Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perbincangan mengenai rendahnya mutu pendidikan di Indonesia bukanlah hal yang baru lagi, khususnya bagi masyarakat Indonesia. Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari survei Political and Economic Risk Consultant PERC bahwa kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia 2000, Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survei dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia. Bila dilihat dari data di atas, kondisi pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Menurut survei yang dilakukan The World Economic Forum Swedia 2000 penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Sedangkan menurut Hasbullah 2005 bahwa penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah berasal dari faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal seperti motivasi, konsep diri, minat, kemandirian belajar. Sedangkan faktor eksternal seperti sarana prasarana, guru, orangtua, dan lain-lain. Universitas Sumatera Utara Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa salah satu faktor internal yang mempengaruhi rendahnya mutu pendidikan di Indonesia adalah kurangnya kemandirian belajar yang dimiliki siswa. Menurut Carrol 2000 siswa yang memuliki kemandirian belajar adalah siswa yang aktif dalam proses pembelajarannya. Menurut Johnson 2009 rata-rata siswa di sekolah dalam belajar bersikap pasif. Siswa hanya mau bertanya ketika disuruh oleh guru, dan proses belajar yang terjadi hanya terpusat pada guru. Hal ini terus berkembang sehingga mutu pendidikan pun menjadi menurun. Potensi dan bakat dari siswa juga tidak akan dapat ditingkatkan jika siswa hanya menjadi pelajar yang pasif. Menurut Santrock 2003, potensi dan bakat di dalam diri siswa dapat tercapai dengan menerapkan kemandirian belajar, tidak tergantung dengan pengajar ataupun sekolah. Siswa dapat berpartisipasi secara aktif dalam menentukan apa yang akan dipelajari dan bagaimana cara mempelajarinya. Kemandirian belajar atau belajar mandiri dapat membebaskan sisiwa dalam menggambarkan gagasan, minat dan bakat mereka. Para siswa dari segala usia dengan bersemangat mengajukan pertanyaan, mengadakan penyelidikan dan melakukan berbagai percobaan untuk meningkatkan ilmu pengetahuannya Brooks Brooks, 1993. Selain itu proses belajar mandiri membebaskan siswa untuk menggunakan gaya belajar mereka sendiri, maju dalam kecepatan mereka sendiri, menggali minat pribadi, dan mengembangkan bakat mereka dengan menggunakan kecerdasan majemuk yang mereka sukai Johnson, 2009. Menurut Gibbons 2002, belajar mandiri merupakan peningkatan dalam pengetahuan, kemampuan, atau perkembangan individu dimana individu memilih Universitas Sumatera Utara dan menentukan sendiri tujuan dalam pembelajaran, serta berusaha menggunakan metode – metode yang mendukung kegiatannya. Baumgartner 2003 juga menyatakan bahwa belajar mandiri adalah sistem belajar dimana individu mengambil langkah untuk memutuskan apa, kapan dan bagaimana cara belajar. Dalam sistem belajar mandiri, siswa tidak harus selalu belajar sendiri-sendiri atau sendirian, siswa bisa melakukannya secara berkelompok. Belajar mandiri sering juga disebut dengan self direction in learning atau kemandirian belajar. Kemandirian belajar merupakan proses dimana individu mengambil inisiatif dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi sistem pembelajarannya Merriam Caffarella, 1999. Senada dengan hal itu, Grieve 2003 menyatakan bahwa kemandirian belajar adalah atribut personal, kesiapan psikologis seseorang dalam mengontrol atau bertanggung jawab dalam proses belajarnya. Terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan yg smakin pesat membuat para siswa dituntut untuk menjadi lebih mandiri, khususnya dalam mengakses informasi–informasi pendidikan. Siswa harus dapat mengetahui bagaimana belajar yang baik, bagaimana beradaptasi dengan lingkungan yang terus mengalami perubahan, dan bagaimana mengambil inisiatif secara mandiri ketika kesempatan tersedia. Belajar mandiri dapat mempersiapkan siswa ke dalam dunia baru dimana pelajar aktif merupakan pelajar yang terbaik Gibbons, 2002. Di dalam proses pembelajarannya, siswa – siswa remaja, khususnya siswa SMA bukan hanya