B. Tradisi Suran Masyarakat Traji
Suran merupakan upacara adat tradisi yang masih berkembang dan terjaga kelestariannya di desa Traji. Tradisi ini dilaksanakan sebagai wujud ungkapan
rasa syukur kepada Tuhan atas segala karunia yang telah mereka terima. Suran yang mereka laksanakan memiliki sejarah yang berkembang menjadi cerita rakyat
folklore dalam kebudayaan masyarakat Traji. Berikut ini akan dipaparkan sejarah suran dan perihal lain mengenai suran yang dilaksanakan oleh masyarakat
Traji.
1. Sejarah Suran Masyarakat Traji
Suran yang digelar oleh masyarakat Traji berawal dari suatu kisah yang menjadi legenda dalam kebudayaan mereka. Berdasarkan hasil wawancara dengan
Suwari 2011, dikisahkan bahwa pada suatu hari para penduduk dari desa-desa di sekitar Traji mendengar suara hingar bingar seperti sedang diadakan pagelaran
wayang kulit di desa Traji. Namun anehnya masyarakat Traji sendiri tidak mendengarnya, dan memang tidak ada pagelaran wayang kulit di desa tersebut.
Suara tersebut berasal dari sendhang Sidhukun dan terus terdengar selama semalam suntuk. Pada pagi berikutnya ada seorang dalang yang bernama Garu
datang ke desa Traji untuk mengambil peralatan wayangnya yang tertinggal setelah semalam melakukan pagelaran wayang kulit di desa tersebut. Ia terkejut
mendapati peralatannya yang berupa blencong, yaitu lampu yang digunakan untuk menyoroti layar, ternyata berada di atas pohon beringin besar yang ada di
pinggir sendhang Sidhukun. Kemudian sang dalang bercerita pada penduduk desa bahwa beberapa hari sebelumnya ia didatangi oleh seorang laki-laki yang
berpenampilan seperti seorang ningrat yang memintanya untuk melakukan pagelaran wayang kulit di rumahnya, di wilayah desa Traji. Dalang Garu beserta
rombongan datang ke desa Traji dan melakukan pementasan wayang kulit. Menurut ceritanya pagelaran tersebut berlangsung meriah, disaksikan oleh banyak
pengunjung, dan banyak pedagang yang menjajakan dagangannya selama pagelaran dilakukan. Tidak ada hal yang aneh selama ia mementaskan wayangnya
hingga ketika ia telah selesai pentas dan hendak berpamitan dengan tuan rumah, ia diberi imbalan yang berupa kunyit sebanyak satu nampan. Dengan perasaan heran
dan kecewa ia memutuskan untuk mengambil hanya tiga buah kunyit karena merasa tidak terlalu membutuhkannya. Pada saat hendak pulang tuan rumah
berpesan pada dalang Garu untuk tidak menengok ke belakang selama perjalanan pulangnya. Ia pun memenuhinya. Sesampainya dalang Garu di rumah, ia
mendapati kunyit yang dibawanya telah berubah menjadi emas. Setelah mendengar cerita dari dalang Garu, masyarakat Traji meyakini
bahwa tuan rumah yang mengundang dalang Garu untuk mementaskan wayang kulit di rumahnya adalah mahluk gaib yang menaungi sendhang Sidhukun,
selanjutnya mereka menyebutnya Mbah Sidhukun. Mereka percaya bahwa Mbah Sidhukun menyukai pementasan wayang kulit. Sejak saat itu masyarakat Traji
selalu melakukan pementasan wayang kulit pada bulan Sura. Adapun tempat dilaksanakannya pementasan adalah di Balai Desa Traji. Hal ini karena tidak
memungkinkan untuk melakukan pementasan di sendhang Sidhukun seperti yang telah dilakukan oleh dalang Garu secara gaib.
Dalam pementasan itu Masyarakat Traji selalu mengudang dalang Garu untuk mementaskan wayangnya. Mereka percaya bahwa dalang Garu adalah
dalang kesukaan Mbah Sidhukun. Setelah dalang Garu meninggal, warga Traji masih mengundang keturunan dari dalang tersebut untuk melakukan pementasan
hingga beberapa keturunan. Hal ini terus dilakukan karena pada masa-masa berikutnya ketika mereka memutuskan untuk mengundang dalang lain, banyak di
antara dalang-dalang tersebut yang meninggal setelah melakukan pementasan. Masyarakat Traji meyakini hal tersebut sebagai bentuk ketidaksukaan Mbah
Sidhukun pada dalang yang melakukan pementasan di tempatnya. Oleh karena itu masyarakat Traji sangat berhati-hati dalam memilih dalang agar sesuai dengan
selera Mbah Sidhukun. Pementasan wayang kulit dan beberapa upacara tradisi yang dilakukan
pada bulan Sura oleh masyarakat Traji selanjutnya disebut suran. Suran sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan masyarakat Traji. Tradisi
ini dilakukan secara terus menerus dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Prosesi yang dilakukan dalam tradisi ini juga tetap dipertahankan.
Sehingga suran yang dilakukan oleh masyarakat Traji pada dasarnya selalu sama dari tahun ke tahun, sesuai dengan yang dilakukan oleh para pendahulu mereka.
Namun demikian tradisi ini juga bersifat fleksibel dengan perubahan zaman, dalam artian masyarakat Traji tidak membatasi suran dengan sarana dan prasarana
yang kuno saja, tetapi mereka juga menggunakan alat-alat modern dalam pelaksanaan suran, akan tetapi hakikat dari suran tetap dipertahankan.
Menurut Saeri 2011, salah seorang juru kunci sendhang Sidhukun, pada awalnya tradisi suran oleh masyarakat Traji tidak selalu dilaksanakan pada
malam tanggal 1 bulan Sura seperti saat ini. Mereka melaksanakan tradisi suran pada tanggal berapapun pada bulan Sura sesuai kesepakatan yang dilakukan
melalui musyawarah warga desa. Pelaksanaan suran yang dilakukan pada malam tanggal 1 bulan Sura baru ditetapkan pada tahun 1965 ketika desa Traji dipimpin
oleh seorang lurah bukan kepala desa yang bernama Munjiyat Darmo Atmojo. Sejak saat itu suran di desa Traji selalu dilaksanakan pada malam tanggal 1 bulan
Sura.
2. Legenda