Relativitas Bahasa Landasan Teori

komunikasi Rahyono, 2009:76. Kramsch dalam Rahyono 2009:77 menjelaskan mengenai hubungan antara bahasa dengan kebudayaan menggambarkan bahwa di saat bahasa digunakan dalam konteks komunikasi, bahasa terjalin dengan kebudayaan dalam cara yang kompleks. Tentang jalinan antara bahasa dan kebudayaan, Kramsch menyebutkan tiga hal, yaitu bahwa bahasa mengekspresikan realitas kebudayaan, bahasa mewujudkan realitas kebudayaan, dan bahwa bahasa melambangkan kebudayaan. Pandangan Kramsch menegaskan bahwa bahasa bukan sekedar alat komunikasi. Melalui bahasa, kebudayaan pemilik bahasa tersebut dapat diketahui, karena realitas kebudayaan diungkapkan, diwujudkan, serta dilambangkan dengan bahasa. Fungsi strategis yang dimiliki bahasa terkait dengan kebudayaan memberikan petunjuk bahwa bahasa terkait dengan kebudayaan memberikan petunjuk bahwa bahasa merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk melakukan penelitian kebudayaan.

3. Relativitas Bahasa

Relativitas bahasa pertama kali dikemukakan oleh Wilhelm van Humboldt 1767-1835, menurut pendapatnya terdapat hubungan yang erat antara masyarakat, bahasa dan kebudayaan. Bahasa adalah alat berpikir yang berpengaruh terhadap pola pikir. Selanjutnya ia menyatakan bahwa setiap bahasa berbeda dari bahasa lainnya, dan bahwa pikiran dan bahasa merupakan dua entitas yang tidak dapat dipisahkan. Humbold menegaskan bahwa struktur bahasa berpengaruh terhadap perkembangan pola pikir manusia, dan dalam setiap bahasa terkandung pandangan dunia yang khas. Dalam pandangannya, relativitas bahasa berarti determinisme bahasa, yaitu suatu bahasa secara mutlak menentukan pola pikir penuturnya Kadarisman, 2008:1-2. Relativitas bahasa juga tidak dapat dilepaskan dari hasil pemikiran Frans Boaz 1858-1942, baginya hampir tidak mungkin memahami suatu kebudayaan tertentu tanpa memahami bahasa yang berkembang dalam kebudayaan tersebut. hal inilah yang mendorongnya memadukan Antropologi dengan Linguistik sehingga menjadi disiplin ilmu baru Antropolinguistik. Oleh karenanya banyak ahli Antropolinguistik berpendapat bahwa relativitas bahasa merupakan ruh dari kajian tersebut. Ilmuwan lain yang mengembangkan teori tersebut adalah Edward Sapir 1884-1939 ia adalah seorang antropolog murid Frans Boaz yang tertarik dengan Linguistik. Sebagai antropolog, ia menyadari pentingnya bahasa untuk dapat mempelajari budaya dari suatu masyarakat. Selanjutnya pemikirannya mengenai relativitas bahasa sangat mempengaruhi muridnya Benjamin Lee Whorf 1897-1941. Sapir dan Whorf menyatakan bahwa struktur bahasa tata bahasa suatu bahasa menggambarkan bagaimana penuturnya memandang dunianya, dan bagaimana budaya mempunyai hubungan dengan bahasa. Pemikiran Sapir dan Whorf mengenai kaitan antara bahasa dan budaya yang sejalan dengan pandangan relativitas bahasa lebih dikenal sebagai Hipotesis Sapir-Whorf. Kedua ilmuwan tersebut dalam Kadarisman, 2005 menyatakan bahwa bahasa pertama menentukan pola pikir dan tingkah laku kita dalam interaksi verbal, cara penutur mengungkapkan realitas ditentukan oleh bahasa pertama yang ia miliki, dan bahwa perspektif kita terhadap realitas dipengaruhi oleh bahasa pertama yang kita miliki.

4. Konsep, Simbol dan Makna