i. Pementasan Wayang Kulit
Pada malam hari berikutnya, yaitu tanggal 2 bulan Sura, diadakan pagelaran wayang kulit yang bertempat di Balai Desa Traji. pagelaran
dilaksanakan selama dua malam satu hari. Seluruh masyarakat berkumpul dan larut dalam suka cita menyaksikan pementasan wayang kulit yang dimainkan oleh
dalang pilihan mereka. Para pedagang sibuk menjajakan dagangannya. Pengunjung yang datang tidak hanya berasal dari masyarakat Traji sendiri, namun
juga warga dari desa-desa lain. Pada saat ini terjadi semacam napak tilas legenda pagelaran wayang kulit yang dilakukan oleh dalang Garu atas undangan Simbah
Sidhukun pada zaman dahulu. Inilah puncak sekaligus akhir dari rangkaian suran yang mereka laksanakan setiap tahun. Jadi pagelaran wayang kulit pada saat
suran memiliki arti yang sangat istimewa bagi masyarakat Traji. Pada saat pagelaran, para panitia suran dan perangkat desa bertindak
sebagai tuan rumah yang akan menyambut para tamu undangan yang hadir. Mereka berpakaian adat Jawa dalam menerima kehadiran para tamu. Tamu
undangan yang merupakan para tetua desa, tokoh masyarakat, dan tokoh pemerintahan dari desa-desa disekitar Traji hadir untuk ikut bersuka cita dengan
masyarakat Traji.
5. Wayang Kulit dalam Suran
Pagelaran wayang kulit merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tradisi suran dalam masyarakat Traji. Seperti yang telah dipaparkan
sebelumnya, pagelaran wayang kulit merupakan cikal bakal diadakannya tradisi
suran oleh masyarakat Traji. Oleh karena itu pagelaran wayang kulit memiliki arti yang sangat spesial bagi masyarakat mereka.
Pagelaran wayang kulit diadakan di balai desa Traji pada malam kedua atau ketiga bulan Sura dan berlangsung selama 2 malam 1 hari. Pegelaran ini
dibuka untuk umum, tidak hanya masyarakat Traji yang dapat menikmmati pegelaran wayang kulit, namun juga para pengunjung yang berasal dari luar desa
Traji. Para pejabat pemerintahan dari tingkat kabupaten dan kecamatan juga turut hadir sebagai tamu yang diundang untuk memeriahkan pagelaran tersebut.
Pagelaran wayang kulit yang diadakan di desa Traji tidak dapat dilakukan oleh sembarang dalang, hanya dalang yang dikehendaki oleh penguasa sendhang
Sidukun lah yang mampu mementaskan wayangnya. Dalang yang dikehendaki adalah dalang yang pernah ngruwat melakukan upacara ruwatan, dan atau
dalang yang merupakan keturunan dalang Garu. Lakon wayang yang dipentaskan pun tidak bisa sembarangan. Ada satu
lakon yang harus dipentaskan yaitu lakon tambak bendungan yang menceritakan tentang nambak segara membendung Samudra Hindia dalam kisah pewayangan
Ramayana. Lakon tambak yang paling sering dipentaskan dalam acara ini adalah Tambak Situbandha. Masyarakat Traji meyakini bahwa lakon tambak adalah
lakon wayang kulit kegemaran Simbah sidhukun. Sedangkan untuk lakon yang lain disesuaikan dengan permintaan dan keinginan yang ingin dicapai masyarakat
Traji untuk kehidupan satu tahun yang akan datang. Penentuan lakon ini dilakukan dengan cara musyawarah warga, karena ada keyakinan dalam
masyarakat Traji bahwa lakon wayang yang dipentaskan pada acara suran merupakan gambaran kehidupan masyarakat Traji dalam satu tahun kedepan.
Adapun lakon wayang yang dimainkan pada suran tahun ini 2011 M 1945 Saka adalah lakon Tambak Situbandha. Sebagai lakon yang harus dipentaskan
setiap tahunnya dan lakon Jamus Kalimasada sebagai lakon pilihan, hasil kesepakatan warga masyarakat Traji. Lakon Tambak Situbandha merupakan
bagian dari kisah pewayangan Ramayana, yaitu episode Ramayana dibantu oleh gajah yang bernama Situbandha dalam menyeberangi Samudra Hindia. Adapun
lakon Jamus Kalimasada merupakan bagian dari kisah pewayangan Mahabarata, namun sudah dimodifikasi oleh Sunan Kalijaga sebagai media dakwah untuk
menyebarkan agaama Islam di Pulau Jawa. Modifikasi ini dapat diketahui dari kemunculan tokoh punakawan yang sebenarnya tidak terdapat dalam kisah
Mahabarata yang berasal dari India. Lakon Jamus Kalimasada ini berisi kisah kehidupan Pandawa Lima yaitu para ksatria dari Kerajaan Amarta. Akhir dari
cerita ini merupakan akhir yang membahagiakan happy ending, filosofinya bagi masyarakat Traji adalah pengharapan agar supaya mereka mendapatkan
kebahagian selama satu tahun kedepan, seperti halnya kisah pewayangan yang dipentaskan pada suran tahun ini.
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini memaparkan hasil penelitian yang diperoleh di lapangan kemudian dilanjutkan dengan pembahasan hasil penelitian. Hasil penelitian yang digunakan
sebagai data dalam penelitian ini adalah satuan lingual nama-nama sesaji dan teks macapat yang dilantukan dalam suran oleh masyarakat Traji. Adapun
pembahasannya berupa pengungkapan makna satuan lingual tersebut. Selain itu dikemukakan pula mengenai latar belakang kebudayaan masyarakat Traji yang
berpengaruh terhadap tradisi suran yang mereka laksanakan.
A. Hasil Penelitian
Masyarakat Traji melaksanakan suran sebagai suatu ritual untuk memperingati tahun baru Jawa. Tradisi suran telah dilaksanakan sejak dahulu, dan
tidak diketahui dengan pasti kapan tepatnya tahun berapa tradisi suran mulai dilaksanakan. Masyarakat Traji mengenal tradisi suran dari sejarah suran yang telah
menjadi legenda atau cerita rakyat yang merupakan kekayaan budaya mereka. Tradisi suran muncul sesudah adanya kisah mistik di sendhang Sidhukun. Sendhang tersebut
diyakini sebagai mata air yang muncul dari tongkat Sunan Kalijaga, salah satu dari anggota wali songo yang dikenal oleh masyarakat Jawa sebagai penyebar agama
Islam. Jika diketahui masa hidup Sunan Kalijaga adalah 1430-1580M, dan kerajaan