Mulai Menjauh

Mulai Menjauh

Seiring berjalannya waktu, keiga gadis yang telah dilanik menjadi paralegal ini satu persatu hilang keberadaannya. Lilis terkadang beralasan menemani ibunya yang sedang hamil keika itu, saat ini mengatakan idak bisa selalu hadir karena idak diizinkan oleh keluarganya. Sementara Amel selain karena sulit dihubungi (idak memiliki ponsel sendiri), ia juga idak ingin hadir bila idak ada Lilis, padahal kedua orangtuanya telah mendukungnya bila terlibat dalam kegiatan-kegiatan posiif. Dan akhirnya pun Putri mulai jarang terlihat karena sejak ponsel CDMA miliknya dijual, kami kesulitan menginformasikan kegiatan-kegiatan kami dan waktu untuk berkumpul bersama.

Di sisi lain, salah satu penyebab keidakhadiran mereka dalam rangkaian penyuluhan kami karena teman-teman paralegal mereka sendiri. Beberapa keisengan dan ejekan yang sering dilontarkan para anak lelaki tersebut membuat Amel dan Lilis idak nyaman hingga akhirnya mereka memilih idak ingin lagi berada di antara mereka. Aku paham betul dan sangat menyayangkan hal ini karena aku percaya sesungguhnya Amel dan Lilis masih memiliki keinginan besar untuk belajar dan berperan sebagai paralegal untuk membantu masyarakat. Ini dapat dibukikan dengan keseriusan dan keakifan mereka selama kegiatan-kegiatan berlangsung.

Apa yang dialami oleh gadis-gadis ini bukan sebuah kesengajaan, melainkan sebuah proses alamiah. Karakter masyarakat di Klender terkait dengan parisipasi remaja perempuan, bisa jadi merupakan potret universal yang terjadi di masyarakat Indonesia. Tak banyak perempuan yang mau mengambil peran, apalagi keika proses pengambilan peran itu bersaing dengan laki-laki yang akan membuat perempuan mengalah. Akibatnya, proses yang bergulir akan memiliki bias gender, karena hanya mengambarkan apa yang dipikirkan oleh laki-laki. Tidak ada kesempatan untuk mendengar dan memperimbangkan pengalaman perempuan.

Memasikan adanya rekrutmen terhadap peserta penyuluhan perempuan saja ternyata tak cukup. Interaksi sehari-hari antara laki-laki dan perempuan, disadari atau idak selalu meminggirkan perempuan yang berani tampil. Apa yang dialami oleh Amel dan Lilis adalah gambaran. Menjadi bahan ejekan dan lelucon dari anak laki-laki, tentu dirasakan

Komunitas Klender

sebagai sebuah bercandaan biasa, bukan sesuatu yang bertujuan untuk mengusir dua gadis ini. Ternyata, sesuatu yang dianggap biasa itu, justru menjadi “obat pengusir” di mata perempuan. Sesuatu yang biasa itu malah menghadirkan suasana tak nyaman dan akhirnya mendorong perempuan untuk meninggalkan arena yang telah dimasukinya.

“Kita memang udah berniat untuk keluar, abisnya seiap kali kegiatan kita di-ceng-cengin melulu. Kan jadi malas. Eh malah kakak sekarang datang ke rumah saya. Saya jadi gak enak,” ujar Amel dan Lilis keika kami mengunjungi rumah mereka. Amel kemudian melanjutkan, “tapi saya juga jadi serba salah sih, Lilis itu sudah susah keluar rumah. Dia diminta untuk membantu mengurus adik-adiknya. Ibunya kan mau melahirkan bayi lagi. Lilis bertanggung jawab untuk ngurus adik-adiknya yang sudah agak besar. Saya

Apa yang dialami oleh

sendiri kalau pagi, harus membantu ibu buat masak

gadis-gadis itu yang

nasi dan berbenah di dapur,” tambah Amel.

sudah harus terkurung dan terbebani dengan

Amel ternyata tak bohong, tak berapa lama kemudian tanpa disangka-sangka muncul Lilis pekerjaan domesik yang

bersama dengan seorang anak kecil sedang menjadi tanggung jawab duduk dalam sepeda roda iga yang didorong Lilis. mereka, berbanding

Rupanya Lilis tengah mengasuh adiknya. Apa yang

terbalik dengan apa yang

disampaikan oleh Amel terkonirmasi sudah. Tak

dialami oleh para pemuda.

lama kemudian, Putri lewat dengan membawa

Apa yang para pemuda itu

baki. “Eh kakak, maaf nih gak bisa ikut ngobrol saya

lakukan keika obrolan itu

lagi repot bantu ibu masak. Nani malam akan ada

terjadi? Beberapa orang

arisan di rumah,” ujar Putri sambil memberikan

sedang berada di warung

salam khasnya yaitu cium tangan.

internet dan sibuk bermain

Apa yang dialami oleh gadis-gadis itu yang sudah internet. harus terkurung dan terbebani dengan pekerjaan domesik yang menjadi

tanggung jawab mereka, berbanding terbalik dengan apa yang dialami oleh para pemuda. Apa yang para pemuda itu lakukan keika obrolan itu terjadi? Beberapa orang sedang berada di warung internet dan sibuk bermain internet. Beberapa lagi sedang berada di tengah lapangan bola dan bermain. Sementara di ujung yang lain, ada sekelompok bocah yang sedang bermain kelereng. Semua pemuda ini sedang free, idak memiliki tanggung jawab. Sungguh berbeda dengan para gadis ini. Padahal usia mereka idak jauh berbeda.

Jejak Langkah Menciptakan “Pengacara Rakyat”

Gambar 19 - Salah seorang paralegal perempuan dari

Klender tengah berdiskusi dengan Dhoho, Direktur Pemberdayaan Hukum Masyarakat dan Penanganan Kasus LBH Masyarakat. Minimnya peran perempuan di komunitas Klender merupakan cermin dari kondisi sosial masyarakat Indonesia pada umumnya yang kerap kurang berpihak pada kaum perempuan.

Hal ini menandakan perlu adanya indakan airmaif untuk mendapatkan parisipasi dari perempuan. Tidak cukup dengan membangun hubungan pribadi yang baik dengan para gadis ini. Perlu juga menyiapkan sebuah penyuluhan yang dilaksanakan idak bersama- sama dengan para pemuda, sehingga idak perlu ada yang mendapatkan hinaan atau ejekan. Penyuluhan ini juga harus memberikan kesesuaian waktu dengan kesibukan dan tanggung jawab domesik yang sudah diemban oleh para gadis ini. Tanpa adanya indakan airmaif yang memisahkan para gadis ini dengan kelompok pemuda, kita idak akan keluar dari perangkap kesenjangan yang terjadi. Sedari awal, posisi dan peluang para gadis itu untuk terlibat dalam penyuluhan jauh lebih kecil dibandingkan laki-laki. Kalau proses penyuluhannya kami samakan, walhasil kami idak akan pernah memberi kesempatan kepada para gadis itu berkembang dan mampu berbuat sesuatu bagi masyarakatnya.

Komunitas Klender