melibatkan intelektual dalam belajar tetapi juga menggunakan emosi dan penampilan dalam membuat strategi agar hasil belajar dapat menjadi Universitas Sumatera Utara lebih baik Gibbons, 2002. Oleh karena itu siswa – siswa SMA, yang berada pada tahap remaja dituntut untuk dapat menerapkan kemandirian belajar agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang akan datang dan agar tidak ketinggalan dengan yang lain. Selain itu siswa remaja juga mempunyai lebih banyak waktu untuk belajar secara mandiri Candy, 1991. Gibbons 2002 juga menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menjadi awal kedewasaan. Tugas pada masa remaja banyak melibatkan perkembangan kepribadian, karakter dan bakat dalam kemampuan akademis. Hal itulah yang mengarahkan remaja pada tujuannya dan mengarahkan pada rasa percaya diri remaja. Ketika remaja menjadi individu yang dewasa, mereka dapat menemukan lingkungan sosial yang tepat, dan bersikap mandiri. Kemandirian yang dimaksud bukan hanya kemandirian dalam segi sosial tetapi juga kemandirian dalam proses pembelajarannya. Eccles dalam Santrock, 2003 menyatakan bahwa usia remaja merupakan usia kritis, khususnya ketika usia 15 – 17 tahun yaitu usia ketika memasuki Sekolah Menengah Atas. Remaja mulai memikirkan tentang prestasi yang dihasilkannya, dan prestasi ini terkait dengan bidang akademis mereka. Para remaja bahkan sudah mampu membuat perkiraan kesuksesan dan kegagalan mereka ketika mereka memasuki usia dewasa. Untuk mencapai prestasi akademik yang baik, remaja dituntut untuk bersikap mandiri dalam belajar. Jadi dapat dilihat bahwa kemandirian belajar merupakan hal yang penting bagi remaja, khususnya siswa Sekolah Menengah Atas. Pernyataan ini juga sesuai Universitas Sumatera Utara dengan pernyatan salah satu siswa Sekolah Menengah Atas di sekolah swasta di bawah ini “Sekarang kan ilmu pengetahuan semakin tinggi, teknologi pun canggih, apalagi sekarang udah KBK, kalau murid hanya tergantung dengan guru di sekolah, yah bisa ketinggalan. Murid harus rajin – rajin menambah ilmunya yah ke perpustakaan, baca buku, liat internet, nonton tv. komunikasi personal, 1 April, 2009. Pembentukan kemandirian belajar pada siswa Biemiller, 1998 ditentukan oleh 2 hal. Pertama adalah sumber sosial, yaitu orang dewasa yang berada di lingkungan siswa seperti orangtua, pelatih, anggota keluarga dan guru. Orang dewasa ini dapat mengkomunikasikan nilai kemandirian belajar dengan modelling, memberikan arah dan mengatur perilaku yang akan dimunculkan. Sumber yang kedua adalah mempunyai kesempatan untuk melatih kemandirian belajar. Siswa yang secara konstan selalu diatur secara langsung oleh orangtua dan guru tidak dapat membangun ketrampilannya untuk dapat belajar secara mandiri karena lemahnya kesempatan yang mereka punya. Menurut Johnson 2009, kemandirian belajar yang dimiliki oleh siswa melibatkan studi akademik dalam kehidupan sehari – hari yang diterapkan dengan berbagai cara untuk mencapai tujuan. Hal ini melibatkan kerja sama dengan orang lain. Kerja sama ini meliputi kerjasama antara individu dengan individu lain, baik sesama siswa, siswa dengan guru dan siswa dengan keluarganya. Menurut Santrock 2003, keluarga merupakan pilar utama dan pertama dalam membentuk anak untuk mandiri. Dukungan yang paling besar di dalam lingkungan rumah adalah bersumber dari orang tua. Orangtua diharapkan dapat memberikan kesempatan pada anak agar dapat mengembangkan kemampuan yang Universitas Sumatera Utara dimilikinya, belajar mengambil inisiatif, mengambil keputusan mengenai apa yang ingin dilakukan dan belajar mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Hal ini dapat membentuk anak mengalami perubahan dari keadaan yang sepenuhnya tergantung pada orang tua menjadi mandiri. Apabila diberikan suasana yang penuh perlindungan, penghargaan, cukup kasih sayang dan perhatian orang tua, jauh dari perasaan iri, cemburu, tersaingi, maka hal ini akan mendorong dan memberikan anak untuk bersifat lebih mandiri, mempunyai keberanian untuk melatih dirinya berinisiatif, bertanggung jawab, serta dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, baik dalam bidang akademis maupun non akademis Shochib, 1998. Sears 2004, mengungkapkan bahwa orangtua hendaknya memberi dukungan yang bersifat positif dan menghargai anak, serta memelihara dan tidak memberi stimulus-stimulus palsu bagi putra- putri mereka. