Masyarakat dan Negara
Masyarakat dan Negara
Tinggal dan bermukim di bantaran kali jelas merupakan sebuah indakan yang melanggar undang-undang. Selain karena alasan keselamatan lingkungan, inggal di bantaran kali berari sebuah bentuk penyerobotan lahan. Pemanfaatan lahan yang bukan miliknya. Atas dasar ini, negara pasi melarang orang inggal di bantaran kali dan akan berusaha untuk membuat bantaran kali idak diinggali oleh orang. Sayangnya apa yang dilakukan oleh negara selalu terlambat. Pendekatan yang dilakukan oleh negara adalah bagaimana mengusir orang yang inggal di bantaran kali tersebut. Negara belum berhasil merumuskan caranya mencegah orang menghuni bantaran kali. Ataupun kalaupun bantaran kali memang idak boleh dihuni, bagaimana caranya membuat mereka dapat relokasi secara alamiah, tanpa harus diusir dengan kekerasan.
Pengusiran warga dari bantaran kali juga pernah dialami oleh warga Kali Adem. Di tahun 2003, mereka terkena penggusuran. Mereka dipaksa untuk membongkar gubuknya secara sukarela dan mendapat imbalan Rp. 500.000/gubuk yang dibongkar secara sukarela. Kalau mereka idak membongkar gubuknya, pemerintah dengan jajaran aparat ketentraman dan keteriban (tantrib) akan melakukan pembongkaran paksa. Pembongkaran paksa ini benar-benar dilakukan tak hanya dengan mengerahkan hampir seribu tramib, tapi juga Tak ada lagi gubuk menggunakan dua alat berat back how. Sebuah
yang menjadi tempat
back how, dinaikkan di tongkang sehingga terapung
berlindung. Perahu yang
di tengah sungai, dan sebuah lagi dibiarkan berjalan
tadinya digunakan untuk
di tepian sungai. Dengan sekali ayunan, ujung back
mencari makan, sekarang
how itu menghancurkan gubuk yang ada satu demi satu. digunakan sebagai tempat
untuk inggal. Belasan
Malam keika penggusuran terjadi, orang-orang bayi, harus idur terapung- inggal dengan beratapkan langit dan berdindingkan apung di atas air, karena angin. Tak ada lagi gubuk yang menjadi tempat mereka kini idur di atas berlindung. Perahu yang tadinya digunakan untuk perahu yang mengapung mencari makan, sekarang digunakan sebagai tempat di atas air. Suasana yang untuk inggal. Belasan bayi, harus idur terapung- begitu menderita ini apung di atas air, karena mereka kini idur di atas terjadi beberapa hari. perahu yang mengapung di atas air. Suasana yang Penggusuran paksa itu
99 jelas mencerabut martabat
Jejak Langkah Menciptakan “Pengacara Rakyat”
begitu menderita ini terjadi beberapa hari. Penggusuran paksa itu jelas mencerabut martabat mereka sebagai manusia.
Penggusuran di tahun 2003 itu berbuah sebuah kebijakan pemerintah untuk menyediakan rumah bagi korban penggusuran. Kebijakan ini lahir sebagai buah dari kegigihan dan kekompakan masyarakat untuk berjuang dalam kelompok yang telah terberdayakan. Kisah perjuangan ini, adalah ilham awal tentang bagaimana memberdayakan masyarakat sehingga mereka mampu mengadvokasi dirinya sendiri dan berparisipasi dalam pengambilan kebijakan publik sehingga kebijakan itu akan memberikan manfaat bagi masyarakat.
Namun sayangnya, kebijakan untuk merelokasi korban penggusuran ini ternyata idak berhasil. Faktor utama yang mendorong terjadi kegagalan program relokasi ini karena idak diperhaikannya secara keseluruhan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Proses ideniikasi kebutuhan masyarakat, idak memperhaikan faktor perempuan. Kebutuhan perempuan hampir idak diideniikasi dan peran perempuan dalam kehidupan mereka di bantaran kali benar-benar terlupakan. Padahal, perempuanlah yang sebenarnya menjadi penyangga ekonomi rumah tangga sehari-hari, bukan laki-laki.
Penghasilan laki-laki sebagai nelayan, terlalu berluktuasi sehingga idak mungkin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kebutuhan rumah tangga ini, dipenuhi dari perempuan yang bekerja di sektor informal dan mendapatkan penghasilan relaif stabil. Sayangnya program relokasi ini mengakibatkan perempuan kehilangan penghasilan dan rumah tangga yang direlokasi kehilangan sumber penghasilan rumah tangganya.
