27
tuntutan serta tetap dapat berkembang diatas keterbatasan yang terjadi dalam hidupnya. Salah satunya dengan cara menyesuaikan dirinya terhadap masalah tersebut dan selalu
dapat bangkit kembali sehingga akhirnya mampu melampaui kemungkinan kegagalan dan dapat membangun kehidupan masa kini dan masa depan dengan baik.
2.4.2 Resiliensi Keluarga
Konsep resiliensi tidak hanya mencakup kemampuan untuk bertahan tetapi juga bangkit kembali dari krisis. Secara umum penelitian resiliensi berfokus kepada resiliensi
individu, dengan perhatian khusus kepada anak-anak yang berada dalam bahaya hingga mengalami kemalangan Apostelina, 2012.
Walgnild dan Young 1993 mengatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi perubahan atau kemalangan. Berakar dari ulasan mengenai resiliensi
terhadap individu, muncullah istilah resiliensi keluarga family resicilence yang menyatakan kemampuan keluarga untuk melanjutkan hidup setelah ditimpa kemalangan
atau tekanan yang berat. Walsh 2003 berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa beberapa
keluarga menjadi hancur oleh krisis, sementara keluarga lainnya menjadi kuat dan lebih cerdas setelah krisis. Keluarga-keluarga tersebut dapat mencapai hasil yang positif dan
yang tidak diperkirakan sebelumnya ketika menghadapi kesulitan kehidupan. Hasil penelitian lainnya yang dilakukan oleh Patterson 1983, menunjukkan bahwa faktor-
faktor penekan yang menyebabkan krisis mempengaruhi anak-anak sehingga dapat
Universitas Sumatera Utara
28
sangat mengganggu hubungan-hubungan sosial dan proses-proses sosial dalam keluarga Walsh, 1998.
Ketahanan keluarga mengacu pada proses-proses pemecahan masalah dan penyesuaian diri keluarga sebagai satu satuan fungsional Walsh, 1998. Pendapat ahli
lainnya menyatakan bahwa resiliensi keluarga ketahanan sosial keluarga mencakup ―kemampuan memperbaiki diri sendiri‖ dan ―memberikan tanggapan dengan
menggunakan akal daya dan keuletan ketika menghadapi tantangan yang ekstrim‖. Lebih lanjut, agar menjadi berketahanan, keluarga wajib bersedia menghadapi resiko
dan kemudian berhasil menanggapinya Fraser, M, Galinsky, 2004.
2.4.3 Faktor-faktor yang Memengaruhi Resiliensi Keluarga
Warner dan Smith dalam Riana, 2008 menyatakan bahwa perkembangan resiliensi pada manusia merupakan suatu proses perkembangan manusia yang sehat
– suatu proses dinamis dimana terdapat pengaruh dari interaksi antara kepribadian seorang
individu dengan lingkungannya dalam hubungan timbal balik. Hasilnya ditentukan berdasarkan keseimbangan antara faktor resiko, kejadian dalam hidup yang menekan,
dan faktor protektif. Selanjutnya, keseimbangan ini tidak hanya ditentukan oleh jumlah faktor resiko dan faktor protektif yang hadir dalam kehidupan seseorang individu tetapi
juga dari frekuensi, durasi dan derajat keburukannya, sejalan dengan kemunculannya. 1. Faktor Resiko
Grothberg 1999 menyatakan bahwa faktor resiko dalam kehidupan dapat berasal dari berbagai sumber, yaitu sumber eksternal, dalam keluarga dan
Universitas Sumatera Utara
29
dalam diri sendiri. Sementara menurut Schoon 2006 ada beberapa faktor resiko yang dialami individu sehingga mereka diharapkan mampu bangkit
dari berbagai resiko tersebut dan memiliki resiliensi. Christle dalam Rahmawati, 2009 menyatakan bahwa faktor resiko dapat
berasal dari kondisi budaya, ekonomi atau medis yang menempatkan individu dalam resiko kegagalan dan memulihkan diri dalam menghadapi
situasi sulit. Smokowski dalam Rahmawati, 2009 juga menjelaskan bahwa faktor resiko menggambarkan beberapa pengaruh yang dapat meningkatkan
kemungkinan munculnya suatu penyimpangan hingga keadaan yang lebih serius lagi atau pemeliharaan dari suatu kondisi masalah. Berbagai faktor
yang dapat disandangkan pada individu antara lain sebagai berikut Schoon, 2006:
a Anggota dari kelompok beresiko tinggi, misalnya anak-anak dari keluarga yang serba kekurangan dalam kebutuhan materialnya serta
hidup dalam kemelaratan. b Tumbuh di lingkungan yang penuh kekerasan.
c Terlahir memiliki cacat fisik, mengalami trauma fisik atau penyakit. d Mengalami kondisi penuh tekanan dalam jangka waktu yang lama,
misalnya mengalami disfungsi dalam keluarga atau anak-anak dari orang tua yang memiliki gangguan mental.
e Menderita trauma, misalnya kekerasan fisik atau seksual, atau berada dalam situasi perang.
