Senja yang Serba Salah

Senja yang Serba Salah

Hampir sebulan setelah pemilihan dilakukan Musika. Permasalahan tarik ulur pengurus, ternyata masih juga belum berakhir. Sementara itu di Kali Adem bermunculan masalah baru yang harus segera diatasi. Aliran listrik yang sebelumnya tersedia secara ilegal di Kali Adem, diputus oleh PLN. Oknum keamanan kompleks perumahan yang tadinya menjamin dan menyediakan listrik idak berani lagi mengalirkan listrik ke Kali

Jejak Langkah Menciptakan “Pengacara Rakyat”

Adem. Selain itu, banjir pasang yang terjadi di Kali Adem mendadak menjadi lebih inggi dari yang sudah-sudah. Biasanya banjir idak sampai mencapai pangkal paha orang dewasa. Tapi kali ini banjir pasang sempat membuat warga mengungsi.

Di waktu itu, aku berkesempatan untuk mengunjungi Kali Adem. Niatku ingin menyapa dan mengetahui bagaimana masyarakat mengatasi masalah yang ada. Biasanya selalu ada ide-ide kreaif yang iba-iba sudah mereka lakukan.

Minggu sebelumnya keika aku berkunjung ke Kali Adem, Dato menyatakan kalau listrik akan segera menyala. “Kita akan bayar listrik pakai meteran resmi, orang PLN sudah siap untuk menyalurkan kembali,” papar Dato. Namun nyatanya sampai sekarang listrik belum juga menyala. “Pak RT dan Pak RW di kompleks perumahan mewah itu idak berani untuk memberikan surat pengantar. Satpam di komplek perumahan mewah, yang tadinya memasok listrik buat kita, idak berhasil mendapatkannya,” kata Dato di sore itu, menjawab pertanyaanku kenapa listrik belum menyala.

Selain persoalan listrik yang belum menyala, banjir pasang sudah menyambutku di ujung gang sempit yang menghubungkan gubuk-gubuk Kali Adem. Di ujung gang itu, di jalan raya yang belum terpakai, tampak Casmana, lelaki tua yang pernah menjadi bagian dari kepengurusan Naling, sedang duduk-duduk di antara kelompok ibu-ibu yang masih kerabatnya. Tak jauh dari tempatnya bercengkrama, tampak Naling dan teman-temannya sedang berkumpul sambil menyaksikan Naling memperbaiki sebuah mesin diesel.

Aku mendatangi mereka. Aku sapa dan salami satu per satu. Sambutan mereka masih sehangat kemarin. Mereka mmenyuguhkan kopi hitam yang selalu aku minum kalau berkunjung ke Kali Adem dan mencarikan kursi untukku. Sekalipun demikian, mereka terlihat enggan untuk diajak berdiskusi tentang solusi mengatasi masalah.

“Biarkan saja pengurus memikirkan, kita inggal menunggu saja. Kalau mereka sudah menyerah, kita siap untuk membantu. Kita siap untuk langsung bergerak. Kalau mereka idak menyerah, kita nani dituduh mengacak-acak,” ujar Naling dingin.

Komunitas Kali Adem

“Mas Dhoho, apakah akan masuk ke dalam?” tanya Pak Mana, demikian Casmana biasa dipanggil, tak lama kemudian. Aku mengiyakan. “Saya harus masuk ke dalam, kalau idak ke dalam nani ada orang yang merasa idak diperhaikan,” jawabku. “Tapi nani di dalam, mau ngobrol dengan siapa?” tanya lelaki yang biasanya selalu menyambutku pertama kali keika datang berkunjung ke Kali Adem dan memiliki gubuk persis di sebelah balai warga. “Datonya lagi bekerja, masa kita lagi yang manggil- manggil pengurus yang lain. Kita kan bukan pengurus lagi, apa wewenang kita,” kata Casmana sambil tertawa. Aku hanya menjawabnya dengan tertawa bersama dia. “Jadi serba salah juga ya. Kalau Mas Dhoho datang gak kita tamoni (ditemani dan disambut seperi tamu), jadi gak enak ama Mas Dhoho. Tapi kalau kita tamoni nani kita disalahkan karena melanggar undang-undang pengurus,” papar Casmana.

Lagi-lagi aku tak berkomentar apa-apa. Selang beberapa lama kemudian Casman masuk ke dalam dan mengambil perahu yang dimilikinya untuk membawaku ke dalam. Dengan naik perahu, aku bisa menghindari banjir yang mencapai pangkal paha. Setelah mendarat di belakang balai warga dan turun dari perahu, kusalami istri Casmana yang sedang duduk sendirian di depan rumahnya di samping mushola. “Sebentar ya, saya panggilkan Indo,” ujar Casmana sambil menyeringai tertawa. “Kok jadi saya lagi yang manggil,” ujar Casmana terkekeh- kekeh.

Waktu menunggu kedatangan Asindo terasa lama, aku duduk sendirian di balai warga. Tak lama kemudian Asindo datang. Dia tersenyum seperi biasa, sehingga gigi puihnya terlihat kontras dengan wajahnya yang gelap terbakar matahari. Tangannya dijulurkan, ingin bersalaman denganku. Setelah berbasa-basi sebentar, ia kemudian menyampaikan protesnya. Ia menganggap Dato sebagai ketua telah gagal memperjuangkan listrik. “Malahan listrik di rumahnya dan beberapa tetangganya menyala. Ini kan gak pantes sebagai ketua,” protes Asindo yang sebenarnya saat ini menjabat sebagai penasihat pengurus.

Perilaku Asindo yang selalu mengadukan keidakadilan padaku, padahal pengaduannya adalah bagian dari ruang lingkup kerjanya, sudah sering dia lakukan. Bukannya menjadi respek, aku justru merasa kesal padanya. Seharusnya kan dia bisa langsung menegur dan

Jejak Langkah Menciptakan “Pengacara Rakyat”

mendiskusikannya baik-baik kepada Dato, bukannya mengadu padaku dan memintaku untuk menegurnya.

Perihal listrik yang menyala di rumah Dato memang sempat ia ceritakan sebelum aku bertemu Asindo. “Sebenarnya listrik itu disambung lagi oleh satpam kompleks. Ini kan pasi terkait dengan rumah mertua si satpam itu yang ada di ujung deretan gubuk ini. Jadi kalau ada orang yang ikut menyambung sebenarnya bisa. Tapi jangan sampai depan,” cerita Dato padaku. Ia sendiri sedang berkomitmen untuk mempejuangankan bisa ada listrik bagi seluruh komunitas ini. “Masalahnya sekarang inggal di RT/RW saja. Orang PLN katanya sudah siap,” papar Dato. Walau demikian indakan Dato yang membuat rumahnya menyala sementara rumah anggota yang lain belum teraliri listrik tentu bukan indakan yang bijaksana.

Aku enggan untuk menanggapi keluhan dari Asindo. Aku hanya mengatakan padanya agar Asindo segera mendiskusikannya dengan Dato. “Biar bisa cepat ada solusinya. Pak Dato seperinya harus dibantu,” ujarku pendek. Aku terselamatkan oleh bunyi handphone-ku. Seseorang menelponku dan menagih janji ketemu denganku. Aku langsung pamit, dan diantarkan kembali ke depan dengan perahu yang sama. Kali ini Asindo yang mengantarkanku sementara Casmana inggal di rumahnya.