Perseteruan Tiga Jawara
Perseteruan Tiga Jawara
Menjelang akhir masa jabatan Naling, sebelum Idul Adha tahun 2008, masyarakat Kali Adem mendapatkan kejutan. Tiba-iba ketenangan mereka inggal di bantaran Kali Adem harus terusik dan dikejutkan dengan datangnya Seruan Lurah Pluit, tentang Larangan untuk Tinggal di Bantaran Kali Adem. Kalau dalam waktu 7 x 24 jam sejak surat itu diterima, warga masih bertahan inggal, akan ada aparat gabungan yang akan melakukan penggusuran. Kontan saja hal ini menimbulkan kepanikan. Sekeika terjadi gelombang parisipasi masyarakat dalam kegiatan organisasi. Seiap malam puluhan, bahkan lebih dari seratus warga hadir di balai warga untuk mendiskusikan strategi menghadapi penggusuran. Tak hanya laki-laki, tapi perempuan juga hadir di balai warga tersebut.
Perjuangan menghadapi penggusuran membutuhkan kepemimpinan dan struktur organisasi yang kokoh, untuk itu kepengurusan Naling yang seharusnya akan berakhir bertepatan dengan Idul Adha, diperpanjang sampai situasi yang lebih kondusif. Di awal perpanjangan ini, relaif idak ada masalah. Bahkan semua warga mendukung. Keika mereka memutuskan untuk melakukan penggalangan tabungan kolekif Rp. 3.000,00/hari, warga menyambutnya dengan antusias. Sayangnya proses ini idak berjalan lama.
Beberapa bulan kemudian, Asindo sebagai bendahara mengajukan mosi tak percaya. “Saya idak percaya dengan kepemimpinan Pak Naling, saya idak mau bertanggung jawab dengan apa yang dikerjakan oleh pengurus ini. Jadi saya idak mau menandatangani buku tabungan kalau sewaktu-waktu dibutuhkan penarikan dan ada warga yang butuh itu,” ujar Asindo di tengah-tengah rapat warga.
Tidak pernah ada alasan jelas dan tegas yang diutarakan Asindo tentang apa yang menjadi dasar keberatannya. Pernah dalam sebuah obrolan tertutup antara diriku dan Asindo keika berusaha untuk merujukkan Asindo dan Naling, Asindo berkata kalau dia menduga Naling
Jejak Langkah Menciptakan “Pengacara Rakyat”
melakukan korupsi. “Saya curiga kalau Pak Naling keluar memenuhi undangan dari Bapak, dia suka mengambil uang transport. Saya pernah suatu keika saya diketok-ketok dan diantarkan uang seratus ribu rupiah, katanya karena tadi ada yang kasih pas rapat,” ujar Asindo setengah mengadu.
Tuduhan Asindo sebenarnya bukan hal signiikan yang harus diprotesnya. Kabarnya kegeraman Asindo ini bermula dari seringnya Naling bertemu dengan orang-orang di luar komunitas dalam rangka menjalankan tugas sebagai Ketua Musika. Akibat seringnya melakukan kunjungan, Naling membeli kemeja baik dan jaket untuk mendukung tugasnya. “Memang nyata saya membeli baik, biar pantas kalau masuk kantor orang. Itu yang dikira saya korupsi. Padahal semua uang kelompok Pak Indo yang pegang,” ujar Naling.
Aku sendiri memandang bahwa permasalahan yang terjadi antara Asindo dan Naling tak lebih dari persoalan porsi untuk tampil sebagai pahlawan dan pujuaan masyarakat. Asindo semenjak idak mau bertanggung jawab atas tabungan kolekif, secara alamiah tersingkir dari jaringan lingkar satu pengurus. Akibatnya seiap kali Naling mendiskusikan suatu permasalahan atau merencanakan suatu kegiatan, Asindo seringkali idak terajak. Hal ini membuat kesempatan untuk menjadi pahlawan cenderung lebih besar dimiliki oleh Naling. Asindo yang kehilangan porsi ini, berusaha mendapatkannya kembali melalui mosi tak percaya. Maksud hai adalah tampil sebagai pahlawan, namun sayang hal ini justru kontraprodukif. Warga menjadi idak respek terhadap Asindo dan juga pengurus.
Menghadapi kondisi ini kemudian lahir tuntutan untuk menempuh mekanisme demokrasi. Mengingat toh kepengurusan Naling juga sudah berakhir, maka perlu ada pemilihan. Menghadapi pemilihan, kubu Naling mengajukan nama Dato sebagai kandidat ketua, sementara kubu Asindo mengajukan nama Purwarga yang merupakan adik kandung Asindo. Sementara ada satu nama lagi yang idak berasal dari kedua kubu ini, yaitu Latang salah seorang warga yang belakangan akif terlibat dalam perjuangan pengusuran. Hasil pemilihan sangat mengejutkan. Purwarga hanya mendapatkan 17 suara, sementara Dato mendapatkan lebih dari
70 suara. Dato menang mutlak. Dialah ketua yang baru, dan memiliki tugas untuk menyusun kepengurusan.
Komunitas Kali Adem
Hari-hari pertamanya digunakan Dato untuk menggalang kekuatan. Dato memiliki sebuah prinsip luhur yaitu ingin menjaga keutuhan kelompok. Sementara itu, sadar bahwa dirinya kalah telak Purwarga mengancam untuk mempermasalahkan pemilihan yang curang karena ada beberapa warga yang idak memiliki hak pilih.
Purwarga pun kemudian menyatakan kalau dirinya siap mendeklarasikan kelompok baru yang telah memiliki anggota. “Ya dibina oleh Bapak juga,” jawab Purwarga kepadaku keika kutanya siapa yang akan membina kelompok ini. Aku sendiri merasa geli dengan niat membentuk kelompok baru ini, dan berpisah dari Musika tapi masih minta untuk dibina oleh diriku. “Sebenarnya apa yang membuat mereka harus membuat kelompok baru?” tanyaku dalam hai.
Dalam pembentukan pengurusnya, di luar dugaan, Dato yang menang mutlak ternyata idak cukup memiliki rasa percaya diri untuk berindak tegas. Ia justru memberikan porsi yang cukup besar bagi kubu Asindo-Purwarga. Apakah ini bagian dari niat luhur Dato untuk menjaga keutuhan kelompok, sehingga ia rela untuk berkompromi atau karena adanya tekanan-tekanan dari kubu Asindo-Purwarga, idak ada yang tahu pasi. Singkatnya, hal ini membuat perseteruan antara Asindo versus Naling yang berusaha diatasi dengan pemilihan malah menjadi semakin berkepanjangan.
Dato yang harusnya berasal dari kubu Naling ternyata diinggalkan oleh teman-temannya. Mereka tak ada yang mau menjadi pengurus, sehingga Dato harus menjalankan roda organisasi sendiri. Teman- temannya hanya memantau dari jauh. “Kalau dia minta bantuan, saya pasi membantu. Tapi kalau dia idak minta bantuan, saya idak akan membantu,” ujar Naling.