Pemilu yang Ironis

Pemilu yang Ironis

Pemilu 2009 adalah pemilu pertama bagi masyarakat yang inggal di bantaran Kali Adem. Kali ini mereka menjalankan hak poliiknya itu benar-benar sebagai warga yang inggal di bantaran Kali Adem, bukan sebagai warga di kampung halamannya. Bagaimana mungkin mereka sebagai warga bantaran Kali Adem bisa mendapatkan hak pilihnya ini? Bukankah mereka adalah orang-orang yang selama ini dianggap melanggar hukum.

Pemilu yang terjadi di Kali Adem ini adalah buah dari parisipasi warga Kali Adem dalam proses bermasyarakat, yaitu bagaimana caranya mereka dikenal oleh para pengurus RT dan RW setempat. Sekalipun secara formal mereka idak mendapat pengakuan, namun secara faktual

Komunitas Kali Adem

mereka memiliki hubungan yang cukup baik dengan ketua RT dan ketua RW. Awalnya hubungan ini terjadi keika masyarakat di Kali Adem mulai mengorganisasikan dirinya dan membuat kelompok paguyuban warga di antara mereka. Mereka membentuk kepengurusan yang akan menjadi pelayan dan pengayom bagi masyarakat ilegal yang inggal di bantaran kali tersebut.

Kelompok ini dengan kegiatannya berusaha untuk membangun akivitas dan kolekivitas di antara warganya. Kegiatan yang waktu itu dipilih secara tanpa sengaja adalah mengumpulkan iuran dari warganya. Sejak pertengahan 2005 seiap warga mengumpulkan iuran Rp. 1.000,00 per minggu. Dana ini setelah terkumpul banyak, kemudian digunakan sebagai modal untuk membangun kredit mikro yang bergulir di antara warga. Akivitas ini menjadi perekat di antara warga dan membangun rasa bangga dan percaya diri di Berbekal kebanggaan antara warga yang ada di sana.

dan kepercayaan diri ini,

Berbekal kebanggaan dan kepercayaan diri keika terjadi perganian ini, keika terjadi perganian pengurus mereka pengurus mereka

menyelenggarakan syukuran yang idak hanya menyelenggarakan terbuka bagi warga yang inggal di bantaran kali, syukuran yang idak hanya tapi juga mengundang tokoh-tokoh masyarakat di terbuka bagi warga yang sekitar bantaran kali. Tokoh-tokoh ini adalah para inggal di bantaran kali, ketua RT dan RW di sekitar. Undangan ini menjadi tapi juga mengundang pembuka jalan, dan memberikan dorongan yang tokoh-tokoh masyarakat di luar biasa di antara para pengurus dan warga. sekitar bantaran kali. Mereka yang selama ini merasa minder dan idak pantas untuk berhubungan dengan orang lain, mulai berani untuk memposisikan dirinya sebagai mitra dengan orang lain.

Sedikit demi sedikit rasa minder itu ditanggalkan dan bergani dengan semangat untuk menjadi mitra dan bekerja sama dengan orang lain. Semangat bermitra inilah yang membuat mereka kemudian “dianggap” sebagai masyarakat di wilayah yang bersangkutan. Keika terjadi pendataran untuk pemilihan umum, warga-warga yang inggal di bantaran kali melalui kelompok yang telah terbentuk ditawari untuk turut didatar. Pengurus kemudian menyambut tawaran ini dan dengan mudah melakukan pendataan terhadap warga yang inggal di bantaran kali karena mereka sudah terorganisir.

Jejak Langkah Menciptakan “Pengacara Rakyat”

Proses terus bergulir, hingga akhirnya mereka dapat menyelenggarakan pemilu, menjadi KPPS, turut memberikan suara di lokasi tempat mereka inggal. Bahkan ada wakil mereka yang juga menjadi Linmas, dengan seragam beratribut Pemda DKI lengkap dengan tongkat pemukulnya. Padahal selama ini, penampilan seperi itu hanya dikenakan oleh mereka yang menjadi lawan dari warga liar ini (baca: aparat tramib).

Pemilu 2009 kemarin memang menjadi sebuah ironi, bagaimana mungkin keika warga yang telah terdatar ini kemudian pada periode yang relaif sama juga mendapatkan surat perintah bongkar. Kalau warga idak mau secara sukarela membongkar, aparat Pemda DKI akan melakukan pembongkaran paksa. Semakin menjadi ironi lagi, karena keika masyarakat beraudiensi dengan pemerintah kota Jakarta Utara, Wakil Walikota Jakarta Utara, Drs. Atama Senjaya, M.Si., mengatakan, “untuk mengakomodir teman-teman di bidang poliik supaya terjadi suasana kondusif terkait dengan pemilu, saya beri tahukan bahwa penggusuran ditunda sampai dengan pelaksanaan pemilu selesai.”

Penggusuran memang sebuah ancaman, tapi sebenarnya penggusuran ini adalah tantangan bagi warga Kali Adem. Berkat kekompakan dalam kelompok dan semangat untuk bermitra dengan orang lain yang selama ini terjaga, mereka mendapatkan hak untuk turut memberikan suara dalam pemilu sebagai warga Kali Adem. Kali ini mereka mendapat tantangan dan ujian apakah mereka cukup kuat sebagai satu kelompok untuk menawarkan kerja sama (bermitra) dengan pemerintah yang lebih inggi, sehingga mereka idak perlu digusur paksa. Dengan kekuatan seluruh warga yang terorganisasi dalam kelompok dan semangat bermitra inilah, masyarakat Kali Adem akan memperjuangkan haknya untuk diperlakukan selayaknya sebagai manusia.

Semoga apa yang diperjuangkan oleh komunitas ini bisa berhasil, dan yang lebih pening dari itu semoga apa yang dilakukan oleh komunitas ini bisa menjadi pelajaran dan inspirasi bagi komunitas lain yang juga dianggap lemah dan miskin untuk memberdayakan dirinya. Bersama- sama menggalang kekuatan dalam satu kelompok dan dengan dijiwai semangat yang idak lagi minder tetapi bermitra secara sejajar akan membuat masyarakat miskin mampu bekerja sama menciptakan situasi yang lebih baik. Inilah ini pelajarannya. Semoga!