Di akhir tahun 2008 kemarin, warga di bantaran Kali Adem kembali mendapatkan surat peringatan untuk mengosongkan bantaran kali secara sukarela. Jika masyarakat idak melakukan pengosongan, maka pemerintah akan kembali melakukan penggusuran paksa. Menghadapi ancaman penggusuran ini, masyarakat Kali Adem mencoba melakukan perlawanan dengan cara yang unik yaitu dengan semakin mengkonsolidasikan kekuatan warga.
Kira-kira pada tahun 2005, masyarakat di Kali Adem membuat sebuah kelompok dengan nama Kelompok Mitra Laut Mandiri (Kemilam) yang kemudian berubah nama menjadi Musika. Kelompok ini memiliki
Komunitas Kali Adem
Gambar 10 - Sebagian kaum ibu di Kali Adem yang berkumpul di Balai Warga. Di Kali Adem, para ibu inilah yang sesungguhnya menjadi penyangga ekonomi
rumah tangga sehari-hari.
program utama mengadakan tabungan kolekif. Masing-masing anggota diminta untuk menabung sebanyak Rp. 1.000,00/minggu/kepala keluarga. Lama-kelamaan tabungan itu, berhasil terkumpul iga juta Rupiah. Tabungan sejumlah iga juta Rupiah ini kemudian mereka gunakan sebagai modal awal untuk melakukan kredit mikro di antara warga. Masing- masing penerima kredit akan mendapatkan Rp. 200.000,00 dan wajib mengembalikan sebanyak Rp. 220.000,00. Semula aturan main untuk kredit mikro ini, seiap lima hari penerima kredit harus mencicil sebanyak Rp. 20.000,00. Namun dalam prakiknya, masyarakat yang kebetulan di hari penagihan idak mampu membayar cicilan mendapatkan dispensasi untuk idak membayar dan idak dikenakan sanksi. Kelonggaran dan kepercayaan yang diberikan ini membuat proses kredit bergulir ini idak mendapatkan kesulitan. Semua penerima kredit dapat melunasi kredit yang diterimanya, sekalipun waktu pelunasannya idak tepat.
Pengalaman mengumpulkan tabungan dan mengelola kredit mikro ini, kemudian dijadikan sebagai basis pelajaran untuk melakukan perjuangan menghadapi penggusuran. Konsolidasi warga dilakukan
Jejak Langkah Menciptakan “Pengacara Rakyat”
dengan membuat tabungan kolekif kembali. Kali ini jumlah uang yang ditabung lebih besar, yaitu Rp. 3.000,00/hari/KK. Jumlah ini setara dengan Rp. 90.000,00/bulan yang merupakan besaran biaya sewa untuk rumah susun Yayasan Cintah Kasih Tzu Chi yang berlokasi di Muara Angke. Harapannya dengan proses menabung ini, akan ada konsolidasi warga dan menaikkan posisi tawar masyarakat dalam perundingan.
Penggusuran yang surat pemberitahuannya telah diterima akhir Desember 2008, ternyata tak kunjung dilaksanakan hingga tulisan ini dibuat (Juni 2009) mengingat di tahun 2009 diselenggarakan Pemilu.
Berbicara tentang Pemilu, ada hal unik yang terjadi di Kali Adem. Masyarakat yang dianggap ilegal ini, ternyata mampu berparisipasi dalam proses penyelenggaraan pemilu. Tahun 2009 menjadi tahun pertama bagi mereka untuk memberikan suara sebagai warga Kali Adem. Di pemilu-pemilu sebelumnya, mereka memang memberikan suara tapi di kampung halaman masing-masing. Di tahun 2009 ini, tak hanya memberikan suara sebagai warga Kali Adem, mereka juga dipercaya untuk mendirikan tempat pemungutan suara, dan menjadi Kelompok Paniia Pemungutan Suara (KPPS) sendiri. Kisah tentang perjuangan iga ribu rupiah dan pelaksanaan pemilu di tempat terlarang dapat dibaca dalam cerita tersendiri berikut ini.
Sekalipun terlihat sebagai paradoks dan inkonsistensi pemerintah, apa yang terjadi di Kali Adem ini haruslah dipandang sebagai kemenangan- kemenangan kecil yang berhasil diraih melalui pemberdayaan masyarakat. Dengan bekal kemenangan kecil ini, kita galang kekuatan masyarakat untuk mewujudkan keswadayaannya dan selanjutnya menciptakan perubahan-perubahan yang lebih baik.
Membangun Kolektivitas dengan Tabungan: