Bermula dari Ibu-Ibu
Bermula dari Ibu-Ibu
Masuk ke dalam suatu komunitas dan menjadi bagiannya bukanlah hal yang mudah. Cara yang ditempuh haruslah benar-benar diperimbangkan dengan masak-masak. Untuk masuk ke dalam suatu
Jejak Langkah Menciptakan “Pengacara Rakyat”
komunitas, kita haruslah menjadi bagian dari mereka. Menjadi teman bagi mereka. Awal perkenalan dengan komunitas Klender bermula dari peringatan Hari Internasional untuk Mendukung Korban Penyiksaan 26 Juni 2008 yang diorganisir oleh Jaringan Ani Penyiksaan Indonesia (JAPI). Dalam rapat JAPI muncul ide untuk mengadakan diskusi komunitas. Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) menawarkan salah satu komunitas binaan mereka untuk menjadi tempat penyuluhan dan LBH Masyarakat bertugas memberikan penyuluhan.
Penyuluhan dilakukan di forum arisan bulanan ibu-ibu keluarga korban pelanggaran HAM. Penyuluhan tentang isu penyiksaan itu mendapat sambutan yang luar biasa. Mereka terlihat antusias, dan meminta ada penyuluhan lanjutan. Topik yang ditawarkan oleh masyarakat adalah tentang bagaimana menjadi pendidikan itu murah. “Ini kan masa-masa pendataran anak sekolah, bentar lagi pasi deh banyak pungutan buat anak-anak yang sekolah,” ujar salah seorang ibu.
Sebulan kemudian, LBH Masyarakat datang dan memberikan penyuluhan tentang manajemen pendidikan di DKI Jakarta. Berdasarkan peneliian yang kami lakukan, kami mendapatkan informasi bahwa Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta mengeluarkan Surat Edaran Petunjuk Teknis untuk Penerimaan Siswa Baru tahun Ajaran 2008/2009 (Surat Edaran Nomor 11/SE/2008). Dalam surat edaran tersebut dinyatakan bahwa seiap sekolah wajib menyediakan buku wajib, yang seharusnya sudah dimiliki sekolah dari alokasi anggaran Dana Bantuan Operasional Sekolah (Dana BOS), tahun anggaran sebelumnya. Selain itu masing- masing sekolah wajib menyelenggarakan rapat orang tua/walik murid dalam rangka menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS). Lewat RAPBS inilah kemudian akan ditentukan kegiatan apa yang akan dilakukan, dan berapa biaya yang masih harus ditanggung oleh orang tua murid.
“Kalau uang yang didapat sekolah dari pemerintah ternyata sudah cukup, berari idak ada pungutan buat siswa. Tapi kalau ternyata dananya gak cukup, ya harus ada uang sekolah yang dibayarkan. Tapi kita harus kriis, kita lihat dulu kenapa kok uangnya idak cukup. Apa saja sih yang dibelanjakan oleh sekolah. Itu hal-hal yang pening bukan? Kalau ternyata kegiatan yang diusulkan idak terlalu pening, kita bisa
Komunitas Klender
Gambar 17 - Para ibu di Klender yang merupakan keluarga korban kerusuhan Mei 1998. Persahabatan LBH Masyarakat dengan komunitas Klender diawali dengan
perkenalan dengan para ibu di sana.
saja meminta kegiatan itu untuk dilaksanakan, jadi idak perlu ada uang sekolah. Misalkan, ada kegiatan untuk rekreasi seiap 4 bulan. Nah ini kan bisa dihilangkan atau paling idak dikurangkan,” ujar penyuluh LBH Masyarakat.
Dari hasil penyuluhan ini, para orang tua murid mengetahui adanya penyimpangan dari pelaksanaan surat edaran tersebut. Buku-buku wajib yang harusnya tersedia secara cuma-cuma di sekolah ternyata malah diperjualbelikan. Orang tua murid wajib membeli buku-buku tersebut. Berbekal surat edaran yang dibagikan oleh LBH Masyarakat, mereka melakukan klariikasi ke pihak sekolah. Buah dari klariikasi ini membuat buku-buku yang tadinya sudah dibeli oleh siswa ditarik kembali oleh sekolah. Buku-buku itu dinyatakan sebagai inventaris sekolah, dan dicap dengan stempel sekolah. Keesokan harinya, buku-buku itu dikembalikan kepada siswa bersamaan dengan uang buku yang dulu pernah dibayarkan.
“Kita berhasil Pak. Seru deh pokoknya, kita harus sering-sering penyuluhan ya,” kata Bu Ruminah yang menjadi tokoh masyarakat di antara para ibu-ibu. Merasa gayung bersambut, LBH Masyarakat pun menyusun
Jejak Langkah Menciptakan “Pengacara Rakyat”
jadwal penyuluhan. Hari dan waktu telah disepakai, dan pada hari itu teman-teman dari LBH Masyarakat berkunjung ke komunitas. Ternyata warga yang terkumpul idak cukup antusias. Mereka tahu bahwa akan ada penyuluhan. Tapi seperinya mereka idak mengharapkan sebuah informasi baru yang akan mencerahkan, melainkan sebuah seremonial acara LSM biasa. “Kita beli konsumsi ya. Ibu-ibu udah pada minta tuh. Sini uangnya, biar ibu yang belikan,” ujar Bu Ruminah keika menyambut kami.
Sekalipun ada beberapa orang yang hadir, tapi ini bukan target penyuluhan kami. Penyuluhan yang diberikan bukan sekedar untuk memberikan informasi saja, tapi berharap melalui penyuluhan itu akan dapat terbangun inisiaif warga dan kemudian bersedia untuk melakukan gerakan bantuan hukum mandiri. “Selain kelompok ibu-ibu korban, warga di sini suka mengadakan pertemuan gak sih Bu?” tanya kami pada warga yang hadir. “Oh suka. Ibu-ibu di sini punya pengajian seiap minggunya. Kalau penyuluhan ini semua ibu-ibu di RW ini pada datang,” ujar Bu Ruminah.