yang tepat untuk
Universitas Sumatera Utara
mencapai suatu tujuan yang meliputi kemampuan mengatur perasaan, reaksi fisiologis serta dapat dengan cepat menenangkan diri setelah kehilangan kontrol
atas emosi yang dirasakan.
2. Aspek-Aspek Regulasi Emosi
Menurut Gratz dan Roemer 2004 ada empat aspek yang digunakan untuk menentukan kemampuan regulasi emosi seseorang yaitu :
a. Acceptance of emotional response ialah kemampuan individu untuk
menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif dan tidak merasa malu merasakan emosi tersebut.
b. Strategies to emotion regulation ialah keyakinan individu untuk dapat
mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan suatu cara yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat dengan cepat
menenangkan diri kembali setelah merasakan emosi yang berlebihan. c.
Engaging in goal directed behavior ialah kemampuan individu untuk tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya sehingga dapat tetap
berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik. d.
Control emotional responses ialah kemampuan individu untuk dapat mengontrol emosi yang dirasakannya dan respon emosi yang ditampilkan
respon fisiologis, tingkah laku dan nada suara, sehingga individu tidak akan merasakan emosi yang berlebihan dan menunjukkan respon emosi
yang tepat.
Universitas Sumatera Utara
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Regulasi Emosi
Gross 2007 menjelaskan ada faktor yang mempengaruhi kemampuan regulasi emosi seseorang, yaitu :
a. Genetik
Ada bagian di otak yang berkontribusi terhadap regulasi emosi. Penelitian lain juga menemukan bahwa variasi genetic 5-HTT mempengaruhi
tempramen dan affect individu. b.
Usia Penelitian menemukan bahwa semakin bertambahnya usia, maka semakin
baik pula regulasi emosinya. Penelitian ini dilakukan dengan merangking usia partisipan mulai dari 18-94 tahun, dan setiap partisipan diminta untuk
melaporkan emosi yang dialaminya, hasilnya menunjukkan bahwa kontrol emosi semakin baik dengan bertambahnya usia.
c. Religiusitas
Setiap agama mengajarkan seseorang diajarkan untuk dapat mengontrol emosinya. Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha
untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah.
d. Gaya pengasuhan
Orang tua dapat mepengaruhi pembentukan regulasi emosi awal anak, dikarenakan orang tua memiliki perbedaan dalam memandang bagaimana
cara mengekspresikan emosi. Ada orang tua yang mengajarkan anaknya
Universitas Sumatera Utara
menggunakan strategi regulasi emosi reappraisal dan ada orang tua yang mengajarkan anaknya menggunakan strategi regulasi suppression.
D. Hubungan antara Regulasi Emosi dengan Kebahagiaan pada Lansia
Menurut Diener dkk. dalam Snyder Lopez, 2002 menyatakan kebahagiaan adalah evaluasi kognitif dan afektif seseorang terhadap hidupnya.
Evaluasi kognitif terjadi ketika individu melakukan evaluasi seberapa memuaskan kehidupannya secara keseluruhan life satisfaction atau pada aspek-aspek tertentu
dari kehidupannya domain satisfaction seperti pernikahan, pekerjaan, kesehatan, dll. Evaluasi afektif terjadi ketika individu melakukan evaluasi terhadap emosi
yang dirasakannya, dimana meliputi perasaan menyenangkan dan tidak menyenangkan. Jadi, orang yang bahagia adalah orang yang puas terhadap
domain-domain tertentu dari kehidupannya dan juga puas secara keseluruhan, dan lebih banyak mengalami emosi positif dibanding emosi negatif dalam hidupnya.
Faktor utama yang mempengaruhi kebahagiaan pada lansia adalah kesehatan, hal ini diperkuat juga oleh Myers dalam Hoyer Roodin, 2009 yang
menemukan bahwa lansia yang skor kebahagiaannya tinggi adalah mereka yang memiliki kesehatan yang baik. Lanjut usia merupakan seseorang yang berusia 60
tahun atau lebih yang sering ditandai mengalami berbagai perubahan fisik, seperti perubahan dalam penampilan, perubahan pada sistem organ dalam, perubahan
pada sistem syaraf, dan perubahan kemampuan seksual. Menurut Hurlock 1999 perubahan kondisi fisik pada lansia sebagian besar terjadi kearah yang memburuk,
proses dan kecepatannya sangat berbeda untuk masing-masing individu walaupun
Universitas Sumatera Utara
usianya sama. Oleh karena itu kesehatan yang baik memungkinkan lansia pun melakukan apa yang hendak dilakukan, sedangkan kesehatan yang buruk atau
ketidakmampuan fisik menjadi halangan untuk mencapai kepuasan bagi keinginan dan kebutuhan mereka sedemikian rupa, sehingga menimbulkan rasa tidak
bahagia Hurlcok, 1999. Kesehatan pada lansia juga sering dikaitkan dengan emosi positif, hal ini
dibuktikan pada penelitian yang menggunakan subjek sebanyak 851 orang dari komunitas pensiun, menemukan bahwa ada dua prediktor terkuat dalam kesehatan
pada lansia yaitu emosi positif dan aktifitas Hoyer Roodin, 2009. Salah satu cara untuk meraih emosi positif adalah melalui regulasi emosi, dikarenakan
individu yang memiliki kemampuan regulasi emosi yang rendah mengalami kerentanan terhadap emosi negatif Snyder, Simpson, Hughes, 2006. Gratz dan
Roemer dalam Kring Sloan, 2010 menyatakan bahwa regulasi emosi merupakan kemampuan untuk menggunakan strategi dalam mengatur respon
emosi ketika dibutuhkan dan juga meliputi kesadaran, pemahaman, dan penerimaan dari emosi, serta kemampuan untuk mengontrol perilaku dalam
konteks tekanan emosional
.
Berdasarkan penjelasan diatas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwasanya regulasi emosi ditemukan memiliki dampak positif terhadap lansia
yaitu kesehatan.. Kesehatan sendiri merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi kebahagiaan pada lansia, sehingga dapat diperoleh kesimpulan
bahwasanya ada kaitan antara regulasi emosi dengan kebahagiaan pada lansia.
Universitas Sumatera Utara
E. Hipotesis Penelitian