Profil Pondok Peduli Autis „Kaya Berkah‟ PPAKB Medan

64

BAB IV PROFIL LOKASI PENELITIAN

4.1 Profil Pondok Peduli Autis „Kaya Berkah‟ PPAKB Medan

Berawal dari anaknya yang terdiagnosa autistik, Drh.Julina Siregar mendirikan Pondok Peduli Autis ‗Kaya Berkah‘ PPAKB, di Jl. Bilal Ujung gg. Mesjid Ar-Ridha No.38 D Pulo Brayan Darat-I, Kec.Medan Timur. Awalnya wanita yang berprofesi sebagai dokter hewan ini berdomisili di Pematang Siantar, namun beliau tidak menemukan lembaga terapisejenisnya yang bisa menangani masalah buah hatinya tersebut. Tidak hanya ketiadaan lembaga terapi, tentunya tidak ada pula lembaga pendidikan formal sekolah, yang bersedia menerima anak beliau, karena memang permasalahan autisme tersebut masih tergolong hal yang baru bagi masyarakat disana, kala itu. Berbagai upaya telah dilakukan dokter yang ramah ini, hingga akhirnya beliau memperoleh informasi bahwa ada lembaga terapi bagi anak-anak autistik di kota Tebing Tinggi. Maka perjalanan pulang-pergi PP Siantar-Tebing pun sempat beliau tempuh, demi menghantarkan anaknya berobat disana. Namun nyatanya, tak banyak perkembangan berarti yang didapatkannya disana. “Jauh-jauh naik bus kesana, tidak dapat tempat duduk, lambat, belajar hanya dalam kelas, anak dikurung, orang tua tidak tahu apa kegiatan dan terapinya bagaimana. Kalau kita tahu caranya, kan ada pengulangan dirumah dan itu akan menjadi lebih baik,” ujarnya. Universitas Sumatera Utara 65 Tahun 2002, dokter Julina menerima kabar bahwa di kota Medan ada sekolah yang bersedia menerima siswa autis. Beliau pun memilih untuk pindah ke Medan, meski harus berpisah sejenak dengan sang suami. Namun ternyata, baik guru maupun siswa di sekolah tersebut, tidak sepenuhnya mampu memahami dan menerima kondisi anaknya yang autistik. Maka beliau mengamini pendapat Dr.Welli Budiman bahwa bounding orang tua lebih dekat dengan anaknya. Dokter Julina menegaskan bahwa “Kalau orang tua bisa kenapa gak orang tuanya yang menangani, walaupun dengan konsekwensi yang besar, harus meluangkan waktu, dan memperluas kesabaran. Karena pada umumnya melalui penanganan langsung dari orang tua, akan berdampak cepat dan lebih baik bagi anak-anak , daripada diterapi oleh orang lain .‖ Lama-kelamaan, banyak seminar dan workshop tentang anak autis. Mengingat bahwa orang tua lebih baik mengurus anaknya, dokter Julina mengorbankan pekerjaan untuk mengikuti workshop dan seminar untuk anaknya. Dengan mempraktekkan pengetahuan yang diperolehnya melalui seminar tersebut, ia membuat sendiri media terapi untuk anaknya dirumah. Banyak perkembangan yang didapatkan anaknya, bisa masuk sekolah formal, hingga kelas III SD, saat itu umur Ahmad Hilmi, anaknya sekitar 7,5 tahun. Semakin tinggi kelasnya guru pun berganti, tidak semua guru bisa menerima anaknya yang akrab dipanggil Ami, bahkan banyak yang memukul karena tidak paham akan kondisinya. Akhirnya Ami pun trauma dengan dunia sekolah, dan untuk sementara ia harus berhenti sekolah dan belajar di rumah. Universitas Sumatera Utara 66

4.2 Perspektif PPAKB Terhadap Autisme