Memulai Perhitungan Suara

Memulai Perhitungan Suara

Keika waktu menunjukkan tengah hari telah lewat, semua orang yang semula jenuh dan bosan serasa mendapat gairahnya kembali. Jam

12 siang itu, tepat tengah hari, adalah batas waktu pemungutan suara berakhir. Jam 12, idak boleh ada lagi orang yang memberikan suara. Saatnya suara-suara yang telah diperoleh dihitung.

“Sudah ya, sudah ditutup ya. Sudah jam 12. Sekarang waktunya kita mulai hitung suara,” ujar seorang ibu tampak mendominasi. “Ibu itu saudaranya salah satu orang kuat di dekat sini,” jawab salah seorang anggota KPPS. “Dia sih sebenarnya cuma saksi saja, bukan anggota KPPS. Saya lupa dia tadi dari partai mana,” tambah anggota KPPS itu. Tak lama kemudian, tampak beberapa orang juga mulai mengerubungi kotak suara yang sudah dipindahkan ke meja di tengah tenda TPS. Ketua KPPS yang seharusnya memimpin dan bertanggung jawab, justru terlihat santai dan tak mau ambil pusing. “Biarlah yang pening beres. Gak perlu terlalu kaku,” ujar Mulyono.

Satu demi satu surat dikeluarkan dari kotak alumunium. “Kita mulai dari yang warna kuning, Untuk anggota DPR,” ujar Mulyono. Beberapa surat suara itu ternyata bertuliskan daerah pemilihan “Kali Adem”, padahal seharusnya daerah pemilihan ini bertuliskan Jakarta-3. “Biarkan saja, ini kan buki kalau pemilihan dilakukan di Kali Adem,” ujar Dato salah seorang anggota KPPS.

Semua surat suara telah dikeluarkan, dan dibuka satu per satu. Metode pemilihan tahun ini yang relaif baru sempat menimbulkan kekhawairan. Bisakah masyarakat kurang mampu dan kurang terdidik di Indonesia akan mampu memahami. Sebelumnya pemilihan umum hanya dilakukan dengan mencoblos gambar partai. Tahun 2004, memang

Komunitas Kali Adem

diperkenalkan untuk mencoblos nama caleg, tapi kurang populer. Tahun 2009, sejak Mahkamah Konsitusi menyatakan bahwa penentuan calon terpilih adalah berdasarkan suara terbanyak bukan urutan nomor, maka seiap pemilih diharapkan dapat memilih nama calon legislaif, bukan sekedar nama partainya. Selain itu, di pemilu tahun 2009, proses pemilihan idak dilakukan dengan mencoblos sebagaimana selama ini biasa dilakukan tapi justru dengan mencontreng.

Beberapa kalangan mengkhawairkan perubahan mekanisme pemilihan ini akan susah dipahami oleh masyarakat, khususnya masyarakat marginal yang kurang mendapatkan pendidikan. “Pak RW sendiri sempat was-was. Bisa gak ya, orang-orang di pinggir kali melakukan pemilihan yang benar,” ujar Suriman salah seorang anggota KPPS yang kerap terlibat dalam pendataan pemilih. Keika surat suara itu mulai dibuka satu per satu, kekhawairan tentang keidakmampuan warga Kali Adem sirna sudah. Ternyata mayoritas warga memilih dengan benar sesuai dengan aturan main untuk Pemilu 2009.

Gambar 14 - Penghitungan suara di TPS 15 Dapil Jakarta 3 yang merupakan TPS khusus untuk para warga Kali Adem. Meskipun dianggap sebagai penduduk ilegal

oleh Pemerintah, warga Kali Adem mendapatkan kesempatan untuk memilih pada pemilu 2009.

Jejak Langkah Menciptakan “Pengacara Rakyat”

Tidak ada warga yang mencoblos, serta hampir semua warga memilih nama calon legislaif. Nama Efendi MS Simbolon, caleg dari Partai PDI Perjuangan menjadi nama yang paling sering mendapatkan pilihan. Mungkin karena nama ini banyak terlihat di berbagai spanduk dan poster-poster. Selain itu, nama Adang Daradjatun dari Partai Keadilan Sejahtera, juga mendapatkan beberapa suara dari TPS 15. Popularitas dan kerja keras dari im sukses untuk selalu mensosialisasikan nama kandidat jagoannya, menjadi kunci keberhasilan mereka mereka mendapatkan suara. “Di wilayah ini ada salah seorang warga yang memang jadi im suksesnya PDI-P. Dia sangat rajin mendatangi warga satu per satu dan sering memberikan sumbangan, seperi kaos ataupun kalender dari caleg itu. Kabarnya malah kalau PDI Perjuangan menang, orang itu akan dapat jabatan di kecamatan. Tahu tuh betul atau kaga,” ujar salah seorang KPPS.

Popularitas ini menjadi kunci kemenangan dari partai dan caleg tersebut. Selama masa kampanye ada beberapa caleg yang sempat berkunjung ke wilayah Kali Adem. Mereka juga sempat melakukan audiensi langsung dengan masyarakat. Namun sayang kehadiran mereka belum mengena di hai masyarakat. “Ibu yang dari PDI-P seperinya dapat suara banyak. Terus wakil dari PKB dan Gerindra yang pernah berkunjung itu cuma dapat suara masing-masing dua suara. Sedikit sekali ya,” ujar Mulyono terheran-heran. “Ini buki, supaya caleg bisa menang ia harus kerja keras. Tidak cukup dengan hanya sekali datang saja,” tambahnya.