Universitas Sumatera Utara
30
Faktor resiko merupakan faktor atau beberapa pengaruh yang dapat meningkatkan kemungkinan munculnya suatu penyimpangan hingga
keadaan yang lebih serius lagi atau pemeliharaan dari suatu kondisi masalah sehingga diharapkan individu mampu bangkit dari berbagai resiko tersebut
dan memiliki resiliensi. Faktor resiko berasal dari berbagai sumber, yaitu sumber eksternal, dalam keluarga dan dari dalam diri sendiri.
2. Faktor Protektif Rutter dalam Wijayani, 2009 menyatakan interaksi antara proses sosial dan
intrapsikis dapat memungkinkan seseorang untuk dapat menghadapi kesulitan dan segala kumpulan tantangan kehidupan secara positif. Dyer dan
McGuinness dalam Wijayani, 2009 menjelaskan resiliensi sebagai proses dinamik yang sangat dipengaruhi oleh faktor protektif, dimana seseorang
dapat bangkit kembali dari kesulitan dan menjalani kehidupannya. Rutter dalam Wijayani, 2009 juga menyatakan faktor protektif merupakan
prediktor terkuat dalam mencapai resiliensi dan hal yang memainkan peran kunci dalam proses yang melibatkan seseorang untuk berespon dalam situasi
sulit. Faktor protektif adalah karakteristik pada individu atau kondisi dari
keluarga, sekolah, atau komunitas yang meningkatkan kemampuan individu dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan dengan baik. Faktor protektif
ini merupakan instrumen dalam perkembangan yang sehat dimana faktor inilah yang membentuk resiliensi dan kemampuan resiliensi dalam Riana,
2008. Ciri keluarga, sekolah, atau komunitas sebagai faktor protektif adalah
Universitas Sumatera Utara
31
1 caring relationship, high expectation – ekspektasi yang jelas, positif,
serta 2 terfokus pada remaja itu sendiri, dan juga 3 kesempatan untuk berpartisipasi dan berkontribusi.
Rutter dalam Wijayani, 2009 menyebutkan bahwa faktor-faktor protektif ini dapat mengubah, mengurangi, atau meningkatkan respon individu
terhadap pengaruh lingkungan yang memberi kecenderungan untuk mengalami perkembangan maladaptif. Adapun faktor-faktor protektif dan
mekanisme dapat dibagi dalam beberapa kategori: 1 Sumber daya dan karakteristik yang positif dari individu; 2 Keluarga yang stabil dan
memberikan dukungan yang ditandai dengan adanya pertalian diantara anggota keluarga; 3 Jaringan sosial eksternal atau komunitas yang
mendukung dan memperkuat cara coping yang adaptif Garmezy, 1993; Werner, 1993; dalam Wijayani, 2008.
Bernard dalam Wijayani, 2009 mengatakan bahwa kepribadian dan karakteristik positif dari seseorang individu merupakan sebuah proses
transaksional antara seseorang dengan lingkungannya. Manurut Siebert dalam Wijayani, 2008 individu yang resilien adalah individu yang
fleksibel, mampu beradaptasi secara cepat dengan lingkungannya dan terus bergerak maju dalam berbagai perubahan dan permasalahan hidup yang
terjadi. Mereka mampu melihat kesempatan yang baik dan mengambil nilai positif dalam situasi yang dipandang negatif oleh orang lain. Mereka
memiliki harapan untuk bangkit dan mereka meyakini dengan teguh harapan mereka tersebut.
Universitas Sumatera Utara
32
Berdasarkan penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor protektif memainkan peran penting dalam memodifikasi efek negatif
lingkungan yang merugikan hidup dan membantu menguatkan resiliensi. Faktor protektif meliputi antara lain 1 karakteristik individu, 2
lingkungan keluarga, dan 3 konteks yang lebih luas. Dalam penelitian ini, objek yang akan diteliti hanyalah keluarga yang
teridentifikasi sebagai keluarga yang memiliki anak autistik. Dengan kata lain, memiliki anak autistik dapat dimaksud sebagai faktor resiko yang dimiliki keluarga tersebut.
Sedangkan faktor protektif –yang mungkin—dimiliki oleh keluarga tersebut adalah
adanya keterlibatan mereka dalam program Family Support yang di adakan oleh Pondok Peduli Autis ‗Kaya Berkah‘ Medan.
2.4.4 Komponen Pelindung Resiliensi Keluarga