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Swan Shea, 2005; Garton, Haythornthwaite, Wellman, 1997; Haythornthwaite, 1996; Haythornthwaite, 1998 dalam Corey, 2007 bahwa salah satu komponen penting yang berpengaruh terhadap kemandirian belajar adalah perkembangan komunitas tempat siswa belajar dan berkembang. Selain itu menurut Bandura 1997, selain faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kemandirian dalam belajar, ada lagi faktor yang mempengaruhi, yaitu faktor kepribadian siswa, atribut personal seperti pengetahuan, kesiapan, nilai, locus of control dan atribut perilaku seperti ketrampilan serta motivasi pada diri siswa. Universitas Sumatera Utara Dalam mengembangkan motivasi pada diri siswa, peran orangtua merupakan hal yang penting. Persepsi anak terhadap dukungan orangtua dan harapan anak terhadap orangtua dapat berfungsi sebagai motivator positif bagi pelajar Ethington, 1991. Rasa percaya orangtua terhadap kemampuan akademis anak, mengarahkan anak agar mandiri, memberikan penguat bagi perilaku berprestasi, serta keterlibatan di dalam pembelajaran anak dapat memunculkan persepsi diri positif dan motivasi akademis Eccles, Wigfiled , 1998 ; Gonzalez-DeHass, Wiwms, Holbein, 2005. Selain itu menurut Lamborn dan Steinberg 1993 dukungan yang suportif dari orangtua dapat dihubungkan dengan motivasi anak dalam proses pembelajarannya. Hal ini didukung dengan pernyataan dari orang tua siswa sekolah menengah atas di bawah ini : “Kalau mau prestasi bagus yah lingkungannya juga harus bagus la. Tingkatkan motivasi belajar si anak dulu. Kalau dia sudah ada motivasi belajar, prosesnya yah bisa jadi lancar. Kita berikan dia dukungan berupa kesempatan bagi anak untuk belajar, bukan mengontrol anak dalam belajarnya. Kalau semua – semuanya orangtua yang ngerjain dan nentuin, anak juga tidak akan jadi mandiri.” Mb, dalam komunikasi personal pada tanggal 20 April 2009. Monks, dkk 1998 menyatakan bahwa untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian perlu didukung oleh disiplin, dan ketelitian, karena tidak ada sesuatu pengetahuan dan keterampilan yang dapat berkembang dengan baik tanpa diiringi oleh kedisiplinan, serta didukung oleh sikap yang terbuka, dalam konteks menumbuhkan rasa kedisiplinan ini peran dan dukungan sosial orangtua sangat diperlukan. Menurut Sarafino 2002, dukungan sosial adalah berbagai macam dukungan yang diterima oleh seseorang dari orang lain, dapat berupa dukungan emosional, Universitas Sumatera Utara dukungan penghargaan atau harga diri, dukungan instrumental, dukungan informasi atau dukungan dari kelompok. Menurut Canavan dan Dolan 2000, dukungan sosial dapat diaplikasikan ke dalam lingkungan keluarga, seperti orang tua. Jadi dukungan sosial orang tua adalah dukungan yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya baik secara emosional, penghargaan, instrumental, informasi ataupun kelompok. Dukungan orangtua merupakan sistem dukungan sosial yang terpenting di masa remaja. Dibandingkan dengan sistem dukungan sosial lainnya, dukungan orangtua berhubungan dengan kesuksesan akademis remaja, gambaran diri yang positif, harga diri, percaya diri, motivasi dan kesehatan mental. Keterlibatan orangtua dihubungkan dengan prestasi sekolah dan emosional serta penyesuaian selama sekolah pada remaja Corviile-Smith, Ryan, Adam Dalicandro, 1998; Greenwood Miller, 1995 ; Seidman et al., 1999. Menurut Lee Detels 2007, dukungan sosial orangtua dapat dibagi menjadi dua hal, yaitu dukungan yang bersifat positif dan dukungan yang bersifat negatif. Dukungan positif adalah perilaku positif yang ditunjukkan oleh orangtua. Sedangkan dukungan yang bersifat negatif adalah perilaku yang dinilai negatif yang dapat mengarahkan pada perilaku negatif anak. Dukungan keluarga bersifat optimal ketika dukungan tersebut sesuai dengan harapan umur anak sehingga anak dapat mencapai kemandirian dan kedekatan. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara dukungan sosial orang tua terhadap kemandirian belajar di sekolah pada siswa Sekolah Menengah Atas. Universitas Sumatera Utara

B. Perumusan Masalah